And When We’re Apart, And I’m Missing You


Pukul enam lebih tiga puluh menit. Langit yang tadinya biru cerah kini sudah menggelap, digantikan oleh semburat ungu kemerahan di ujung langit sana. Awan berjalan beriringan mengikuti arah angin, menemani langkah Keisha menembus tengah kerumunan penonton yang riuh suaranya tidak habis-habis dari pagi tadi.

Pameran seni namanya, sebuah acara tahunan yang rutin diadakan oleh mahasiswa dengan tujuan mengasah kreativitas, sebagai hiburan, dan ajang kompetisi bagi setiap jurusan untuk mengeluarkan jagoan-jagoan mereka sebagai perwakilan di setiap lomba yang diselenggarakan.

Lalu acara itu juga yang membuat Keisha kini terjebak di antara para penonton yang antusiasmenya tidak berkurang sedikit pun. Tadi, tepatnya pukul lima sore, ia sudah memenuhi janjinya untuk menonton Aura yang memang mengikuti lomba tari modern. Namun, setelahnya ia langsung berkata pada Grizella bahwa dirinya akan langsung pulang yang mana hal itu sebenarnya hanya sebuah dusta yang dikarangnya. Nyatanya perempuan itu kini sedang berdiri di tengah kerumunan ribuan manusia dengan napas terengah-engah.

Jika ditanya mengapa ia ikhlas berdesak-desakan di sana sekarang, maka jawabannya sudah jelas. Hadyan. Ya, ia ingin menonton Hadyan tampil bernyanyi malam ini. Dan menghindari Grizella adalah bentuk kehati-hatiannya karena siapa yang tahu mungkin nanti ia akan menangis? Sebab baginya menangis adalah bentuk paling lemah dari emosi manusia, jadi ia tak ingin siapa pun mengenalnya saat ia sedang dalam titik terlemahnya.

Perempuan itu melirik lagi jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Sebentar lagi pukul tujuh dan sebentar lagi kompetisi solo performance akan segera dimulai. Keisha menatap lurus ke depan, ke panggung yang sedang dipersiapkan oleh panitia. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan memikirkan Hadyan akan menyanyi di sana malam ini. Sejujurnya juga ia takut, takut nanti ia malah dibuat semakin jatuh cinta di saat Hadyan-nya mungkin sudah melupakan perasaan cintanya untuk Keisha.

Dan panggung itu kini sudah disorot lampu dari atas, menampilkan sang pembawa acara yang wajahnya masih tampak segar walau sudah seharian berdiri di sana. Sorakan penonton menyusul setelahnya, membuat pengang telinga Keisha. Namun, ia yakin suara jantungnya sekarang jauh lebih berisik dibandingkan riuh suara di sekitarnya. Guna menyalurkan kegugupannya, Keisha meremat ujung tali tasnya.

“Selamat malam teman-teman semua, gimana nih masih semangat nggak yaa?” Suara sang pembawa acara terdengar lantang dan bersemangat. Lantas jawaban darinya dibalas oleh sorakan penonton yang semakin keras.

“Sip, masih pada semangat nih kayaknya. Ya udah tanpa berlama-lama lagi, mari kita mulai kompetisi selanjutnya yang juga akan menjadi kompetisi penutup kita pada hari ini, solo performance!” Riuh kembali terdengar, justru semakin heboh dan bersemangat, “penampilan pertama akan diberikan oleh Jurusan Biologi yang diwakilkan oleh Hadyan Reza! Hadyan ayo maju, Yan!”

Suara Keisha tertahan di tenggorokan, tak mampu ikut menyoraki Hadyan meski itu temannya sendiri. Laki-laki yang sudah ia patahkan hatinya berkali-kali itu kini sudah berjalan ke tengah panggung dengan sorotan lampu terang lalu berdiri di balik stand mic. Hadyan tampak lebih rapi malam ini, rambutnya jelas-jelas sudah ditata sedemikian rupa, lalu ia kenakan kaus hitam favoritnya dan celana jins yang tampak serasi. Jantung Keisha dibuat semakin tak keruan melihatnya, kenapa juga ia baru sadar Hadyan memang setampan itu?

“Mau nyanyi apaan nih, Yan?” Seorang pria yang memang ditugaskan menjadi pembawa acara itu kembali berujar ceria.

Hadyan terkekeh pelan, senyum manisnya bahkan membuat beberapa penonton wanita berteriak girang. “Gue mau nyanyi Those Eyes-nya New West,” jawabnya percaya diri, lalu sorakan langsung kembali heboh.

“Waduh, lagunya buat siapa nih, Yan?” Pertanyakan yang diajukan si pembawa acara berhasil membuat Keisha memasang telinganya lebar-lebar.

Hadyan tak langsung menjawab, laki-laki itu lebih dulu melihat ke arah kerumunan penonton, tampaknya mencari seseorang. “Lagunya buat… seseorang yang gue kangenin banget.”

Bolehkah Keisha merasa orang yang dimaksud Hadyan adalah dirinya? Bolehkah?

“Ada di sini nggak orangnya?” Tampaknya pembawa acara itu terlalu mengulur waktu atau memang mengobrol dengan Hadyan selalu memikat banyak pertanyaan lain yang hadir?

Hadyan mengedikkan bahu. “Gue nggak tahu, tapi semisal ada, gue harap dia dengerin lagunya bener-bener.”

Kalimat dari Hadyan tersebut lantas menjadi penutup akan obrolan singkat kedua pria di atas panggung. Setelahnya seorang panitia membawakan sebuah gitar dan kursi untuk Hadyan duduk yang langsung disusul sorakan para gadis. Keisha sempat mengerutkan kening, apakah Hadyan memang seterkenal itu atau dulu ia memang acuh untuk sekadar memperhatikan Hadyan?

“Gue mulai ya.” Riuh suara itu seiring waktu berkurang dan mulai menonjolkan alunan petikan gitar lembut yang dimainkan oleh Hadyan di atas panggung.

Keisha terkesima. Hadyan bernyanyi di depannya sekarang. Suara laki-laki itu berubah jadi sangat lembut saat bernyanyi, hampir serupa kala lelaki itu bicara padanya dulu. Dan mungkin suara itu akan langsung menempati tempat paling baik di dalam kepala Keisha, lalu suara itu juga yang akan terus menemaninya di setiap tidur malamnya, akan selalu di sana, di ingatannya.

‘Cause all of the small, things that you do Are what remind me why I fell for you And when we’re apart, and I’m missing you I close my eyes and all I see is you And the small things you do…

Tanpa sadar senyum Keisha mekar sempurna. Mulai hari ini lagu berjudul Those Eyes oleh New West akan menjadi lagu favoritnya dan akan ia pasang di radio mobilnya, juga akan ia putar di setiap malam sebelum tertidur.

Lantas sebuah lagu berdurasi hampir empat menit itu usai. Petikan gitar terakhir dari Hadyan langsung dihujani sorakan heboh penonton, bahkan beberapa dari mereka meminta satu lagu lagi, menjadikan Hadyan benar-benar seperti seorang idola.

Seharusnya ingatan itu menjadi ingatan baik di dalam kepala kecil Keisha. Namun, tidak ketika dirinya memutuskan langsung menyingkir dari kerumunan penonton dan berjalan melewati pagar backstage untuk kembali ke mobilnya. Sebab di sana Hadyan sedang bersama seorang perempuan berambut pendek yang hadirnya kerap membuat Keisha geram. Hadyan-nya kini tengah bersama seorang gadis yang disebut-sebut namanya adalah Karin.

Keisha mengutuk kakinya sendiri sebab mengapa juga ia malah berdiri mematung di sana dan terpaksa harus melihat pemandangan menyedihkan itu untuk durasi yang lebih lama. Tangan Keisha mengepal di samping tubuhnya, senyumnya pudar, pun sesuatu di matanya sudah membentuk genangan yang siap turun kapan saja.

Hadyan-nya sedang tersenyum pada perempuan lain.

Hadyan-nya sedang bertukar canda tawa dengan perempuan selain dirinya.

Lalu dengan mudahnya perempuan itu melingkarkan tangannya di lengan Hadyan, membuat setitik air mata Keisha akhirnya mau tidak mau turun juga. Seharusnya ia yang ada di sana seandainya ajakan Hadyan untuk menjadi pacarnya ia sanggupi tempo hari ketika mereka duduk di ayunan. Seharusnya ia yang ada di sana, membawakan Hadyan sebotol air minum, memuji penampilannya luar biasa indah, dan berfoto bersama menggunakan kamera polaroid alih-alih perempuan bernama Karin-lah yang melakukannya. Hati Keisha mungkin sudah habis sekarang sebab rasanya seperti dicabik-cabik.

Lantas ujung manik Hadyan akhirnya menangkap sosok yang sudah dirindukannya sejak berhari-hari lalu. Sosok yang menjadi alasan ia bernyanyi lagu itu di atas panggung. Sosok yang ia pikir bisa langsung hilang dari hatinya ketika ia coba ikhlaskan meski percuma, sebab jangankan hilang dari hatinya, hendak meninggalkan benaknya saja gadis itu tak mau. Keisha masih di sana, masih akan terus di hati Hadyan, menempati singgasana paling tinggi dan paling baik tempatnya.

Hadyan ikut mematung. Ingin menyapa namun rasanya sudah asing. Karin yang masih menggelayuti lengannya pun ia abaikan begitu saja sekarang. Ia tak paham kenapa Keisha-nya berdiri diam di sana, menatapnya tak berkedip namun juga tak menyapa. Apakah ia melihat objek lain selain dirinya? pikirnya. Mungkin jarak keduanya memang cukup jauh sekarang, namun Hadyan yakin cairan bening yang membasahi pipi gadis itu adalah air mata. Ia yakin seratus persen sebab perempuan itu tengah menghapusnya menggunakan lengan sweternya.

Kenapa Keisha menangis? Apakah karena dirinya? Tapi pun iya kenapa juga dirinya membuat Keisha menangis?

“Kei!” Akhirnya Hadyan memanggil juga nama perempuan itu sebab dirinya sudah dibuat kelewat khawatir. Namun, alih-alih Keisha membalas sapaan tersebut, ia justru mempercepat langkah untuk pergi meninggalkan area tersebut, buru-buru menuju mobilnya.

“Keisha! Hey!” Hadyan masih berteriak, ingin mengejar namun pintu keluar terlalu jauh, tak akan sempat.

Karin yang masih setia memeluk lengan laki-laki itu mulai rewel. “Lo manggilin siapa sih?”

Hadyan tak menjawab, matanya masih bergerak ke sana kemari mencari Keisha yang sudah hilang rupanya di balik kerumunan manusia.

“Yan? Yuk pulang anterin gue dong!” Karin berujar lagi walau sejak tadi tak digubris.

Karena wanita di sampingnya terus merengek, Hadyan kini menoleh. “Duh, Rin lo pulang sama Abas aja ya? Gue buru-buru, thanks udah nonton gue hari ini, bye!” pamit Hadyan kepalang khawatir pada Keisha dan pergi meninggalkan Karin yang berdecak sebal.


Keisha sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Air matanya masih menetes deras dan tak tahu kapan akan berhenti. Rasanya terlalu sakit melihat seorang gadis tampaknya sudah berhasil menggantikan posisinya di hati Hadyan. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya, membuatnya tiba-tiba teringat waktu itu ia juga pernah menangis seperti ini ketika Hadyan meminjamkannya payung lipat. Kenapa Hadyan selalu hadir dalam wujud bahagia sekaligus wujud paling menyedihkan untuknya?

Tangis Keisha masih deras, namun sebuah dering telepon menginterupsi sedihnya. Tadinya ingin diabaikan, tapi tampaknya itu adalah panggilan penting sebab sang penelepon sudah mencoba menghubunginya tiga kali. Lalu Keisha terpaksa menoleh ke arah jok di sampingnya, tempat ia meletakkan ponselnya. Dan langsung saja kedua bola matanya membulat melihat sebuah nama yang tertera di sana.

Hadyan-nya menelepon.

Berbagai pikiran kini berkecamuk di dalam kepala kecilnya, berlomba-lomba siapa paling kencang maka yang akan didengar, membuat Keisha merasa pusing dan pengang. Ingin ia angkat panggilan tersebut, namun untuk apa? Untuk bilang bahwa ia sakit hati? Namun, tak diangkat juga ia sudah sangat merindukan laki-laki itu.

“Dengerin apa kata hati lo, Kei.”

Ucapan Grizella yang entah kapan pernah dikatakan padanya tiba-tiba terlintas di benaknya.

Dengerin apa kata hati, batinnya mengulang pernyataan dari Grizella.

Lantas akhirnya ibu jari perempuan itu bergerak menekan tombol hijau di ponselnya. Jika memang ia harus mengikuti kata hatinya sekarang, maka ini yang akan dilakukannya. Bukannya adil? Sebab sejak dulu ia hanya mendengarkan apa yang kepala kecilnya ucapkan alih-alih mendengar apa kata hatinya.

“H-halo?” Suara Keisha yang sedikit serak berujar putus-putus.

“Astaga Keisha lama banget ngangkatnya, lo di mana?” tanya Hadyan dengan deru napas tak beraturan, tampaknya laki-laki itu sudah berlari sangat jauh.

Keisha menggeleng. Air matanya masih menetes, bahkan semakin deras sejak telinganya kembali menangkap suara yang dirindukan itu. “Emang kenapa?” Akhirnya justru pertanyaan yang keluar dari bibirnya.

“Lo di mana?” Hadyan mengulang pertanyaan.

“Lo nggak perlu ta—” Kalimat Keisha terpotong sebab dari dalam mobilnya ia sudah dapat melihat Hadyan yang baru saja berlari menembus kerumunan orang dan berdiri di tengah parkiran.

Keisha menelan ludah sebab laki-laki itu menoleh ke arah mobilnya dan berjalan mendekat. Telanjur dibuat panik, Keisha langsung mematikan panggilan dari Hadyan dan melajukan mobilnya secepat kilat meninggalkan parkiran.

“Maaf, gue belum bisa jadi Keisha yang pemberani hari ini, Yan. Maaf,” ujarnya pelan sambil melirik kaca spion mobilnya, di sana Hadyan sempat berlari mengejarnya meski tentu saja gagal.

Hari ini dua orang itu masih memilih untuk mempertahankan egonya. Masih enggan untuk saling bilang bahwa keduanya tengah rindu. Grizella benar, rasanya akan jadi sangat sakit ketika perasaannya jatuh di waktu yang sudah terlambat. Hadyan-nya bukan miliknya lagi.

Dan sekali lagi, jika jatuh cinta bisa jadi serumit itu, maka Keisha tidak ingin mengenal Hadyan sedalam itu. Ia ingin menjadi Hadyan dan Keisha yang dulu. Ia ingin menjadi Keisha yang bebas menjadi dirinya sendiri di depan Hadyan, ia ingin menjadi Keisha yang bisa bebas mencubit gemas lengan Hadyan kala laki-laki itu terlalu berisik. Ia ingin tertawa lagi bersama Hadyan alih-alih selalu menangis seperti ini.

Keisha ingin Hadyan-nya kembali, pun Hadyan ingin kembali menjadi Hadyan milik Keisha meski kedua harapan itu akan sama-sama mustahil jika keduanya masih enggan jujur bahwa masing-masing hati sudah menemukan rumahnya lebih cepat dari yang mereka perkirakan.