Api Unggun Kejujuran
Ini merupakan kali pertama bagi ketujuhnya untuk pergi berlibur bersama. Suasana riang yang diciptakan sejak subuh tadi belum juga luntur, masih dengan semangat yang sama, masih dengan tawa yang kian menguar diterpa angin, masih dengan antusiasme yang sama seperti pertama kali mereka berangkat. Juan dan Hadyan sudah merencanakan semua ini, katanya sebagai hadiah untuk Nathan yang kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Sekarang sudah pukul enam sore hari, langit yang tadinya berwarna biru muda cerah kini mulai menggelap sebab sang surya sudah cukup lama menghilang dari pandangan, menyisakan semburat warna oranye hangat di ujung cakrawala. Kicauan burung mulai terdengar saling bersahutan, menemani ketujuh remaja yang kini tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing: Grizella dan Aura yang sibuk membawa bahan-bahan untuk kegiatan bakar-bakar mereka; Hadyan dan Rhayyan yang tengah ribut perkara api unggun tak kunjung mau menyala; Juan yang menata kursi-kursi di halaman belakang villa-nya; Nathan yang tengah meracik bumbu untuk daging panggang mereka; dan Keisha yang akhirnya ikut membantu Juan menata piring-piring di atas meja.
“Nggak gitu caranya Hadyann! Udah lu duduk aja dah sumpah!” Untuk yang kesekian kalinya Rhayyan kembali mengomel sebab Hadyan terus-terusan membuat api yang hampir menyala itu menjadi redup lagi.
“Lah bener tadi lu ngajarin gue begitu,” balas Hadyan mencoba mencari pembelaan terhadap dirinya.
Rhayyan memejamkan mata dan menghela napas panjang sekarang, mencoba menahan rasa kesalnya sebelum akhirnya menyerah, “KEISHA COWOK LU KANDANGIN DULU KEK TOLONGGG!!!” teriaknya.
Keisha, gadis yang dimaksud itu kini berjalan menghampiri Rhayyan yang sudah setengah frustrasi. Ia kemudian melirik sekilas ke arah Hadyan yang masih memasang cengirannya sebelum akhirnya menarik tangan laki-laki itu untuk menjauh dari Rhayyan, membuat Hadyan hanya diam mengikuti, namun telinganya sudah berubah warna menjadi merah muda. Keisha lalu menghentikan langkahnya untuk sekadar berteriak “BUKAN COWOK GUE BTW!” yang dibalas ledekan oleh teman-temannya.
Di samping kehebohan yang terjadi di sana, terdapat sepasang manusia lain yang dengan tenang memanggang daging-daging itu di atas bara api. Grizella yang mendapat tugas untuk mengipas kepulan asap itu hanya menatap lekat kekasihnya yang tengah fokus membalik daging-daging, membuat senyum Nathan tak bisa ia hilangkan begitu saja.
“Kenapa sih liat-liat?” tanya Nathan akhirnya guna memecah keheningan.
Alih-alih langsung menjawab, Grizella justru semakin menyipitkan matanya seiring senyumnya yang melebar itu, “Nggak apa-apa... cuma seneng aja,” jawabnya.
Nathan terkekeh pelan, “Udah nih dari pada ngeliatin aku mulu mendingan tolong pindahin daging-dagingnya ke piring terus bawa ke meja.”
Grizella menegakkan punggungnya dan meletakkan tangan kanannya di ujung alisnya membentuk gerakan hormat, “Siap kapten!”
Mengikuti perintah Nathan, kini Grizella berjalan membawa piring-piring berisi daging yang telah dimasak dengan baik itu mendekat pada teman-temannya yang tengah berkumpul di meja makan yang sengaja mereka letakkan di halaman. Gadis itu kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi tepat di samping Keisha. Tak lama setelahnya, Nathan sudah ikut bergabung bersama keenamnya untuk menikmati hidangan yang disajikan sambil mendengarkan teman-temannya yang sedang bercerita bermacam-macam hal, mulai dari Hadyan yang bercerita bahwa ia pernah melihat hantu di kampus, Juan yang kemarin bertemu lagi dengan mantannya, hingga Aura yang hampir diculik. Beragam kisah yang ditukarkan oleh ketujuhnya berhasil membawa suasana malam ini terasa lebih hangat, jauh lebih hangat dari api unggun yang berhasil Rhayyan nyalakan—seorang diri—hingga rasanya hembusan angin malam ini sudah tak terasa begitu dingin lagi.
“Yuk cepet habisin makannya, abis ini kita pindah ke api unggun!” Hadyan mulai membacakan kegiatan mereka selanjutnya.
Hadyan—remaja itu kini sudah duduk di rerumputan tanpa alas apa pun, menunggu teman-temannya ikut duduk melingkari api unggun. Jemari laki-laki itu sudah bergerak lincah memainkan senar-senar itu, menghasilkan alunan musik yang nyaman didengar oleh setiap pasang telinga.
“Oke, udah kumpul semua yaa... Aura udah dulu dong makannya,” ujar Hadyan ketika mendapati Aura masih sibuk mengunyah jagung bakarnya.
Gadis yang ditegur kemudian menoleh, “Ya udah sih lanjut aja, gue denger kok! Itu Zella juga masih makan kok cuma gue yang diomelin?” balasnya sambil masih mengunyah, membuat teman-teman yang melihatnya merasa gemas.
“Ya, kalo Grizella ga apa-apa.” Hadyan kembali bertutur.
Aura menaikkan sebelah alisnya, “Kok gitu?”
“Soalnya dia nggak jomblo.”
“KURANG AJAR KEI!” teriak Aura tak terima, gadis itu sudah bangkit dari duduknya sekarang, sedangkan Hadyan sudah tertawa puas.
“KOK GUE LAGI SIH?” Keisha ikut kesal karena sejak tadi dirinya selalu diseret-seret perkara tingkah Hadyan.
Grizella masih diam, hanya sesekali menimpali candaan teman-temannya dengan senyuman, pipinya masih penuh oleh makanan, lain dengan pikirannya yang penuh dengan Nathan, membuat maniknya tak juga bisa lepas dari kekasihnya. Laki-laki itu memang benar ada di sampingnya sekarang, tapi entah mengapa rasanya seperti ia kapan saja bisa menguap menghilang dari pandang gadis itu. Membayangkan jika Nathan tidak ada, membayangkan jika laki-laki itu sudah tak bisa bergabung bermain bersama mereka lagi seperti saat ini benar-benar membuat hati gadis itu berdenyut sesak tiba-tiba. Ia kesal. Ia tak suka jika pikirannya yang demikian harus selalu muncul saat ia bersama Nathan. Pikirannya selalu saja tak membiarkan gadis itu tenang menikmati waktunya dengan sang kekasih. Tanpa terasa, satu air mata mulai jatuh membasahi pipinya, rahangnya berhenti bergerak mengunyah, ia bungkam.
Hadyan yang pertama kali menyadari Grizella mulai menangis itu akhirnya melontarkan pertanyaan guna memastikan, “Lho? Zel? Lo nangis?” yang akhirnya membuat seluruh pasang mata sontak menatap Grizella.
Grizella lantas tersadar dari lamunannya, ia kemudian mengusap-usap wajahnya dengan tangan kirinya, hendak menghapus air matanya sebelum tiba-tiba saja tangan yang lebih besar itu menahan gerakannya. Nathan, laki-laki itu kini sudah menahan tangan kiri Grizella, menggenggam pergelangannya lembut, membuat gadis itu seketika menahan napas.
“Jangan digosok, Jel, tangan kamu ada saosnya, nanti panas,” ujar Nathan yang di detik setelahnya sudah mengambil beberapa lembar tisu yang sengaja ia bawa tadi untuk kemudian ia gunakan untuk membersihkan sisa air mata yang membasahi wajah gadisnya. “Kenapa nangis, hm?”
Pertanyaan dari Nathan justru berhasil membuat butir-butir air mata lainnya kembali turun dari maniknya, membuat laki-laki itu sedikit panik karena Grizella sudah menangis sejadi-jadinya sekarang. Lelaki itu lalu dengan cepat membawa gadisnya ke dalam pelukannya, merengkuhnya hangat dengan usapan pelan di punggungnya. “It’s okay i’m here, aku di sini, nggak ke mana-mana,” ujar Nathan seolah sudah tahu segala kekhawatiran yang Grizella pendam akhir-akhir ini.
Teman-temannya hanya diam memperhatikan, tidak ingin mengusik waktu yang dimiliki keduanya, setidaknya untuk saat ini. Bahkan Hadyan sudah menghentikan petikan gitarnya dan hanya menyisakan suara jangkrik yang entah dari mana datangnya.
“Ekhem,” deham Hadyan setelah hampir beberapa menit hening menyapa mereka. “Sorry, eh nggak apa maksudnya kalo lu berdua masih mau pelukan, cuma ini gue izin lanjut ke kegiatan selanjutnya ga pa-pa ya?” ujarnya lagi.
“Lanjut aja, Yan,” jawab Nathan.
“Oke... jadi gue udah nyiapin undian,” tukas Hadyan sambil mengeluarkan plastik berisi beberapa gulungan kertas di dalamnya.
“Doorprize kulkas ya?” celetuk Aura.
Hadyan menatap datar, “Ya kalo hadiahnya begituan sih gue udah mendadak miskin.”
“Kan udah miskin, mau semiskin apa lagi?” Rhayyan ikut menimpali.
“Lu pada serius dulu napa anjir!” Hadyan mulai kehilangan kesabaran, sedangkan Juan yang duduk di sampingnya hanya tertawa sambil meraih gitar yang sedari tadi berada di pangkuan Hadyan.
“Permainan kali ini judulnya ‘Api Unggun Kejujuran’. Nah jadi satu orang ambil satu kertas acak, nanti kalian bikin pertanyaan apa aja terserah buat orang yang namanya tertulis di kertas kalian, oke?” lanjut Hadyan menjelaskan permainan yang dibuat sendiri olehnya, katanya demi mempererat persahabatan meski sebenarnya niat awal dia adalah jika beruntung maka ia akan menawari Keisha untuk jadi pacarnya saja. Semuanya kemudian mengangguk setuju, termasuk Grizella yang baru saja menyudahi tangisnya.
“Oke, ini gue ambil satu kertas terus oper-oper ya.” Mengikuti arahan Hadyan, kini semua orang mulai mengoper plastik berisi gulungan-gulungan kertas tersebut, mengambil satu, dan kembali mengoper.
“Sekarang, buka kertasnya! Terus mulai dari gue, satu-satu nanti kasih pertanyaan ya.” Ucapan Hadyan kembali dibalas anggukan oleh teman-temannya. Laki-laki itu lantas membuka gulungan kertas yang ada di tangannya, “gue...” senyum Hadyan sempat pudar beberapa detik sebelum akhirnya ia melanjutkan, “mau nanya ke Juan.”
Juan yang mengetahui sumber kekecewaan Hadyan adalah karena bukan nama Keisha yang tertulis di kertas laki-laki itu kini hanya melepas tawanya ke udara, “Mau tanya apaan?” ujarnya di sela tawa.
“Aduh gue nggak nyiapin pertanyaan buat lo... ini aja deh, lo masih sayang nggak sama mantan lo yang katanya selingkuh itu? Soalnya gue liat-liat lu nggak juga mau mulai pacaran lagi.” Pertanyaan pertama sudah berhasil Hadyan lontarkan, kini hanya disambut oleh bungkaman Juan, laki-laki yang ditanya itu justru menundukkan wajahnya, menyembunyikan senyum getirnya.
“Masih,” ujar Juan pelan sebagai jawaban, sedangkan teman-temannya sudah memasang telinga, siap mendengarkan lanjutan jawaban darinya.
“Iya, gue masih sayang, gue nggak bisa bohong. Tapi gue juga nggak mau balik lagi, udah telanjur kecewa, tapi belum bisa kalau tiba-tiba nggak sayang... gimana ya?” jelas Juan lagi.
“Udah mau dua tahun, Ju, namanya bukan tiba-tiba lagi, tapi emang lo nya yang nggak mau ikhlas,” timpal Rhayyan.
Juan tersenyum miring, hatinya membenarkan ucapan Rhayyan, tapi otaknya justru menyayangkan. Iya, kenapa ia tidak bisa ikhlas? Kenapa ia tidak bisa pindah hati? Padahal wanita yang ia selalu ucap namanya di setiap do’a itu sudah menyakitinya sebegitu dalamnya.
“Iya... do’ain biar gue bisa cepet ikhlas ya?” balas Juan.
“Semangat, Ju!” teriak Aura yang pertama kali mengangkat tangan kanannya mengepal di udara guna memberi dukungan untuk temannya itu dan diikuti oleh teman-temannya yang lain.
“Semangat Juan, lo berhak dapet yang lebih baik!” “Semangat Ju!” “Juan lo kerenn!” “Semangat bro.”
Senyum Juan kini sudah kembali terukir, “Thanks.”
“Oke, sekarang gantian Juan mau nanya ke siapa?” Hadyan kembali menjadi pembawa acara dadakan.
Juan melirik kertasnya, “Aura.”
Gadis yang namanya dipanggil itu sekarang sudah menegakkan duduknya, “Ya!” teriaknya bersemangat.
Juan terkekeh pelan sebelum melontarkan pertanyaannya, “Gue mau nanya, kenapa chat gue kemaren nggak dibales?” tanya Juan dan dihadiahi sorakan-sorakan oleh teman-temannya.
“Parahh Auraa.” “Kenapa tuh, Ra?” “Nge-chat apaan emang, Ra?”
Aura terlihat panik, tampak dari tatapannya yang sengaja ia alihkan dari manik Juan, pun kini ia mulai menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, “Itu... itu karena chat lo aneh!” jawabnya.
“Apaan? Nggak aneh kok?” “Aneh! Lu ngapain nanya gue suka nonton film apa, hah?” “Ya karena dari semua manusia aneh di sini tuh cuma lo yang hobinya nonton, jadi gue mau minta rekomendasi netflix,” jawab Juan santai.
Aura menunduk malu, “Gue kira lo mau ngajak nonton....”
Hening. Sepertinya semua tampak terkejut oleh jawaban Aura yang tak terduga, namun tiba-tiba Rhayyan bangkit dari duduknya dan meremas rambutnya sendiri, “Kenapa cuma gue yang nggak punya cewekk!!!! KENAPAAAAA?” teriaknya tak terima.
“Salah sendiri, Rhay. Makanya cewek yang di-chat jangan cuma ibu dosen aja, khawatir beneran jadian,” celetuk Hadyan yang langsung mendapat tatapan tajam dari Rhayyan.
“Ya udah nih pertanyaan gue udah dijawab, sekarang next ya, Aura mau nanya ke siapa?” tukas Juan.
“Gue mau nanya ke Rhayyan,” jawab Aura.
“Jangan yang aneh-aneh,” ujar Rhayyan.
Mata Aura kini berbinar, “Gue mau tips belajarnya dong!”
Rhayyan kini melotot, ia terkejut, juga bingung, “Ini lo nanya atau maksa?”
“Maksa!”
Rhayyan menghela napas, “Chat-an aja kita nanti, panjang caranya.”
“Oke.” Aura kini sudah tersenyum bangga seolah telah mendapat kekuatan baru.
“Oh gitu ya cara lo, Rhay? Langsung ngajak chat-an setelah dibilang room chat-nya berdebu.” ledek Hadyan.
“Udah lanjut Rhay biar cepett,” ujar Juan menyela sebelum pasangan serupa Tom & Jerry itu kembali bertengkar.
“Ya udah gue mau nanya ke Nathan. Nath, kenapa lu suka sama Zella? Udah itu aja, makasih.” Rhayyan kini kembali duduk santai, menunggu Nathan menjawab pertanyaan ‘seadanya’ itu.
Nathan tak langsung menjawab, melainkan menatap lebih dulu Grizella yang sekarang sudah menampilkan semburat merah muda di pipinya, “Alasan ya... gue suka Ijel karena... nggak tahu.” Jawaban Nathan membuat penonton tak puas.
“Jawab yang benerrr!” Hadyan memaksa.
Nathan menarik napas, kini menatap Grizella lebih lekat, “Gue nggak tahu alasannya, yang gue tahu adalah gue udah berakhir jatuh cinta nggak tahu sejak kapan. Gue nggak begitu peduli sama alasan awal gue suka sama Grizella, yang penting sekarang gue suka ya gue suka, nggak ada tapi-tapian.” jawab laki-laki itu tanpa mengalihkan pandang dari gadisnya. “gue suka sama Ijel dan semoga selalu Ijel.”
Grizella tersenyum, diam-diam ia merekam jelas kata demi kata yang Nathan ucapkan malam itu untuk suatu hari nanti bisa ia kenang kapan pun.
“Makasih Nathan jawaban Anda bagus sekali, sekarang gantian, lo mau nanya ke siapa Nath?” ujar Hadyan—sang pembawa acara.
“Gue mau nanya ke Ijel.”
Jantung Grizella belum sempat istirahat, namun pertanyaan Nathan akan segera diberikan padanya. Jemarinya mungkin sudah dingin sekarang sebab jantungnya terus berpacu cepat.
“Ijel mau kado apa untuk ulang tahun nanti?”
Grizella lantas menatap Nathan, pertanyaan kekasihnya sedikit di luar dugaannya. “Kado ya... aku mau bunga, boleh?” jawab gadis itu akhirnya.
“Boleh, nanti aku bawain ya?” balas Nathan lagi sambil tangannya mengelus pelan puncak kepala sang gadis, membuat Grizella hanya diam menganggukkan kepala.
“Lanjut ya, gue mau nanya ke Keisha!” Grizella tiba-tiba langsung kembali semangat, mungkin untuk menutupi malunya, “Kei, cukup jawab pake anggukan sama gelengan aja ya... buka hatinya udah berhasil?” lanjutnya.
Alih-alih segera menjawab, Keisha sempat melirik Hadyan ragu. Gadis itu kemudian menggeleng.
“Oke nggak apa, pelan-pelan ya, Kei.” balas Grizella lagi.
“Ih buka hati buat siapa oy?” Hadyan tak sanggup menahan rasa penasarannya.
“Bukan giliran lo, dilarang bertanya,” tukas Keisha. “sekarang giliran gue yang nanya. Buat Hadyan, pertanyaan terbuka. Jawab dengan jujur sejujur-jujurnya, lo beneran suka sama gue atau cuma main-main aja? Jawab tanpa disertai cengiran.” lanjut perempuan itu, sedangkan Hadyan langsung memasang wajah serius.
“Semua orang di sini ya jadi saksinya. Gebukin gue kalo gue nggak serius. Gue beneran suka sama Keisha, nggak main-main atau bohongan.” jawabnya.
“Oke, noted.” Keisha kembali duduk dengan tenang.
“Udah? Gitu doang? Nggak mau ngajak pacaran?” Hadyan rupanya tak puas.
“Itu nanti aja... semoga.”
“Oke gue bakal terus yakinin lo buat mau sama gue!”
“Apa nggak malu terang-terangan gitu?” celetuk Rhayyan yang sudah bergidik ngeri.
Rasanya ide Hadyan untuk mengajak mereka pergi berlibur bersama tak buruk juga. Dengan saling bercerita seperti ini, satu per satu jalinan benang yang tadinya kusut di antara mereka mulai melonggar dan tertata rapi. Setidaknya masing-masing mereka mulai saling memahami dan saling mendukung. Sebenarnya kita tidak harus punya banyak teman, ‘kan? Cukup bersama mereka yang selalu bersedia hadir di saat apa pun seharusnya sudah membuat kita merasa lebih dari cukup.
“Ingatkah saat dulu, ketika kelas satu, kita tak kenal dan tak saling tahu, lanjut Yan!” tiba-tiba saja Aura mulai menyanyikan salah satu lagu HIVI! berjudul “Teman Sejati” yang langsung disusul oleh suara petikan gitar dari Juan.
Hadyan kini ikut bernyanyi, “Kita saling berkenalan, yang cantik juga tampan,” tunjuknya kepada Nathan dan Grizella, “muka teladan sampai muka preman.” dan berlanjut menunjuk bergantian Rhayyan dan dirinya sendiri. “lanjut Nath! Zel!”
“Kadang saling canda tawa, kadang benci besok lupa.” Nathan dan Grizella bernyanyi dengan kompak. “Rhay lanjutt!” ujar Nathan lagi.
“Oh TIDAK indahnya masa kuliah!” teriak Rhayyan sengaja mengubah lirik lagu, sehingga lebih terdengar seperti keluh kesah dibandingkan nyanyian.
Meski tak ada yang abadi Tapi kamu ‘kan selalu di hati Kemana pun dua kaki ini melangkah nanti Ku ingin kau mengerti Bagiku kau teman sejati
Nyanyian ketujuh remaja itu menjadi penutup akan malam yang menyenangkan itu. Burung-burung yang bertengger di pohon kini hanya menatap iri ke arah ketujuhnya yang memancarkan sinar hangat bahagia. Malam ini, semoga bisa terekam dengan baik di memori masing-masing, semoga malam ini bisa terus menghiasi kenangan mereka untuk malam-malam lainnya yang mungkin akan terasa sepi. Di antara mereka ada yang hatinya sudah membuncah perasaan hangat, ada pula yang masih penuh tanda tanya keraguan, di sisi lain ada mereka yang masih takut kehilangan, dan mereka yang sudah diselimuti oleh rasa syukur. Tuhan kasih banyak untuk Nathan, sakit dan bahagia yang sama seimbangnya. Tuhan juga sudah berikan banyak untuk Grizella, seorang laki-laki yang dengan setulus hati mencintainya tanpa pamrih, namun siapa yang tahu jika waktu sudah tak lama lagi?