Awal Jumpa
(Shanine POV)
Siang ini matahari menyengat hebat hingga cahayanya berhasil masuk ke dalam kamar gue melalui jendela, lalu menjatuhkan sinarnya tepat di atas meja belajar gue. Cahaya yang menyilaukan itu sekarang mulai mengganggu konsentrasi gue untuk ngerjain semua tugas-tugas matematika yang sudah cukup bikin kepala gue panas. Tidak ingin menambah alasan kepala ini makin ngebul, akhirnya gue menutup jendela di hadapan gue dengan gorden.
Gue kembali duduk, kembali menatap berlembar-lembar kertas dengan angka-angka di sana yang melihatnya saja sudah membuat gue mual. Tangan gue pun sudah mulai enggan bergerak mengerjakannya. Hembusan napas berat berhasil keluar, sekarang pikiran gue mendadak mengingat kejadian beberapa tahun silam, ketika gue pertama kali ketemu sama cowok manis yang bikin gue penasaran hari itu. Namanya Aksara.
Hari itu adalah hari pertama gue resmi jadi anak SMP. Setelah melalui masa-masa SD gue yang nggak begitu menarik, akhirnya gue bisa meninggalkan sekolah itu dan naik ke jenjang yang berikutnya. Ada rasa bangga yang gue rasain karena berhasil masuk ke SMP yang lumayan terkenal di kota gue pada masanya. Gue berjalan lurus memasuki gerbang sekolah di mana sudah banyak teman-teman baru di sana. Oh iya, alasan lain gue seneng banget berhasil masuk ke sekolah ini adalah karena seragamnya bagus! Gue selalu ingin pergi ke sekolah dengan memakai pita dan kaus kaki pendek yang waktu SD gue harus setiap hari pakai kaus kaki panjang. Ya, peraturan.
Waktu itu gue bingung mau ke mana, nggak ada orang yang bisa ditanyain. Sedari tadi gue sudah coba tanya sana sini tapi gue cuma selalu dapat balasan “Nanti dulu ya, Dek, tunggu pengumuman aja.” Kata seorang cowok berambut gelap yang gue tebak adalah panitia yang bertugas untuk kegiatan masa orientasi siswa ini karena ada pin OSIS yang menempel di dada kirinya.
Nggak lama dari gue duduk di salah satu kursi di lobby, pengumuman terdengar dari lapangan utama, “Kepada seluruh siswa-siswi baru tolong segera ke lapangan untuk upacara, terima kasih.” Ujar salah satu panitia itu dengan mikrofon di tangannya. Dengan cepat gue langsung beranjak dari posisi gue sebelumnya dan segera berjalan cepat ke arah lapangan.
Begitu gue sampai di lapangan, gue langsung memosisikan diri untuk baris di bagian belakang, sengaja, agar sinar matahari tak begitu menyengat jatuh di atas kepala gue pagi itu. Mata gue sibuk melihat-lihat orang-orang asing yang baris di dekat gue. Nggak ada yang gue kenal dan gue juga masih enggan mengajak bicara lebih dulu, hingga detik berikutnya mata gue berhasil menangkap sosok pria yang menurut gue, emm, lumayan, ganteng. Pria berambut hitam itu baris cukup jauh di depan, tapi dengan jelas masih bisa gue lihat wajahnya karena dia cukup tinggi. Warna kulitnya nggak begitu gelap juga nggak begitu cerah, pokoknya cukup. Cukup bikin gue mau jerit maksudnya.
Sepanjang upacara gue gagal fokus dan nggak dengerin pembina ngomong apa aja tadi. Fokus gue masih sibuk ngeliatin cowok itu, cowok yang dari belakang terlihat sangat menarik. Dia tidak bicara, pun tidak menoleh atau mengalihkan fokusnya pada lingkungan sekitarnya. Dia hanya menatap lurus ke arah pria paruh baya yang bicara di depan. Anak baik ya, pikir gue. Dan kalian harus tau, gue nggak tahu kebaikan apa yang gue lakuin selama hidup gue karena tiba-tiba aja gue berhasil satu kelas sama cowok yang tadi merebut fokus gue di lapangan! Tapi sedihnya gue nggak bisa duduk di samping dia karena tempat duduknya sudah ditentukan. Tapi nggak pa-pa, sekelas aja udah bagus buat gue.
Gue masih menaruh perhatian pada pria itu sejak awal masuk ke kelas. Gue menaruh kepala di atas tumpuan tangan dan melihatnya dengan senyum semringah yang mungkin aneh kalo dilihat sama orang-orang, tapi ya gimana, gue gagal menahannya. Hingga sebuah suara tiba-tiba mengejutkan gue. “Barisan dekat jendela boleh pindah ke barisan kanan ya semuanya, biar nggak panas, itu mataharinya lagi terik banget.” Kata Kak Gilang, panitia yang ditugaskan untuk jadi penanggung jawab kelas gue selama masa orientasi siswa baru berlangsung.
Karena gue duduk di barisan dekat jendela, jadi gue sontak menoleh ke barisan kanan yang tadi dimaksud sama Kak Gilang. Iya, barisan dimana cowok cakep itu duduk.
Gue langsung antusias mengangkat tangan, “Kak, mau tanya, ini duduknya boleh bebas aja nanti?” Tanya gue yang nggak tahu dapat keberanian dari mana waktu itu.
Kak Gilang hanya mengangguk, kemudian menjawab, “Boleh, terserah aja mau duduk di mana. Barisannya juga baru ada tiga orang itu kok, masih banyak bangku kosong.” Ujarnya yang berhasil bikin gue semangat banget.
Gue dengan cepat langsung berdiri, membawa tas gue, dan berjalan cepat untuk dapat duduk di bangku kosong tepat di samping pria manis itu sebelum ada yang mendahului. Begitu gue berhasil sampai tepat di sampingnya, dia langsung menoleh.
“S-Sori, bangkunya kosong kan? Gue boleh duduk di situ nggak?” Tanya gue dengan suara yang agak gemetar.
Dia hanya menoleh dengan tatapan datar, “Ya,” balasnya singkat.
“Makasih!” Gue kemudian langsung duduk tepat di sisi kanannya, membiarkan dia tetap duduk di dekat tembok.
Setelah itu kita cuma diam. Dia nggak terlihat tertarik buat ngobrol sama gue dan gue juga masih belum menemukan topik yang tepat buat ngobrol sama dia. Kak Gilang masih sibuk menjelaskan berbagai peraturan yang harus ditaati oleh siswa-siswi baru selama masa orientasi berlangsung. Gue dengerin sih apa-apa aja yang dia bilang, tapi lagi-lagi ujung mata gue rasanya selalu menoleh ke cowok di samping gue. Dia mengeluarkan buku tulis dari tasnya, mungkin berniat mencatat beberapa peraturan yang dirasa penting. Di halaman depan buku tulis miliknya itu tertulis sebuah nama yang dapat dipastikan itu adalah nama dia.
Aksara Juni A. (Kelas 7-A)
Gue cuma membentuk mulut gue menyerupai huruf O, akhirnya merasa senang bisa mengetahui namanya. Nama yang saat itu benar-benar dapat dibaca dengan sangat indah. Gue penasaran orang tuanya dapat ide dari mana bisa kasih nama sekeren itu untuk anaknya.
“A di belakangnya apa?” Tanya gue tiba-tiba.
Dia sempat kaget, lalu menoleh, masih menatap gue datar. Kayaknya dia mikir gue cewek aneh tiba-tiba nyamperin, tiba-tiba nanya.
“Apanya?” Jawab dia pelan.
“Itu, Aksara Juni A., nah A di belakangnya itu apa?” Gue mengulang pertanyaan, kali ini lebih jelas.
“Adhinatha.”
Mata gue berbinar mendengar jawabannya. Namanya beneran bagus dari huruf awal hingga akhir!
“Oh, Oke. Nama lo bagus.” Balas gue singkat.
Sembari masih sibuk menulis, dia hanya menjawab, “Thanks.” Tapi berhasil bikin gue semakin terpana karena suaranya bagus banget! Kalem dan menyejukkan hati.
Gue yang mulai senyum-senyum nggak jelas akhirnya memutuskan untuk memperhatikan Kak Gilang aja di depan, takut kalau Aksara itu makin mengira gue cewek aneh.
“Oke, siapa yang mau jadi ketua kelas?” Tanya Kak Gilang kepada semua anak yang ada di kelas itu.
Cukup lama tidak ada respons, akhirnya Kak Gilang memutuskan untuk melakukan undian acak. Jujur gue nggak suka sistem undian acak karena selalu bikin gue gugup. Bukannya nggak mau jadi ketua kelas, tapi gue takut merasa nggak bisa pegang tanggung jawab dan takut nggak bisa menyatukan semangat teman-teman kelas kalau guenya aja nggak jago ngajak ngobrol orang.
“Oke, ini udah gue ambil satu kertas secara acak ya. Yang namanya tertulis di sini boleh angkat tangan.” Kak Gilang kembali bersuara.
Dengan perasaan gelisah, gue sibuk merapal doa agar nama gue nggak tertulis di sana. Dan ya, terkabul. Gue sempat bernapas lega, hingga...
“Aksara Juni. Siapa yang namanya Aksara?” Sambung Kak Gilang yang berhasil bikin gue membelalakkan mata dan sontak menoleh ke kiri.
Pria bernama Aksara itu sudah mengangkat tangannya tanpa beban apapun, masih dengan tatapannya yang datar, tampak tidak tertarik tapi juga tidak terlihat terpaksa.
“Oke, Aksara kamu bersedia jadi ketua kelas?” Tanya Kak Gilang memastikan.
“Siap Kak!” Jawabnya lantang yang sempat bikin gue terkejut. Tadinya gue pikir mungkin suaranya benar-benar kalem, ternyata nggak, dia punya jiwa kepemimpinan juga rupanya.
“Oke Aksara yang jadi ketua kelas ya. Sekarang wakilnya, kakak undi lagi.” Ujar Kak Gilang.
Gue yang seolah lupa seluruh doa yang udah gue sebutin tadi agar dapat terhindar dari tugas-tugas kepemimpinan macam itu akhirnya mengangkat tangan seraya berteriak cukup keras, “KAK TUNGGU!”
Sekarang semua mata tertuju ke gue.
“Ya?” Kak Gilang tampak bingung.
“S-saya mau jadi wakilnya boleh nggak Kak?” Gue mengajukan diri.
Kak Gilang tersenyum bangga, “Boleh dong, siapa nama kamu? Biar aku catet.”
“Shanine. Shanine Rembulan Poernama.” Jawab gue tegas.
“Oke Shanine, thank you ya udah ngajuin diri,” balas Kak Gilang.
Gue kembali bersandar pada sandaran kursi. Menarik napas sembari mengelus dada. Sedikit menyesal, tapi ya nasi sudah menjadi bubur, nikmatin aja, siapa tahu bisa deket sama Aksara, pikir gue.
“Nama lo juga.” Cowok di samping gue tiba-tiba bicara. “Hah? Lo ngomong sama gue?” Tanya gue memastikan. “Ya.” “Kenapa? Maaf gue nggak denger tadi,” “Nama lo.” “Kenapa?” “Bagus.”
Gue diam. Ingin menjerit sekeras-kerasnya sekarang.
“Jun!” Gue berlari cukup jauh membelah koridor yang ramai, berniat mengejar Aksara yang sudah berada cukup jauh berjalan di depan gue.
Ini urusan data anak kelas yang harus diserahkan sesegera mungkin ke Kak Gilang, tapi gue harus lebih dulu tanya tempat tanggal lahir si Ketua Kelas ini karena cuma dia yang belum gue data. Waktu istirahat gue saat itu terpakai habis hanya untuk mendata nama, tempat tanggal lahir, dan asal sekolah seluruh teman satu kelas yang menjadi tugas gue, sedangkan Aksara mendapat tugas lain yang menurut gue ya jauh lebih berat. Bikin yel-yel.
Gue masih berusaha mengejar Aksara yang tak kunjung menoleh, padahal gue sudah memanggil namanya cukup keras.
“Jun! Juni tunggu!” Gue mulai lelah berteriak, akhirnya dapat meraih lengan pria itu.
Aksara menoleh, memasang wajah penuh tanda tanya.
“Aduh, lo kok gue panggil nggak nyaut sih?” Ujar gue, masih mencoba menghirup oksigen lebih banyak.
“Lo manggil gue tadi?” Aksara tampak bingung.
“Ya, iya?”
“Nggak ada yang manggil tadi.”
“Hah? Gue jelas-jelas manggil, Jun! Jun! Gitu. Lo nggak denger?”
Alisnya bertautan sekarang, “Lo manggil gue apa tadi?”
“Juni.”
“Panggilan gue Aksa.”
Gue terdiam. Sedikit malu.
“Oh, iya. Iya maaf Jun. Eh Aksa.” Balas gue gugup.
“Ya. Kenapa manggil?”
“Itu, eh ini. Apa namanya. Itu...” Gue lupa tujuan gue manggil dia apa.
“Hm?”
“OH inget. Ini tolong isi nama, asal sekolah, sama tempat tanggal lahir,” ucap gue sembari menyerahkan secarik kertas dan pulpen yang langsung diterima olehnya.
Aksa segera menuliskan hal-hal yang gue minta tadi dengan cepat, “Nih,” ujarnya ketika merasa sudah lengkap seluruhnya.
Gue melihat kertas tersebut, kini menaruh perhatian pada tanggal lahir pria di depan gue.
“Lo lahir 6 Juni?” Tanya gue takjub. “Iya, kenapa?” “Gue juga!” Gue menjawab dengan antusias, kini sudah senyum semringah.
Dia tertawa. Senyum yang manis. Sangat manis.
“Oke nanti gue ucapin lo ultah.” Ucap Aksa dengan senyum yang masih terukir pada wajah manisnya.
Gue deg-degan sekarang, “Hum, oke, gue juga.” Jawab gue pelan.
Hari itu, gue tahu gue jatuh cinta sama pesona yang Aksa berikan sejak awal gue lihat dia di lapangan. Dan mulai hari itu juga gue selalu ajak ngobrol dia sesering yang gue bisa, nggak peduli dia risih atau nggak, pokoknya setidaknya gue bisa jadi temen ngobrol dia, ya paling-paling sahabatnya. Hingga semesta benar-benar baik, mengizinkan gue selalu sekelas sama cowok manis bernama Aksara itu.