Back to You – Kembalinya Pelukan Nathan


Tak terasa sudah hampir setengah hari Grizella terlelap di atas kasur empuknya. Usai membersihkan diri sepulangnya dari makam Nathan tadi, dirinya hanya bertukar pesan singkat dengan Ian sambil mendengarkan lagi rekaman-rekaman suara Nathan yang tak pernah membuatnya bosan. Mendengarkan rekaman-rekaman itu hingga kantuk menghampiri, membuat kelopak mata Grizella terasa lebih berat, terlelap.

Pukul enam sore menjelang malam. Sang surya sudah tumbang ke kaki Barat, meninggalkan Grizella yang masih nyenyak dalam mimpi-mimpinya, bahkan kamar gelapnya tak berhasil mengusik tidurnya. Jendela kamarnya masih terbuka, membawa angin malam masuk meniup gorden, sejuk, ditambah aroma petrikor bekas hujan tadi siang masih dapat tercium jelas. Lalu pintu kamar Grizella terdengar sedikit berderit, tanda ada yang membukanya. Langkah kaki terdengar, diiringi embusan angin yang semakin kencang, Grizella mengeratkan selimutnya.

“Ijel … Ijel, bangun yuk?”

Bisikan yang dirindukan.

“Ijel, kamu tadi nggak makan siang, bangun yuk? Kita makan bareng.” Tubuh Grizella digoyangkan perlahan, namun gadis itu tak kunjung membuka mata.

“Ijel … ini aku, bangun yuk, katanya minta peluk?” Wajah itu mendekat pada telinga Grizella, berbisik penuh kasih sayang sambil perlahan tangannya membelai pelan rambut panjang Grizella.

Grizella bergerak perlahan, dahinya berkerut, tangannya bergerak menggosok matanya yang masih terasa berat sebab tadi ia sempat menangis sebentar. Gadis itu menoleh ke sisi kanannya, lantas membelalak hebat. Tubuhnya gemetar, bibirnya terkatup rapat, sempat terpikir olehnya bahwa ini masih mimpinya. Seseorang di sana, di sampingnya, seseorang yang membangunkannya adalah orang yang sejak setahun lalu ia rindukan.

“N-nathan?” Suaranya gemetar, air mata mulai berlinangan. “I-ini aku nggak mimpi, kan?”

Nathan bergerak mundur guna memberi waktu bagi Grizella untuk mencerna semuanya. Ia berdiri tegak, tersenyum. “Ini aku, Ijel. Anggep aja bonus dari Tuhan karena setiap hari kamu minta ketemu aku terus,” ujarnya tenang.

Grizella menatap lurus, lampu kamarnya masih belum dinyalakan, boleh jadi ini benar halusinasinya saja. Lalu tangan kanannya perlahan menjulur ke nakas, menekan tombol lampu, menyalakannya. Kamar terang benderang. Nathan masih di sana, berdiri sambil tersenyum. Kaus putih berlengan panjang dikenakannya, lengkap dengan celana panjang berwarna serupa, tampak nyaman. Rambutnya terlihat lebih panjang dari saat satu tahun lalu, dan Nathan-nya jelas lebih tampan dari biasanya. Di pergelangan tangannya melingkar sebuah gelang elastis dengan kait logam yang seingat Grizella tadi itu diberikan pada kelinci kecil miliknya, atau jangan-jangan…

Grizella menggeleng, masih enggan percaya. “N-nggak mungkin,” bisiknya.

Nathan berjalan mendekat. “Nggak apa-apa, Ijel, ini aku, sini pegang kalo nggak percaya,” tangannya ia julurkan. Grizella diam, hanya menatap tangan Nathan, lalu kembali menaruh perhatian pada wajah laki-laki di depannya. Itu Nathan. Benar-benar Nathan. Suaranya masih sama. Itu Nathan, Nathan kembali.

Air mata Grizella turun tanpa ia sadari. Ia sudah sangat rindu lebih dari apa pun. Berkali-kali berterima kasih pada Tuhan sebab akhirnya ia bisa bertemu dengan Nathan-nya lagi. Terserah saja jika ini hanya mimpi, ia tak peduli, ia hanya ingin menikmatinya sekarang. Hari ulang tahunnya masih tersisa hingga beberapa jam lagi, dan ia ingin detik-detik terakhir hari spesialnya ini dihabiskan dengan Nathan.

“Nathan … hiks … kamu perginya lama banget….” Tubuh Grizella sudah jatuh ke dalam pelukan yang sudah dirindukannya sejak lama. Tangisannya semakin deras seiring tangan Nathan bergerak pelan mengelus punggung rapuh gadis yang sudah banyak memaksakan diri untuk jadi kuat.

“Aku di sini, Ijel … nggak akan jauh-jauh dari kamu.” Kecupan di kening diberikan oleh Nathan. “Ya udah yuk, makan dulu, kamu belum makan tadi siang, kan?”

Grizella tersenyum, menghapus air matanya, lantas berdiri berjalan mengekor Nathan dengan tangan yang masih saling menggenggam. Nathan-nya kembali, kesayangannya Ijel kembali.


Setengah jam, dua piring pasta itu tandas, menyisakan bekas saus tomat di atasnya. Grizella duduk tepat di samping Nathan, balkon kamar apartemennya dibuka lebar-lebar, lalu mereka duduk di sana menikmati embusan angin malam. Bulan purnama muncul dari balik tumpukan awan, tampak besar, menyala indah di antara puluhan bintang kecil berkelap-kelip. Nathan menoleh, menatap gadisnya yang masih asyik menghitung jumlah bintang di atas sana.

“Ijel,” panggil Nathan pelan.

Grizella menoleh, senyumnya tidak luntur sejak tadi. Jika diminta mendeskripsikan apa itu bahagia maka inilah bahagianya, duduk di samping Nathan, mendengarnya bercerita. “Apa, Nath?”

Tangan Nathan terangkat, bergerak menyelipkan rambut Grizella di belakang telinga gadis itu. “Maafin aku, ya? Pergi tanpa pamit kamu.”

Bibir Grizella terkatup rapat, air matanya kembali berlinangan. Ia menggeleng sambil tangannya bergerak meraih tangan Nathan, menggenggamnya penuh kasih sayang. “Pun, kalo kamu pamit ke aku, nggak akan ada yang berubah, Nath. Kamu bakal tetep pergi dan aku bakal tetep kehilangan.”

Sejuk embusan angin malam memberikan mereka jeda untuk saling memahami kesepian yang dirasakan. Samar-samar suara klakson mobil terdengar, jalanan di bawah sana macet total, malam-malam sibuk, manusia pergi keluar untuk bersenang-senang.

Kedua manik remaja itu bertemu, saling menatap dalam kerinduan. Sudah berapa lama ya sejak mereka tak saling memandang seperti ini? Pukul sebelas malam, satu jam lagi ulang tahun Grizella akan berakhir. Tak apa, ia sudah dapat kado terindah hari ini.

“Grizella, dengerin aku baik-baik ya?” Nathan bertutur lembut.

Grizella mengangguk, sesekali menghapus air mata yang turun membasahi pipinya.

“Aku seneng banget bisa kenal sama kamu, Ijel. Aku sayaaaaaanggg banget sama kamu, percaya, kan?” Nathan menjeda kalimatnya, sejenak menarik napas. “Tapi, Ijel … aku nggak bisa terus sama kamu, maafin aku nggak bisa bertahan lebih lama hari itu untuk sekedar kasih kamu bunga.”

“Nath ….” Tak tahan lagi, Grizella paling tidak kuat ketika Nathan bicara begini padanya.

Nathan tersenyum lagi, namun pendaran sendu dari matanya tak bisa berbohong bahwa ia amat sedih meninggalkan Grizella. “Ada laki-laki baik, Zel. Selain aku. Ada satu, aku kenal banget sama dia, dan aku yakin kamu udah kenal sama dia juga. Aku nggak maksa kamu, tapi aku mau kasih tau kamu kalo kita udah sampe di sini aja, Ijel, dan aku harap kamu bisa buka hati kamu lagi untuk dia yang mungkin udah nungguin kamu?”

Siapa pun laki-laki yang Nathan maksud, Grizella masih tak ingin. Baginya hatinya masih untuk Nathan sampai detik ini. Entah besok lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan hatinya mau pergi berlabuh ke mana, tapi yang Grizella yakini hari ini hatinya masih memilih Nathan sebagai rumah singgahnya. Ia masih tak ingin yang lain, tepatnya ia tak bisa memaksa hatinya mencabut rasa sayangnya terhadap Nathan sampai ke akar-akarnya dalam sekejap.

“Ijel cuma sayang Nathan.” Perempuan itu bertutur lembut di sela isakannya. Air matanya terjun bebas.

Tangan Nathan terangkat, menghapus air mata Grizella. “Iya aku tahu, makasih ya, Ijel. Nathan juga cuma sayang sama Ijel, nggak ada yang lain.” Gemerincing kait logam yang melingkar di pergelangan tangan Nathan berbunyi, membuat Grizella teringat kelincinya benar-benar tak ada di apartemennya malam ini.

“Nath, kelinci yang tadi pagi berubah jadi kamu atau kamu yang nyamar jadi kelinci?” Perempuan itu bertanya polos.

Nathan terkekeh, gadisnya itu manis sekali. “Aku nyamar jadi kelinci, seharian dikasih wortel doang.”

Lantas tawa keduanya menguar. Senyum Grizella telah kembali. Setelahnya Nathan merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah spidol hitam dari sana.

“Pinjem tangannya ya, Ijel, aku mau nulis sesuatu.” Nathan meraih tangan kiri Grizella, menuliskan sesuatu di sana entah apa. “Pokoknya inget ya, Ijel. Nanti, pas aku pulang, pas aku pergi lagi, kamu harus senyum.” Nathan masih fokus pada kegiatannya menciptakan karya seni di telapak tangan gadisnya.

Pukul sebelas lebih lima puluh menit. Sebentar lagi tengah malam dan hari akan berganti. Nathan melirik jam yang menghiasi dinding di atas televisi. Waktunya tak banyak. Satu detik saja terlewat dari jam dua belas maka ia harus pergi lagi. Pergi selama-lamanya, kembali meninggalkan Grizella kesayangannya.

Nathan selesai dengan karya seninya. Spidol ditutup, kembali dimasukkan ke dalam saku. Pukul sebelas lebih lima puluh lima menit. “Ijel, lima menit lagi jam dua belas. Aku nggak bisa lama-lama,” ujarnya sendu.

Grizella menatap lurus pada kekasihnya, merekam dengan jelas setiap garis wajah laki-laki di depannya. Ia akan segera kembali merindukannya. Tak apa, ini sudah lebih dari cukup. Malam ini sudah lebih dari cukup.

“Nggak apa-apa, Nath. Istirahat nanti yang nyenyak ya? Nggak sakit lagi, nggak perlu ke rumah sakit lagi, nggak perlu khawatir lagi.” Grizella sudah ikhlas.

Pukul sebelas lebih lima puluh tujuh menit. Jarum jam terus bergerak, semakin mengikis waktu. Tubuh Nathan sudah mulai pudar bayangannya, mungkin sebentar lagi akan hilang. Grizella mengulas senyum, ia tak boleh menangis lagi, setidaknya ia harus mengantar Nathan pergi dengan senyuman, kan?

Nathan memajukan tubuhnya, menarik Grizella lebih dekat padanya. Pelukan terakhir sebelum satu menit lagi pukul dua belas tepat. Kehangatan itu, Grizella akan mengingatnya seumur hidupnya. Jarum jam rasanya terdengar lebih kencang, setiap detiknya semakin membuat tubuh Nathan memudar, perlahan berubah jadi asap putih. Nathan melepas pelukannya, mengecup kening gadisnya untuk yang terakhir kali sebelum berpisah.

“Makasih udah jadi Ijel-nya Nathan di kehidupan yang ini, dan semoga di kehidupan lain juga. Bubbyee Ijel, jangan kangen, kita bisa ketemu lagi kapanpun kamu inget aku. Kapanpun kamu menutup mata dan inget aku, aku di sana. “Happy birthday, Grizella. Aku pamit, ya?”

Lalu tubuh Nathan menguap ke udara, pergi bersama dengan rindu-rindu. Meninggalkan Grizella yang duduk sendiri di balkon apartemennya. Ia sudah janji pada Nathan bahwa ia tak akan menangis lagi, harus senyum. Namun, maaf Nathan, Grizella ingin menangis lagi malam ini. Pergi ditinggal Nathan tak akan pernah membuatnya terbiasa.

Dan gadis itu duduk di sana seorang diri dengan seulas senyum, juga dengan air mata yang meluncur dari pelupuknya. Seketika pandangannya memudar, lalu menggelap.

“Selamat tinggal, Nathan, tidur yang nyenyak. Ijel sayang Nathan,” bisiknya pelan.


Alarm ponsel Grizella berbunyi nyaring. Gadis itu perlahan membuka matanya yang terasa berat. Cahaya matahari mulai masuk melalui kisi jendela. Pukul berapa ini? Kepalanya berat sekali rasanya. Bantalnya basah kuyup, sepertinya ia menangis deras di dalam tidurnya semalam. Grizella memasang posisi duduk dari rebahnya tadi, tangannya lantas meraih ponselnya di nakas, tanggal 16 Juli, tepat hari ulang tahunnya, jam tujuh pagi. Grizella tersenyum, pertemuannya dengan Nathan ternyata hanya bunga tidurnya. Kendati demikian, ia sudah bahagia, itu artinya Nathan menjadi orang pertama yang memberikan ucapan selamat ulang tahun untuknya.

Iya, seharusnya itu hanya mimpi. Seharusnya itu hanya mimpi sebab benar saja teman-temannya baru mengiriminya pesan ucapan ulang tahun sekarang. Seharusnya hanya mimpi, namun kenapa gelang elastis dengan kait logam yang telah ditulis nama “Nathan” itu ada di nakasnya?

Alis Grizella terangkat sebelah. Tangannya perlahan meraih gelang itu. Benar, ia ingat tulisannya di mimpi persis seperti yang ada di gelang itu. Lantas perhatiannya teralih pada telapak tangan kirinya, terkejut. Di sana tertulis sebuah kalimat disertai gambar kelinci kecil yang manis.

“Kamu tempat pulangku. -Nathan”

Seharusnya itu hanya mimpi. Namun, mungkin saja Nathan-nya benar-benar mampir tadi malam. Memeluknya, mengecup keningnya. Sesuai janji, Grizella tak akan menangis lagi, ia hanya akan tersenyum mulai detik ini. Tersenyum ketika mengingat apa pun tentang Nathan.

Lalu lamunannya dibuyarkan oleh dering ponselnya. Seseorang menelepon.

Happy birthday, Ijel!” Seorang pria berseru ceria dari seberang telepon.

Grizella terkekeh. “Udah dibilang jangan panggil Ijel! Kak Ian di mana? Jadi ke Nathan nanti?”

Itu adalah laki-laki yang mungkin sempat disebutkan Nathan di mimpinya. Ada laki-laki baik yang menunggunya, boleh jadi itu Ian. Laki-laki yang akan menjaga Grizella sebaik Nathan mencintainya.

Iya, itu laki-laki yang barangkali besok lusa akan menemani Grizella di sisa hidupnya. Seseorang yang akan selalu bersedia mengenalkan Nathan lagi, seseorang yang bersedia menyingkirkan potongan timun di piringnya, seseorang yang akan membawakan martabak keju dan berdiri di depan pintu apartemennya dengan senyum manis.

Grizella akan belajar mencintai lagi. Karena barangkali Ian memang laki-laki yang pantas untuk dikasihi.