Birthday Party
Nathan tidak berkedip. Laki-laki dengan balutan kemeja putih dan dasi berwarna merah gelap itu terduduk kaku di kursi kemudi mobilnya. Kepalanya ia tolehkan ke kiri, menatap lurus seorang perempuan yang sedikit berlari menghampiri mobilnya. Tak lama kemudian pintu mobil bagian depan tepat di sampingnya duduk itu dibuka. Menampilkan sosok gadis manis dengan gaun selutut berwarna senada dasi yang dikenakan Nathan. Seperti yang sudah ia duga, gaun itu terlihat sangat cantik melekat di tubuh ramping Grizella.
“Aduh maaf, Nath, lama ya nunggunya?” Napas gadis itu masih terengah-engah, tampaknya ia sudah berlari cukup jauh. “Nath?” Grizella kembali memanggil kekasihnya sebab tak juga mendapat balasan dari laki-laki itu, melainkan ia hanya ditatap sejak tadi.
Nathan lalu tersadar dari lamunannya. Rambut depannya ia sibak ke belakang sebelum ia usap wajahnya agak kasar. “Hai?” Senyum canggung itu dihadirkan, membuat Grizella langsung tertawa gemas.
“Kamu kenapa sih, Nath?”
Nathan menggeleng pelan. “Capek, ya? Kan tadi aku bilang nggak usah lari, Ijel … aku mau jemput ke atas juga kamu nggak bolehin, padahal aku bisa parkir kok itu masih banyak tempat kosong,” protes Nathan sebab ia tadi menawarkan diri untuk menjemput Grizella di depan pintu apartemennya, alih-alih hanya menunggu di depan lobby, di dalam mobilnya.
“Ih biar cepet, katanya mau ambil kue, ayo jalan,” ujar Grizella sambil dirinya merapikan bagian depan rambutnya yang sempat berantakan tertiup angin saat berlari tadi.
“Baik, nyonya, saya jalan sekarang,” gurau Nathan dan langsung melajukan mobilnya meninggalkan gedung apartemen Grizella.
Jalanan sore menjelang malam itu cukup ramai. Namun, ramainya tak sampai membuat macet kendaraan. Ramai lancar seperti biasanya. Pengeras suara di mobil Nathan sudah dinyalakan sejak lima menit yang lalu, kini mengalunkan lagu “Teman Hidup” oleh Tulus. Grizella yang sejak tadi hanya menatap ke kaca mobil di sisi kirinya akhirnya mulai memberanikan diri untuk menoleh ke arah sebaliknya. Didapati olehnya kekasihnya yang kini masih fokus menyetir. Lalu tiba-tiba saja senyum terukir di wajah gadis itu. Malam ini Nathan tampak lebih rapi dan lebih dewasa dari hari-hari lain. Grizella menebak boleh jadi itu karena kemeja putih dan dasi merah gelap yang dikenakannya ikut berkontribusi.
“Kenapa lihat-lihat?” Kaki Nathan menginjak rem sebab kendaraan di depannya berhenti, lantas ia menoleh pada Grizella yang masih menatapnya lekat-lekat.
Gadis itu juga sempat menyalahkan alunan lagu yang diputar di mobil tersebut sebab mungkin karenanya juga jantungnya kini berdebar dengan tempo yang lebih cepat. Atau karena tadi ia berlari dari kamar ke lobby? Padahal asal tahu saja, sepertinya Grizella perlu diberitahu kalau satu-satunya alasan jantungnya berdebar dan kerumunan kupu-kupu di perutnya mulai naik itu adalah karena Nathan tampak sangat tampan hari ini.
“Jel?” Nathan kembali memfokuskan dirinya ke depan, kembali menginjak pedal gas, melajukan mobilnya.
Grizella menggeleng pelan, lantas ikut menghadap depan. “Nath, aku cocok nggak pake gaun ini?”
Nathan sempat menoleh, menatap sekilas, lalu kembali menghadap ke depan. “Kenapa masih nanya? Jelas cantik, lah,” jawabnya tanpa ragu.
“Beneran nggak?”
“Bener, sayang.”
“Bener, ya?”
“Cantik, Ijel cantik.”
Sesuai niat awal Nathan, yaitu mengambil kue pesanan untuk acara ulang tahun ibunya, kini mobil Nathan sudah berbelok ke sebuah toko kue yang cukup besar. Diparkirkan olehnya mobil miliknya tak jauh dari pintu masuk toko tersebut. Lalu, Nathan turun lebih dulu, disusul oleh Grizella yang keluar dari pintu lainnya.
Bangunan di depan mereka adalah bangunan dua tingkat yang luas. Warna cat pada temboknya gelap serta ditambah sinar lampu berwarna oranye hangat berhasil membuatnya tampak elegan. Di sana juga dapat dilihat meja-meja dan kursi-kursi yang dibariskan rapi di luar ruangan serta beberapa kerumunan anak muda yang sepertinya juga tengah mengadakan acara ulang tahun.
“Wah, keren banget toko kuenya, pasti mahal, ya?” tebak Grizella sambil mengedarkan pandangnya, kini tangannya sudah lebih dulu digenggam oleh Nathan.
Nathan terkekeh pelan. “Nggak, Bunda pesen gratis di sini,” jawabnya.
Langkah kaki keduanya perlahan menaiki tangga kecil sebelum tangan Nathan yang tak digunakan untuk menggenggam tangan kekasihnya ia gunakan untuk membuka pintu kaca besar itu. “Hah? Gratis? Kok bisa?” Grizella takjub.
“Karena…,” belum selesai Nathan melanjutkan kalimatnya, seorang wanita paruh baya mendekatinya dengan seulas senyum. Berbeda dengan Tante Rumi yang sering memakai dress meski di rumahnya sendiri, wanita ini jelas berkebalikan. Rambutnya dicepol ke atas, tubuhnya ramping dengan balutan kaus putih yang serasi dipadukan dengan celana jeans biru gelap. Tampak santai, tetapi tetap rapi. Alis Grizella lalu terangkat sebelah, bingung. “Siapa wanita ini?” batinnya.
“Nah ini dia yang ditungguin dari sore. Apa kabar, Nak?” Wanita itu terdengar ramah. Disusul oleh Nathan yang langsung menyalami tangan wanita tersebut tanpa melepaskan tangan kirinya dari genggaman Grizella.
“Kabar Nathan baik, Tante. Tante apa kabar?” tanya laki-laki itu balik.
Wanita yang ditanya lantas menjawab, “Baik juga. Kalau yang di sebelah kamu ini siapa? Manis sekali … pacarnya ya?”
Nathan tersenyum malu-malu, begitupun Grizella yang ikut tersenyum kikuk. “Iya, Tante, ini pacar saya, Grizella. Ijel, kenalin ini Tante Irma, temennya Bunda sejak SMA.”
Setelah diberitahu, Grizella langsung membentuk mulutnya menyerupai huruf O, lalu menunduk sopan. “Saya Grizella,” ujarnya memperkenalkan diri.
“Waduh, cantik begini pacarnya, pantes kamu nggak mau saya jodohkan sama Kanna. Anak itu berkebalikan sekali dengan Grizella, tipe kamu yang begini ya, Nak?”
Nathan membalas dengan tawa renyah, sedangkan Grizella sudah memicingkan mata, bertanya-tanya perihal siapa itu Kanna. “Ya, gitu deh, Tan.” Laki-laki itu membalas sekenanya.
“Ya udah sini ambil kue buat mama kamu, maaf ya Tante nggak bisa datang, Tante titip salam aja buat Rumi,” tukas wanita bernama Irma itu sebelum ia memanggil karyawannya yang kini berjalan cepat menghampiri ketiganya dengan sekotak besar kue di tangannya. “Nah, ini, bawa hati-hati, ini saya buat sendiri spesial untuk ulang tahun mama kamu.” Kotak kue itu kini berpindah tangan ke Nathan.
“Terima kasih Tante Irma, nanti salamnya Nathan sampein ke Bunda,” balas Nathan sopan sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.
“Kanna siapa?”
Nathan yang masih fokus menyetir akhirnya menoleh singkat pada gadis di sampingnya. “Hm? Kenapa?”
“Kanna siapa?” ulangnya. Padahal saat berangkat tadi senyum Grizella tidak luntur. Namun, rasanya cepat sekali perubahan mood itu terjadi, terlebih informasi dari Irma perihal perempuan bernama Kanna yang katanya ingin dijodohkan dengan Nathan itu masuk ke gendang telinganya. Menciptakan berbagai macam jenis pertanyaan di dalam kepala kecilnya. Dahi Grizella berkerut, tampak kesal, tetapi entah mengapa di mata Nathan terlihat menggemaskan.
Nathan sempat terkekeh. Ia sudah tahu Grizella pasti akan menanyakan hal tersebut sejak nama Kanna keluar dari bibir Irma. “Kanna itu anaknya Tante Irma, Jel.” Nathan sudah menjawab pertanyaan Grizella dengan benar, tetapi bagi kekasihnya informasi itu jelas tidak cukup.
“Terus dijodohin maksudnya apa?” Grizella mulai menatap tajam ke arah Nathan yang masih terus memfokuskan dirinya ke jalanan di depan.
“Iya, waktu SMA apa ya … itu Tante Irma sama Bunda sempet mau jodohin aku sama Kanna. Tapi aku nggak mau, toh Kanna-nya juga udah punya pacar tau. Cemburu ya?” Masih sempat-sempatnya Nathan menggoda kekasihnya yang sudah merengut sebal.
“Kalo aku jawab iya, boleh?” Grizella masih memanyunkan bibirnya. “Boleh.” “Terus?” “Apa?”
Grizella berdeham sebelum lantas menjawab, “Kamu, suka? Eh, maksudnya … pernah suka? Sama Kanna?”
Nathan menggeleng pelan. “Pertanyaan kamu lucu, Jel. Engga, aku nggak pernah suka sama Kanna. Ketemu aja cuma sekali pas aku sama Bunda ke toko kue Tante Irma. Tapi Kanna juga langsung pergi katanya mau pacaran,” jawab Nathan jujur seperti tengah diinterogasi polisi. “Udah, nggak usah khawatir, Nathan cuma punya Ijel, nggak ada yang lain.” Tangan besar itu lalu didaratkan di atas kepala gadisnya.
Mobil Nathan kini berhenti tepat di depan rumahnya. Di sana sudah berjajar mobil-mobil yang terparkir rapi, sudah pasti para tamu undangan mamanya sudah tiba. Pun dari kejauhan Nathan dapat melihat mobil Juan dan Keisha terparkir di sana bersama mobil-mobil lainnya.
“Kamu turun duluan aja, Ijel, aku mau parkir. Sekalian aku nitip kuenya buat dikasih ke Bunda, ya,” pesan Nathan pada gadisnya.
“Oke, aku turun ya.” Grizella lantas membuka pintu mobil itu dan langsung turun dengan sekotak kue di tangan kanannya.
Sepeninggalan mobil Nathan untuk parkir, Grizella menarik napas dalam sambil menatap rumah kekasihnya. Ini bukan kali pertama gadis itu pergi ke sana, bukan juga kali kedua. Biasanya juga ia tidak pernah merasa segugup ini ketika pergi ke rumah Nathan. Namun, sepertinya malam ini berbeda. Apa mungkin karena di sana sedang banyak orang? Atau bisa jadi karena pakaiannya hari ini terasa lebih mencolok dari hari-hari biasanya. Setelah memantapkan hatinya, gadis itu lalu berjalan pelan menuju pintu depan rumah Nathan yang sudah dipenuhi banyak orang.
Ruang tengah rumah tersebut rupanya sudah diubah sedemikian rupa. Sudah disusun rapi di sana piring-piring dan makanan-makanan lezat. Ada lebih banyak orang seumuran ayah dan ibu Nathan dan tentu saja Grizella tidak mengenal mereka semua. Di tengah kesibukannya mengedarkan pandang mencari Tante Rumi, tiba-tiba saja pundak kanannya ditepuk pelan dan sontak membuat Grizella menoleh cepat. Di sampingnya kini sudah berdiri seorang remaja laki-laki yang tak dikenal.
“Grizella, ‘kan?” Laki-laki itu bertanya dengan wajah datarnya. Ia sepertinya lebih tinggi dari Nathan, suaranya juga lebih rendah dari Nathan, tampak baik, tetapi tampak tegas di saat bersamaan. “Halo? Kamu pacar Nathan, ‘kan?” Pertanyaan kembali keluar dari mulut pria itu sebab Grizella tak juga menjawab.
“Eh? Iya, saya Grizella, pacar Nathan. Kamu siapa, ya?” Grizella menjawab ragu-ragu, namun senyumnya tak pudar. Tepatnya ia mencoba untuk lebih ramah walau kebingungan.
“Gue Atharyan, panggil aja Bang Ian, sepupu Nathan. Salam kenal ya.” Kali ini laki-laki itu mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. Mungkin tampak samar, tapi Grizella berhasil menemukan seulas senyum di sana.
Menyambut uluran tangan Ian, Grizella juga membalas, “Salam kenal, Bang Ian.” disertai senyuman. Di dalam kepalanya, ia masih bertanya-tanya bagaimana laki-laki itu mengetahui namanya? Apa Nathan sering bercerita tentangnya pada orang ini?
“Itu kue Tante Rumi, ya? Sini gue bawa ke dapur deh, Nathan gimana sih pacarnya ditinggal sendiri.” Kotak kue itu kini sudah diambil alih, sedangkan Grizella hanya tertawa pelan. “Gue duluan, ya. Coba cari Juan tadi kayaknya di sana sama temen-temen yang lain,” tambahnya sambil menunjuk sofa yang tak jauh dari tempat keduanya berdiri sekarang. Dia juga kenal Juan rupanya.
“Iya, makasih banyak Bang Ian.” Grizella mengangguk sopan.
Ternyata benar saja, di sana teman-temannya tengah berkumpul. Juan, Rhayyan, Aura, dan Keisha kini duduk di sofa sambil berbincang satu sama lain, sedangkan Hadyan memilih untuk berdiri sebab tak ada lagi ruang untuknya duduk.
“Ijel! Itu Ijel!” Aura adalah yang pertama kali menyadari keberadaan Grizella. Setelahnya tatapan dari lima remaja lainnya ikut ditujukan untuk Grizella.
“Halo, kalian udah lama nyampenya?” Grizella kini berdiri tepat di samping Hadyan.
“Udah lumayan lama sih, sekitar setengah jam yang lalu?” Juan menjawab, lantas menenggak segelas sirup merah.
Aura memandang Grizella takjub dari atas sampai bawah. “Zella lo beli gaun di mana? Cantik banget!” pujinya dengan mata berkilauan.
Grizella belum sempat menjawab, tetapi tiba-tiba Nathan sudah berdiri di sampingnya dan berujar, “Gue yang beliin, cantik, ‘kan?” lantas memasang senyum bangga.
“Cantikan Kei.” Hadyan menyela dengan wajah datarnya.
“Cantik semua udahlah, yuk itu mak lo mau tiup lilin, Nath,” tukas Rhayyan sembari menunjuk ke depan, memperlihatkan Rumi yang sudah dikelilingi oleh cukup banyak orang. Di sana kuenya diletakkan di atas meja kecil dengan lilin-lilin tipis yang sudah dinyalakan, tampak indah. Setelahnya, lagu ulang tahun mulai ramai dinyanyikan, membuat ketujuh remaja itu langsung berjalan mendekat pada kerumunan.
Di sana ramai, mungkin juga tidak ada yang menyadari kalau Nathan tampaknya merasa sedikit pusing. Cukup banyak keringat mengalir di dahinya sekarang, kepalanya berdenyut nyeri, tetapi sebisa mungkin ia tahan. Grizella tidak boleh menyadarinya, pun ibunya. Ia tidak ingin merusak acara ini. Ia tak apa-apa, pikirnya. Mungkin hanya kelelahan sebab sejak pagi sudah membantu ini dan itu demi berlangsungnya acara ulang tahun bunda kesayangannya.