Cerita Masa Kecil
Tulisan ini akan menceritakan tentang bagaimana Hanessa dan Johan akhirnya menemukan kebahagiaan mereka, cerita tentang bagaimana anak berhati bersih bernama Arsakha menemukan rumah yang layak, dan tentang adik kecilnya Aksara yang sangat ia sayangi.
Hanessa—hari ini ia menangis lagi seperti hari-hari sebelumnya. Pernikahan Nessa dan Johan mungkin sudah berlangsung cukup lama, namun mereka tak juga kunjung diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki buah hati.
“Kenapa nangis lagi?” Johan yang baru saja pulang bekerja kini duduk di sofa ruang tengah, tangannya ia daratkan pada puncak kepala istri kesayangannya, membelai pelan surai gelapnya.
Nessa kemudian menarik napas, mencoba menenangkan rasa sesak di dada, “H-hari ini aku ke rumah sakit,” ujarnya di sela isakan kecil.
“Iya, aku tahu, kamu udah bilang tadi.”
Nessa mengangguk, “Aku ke sana buat jenguk temanku yang melahirkan.”
Johan yang seolah sudah tahu arah pembicaraan istrinya kemudian hanya menorehkan senyum lembut.
“Bayinya putih, pipinya merah,” lanjut Nessa seraya tersenyum sendu.
Johan, pria itu belum berhenti mengusap lembut kepala wanitanya, mencoba mendengarkan semua cerita dari perempuan itu.
“Aku.... aku minta maaf belum bisa kasih.... anak..... buat kamu,” tutur wanita itu pelan seraya menunduk, tidak berani menatap netra sang adam.
Suaminya kini langsung memeluknya, merengkuhnya erat dalam pelukan hangat, dan diusap pelan punggung sang hawa hingga rasa tenang menghampiri.
“Aku punya usul,” ujar Johan, sempat ragu.
Nessa mengangkat kepalanya, belum berniat untuk melepaskan diri dari pelukan sang suami, “Apa?”
“Kalau kita coba ke panti asuhan gimana?”
Wanita itu hanya menatap Johan tak berkedip, banyak perasaan berkecamuk di hatinya sekarang. Melihat istrinya kini tidak kunjung merespon, Johan kembali bersuara.
“Kita coba aja, siapa tahu dengan kita merawat anak dari sana nantinya Tuhan kasih kepercayaan buat kita?” lanjutnya.
Nessa sempat ragu, ia kemudian melepaskan pelukan suaminya.
“Kalau kamu nggak mau ga apa-apa sayang, aku nggak maksa, ini cuma usul aja.” Johan memastikan pendapatnya itu tidak justru menambah beban pikiran istrinya.
“Ayo.” Suara akhirnya keluar pelan dari bibir Nessa.
“Hm?”
“Ayo kita coba,” ujar Nessa seraya memasang raut penuh harap.
Sore itu angin bergerak lembut menyapu dedaunan yang jatuh dari pohon, menerpa pelan surai Hanessa yang ia biarkan tergerai. Wanita itu menarik napas penuh keraguan, kemudian menatap lurus ke arah rumah yang tampak tua berada cukup jauh di depannya. Johan keluar dari mobil usai memarkirkannya di tepi jalan, dengan tangan kanannya yang masih membawa file coklat berisi beberapa dokumen yang dibutuhkan, ia lalu berjalan mendekat pada istrinya yang masih berdiri terpaku.
Tangan dingin wanita itu kemudian digenggam erat oleh sang adam, “Yuk? Kita coba ke sana. Kamu ga pa-pa?” tanya Johan memastikan. Hanessa hanya mengangguk lalu melangkahkan kakinya mengikuti langkah suaminya.
Suara anak-anak mulai terdengar kala keduanya semakin dekat pada rumah itu. Sebuah rumah yang tampak tua namun cukup besar dan hangat untuk menampung puluhan anak di dalamnya, sebuah rumah yang dikelilingi taman luas dan pepohonan di sekitarnya, membuat tempat itu semakin menyejukkan hati. Nessa kini mulai tenang, mulai mengabaikan keraguannya untuk akhirnya mengambil keputusan ini. Langkahnya tidak seberat sebelumnya, ditambah Johan senantiasa di sisinya, menemaninya di setiap langkah yang ia ambil.
Mereka kini sudah memasuki rumah itu. Johan langsung mencoba bicara dengan salah satu wanita yang bekerja di sana, sedangkan Hanessa kini melangkahkan kakinya lebih jauh memasuki rumah tersebut, tentunya setelah mendapat izin. Terlihat banyak coretan warna-warni yang dapat ditebak merupakan hasil karya dari tangan-tangan mungil yang hidup di sana. Hati Hanessa menghangat, sejak dulu ia sangat menyukai anak-anak. Netranya kini jatuh pada pigura besar yang menampilkan seluruh penghuni rumah ramah itu. Ia cukup lama mengamati, hingga indra pendengarnya menangkap suara bayi yang tengah menangis. Hanessa kemudian menoleh dan dengan perasaan ragu bercampur penasaran, ia pun mengikuti suara tersebut.
Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah kamar kecil dengan ranjang bayi yang terletak tepat di tengah ruangan. Angin dapat masuk dengan mudah dari jendela yang berada di sisi kanan ruangan tersebut, menerpa pelan gorden dan membuatnya mengayun pelan, pun cahaya senja perlahan ikut hadir di dalamnya, menjadikan suasana ruangan itu kian hangat. Hanessa kini melangkahkan kakinya semakin dalam ke kamar tersebut, hendak menghampiri malaikat kecil yang tangisnya belum kunjung berhenti. Kala ia berada tepat di samping ranjang kecil itu, hatinya tiba-tiba saja tersentuh. Maniknya menangkap sosok indah malaikat kecil di depannya. Bayi kecil dengan kulit seputih salju, pipi dengan semburat merah muda yang lucu, mata sipitnya yang sangat cantik menenangkan hati, pun tahi lalat menambah kesan manis pada ujung mata kanan miliknya. Benaknya kini bertanya, manusia mana tega meninggalkan malaikat seindah ini?
Hanessa, ia kemudian menjulurkan tangannya lembut, hendak mengangkat tubuh kecil yang tampak rapuh itu. Bayi itu lalu dibawa ke dalam dekapan hangatnya, dipeluk erat oleh sang hawa sembari ia tepuk pelan punggung anak manusia itu.
“Hai? Kenapa menangis?” tutur Nessa lembut.
Seperti sihir, bayi kecil itu kini menghentikan tangisannya, manik gelap milik bayi itu sekarang ditujukan pada wanita yang menggendong tubuh kecilnya. Bayi itu diam, matanya kini membulat menatap Hanessa polos dengan air mata yang masih tersisa di sana. Hanessa sudah tak sanggup lagi menahan gemas, senyum kini hadir pada wajah cantik wanita itu, kemudian ia cium lembut kening bayi itu, membuat sang pemilik memejamkan matanya dan mengerutkan alisnya lucu.
“Namanya Sakha.” Tiba-tiba saja seorang wanita muncul dari balik pintu, membuat Hanessa sontak menoleh.
“Namanya Sakha, artinya kemurahan hati,” lanjut wanita itu sembari berjalan mendekat pada Hanessa.
“Halo Sakha,” sapa Hanessa, masih menatap kagum setiap lekuk wajah malaikat kecil yang berada di dekapannya.
Tiba-tiba saja Nessa merasa sangat penasaran bagaimana Sakha berakhir di tempat ini, dengan hati-hati ia akhirnya bertanya pada wanita yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, “Sakha kenapa bisa ada di rumah ini?”
Wanita yang ditanya kini tersenyum, “Malam itu, hujan turun dengan deras. Saya lalu berlari cepat dengan payung keluar untuk mengangkat selimut yang sejak sore masih dijemur di halaman.” Wanita itu menjeda, kemudian tangannya bergerak membelai pelan kepala bayi yang tidak rewel berada di pelukan Nessa.
“Tepat saat saya sedang mengambil selimut, telinga saya mendengar suara tangis dari sisi semak di samping saya berdiri, di sana saya temukan Sakha berada di dalam kardus beserta sehelai selimut tipis yang menutupi tubuhnya. Saat itu hanya sebuah payung merah kecil yang melindunginya dari tetesan hujan. Hari itu saya menangis,” lanjut wanita itu panjang lebar.
Hanessa kini menitikkan air matanya, hatinya penuh rasa iba dan amarah.
“Lalu saya membawanya masuk bersama saya dan sejak itulah Sakha menjadi bagian dari keluarga kami, menunggu seseorang yang mungkin akan menjemputnya untuk dibawa pulang pada keluarga yang baik-baik,” tutur wanita itu lagi.
Hanessa kini semakin teguh hati untuk membawa malaikat kecil itu pulang bersamanya, ia menatap sendu wajah bayi yang kini sudah tampak lebih ceria dibanding sebelumnya.
“Kamu mau pulang sama saya?” tanya Hanessa lembut pada bayi laki-laki itu seolah anak itu dapat mengerti tuturnya.
Hanessa dan Johan dengan teguh hati langsung menyiapkan proses-proses yang dibutuhkan untuk membawa Sakha pulang ke rumah mereka. Hari di mana Hanessa membuat keputusan yang besar dalam hidupnya, keputusan yang membawa lebih banyak bahagia datang padanya. Butuh cukup lama waktu yang digunakan untuk menyambut hari di mana ia akhirnya dapat membawa pulang Sakha kecil yang ia dekap hangat dalam pelukannya. Namanya Sakha, anak manusia dengan kemurahan hati yang luas.
Sakha tumbuh dengan baik melalui kehangatan yang kedua orang tuanya berikan untuknya. Ia hidup dan belajar dengan baik, ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan kuat, juga tentunya baik hati. Hanessa dan Johan tidak ingin menutupi apapun dari anak baik itu, mereka tetap ingin Sakha tahu dari mana ia berasal, oleh karena itu di setiap ulang tahunnya, Johan dan Hanessa tidak pernah bolos untuk membawa Sakha bermain satu hari penuh di rumah asuh yang menjadi rumah pertamanya kala kecil. Sakha tidak sedih, sungguh ia sangat bersyukur ia dijemput oleh keluarga yang tidak kalah baiknya, ia bahagia, ia sangat menyayangi kedua orang tua dan seluruh keluarga serta teman-teman asuhnya. Tapi, ada satu kehadiran makhluk yang tak kalah hebat ia sayangi, yaitu Aksara, adik kecil kesayangannya yang datang tak lama setelah ia hidup dengan keluarga barunya itu.
“Abang, Aksa boyeh (boleh) pinjem mainan Abang yang ini ndak?” Aksa yang saat itu berumur 5 tahun mencoba meminta izin dari abangnya untuk meminjam mainan robot yang menurut anak itu tampak sangat keren.
Sakha yang merasa dipanggil kemudian menoleh dan tersenyum, “Boleh, Aksa ambil aja kalau mau,” jawabnya lembut.
“Boyeh (boleh)?”
“Boleh, Aksa, buat Aksa aja juga ga pa-pa.” Sakha kini mengelus pelan rambut adik laki-lakinya.
“Yay! Makasih Abang!” Anak yang lebih muda kemudian berlari meninggalkan kakaknya yang sedang menggambar di buku gambar miliknya.
Apapun yang Aksara minta, Sakha selalu berusaha memenuhinya. Ia sangat menyayangi adiknya karena hanya adiknya teman bermainnya di rumah kala ayahnya sibuk bekerja dan ibunya sibuk membersihkan rumah. Bagi Sakha kehadiran Aksara merupakan hadiah kedua dari Tuhan, ia bersyukur, ia bahagia.