Cerita Sebelum Tidur
Shanine kini duduk di kursi kamar hotelnya yang sengaja ia hadapkan ke arah balkon. Pintu balkon kamarnya sengaja sedikit ia buka untuk membiarkan angin malam membelai pelan rambut panjangnya. Gadis itu duduk sembari menikmati teh hangat yang baru saja ia buat. Pandangnya lurus menatap lampu-lampu yang menghiasi gelapnya langit Yogyakarta malam ini, sedangkan benaknya masih terpaku pada kejadian beberapa jam lalu.
“Lu pernah kepikir ga Nin kalo hubungan kita lebih dari sahabat?” “Misalnya, pacaran?”
Ucapan Aksa tidak juga beranjak dari pikirannya. Gadis itu menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Tangannya masih setia menggenggam segelas teh hangat yang ia harapkan dapat membantu meredakan seluruh kekacauan dalam pikirannya saat ini. Remaja itu membuka mata kala mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Talitha baru saja selesai menyikat gigi dan mencuci muka. Shanine menoleh pada Talitha yang saat ini masih sibuk dengan baju-baju kotornya.
“Kak,” panggil Shanine.
Talitha menoleh, “Ya?”
“Tadi gimana? Seru sama Kak Dhidan?” tanya Shanine kemudian menyeruput tehnya yang sudah tidak begitu panas.
“Eum, ya, not bad.”
“Ayo kak cerita lebih banyak, aku tungguin. Oh iya itu udah aku bikinin teh juga buat Kak Titha.” ujar Shanine sembari menunjuk segelas teh hangat yang ia letakkan di atas meja beberapa menit lalu.
Talitha langsung bergegas membereskan seluruh barangnya, memasukkannya ke dalam koper, kemudian menutupnya rapat. Gadis itu selanjutnya mengambil teh miliknya dan duduk di atas ranjang, menatap lurus ke arah Shanine. “Tadi, ganteng banget sih. Oh iya thanks tehnya” jawab Talitha.
Shanine tertawa, “Kak, aku tuh minta ceritain yang banyak, tapi kayaknya yang kakak tangkep dari kejadian hari ini cuma gantengnya aja ya?”
Talitha menggigit bibir, berusaha mengingat apa saja yang ia lakukan dengan Dhidan beberapa jam lalu. “Ya, dia beliin gue wedang jahe, katanya biar ga masuk angin,” ujar Talitha yang berhasil membuat Shanine tertawa lagi.
“Terus? Enak ga?” “Eum, jujur gue belom pernah minum gituan sih Nin, jadi rasanya agak pedes di awal, tapi lama-lama manis, apa karena gue minumnya sambil liat dia ya?”
Shanine lagi-lagi tertawa. Teman sekamarnya ini ternyata cukup pandai melucu.
“Terus, gue tukeran instagram deh sama dia,” lanjut Talitha. “Wah iya? Gue aja belom pernah nanya kak,” Shanine menanggapi. “Iya gitu gue scroll isi instagramnya, beuhhh bukan main Nin, idaman.” “Kak please lo kayak bukan Kak Talitha yang gue kenal HAHAHA ga ada sungkan-sungkannya.” “Ah udah biarin gue nyablak aja nih sekarang ya gue suka deh beneran sama dia.” “Terus? Rencananya gimana?” “Ya.... ga gimana-gimana Nin, bisa deket ya syukur, engga juga ya ga apa-apa.” “Oke good luck kak.” “Lo gimana tadi sama Aksa?” “Eh? Ga gimana-gimana, kita makan roti bakar sama susu cokelat terus udah.” “Lu sahabat atau pacaran deh?” Shanine tersedak. “Sahabat kak, ya ampun gue keselek.” “Sori-sori, habisnya tadi gue liat lu berdua kayak lagi ngomong serius banget pas jalan.”
Memori beberapa jam lalu kembali menghantui Shanine, “Itu.... bukan apa-apa kak, cuma gue aja yang ge er.” “Kenapa tuhh?” “Gue kan suka ya kak sama Aksa—“ “Oke gue udah tau, terus?” sela Talitha. “Hah lo tau dari mana kak?” “Keliatan??”
Shanine menghela napas, masih heran mengapa orang-orang langsung bisa menebak kalau ia memang menyukai sahabatnya itu.
“Oke, dan tadi dia ngomong sesuatu yang bikin salah paham,” lanjut Shanine. “Apa?” “Dia bilang, gimana kalo gue sama dia lebih dari sahabat gitu kak.” “Wahhh, bagus dong? Terus lo bilang apa?” “Gue cuma diem kak, gue bingung, tapi abis itu dia bilang cuma becanda.” “Wah kacau si Aksa, itu sih mainin perasaan,” ujar Talitha sambil menggelengkan kepalanya.
Shanine tertawa, “Tapi menurut lo gimana kak tentang sahabat yang jadi pacar?”
“Hm? Bagi gue ada plus minusnya sih Nin, banyak yang harus dipertimbangkan ga sih? Kayak yang lo chat-an sama dia lucu-lucu gitu dan ga mikir kalo ngetik atau ngomong dan main nyablak aja tiba-tiba ada di situasi yang lebih serius, dimana becandaan lo bisa aja malah salah, ya ga sih? Jadi ga senyaman sebelumnya,” jelas Talitha panjang lebar. “Semoga lu ngerti maksud gue,” lanjutnya kemudian menyesap teh miliknya.
Shanine hanya mengangguk-angguk setuju. Memang benar, pikirnya. Bisa saja hubungan ia dan Aksa tidak akan senyaman ini lagi jika mereka melanjutkan ke tahap yang lebih serius. Selama ini mereka hanya belajar dan bermain bersama, benar-benar tidak terbayang oleh gadis itu bagaimana jadinya jika ia menjadi pacar seorang Aksara, apakah nantinya akan lebih rumit? pikirnya. Jemari gadis itu bergerak mengitari mulut gelas yang sedang ia pegang, pun pandangnya menatap ke dalam isi gelas tersebut.
“Tapi ya lo santai aja sih Nin, kalo jodoh juga ga akan ke mana-mana iya kan? Sekarang kata gue mah ya nikmatin aja, kalian masih SMA, masih banyak yang harus kalian lewati ke depannya kan?” lanjut Talitha kala melihat gadis di depannya menunjukkan raut wajah sedih.
Shanine mengangkat kepalanya, ia tersenyum, “Iya kak lo ada benernya, sekarang gue masih mau sahabatan aja sama Aksa, toh kita juga masih ga yakin sama perasaan masing-masing,” balas Shanine, ia kembali menyeruput tehnya. “Eh tapi kalimat gue tadi kepedean banget ya? Kan ga tahu Aksa suka sama gue apa engga,” ucap Shanine lagi setelah menyadari kalimatnya, gadis itu tertawa pelan.
“Udah cepet abisin tehnya deh terus kita tidur, capek bucin seharian ya gak?” Talitha kemudian beranjak dari kasur dan pergi ke kamar mandi untuk membilas gelasnya, meninggalkan Shanine yang masih meletakkan sedikit harap pada Aksa.