Dalam Perjalanan Mengingat Nathan
Sesuai janjinya pada Grizella, siang ini tepat pukul satu, mobil Ian sudah berhenti tepat di depan sebuah bangunan berdinding kayu. Itu adalah sebuah rumah makan sederhana yang menjual berbagai menu masakan rumahan yang sering Ian kunjungi bersama Nathan. Halaman parkirnya cukup luas untuk dapat diisi belasan mobil dan sejumlah motor di sana sebab tempat tersebut tak pernah sepi pengunjung.
Grizella turun dari mobil. Ia terperangah. Ini adalah kali pertama dirinya makan di tempat tersebut, sehingga kedua manik gelapnya segera bergerak menyisir setiap sudut bangunan. Di sana tengah mengantre beberapa orang yang tak sabaran untuk makan.
“Yuk, masuk.” Ian memimpin langkah, sedangkan Grizella di belakangnya hanya mengekor.
Antrean yang cukup panjang tadinya membuat Grizella berpikir ia akan dapat mulai makan satu jam setelahnya, namun ternyata ia salah. Antrean yang panjang itu justru menjadi lengang dengan cepat. Dan setelah menunggu kurang lebih lima belas menit, Grizella dan Ian sudah duduk di kursi yang tak jauh dari pintu masuk. Di tangannya, Grizella sudah memegang menu, tetapi masih bingung ingin pesan apa.
“Zel, lo mau pesen apa?” Ian akhirnya bertanya.
Grizella mengedikkan bahu. “Gue bingung, ada rekomendasi?”
“Nasi goreng. Rekomendasi gue nasi goreng buat lo,” jawab pemuda itu percaya diri.
Zella mengangguk, netranya masih tetap melihat-lihat menu di tangannya. “Ya udah nasi goreng aja.”
Sambil menunggu makanan keduanya diantar, Grizella sibuk menatap lurus ke depan, tepatnya menatap Ian yang masih sibuk dengan ponselnya sendiri. Laki-laki yang duduk di depannya itu adalah orang baru baginya. Belum lama ia mengenal sosok Ian dan entah bagaimana saat ini dirinya justru berada di meja makan yang sama dengannya. Rasanya seperti saat dulu ia kenal dengan Nathan, semuanya tampak mengalir begitu saja. Namun, ia akui, Ian punya kepribadian yang baik, juga hati yang tulus.
“Kenapa liatin gue segitunya?” Ucapan Ian berhasil membuat Grizella membuang muka ke samping.
“Apaan sih ge-er.” Gadis itu membela diri.
Ian terkekeh, lantas meletakkan ponselnya di meja. “Zel, sini dengerin gue, gue mau cerita tentang Nathan.”
Perempuan itu kembali memutar kepalanya menghadap Ian. Cerita apa pun tentang Nathan selalu berhasil mengundang rasa penasarannya hadir.
“Dulu, tiap gue main game di rumah Nathan tuh sampe malem pasti. Nah itu seringnya kita sampe kelaperan, tapi nggak enak kalo berisik di dapur takut ganggu Tante Rumi tidur.” Lelaki itu menjeda kalimatnya, ia lalu menenggak air dari botol kemasan, “terus akhirnya kita jadi rutin makan di sini deh kalo laper malem-malem. Nathan kalo makan di sini tuh pesennya nasi goreng itu, Zel, makanya gue mau lo nyoba makanan kesukaan Nathan,” ungkapnya.
Grizella mengangguk, semakin tak sabar rasanya ingin mencicipi makanan kesukaan Nathan. Sekali lagi, segala hal tentang Nathan masih menjadi topik favoritnya. Lalu beberapa menit setelahnya seorang pelayan dengan nampan di tangannya datang menghampiri dan meletakkan dua piring nasi goreng beserta dua gelas teh lemon segar.
Garpu dan sendok kini sudah menghiasi tangan Ian, siap digunakan untuk makan. Namun keinginan untuk mulai menyantap nasi gorengnya ia urungkan sebab melihat Grizella yang sibuk menyingkirkan timun-timun kecil yang tersebar di atas nasi goreng miliknya.
“Lo nggak suka timun? Kenapa nggak bilang? Tadi kan bisa minta tanpa timun,” ujar Ian sambil masih menatap Grizella yang sibuk memindahkan timun itu ke pinggir piring nasi gorengnya.
“Gue kan nggak tahu bakal ada timunnya, Kak. Lagian gue bukannya nggak suka kok, cuma ini gue kalo lagi haid makan timun nanti perutnya nggak jelas gitu, sakit,” jelas Grizella.
Ian mengangguk, hari ini ia mengetahui fakta lain dari Grizella yang belum pernah Nathan ceritakan padanya. Diam-diam otaknya menyimpan informasi mengenai Grizella yang tidak bisa makan timun ketika sedang haid. Lantas tangan Ian maju, membantu Grizella menyingkirkan timun-timun itu dari piring untuk ia pindahkan ke piringnya sendiri.
“Eh nggak usah dibantuin, Kak. Kenapa juga malah lo pindahin ke piring lo itu apa nggak jorok?” Perempuan itu merasa tak enak hati.
“Nggak jorok, lah. Kan timunnya belom lo masukin mulut?” jawab Ian santai, tangannya masih bergerak memindahkan potongan timun. “Udah tuh, udah nggak ada timunnya.”
Mungkin Grizella baru saja mengenal Ian tak lama sebelum hari ini. Tapi rasanya benar-benar seperti saat ia ditemani oleh Nathan. Rasanya tak perlu khawatir dan selalu aman. Ian bisa memahami dirinya lebih cepat dan mampu merespons ucapan serta candaannya dengan tepat. Entahlah mungkin memang Ian punya cara komunikasi yang cerdas sehingga mampu membuat Grizella merasa seperti berkumpul dengan teman lama.
Acara makan siang mereka selesai setelah 45 menit. Kini mobil Ian kembali menyusuri jalan raya yang ramai kendaraan. Pergi menuju tempat istirahat Nathan. Langit mulai bergemuruh di atas sana, mungkin sebentar lagi hujan akan turun, untung saja Ian selalu sedia payung di mobilnya.
Berkendara selama beberapa menit, akhirnya kedua remaja itu kini tengah melangkahkan kaki mengikuti jalan setapak. Grizella berjalan lebih dulu di depan Ian dengan senandung kecil yang bisa terdengar dari bibir mungilnya. Ini adalah kali pertama Grizella mengunjungi lagi makam Nathan setelah hari itu ia mengantarkan kekasihnya pergi untuk selamanya.
Langkah Grizella berhenti di samping gundukan tanah dengan papan kayu bertuliskan Nathaniel Adikara. Lantas perempuan itu segera memasang pose jongkok. Tangannya ia gunakan untuk mengelus papan bertuliskan nama kekasihnya itu.
“Hai, Nath. Apa kabar? Aku kangen.” Tatapan sendu sudah tampak di wajah cantik gadis itu. Menyisakan Ian yang lagi-lagi hanya berperan sebagai penonton. Lagi pula tugas Ian memang seharusnya sampai situ saja; mengantar Grizella, menemaninya, menggantikan sementara rasa sepi gadis itu karena ditinggal pergi Nathan.
“Nath, tiap malem aku berdo’a buat kamu, do’a nya nyampe nggak, Nath?” Satu titik air mata sudah berhasil membasahi pipi. “Aku kangen dipeluk lagi sama kamu, kangen liat kamu senyum, kangen denger kamu manggil aku Ijel, kangen notif chat dari kamu, aku kangen semuanya, Nath.”
Semilir angin pergi melewati Grizella dan Ian. Mungkin benar, Nathan mendengarnya.
“Tapi makasih, Nath. Makasih udah nyiapin orang-orang baik yang siap nemenin aku pas kamu nggak ada. Sekarang aku punya temen baru, namanya Ian. Kamu pasti udah kenal sama orangnya, ‘kan?” Ucapan Grizella kali ini mampu membuat hati Ian menghangat, “dia aneh, Nath. Kalo kita lagi chat pasti dia selalu nyuruh aku tidur.” Grizella melirik tajam ke arah Ian yang hanya dibalas laki-laki itu oleh tawa kecil.
“Tapi dia baik, Nath. Dia baik walau nggak sebaik kamu, tapi dia baik. Aku seneng kenal sama Kak Ian, aku seneng kenal sama kamu. Nanti tolong balik lagi ya, Nath … balik jadi Nathan-nya Ijel satu kali lagi aja meski nggak harus di kehidupan yang ini. Semoga di kehidupan lain kamu panjang umur sehat selalu, terus aku juga panjang umur sehat selalu, dan kita bisa bareng-bareng terus buat lanjutin together list yang belom selesai. I miss you, Nathan, always.”
Kalimat penutup dari Grizella segera disambut oleh hujan yang tiba-tiba turun dengan deras. Ian dengan sigap langsung membukakan payung hitam itu untuk yang kedua kalinya; yang pertama adalah saat pemakaman sepupunya dan yang kedua adalah sekarang, ketika gadis itu selalu bilang merindukan Nathan lebih dari apa pun.
Grizella pulang dengan langkah berat kembali menuju mobil Ian. Air matanya belum selesai. Rasanya rindu itu tak akan pernah sembuh total sebelum ia benar-benar bertemu dengan Nathan. Setiap malam, di setiap tidurnya, maka Nathan yang akan selalu ia harap-harapkan kehadirannya.
Namun, hari ini, perjalanannya dengan Ian mengantarkan Grizella kembali mengingat Nathan dan sedikit mengobati rasa rindunya. Selama di perjalanan Ian akan menceritakan semua tentang Nathan. Masa kecil Nathan, makanan kesukaan Nathan, bagaimana Nathan saat merajuk pada ibunya, tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Nathan, dan bahkan hari ini laki-laki itu mengajak Grizella langsung mengunjungi kembali tempat peristirahatan terakhir Nathan.
Mungkin benar, Ian memang orang baik. Ian hadir di hidupnya seperti angin yang mengusir awan hitam kelabu di atas langit. Tak banyak berubah, awan kelabu itu masih di sana, namun setidaknya sinar matahari cerah dapat masuk menyinari hari-hari Grizella yang sedikit berat tanpa Nathan di sisinya. Lalu dengan adanya Ian di sana, setidaknya Grizella mampu menemukan kembali pundaknya untuk berkeluh kesah kala dunia tak lagi bersahabat.