Dia Memanggilku Juni

(Aksa POV)

Pertama kali gue ngobrol sama Shanine adalah waktu dia duduk di samping gue pas kelas 1 SMP. Itu hari pertama gue masuk ke sekolah baru yang sebenarnya sih gue nggak berharap-berharap banget bisa masuk sana, tapi karena Ibu minta gue buat masuk ke sekolah yang sama kayak Bang Sakha, akhirnya gue cuma menurut aja waktu didaftarin, toh sekolahnya not bad kok, masih termasuk sekolah yang nyaman dan guru-gurunya juga baik, jadi gue nggak ada alasan nolak permintaan Ibu. Tapi siapa yang sangka dengan gue masuk ke sekolah itu gue bisa nemuin sahabat terbaik yang pernah gue punya di hidup gue. Cewek baik yang disia-siakan orang tuanya.

Oke maaf sedikit melantur pembicaraannya, jadi memang benar pertama kali gue ngobrol sama Shanine ya waktu dia ngajak gue ngobrol nanyain nama belakang gue, tapi itu bukan yang pertama kali gue lihat dia. Sebelumnya gue sempat ketemu sama Shanine di lobby sekolah, gadis itu tampak kebingungan mau ke mana. Tadinya gue mau bantu, tapi kayaknya dia sudah mendapat jawaban dan hanya duduk di salah satu kursi. Waktu itu gue juga nggak begitu peduli sama kehadiran dia, sampai akhirnya gue dapat tugas jadi ketua kelas dengan dia sebagai wakilnya, alhasil ya gue mau nggak mau harus sering terlibat sama dia. Tapi ya anaknya seru kok, jadi gue nggak masalah juga deket sama dia. Satu hal yang bikin gue jadi kasih perhatian lebih ke dia adalah dia manggil gue bukan Aksa, tapi Juni.


“Jun!” Panggil Shanine lantang dari depan kelas siang itu.

Gue yang saat itu lagi fokus ngerjain tugas bahasa akhirnya kaget karena dipanggil dengan cukup keras. Gue menoleh ke arah pintu dan menemukan gadis itu sudah melongokkan kepalanya ke dalam kelas sembari tangannya sibuk memegang tumpukan kertas. Gue cuma menatap heran.

“Jun sini!” Dia kembali memanggil. Akhirnya gue memutuskan untuk menghentikan kegiatan gue ngerjain tugas dan mulai berjalan ke arahnya.

“Kenapa?” tanya gue ketika sudah berdiri tepat di depannya.

“Kata Bu Siska ketua kelas suruh ke audit sekarang,” jawabnya dengan mata yang berbinar. Waktu itu gue masih nggak tahu kenapa dia selalu memasang wajah yang berseri-seri setiap dia ngomong sama gue.

“Kenapa nggak masuk aja nyamperin gue?”

“Eh iya sorry, soalnya gue lagi nunggu Ara bawain kertas sisanya.” Shanine menjawab sembari menunjukkan tumpukkan kertas yang dipeluknya.

Gue cuma mengangguk, “Ya udah gue ke audit ya.”

“Oke dadahh!” balas gadis itu ceria disertai lambaian tangannya yang ia angkat tinggi-tinggi ke udara.

Waktu itu gue cuma anggap Shanine sebagai teman biasa. Teman duduk, teman ngobrol, teman belajar, teman mengurus kelas, pokoknya cuma teman biasa aja. Tapi tanpa sadar gue mulai terbiasa sama hadirnya dia yang tiba-tiba itu di hidup gue. Gue mulai merasa aneh kalau Shanine nggak ada di samping gue, gue mulai merasa nggak nyaman dan kepikiran kalau Shanine absen, gue selalu cari dia kalau saat istirahat gue nggak nemuin dia di kelas. Dan di situ gue sadar kalo gue nyaman sama dia, gue nyaman ada di dekat dia, gue juga akhirnya sadar kalau gue berhasil nemu temen yang bener-bener cocok sama gue, temen yang gue yakin bakal selalu ada dan bantu gue di situasi apapun.


Oh iya, gue jadi ingat, pada suatu hari, pagi itu gue sempat ribut sedikit sama Ibu perkara gue nggak boleh bawa motor kayak Bang Sakha. Waktu itu gue iri, kenapa Ibu lebih yakin sama Bang Sakha dibanding sama gue? Padahal juga kita kan cuma beda satu tahun aja.

“Kamu bareng Bang Sakha aja ya?” “Kenapa Aksa ngga boleh bawa motor juga?”

Saat itu gue yakin banget Ibu udah kehilangan cara buat ngelarang gue biar nggak bawa motor, tapi beliau tetap mencoba tersenyum lembut.

“Nanti Aksa boleh bawa motor sendiri, tapi nggak sekarang, ya? Ini juga masih minggu awal masuk sekolah baru kan? Buat sekarang sama Bang Sakha dulu aja ya, hm?” Ibu masih mencoba membujuk gue buat nurut.

Tidak ingin membuat gue dan Bang Sakha semakin terlambat ke sekolah, akhirnya gue memutuskan untuk menurut. Gue menganggukkan kepala, lalu menyalami tangan Ibu, dan beranjak meninggalkan ruang makan, hendak menyusul Bang Sakha yang sedari tadi sudah menunggu di teras rumah.

Sepanjang jalan gue cuma diam aja, paling-paling menjawab seadanya kalau Bang Sakha ngajak ngobrol, tapi selebihnya gue nggak banyak bicara. Begitu pula waktu motor Bang Sakha akhirnya sampai di halaman parkir sekolah, gue langsung turun dan sekadar bilang “Duluan ya Bang, makasih udah dianter,” ke Bang Sakha yang cuma dibalas senyuman seperti biasa.

Gue langsung duduk di kursi gue begitu sampai di kelas. Pagi itu hanya baru ada 3 orang di kelas gue, Shanine belum datang. Perasaan gue yang masih kesal nggak jelas itu masih bisa gue rasain, jadinya gue memutuskan untuk merebahkan kepala gue di meja, hanya beralaskan jaket gue biar kepala gue nggak begitu sakit karena meja yang keras, lalu tangan gue bergerak mengusap layar ponsel, hendak menyalakan lagu secara acak dengan suara yang gue atur cukup pelan agar tak mengganggu. Mungkin sekitar 15 menit kemudian, tepat ketika handphone gue memutar lagu ke-2 nya, Shanine datang. Tanpa melihat ke arahnya gue bisa tahu dia menarik kursi, meletakkan sweater pink-nya, kemudian duduk dan mendekatkan wajahnya ke arah gue. Iya gue bisa tahu se-detail itu karena itu seperti sudah kebiasaannya. Tebakan gue juga benar, di detik berikutnya dia lalu membuka suara, “Pagi Jun!” menyapa gue dengan ceria tepat di samping telinga kanan gue. Gue yang waktu itu enggan membuka percakapan panjang-panjang akhirnya hanya membalas singkat, “Ya.” Tapi gadis itu selalu punya caranya sendiri yang bisa bikin gue nggak konsisten sama rasa kesal gue.

“Jun, PR Jun.... Matematika, udah belom?” tanyanya polos.

“Udah,” jawab gue singkat, masih menelungkupkan wajah, enggan melihatnya.

“Liat dong, boleh ngga?”

“Ambil di tas.”

Gue tahu Shanine nggak langsung buka tas gue karena gue nggak ngerasa tas gue bergerak di belakang gue, pun nggak ada suara ritsleting yang dibuka. Gue yang bingung akhirnya mengangkat wajah untuk melihat gadis itu yang kini tengah terpaku diam.

Dengan alis yang gue naikkan sebelah, gue pun bertanya, “Kenapa nggak diambil?”

Cukup lama waktu yang dibutuhkan gadis itu untuk menjawab pertanyaan sederhana dari gue, “Ya, ya masa gue buka tas lo?” jawabnya ragu.

“Emang kenapa?”

“Nggak sopan.”

Gue sedikit tertawa, “Nggak ada privasi apa-apa di dalemnya, paling cuma dompet yang lo nggak boleh liat isinya,” jawab gue akhirnya.

“Bener ya? Jangan marah ya.” Dia memastikan.

“Iyaaa.”

Tangannya langsung mengambil tas gue dan dipangku olehnya. Gue nggak tahu kenapa hari itu wajahnya berseri-seri pas ngelihat isi tas gue, padahal nggak ada yang lucu?

“Kenapa senyum-senyum?” tanya gue penasaran.

“Wangi. Tas lo wangi.”

“Oh, itu karena gue bawa parfum.”

“Ini?” tanyanya sembari mengangkat botol parfum kecil yang gue maksud.

Gue mengangguk, sedangkan dia sedang menatap takjub botol parfum itu seolah baru pertama kali mengenal benda itu. Detik berikutnya dia langsung meletakkan kembali botol parfum gue ke dalam tas dan diambil olehnya buku matematika yang menjadi alasan utama dia buka tas gue.

“Pinjem ya, izin liatt,” ujarnya kemudian meletakkan kembali tas gue ke belakang punggung gue.

Gue kembali menjatuhkan kepala gue di atas jaket gue di meja, tapi kali ini wajah gue nggak gue tutupi seperti sebelumnya, gue menolehkan kepala ke kanan, menghadap gadis itu yang tengah mengetik di ponselnya.

“Kerjain. Matematika jam pelajaran pertama,” ujar gue mencoba mengingatkan.

“Oh, iya iya.” Dia langsung meletakkan ponselnya dalam keadaan menyala di meja, kemudian mulai membuka lembar demi lembar buku tulis gue.

Entah kenapa sekarang fokus gue teralihkan ke layar ponsel miliknya. Di sana terpampang jajaran chat di mana chat gue dia pinned di paling atas. Waktu itu gue sempat bingung, anak-anak lain mungkin akan meletakkan grup kelas atau grup keluarga pada pinned chat mereka, tapi Shanine.... kenapa justru gue yang di pinned? Sepenting itu?

“Kenapa kontak gue di-pinned?” tanya gue dengan nada datar.

Gadis itu langsung menoleh cepat dan membulatkan matanya, tampak terkejut. Dengan cepat ia kemudian mengambil ponsel miliknya untuk ia matikan dan ia letakkan kembali ke dalam tasnya. Gue yang masih menunggu jawaban kini hanya menatap dia lekat.

“Pertanyaan gue belom dijawab, Nin.” Gue mencoba mengingatkan.

Dia tampak panik, “Eh, itu.... soalnya.... OH iya! Soalnya semalem gue ngechat lo mau nanya PR MTK ini, tapi lo nggak bales-bales kan, jadinya gue pinned aja, biar pas lo bales gue bisa langsung cek gitu, soalnya gue bingung sama tugasnya, hehe,” jawabnya panjang lebar.

Gue mengangguk pelan, “Sorry tadi malem gue nggak buka hape lagi, abis ngerjain tugas langsung tidur,” balas gue.

“Eh iya ga pa-pa, santai ajaa,” ujarnya sambil tersenyum canggung.

Gue sempat diam beberapa detik, “Terus kontak gue kenapa dinamain Juni?” lanjut gue.

“Ya karena gue manggil lo Juni.”

“Emang kenapa nggak Aksa?”

“Biar beda aja dari yang lain, seru kan?” jawabnya disertai dengan cengiran, sedangkan gue hanya menatap datar, tampak tak tertarik. “Ya udah iya gue rename, dalam kurung, A-K-S-A, oke udah, jadi Juni dalam kurung Aksa.” Jawaban dia sekarang bisa bikin gue lupa total sama rasa kesal yang gue pendam sejak pagi, gue berhasil tertawa sekarang kala melihat ekspresi wajahnya tampak lucu.

“Oke kalo gitu mulai sekarang gue juga panggil lo Mbul aja.” “HAH? Kenapa Mbul?” “Ya kan nama lo Shanine Rembulan Poernama?” “Ya, terus?” “Ya itu kan Rembulan? Jadinya Mbul,” jawab gue sembari tertawa.

Dia hanya menatap datar, tampak kesal.

“Gue rename kontak lo jadi Mbul oke biar adil,” balas gue kemudian meraih ponsel gue untuk me-rename nama kontaknya. “Ya udah serah lo.” Shanine kembali melanjutkan tugas-tugasnya. “Ngambek nih?” “Engga.” “Ngambek tuh.” “ENGGA IH!” Gue kemudian mendapat cubitan kecil di lengan kanan gue dari perempuan itu.


Ya, pokoknya begitu cerita awal gue bisa akrab sama Shanine dan gimana ceritanya gue bisa panggil dia Mbul dan dia bisa panggil gue Juni ya sebenarnya karena kejadian random itu tadi. Kalau diingat-ingat mungkin lucu juga ya karena gue nggak pernah peka kalau dia sudah sangat lama menyimpan perasaannya sendiri buat gue. Nggak tahu emang guenya bodoh atau nggak peka, tapi intinya sekarang Shanine sudah jadi milik gue, punya gue, rumah gue.