Dia yang Menguatkan Juga Perlu Dikuatkan
Pukul sembilan malam. Malam ini kita diajak lagi oleh ketiga remaja itu menuju tempat yang sama. Sebuah kafe kecil dengan kerlap-kerlip lampu yang menyala lembut di tengah gelapnya malam. Kafe di ujung jalan yang akan semakin ramai kala jarum jam menuju tengah malam. Dan untuk yang pertama kalinya kunjungan mereka ke tempat itu tidak bersama dengan Nathan.
Seperti biasanya, Juan akan selalu jadi orang pertama yang tiba kecuali jika hal mendesak datang. Lalu Hadyan menjadi orang kedua, laki-laki itu tadi datang dengan balutan jaket yang Juan yakin sudah dua hari belum dicuci sebab lusuhnya sangat kentara, rambutnya berantakan, dan ia tampak tidak sehat. Sepuluh menit setelah Hadyan duduk di depan Juan, Rhayyan langsung muncul di tengah obrolan mereka yang sedang berlangsung, lalu memilih untuk duduk sendirian di kursi tepat di hadapan Juan dan Hadyan yang duduk berdampingan.
“Gimana kuliah lo? Nilai ujian aman?” Hadyan membuka percakapan lagi sambil mengetuk-ngetukkan rokoknya ke asbak kayu.
Juan, laki-laki yang ditanya lalu mengangkat kepalanya sejenak dan memasang senyum singkat. “Aman. Ya… nggak bagus-bagus banget sih tapi lumayan lah, setidaknya nggak ngulang,” jawabnya lalu mengikuti pergerakan Hadyan mengetuk-ngetukkan rokoknya ke asbak.
Mungkin yang sering dijumpai orang-orang adalah tidak ada satu pun di antara Nathan, Juan, Hadyan, dan Rhayyan yang akan menyalakan batang nikotin itu kala mereka sedang berkumpul bersama. Itu juga adalah kesepakatan antara Juan dan Hadyan bahwa mereka tidak akan merokok di depan Nathan khawatir isapan rokok oleh keduanya akan berakibat buruk bagi kesehatan temannya. Sedangkan Rhayyan, ia memilih untuk tidak menyentuh batang racun itu sama sekali.
Hadyan mengangguk-angguk. “Gue ngulang satu matkul, tapi bukan masalah, lah. Biasanya gue ngulang dua soalnya,” ujarnya enteng sambil memasang senyum miring. Setelahnya ia kembali membuka kotak rokoknya dan mengambil sebatang lagi dari sana.
Juan hanya diam memperhatikan. Sejak tadi ia sudah bisa menangkap sinyal bahwa Hadyan tidak baik-baik saja. Entah sudah rokok keberapa yang dinyalakan olehnya sekarang. Juan ingin bertanya rasanya, bertanya perihal apakah laki-laki itu baik-baik saja atau tidak. Namun, ia tak tahu caranya. Ia takut akan menjadikan suasana semakin runyam. Bukankah beban untuk mereka sudah cukup berat sejak kepergian Nathan yang tiba-tiba?
“Udah berapa batang anjir lu?” Akhirnya hanya itu kalimat yang bisa keluar dari bibir Juan.
Hadyan tak langsung menjawab, ia malah mengedikkan bahu. “Belom juga sebungkus, tenang-tenang,” ujarnya kemudian.
Juan hanya geleng-geleng kepala, mencoba tetap santai walau rasanya khawatir. Ia tak ingin siapa pun temannya jadi sakit lagi.
“Lo lagi ada masalah, kah?” Pertanyaan yang paling Juan takut untuk ajukan akhirnya justru diberikan oleh Rhayyan dengan santai. Laki-laki itu bertanya tanpa dosa bahkan sambil mengetik sesuatu di atas papan ketik laptopnya seolah pertanyaan itu bukan apa-apa.
Hadyan menggeleng. “Nggak ada,” dustanya.
“Pasti Keisha, ‘kan?”
Gerakan tangan Hadyan terhenti. Rokok yang dipegangnya lantas ia letakkan di atas asbak. Rahangnya mengeras. Seharusnya ia tak merasa kesal seperti itu hanya karena sebuah tebakan sederhana yang Rhayyan berikan. Namun, ia sudah menahan semuanya sejak tadi. Beberapa hari ini hidupnya sudah berat. Nilai-nilainya masih belum baik, ia kehilangan Keisha, ia juga kehilangan sahabatnya. Tapi apa yang dilakukan Hadyan? Ia memilih untuk tetap menjadi Hadyan yang periang seolah masalah yang dialaminya bukan apa-apa.
Namun, malam ini mungkin puncaknya. Kepala kecilnya sudah tak sanggup menahan bebannya sendirian. Perihal sejak siang tadi Rhayyan terus menerus mempertanyakan hubungannya dengan Keisha semakin mengusiknya, seolah memaksanya untuk berterus terang kepada teman-temannya jika ia memang benar punya masalah. Lantas ia menggebrak meja dan bangkit dari duduknya, membuat Juan tersentak kaget, pun Rhayyan langsung mendongak, mengangkat kepalanya dari layar laptopnya.
“Lo bisa nggak, berhenti ngomongin Keisha? Keisha Keisha Keisha mulu lo tiap ngomong sama gue. Capek anjing gue capek! Lo tau? Dalam seminggu gue udah kehilangan banyak hal!” Hadyan menjeda amarahnya, napasnya tersengal, matanya merah menahan tangis, bibirnya bergetar, pun urat di dahinya makin tampak. “Dalam seminggu gue kehilangan sahabat gue, nilai-nilai gue jelek, dan gue harus kehilangan Keisha! Lo tau tiap hari gue cuma bisa nangis sendiri? Nggak, ‘kan? Lo nggak tahu kan, Rhay? Capek gue.”
Hening.
Juan belum berani angkat suara, pun otaknya masih memproses semua ucapan Hadyan. Kehilangan Keisha maksudnya apa?
Rhayyan menutup laptopnya. “Gue cuma nanya bangsat! Nggak usah pake emosi.”
“Apa? Hidup lo udah enak, Rhay. Lo yang paling nggak peduli kan sama keadaan sekitar? Lo cuma peduli sama tugas lo, nilai lo, akademis lo. Tebakan gue bener, ‘kan? Lo cuma bisa belajar doang?” Ucapan Hadyan lantas memanggil amarah Rhayyan lebih dalam lagi.
Rhayyan ikut berdiri dan mencengkeram kaus yang Hadyan kenakan tak peduli kini mereka berdua sudah jadi pusat perhatian banyak orang. “Jaga omongan lo kalo lo nggak tahu apa-apa. Dan semua tebakan lo itu salah. Kalo gue adalah yang paling nggak peduli, buat apa gue malem-malem ke rumah lo cuma buat ngecek lo nggak kenapa-napa? Lo sadar nggak apa yang lo omongin? Bagus kalo lo anggep hidup gue adem ayem aja, bagus, berarti selama ini topeng gue udah cukup tebel buat nutupin semua susah gue. Lo tau kenapa gue sudi belajar pagi ke pagi tanpa istirahat? Biaya kuliah mahal, Yan! Biaya kuliah gue mungkin emang lebih murah dari punya lo, tapi itu tetep mahal buat gue, lo ngerti?”
Hadyan bungkam. Pun Juan. Tak ada satu pun di antara mereka berdua yang paham akan kalimat terakhir Rhayyan. Biaya kuliahnya apa seberat itu?
Rhayyan menarik napasnya. Lalu melepas cengkeraman tangannya dari kaus Hadyan dan mendorong temannya sedikit kasar. “Lo semua nggak ada yang tahu kan usaha ibu gue lagi susah?” Ada pantulan sinar sendu dari kedua maniknya. “Nggak, gue yakin lo berdua juga nggak tahu ibu gue punya usaha. Dan lo tau? Adek gue sakit. Adek perempuan gue udah sakit hampir dua tahun dan belom bisa dapet perawatan yang memadai karena gue miskin. Keluarga gue miskin. Dan kalo lo berdua mempertanyakan uang jajan gue dari mana, lo coba pergi ke restoran di sebelah percetakan, gue kerja di sana. Pulang lanjut belajar lagi karena gue nggak mau sia-sia. Nyiapin proposal buat diajuin ke dosen biar gue dapet duit, jadi aslab, kerja apa pun yang gue bisa asal dapet duit, lo pikir gue baik-baik aja? Lo pikir gue mau belajar terus kayak gitu? Engga! Kalo lo capek, gue juga capek, bangsat!”
Rhayyan kembali menatap Hadyan dengan air matanya yang sudah jatuh deras. “Lo bilang hidup gue enak? Iya? Gue yang paling nggak peduli sama keadaan sekitar? Padahal yang paling takut Nathan meninggal itu gue! Gue yang paling takut kehilangan Nathan karena adek gue sakit yang sama kayak Nathan! Lo tau kenapa kemaren gue nggak sanggup meluk Nathan? Lo tau? Gue takut, Yan! Gue takut!” Napas remaja itu tak beraturan, emosi sudah memenuhi dadanya, menghirup napas pun susah. Yakinlah bahwa Rhayyan mungkin bahkan tidak sadar kapan air matanya turun begitu deras sekarang. Semuanya ia tumpahkan.
Lantas Rhayyan langsung memasukkan kembali laptopnya ke dalam tas, meletakkan sejumlah uang untuk membayar minumannya sendiri, dan melesat meninggalkan Juan dan Hadyan yang masih mematung.
“Ju…,” Hadyan, dengan suara yang bergetar, kembali bicara. “Gue makin memperburuk suasana ya? Gue bahkan gagal jadi sahabat buat Rhayyan. Gue juga gagal jadi sahabat Nathan. Gagal juga pertahanin Keisha.” Laki-laki itu kembali terduduk lemas, bersandar pada sandaran bangku. “Hidup gue gagal.”
Juan masih diam, hanya mampu menatap Hadyan lekat-lekat. Ia sayang semua temannya tanpa terkecuali. “Nggak, Yan… lo nggak gagal. Nggak ada yang gagal. Semua emang lagi diajak berjuang di jalan masing-masing. Nggak ada yang gagal, lo cuma lagi nyembuhin luka aja, nggak ada yang gagal atau salah.” Tangan laki-laki itu bergerak menepuk pelan punggung temannya. Setidaknya hanya itu yang mampu dilakukannya sekarang.
Hadyan membuang napas berat. “Gue pulang duluan gapapa?” tanyanya pada Juan. Air mata laki-laki itu sudah keluar rupanya, membuat Juan mau tak mau mengangguk sebab ia paham harus memberi sedikit ruang untuk Hadyan juga.
“Hati-hati, Yan, nyetirnya.”
Lalu Juan ditinggal sendiri di sana. Hanya dengan dua cangkir minuman yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Laki-laki itu menunduk dalam. Ia tak tahu kalau masalah yang dialami teman-temannya ternyata seberat itu. Juan selalu sayang pada teman-temannya tanpa terkecuali. Namun, rasanya hari ini ia jadi satu-satunya yang tampak bodoh. Bodoh berusaha mempersatukan lagi mereka yang hatinya saja belum dibenahi sendiri-sendiri. Bodoh meminta semuanya untuk tenang dan berucap tak apa-apa semua akan baik-baik saja. Bodoh karena membohongi diri sendiri bahwa ia juga rapuh, ia butuh pelukan. Dan kalau Hadyan bilang Hadyan telah gagal menjadi seorang sahabat, maka sepertinya Juan-lah yang paling gagal dari semuanya. Ia gagal memahami situasi, ia gagal memahami teman-temannya, ia bahkan juga gagal memahami dirinya sendiri.
“Nath, tinggal kita berdua. Hadyan sama Rhayyan pulang duluan katanya.” Laki-laki itu bicara pada udara hampa. Setitik air mata lantas jatuh dari pelupuknya.
“Nath, lo salah. Lo salah, gue bukan seseorang yang bisa jagain mereka. Gue bukan Juan yang lo pikir bisa menguatkan mereka kalo gue sendiri aja selemah ini, Nath.” Juan terus meracau sendirian. Menghujani udara hampa yang ia anggap Nathan telah duduk di depannya, menonton semua kekonyolan ini. Menertawakan dirinya yang gagal.
“Nathan, gue minta maaf nggak bisa tepat janji buat jagain mereka. Temen-temen kita. Satu-satunya yang bisa mengeratkan cuma lo, Nath. Lo yang ajak kita buat bareng-bareng, lo yang mempersatukan, dan cuma lo yang bisa. Gue minta maaf, Nath. Gue gagal, bahkan ketika baru kemaren lo pergi tapi gue udah gagal hari ini.” Juan sudah tak peduli sebanyak apa pasang mata yang menatapnya heran sekarang. Seorang remaja pria menangis sendirian setelah teman-temannya ribut besar, bukankah menarik untuk dijadikan berita konyol?
Lalu lagi-lagi angin berembus melewatinya. Ke kanan dan ke kiri, membelai pelan rambut gelap Juan dan mengeringkan air matanya di pipi. Mungkin benar, Nathan akan selalu hadir sebagai angin yang bahkan mampu menghapus air mata teman-temannya meski wujud laki-laki itu sudah tak ada.
Juan terkekeh pelan, menyadari kehadiran Nathan bukan halusinasinya belaka. Ia yakin Nathan masih di sini, menemaninya. Meski sedikit banyak rasa bersalah hinggap di dadanya sebab Nathan pasti melihat semua kejadian itu.
“Makasih, Nath. Nanti gue coba kuatin mereka lagi, temen-temen kita.”
Juan masih menjadi Juan kepercayaan Nathan. Nathan tidak pernah salah. Juan akan selalu jadi seseorang yang mampu mengeratkan ketujuhnya bersama, menggantikannya. Juan masih dan akan selalu menyayangi teman-temannya tanpa terkecuali.
Dan ketujuh warna pelangi sudah kehilangan satu warnanya, juga dua lainnya mulai pudar.