Dunia itu adil, katanya.
Hari sudah larut. Gelapnya langit malam bertabur bintang kini membungkus kota, menaungi setiap kehidupan sibuk anak manusia yang masih berkeliaran mencari kesenangan atau pun menemani mereka yang baru usai dari hari melelahkannya setelah bekerja seharian. Mobil hitam milik Nathan berbelok tepat ke sebuah tempat dengan kerlap-kerlip lampu oranye hangat yang mendominasi—adalah tempat yang dimaksud Hadyan melalui pesan singkat tadi. Laki-laki itu terus melajukan kendaraannya untuk mencari parkir kosong di sana. Di bawah pohon itu, sebuah lahan kosong menyambutnya, membuat dirinya langsung memutar stir ke kiri dan mengambil ancang-ancang untuk memarkirkan mobilnya di sana.
Begitu ia buka pintu mobilnya usai parkirnya mendarat dengan sempurna, telinga remaja itu langsung disambut oleh alunan musik dari dalam kafe tersebut, pun riuh tawa dan teriakan orang-orang yang tengah bercanda di dalam sana dapat terdengar jelas. Nathan langsung saja memencet tombol di kunci mobilnya untuk mengunci kendaraan itu dan melangkahkan kakinya mendekati kafe tersebut. Tempat itu tidak dilengkapi oleh pintu, melainkan hanya tiang-tiang kayu yang membatasi seperti pagar, menyisakan sedikit ruang untuk akses keluar-masuknya orang-orang. Oleh karena tempat tersebut terbuka dan tidak dibatasi oleh tembok yang menutupinya, angin dapat dengan leluasa melewatinya, menghadirkan hawa malam yang sejuk untuk ikut masuk.
Nathan terus melangkahkan kakinya ke dalam, sedang pandangnya menyapu setiap sudut tempat yang baru pertama kali ia kunjungi itu. Setiap meja sudah diisi oleh anak muda yang tengah berbagi cerita dan tertawa, serta ada juga mereka yang sepertinya tengah mencari udara segar di tengah kepenatan tugas yang dimilikinya. Pelayan wanita dan pria semuanya sibuk, membawa nampan kayu berisi banyak makanan dan minuman di atasnya sembari berlari ke sana kemari mengantarkan pesanan-pesanan yang sudah ditunggu oleh pelanggannya. Pria berbaju putih yang bekerja di dapur juga tak kalah sibuk, entah sudah berapa kali dirinya meneriaki berbagai nomor meja seharian ini dengan kepalanya yang ia longokkan melalui celah persegi panjang yang merupakan satu-satunya penghubung antara pelayan-pelayan yang membawa banyak kertas berisi pesanan untuk digantung di atasnya, membiarkan para koki itu untuk menyiapkan makanan dan minuman yang diminta.
“Nath!” suara Hadyan kini membuyarkan lamunan Nathan yang sebelumnya tengah terlena dengan kesibukan manusia-manusia di sekitarnya. Laki-laki itu lantas menoleh ke arah suara yang memanggilnya dan menemukan sahabatnya sedang melambaikan tangan ke arahnya membuat ia lantas melangkahkan kaki mendekat.
“Sorry lama, tadi macet dikit, “ ujar Nathan yang kini sudah mendudukkan diri di samping Hadyan, sedangkan di hadapannya sudah ada Juan yang hanya diam mendengarkan sembari menenggak secangkir kopi susu yang ia pesan serta Rhayyan yang duduk di sisi kiri Juan kini tengah sibuk dengan laptopnya, mungkin sedang membaca powerpoint untuk kuis besok.
“It’s okay, Juan juga baru nyampe kok, langsung pesen aja Nath,” balas Hadyan santai sambil tangannya kembali mengambil sepotong roti bakar isi cokelat keju.
Nathan merogoh saku celananya, mengambil dompetnya, dan meletakkannya di atas meja bersama dengan handphone-nya yang juga ia letakkan di sana. Netranya kemudian menyadari Rhayyan yang tidak biasanya keluar rumah hanya menggunakan kaos yang dilapisi jaket dan celana selutut. Perihal kaos dan jaketnya memang tak tampak begitu aneh, namun biasanya laki-laki itu akan menggunakan celana panjang yang sopan jika harus keluar rumah.
“Rhay tumben pake celana pendek,” ujar Nathan penasaran.
Rhayyan menoleh ke arah remaja yang bertanya, kemudian beralih menatap Hadyan, tampak kesal. “Gue diseret tuh manusia yang duduk di sebelah lo. Mana sempet gua ganti baju orang dia gedor-gedor pintu heboh terus ngoceh mulu nyuruh gue cepetan,” jawabnya akan pertanyaan Nathan, sedang yang bertanya hanya terkekeh, menampilkan senyum lebarnya yang tampak manis.
“Apaan sih kok nyalahin gue? Tadi gue udah bilang ya mau on the way rumah lo, bukannya siap-siap malah masih komat-kamit sendiri bacain isi PPT,” balas Hadyan tak mau kalah.
“Gue udah bilang nggak usah lo jemput nyet.”
“Ya kalo gue nggak jemput, lo nggak akan ikut!” nada bicara Hadyan meninggi, tapi tenang, bukan berarti ia marah, ia memang suka begitu jika bicara pada Rhayyan, bisa dibilang ia hanya marah bohong-bohongan agar keributan mereka bisa berjalan dengan lancar.
Lagi-lagi Rhayyan mengalah, “Serah lo.”
Meja tersebut kini sudah didominasi oleh suara tawa ketiga remaja lainnya. Selalu begitu, Hadyan yang memancing amarah Rhayyan, Juan yang hanya diam memperhatikan, dan Nathan yang berusaha melerai.
“Udah, udah, jangan dibiasain ribut gitu, nanti kalo gue nggak ada terus yang misahin kalian siapa?” ujar Nathan di sela tawanya tanpa menyadari teman-temannya kini sudah menatap Nathan lekat dengan tawa mereka yang semakin pudar.
“Kenapa?” Nathan yang menyadari atmosfer di sekitarnya tiba-tiba saja berubah itu kini bertanya.
“Jangan ngomong gitu, Nath,” Juan yang sedari tadi hanya diam sekarang mulai bersuara sambil meletakkan kembali cangkir kopinya di meja, diikuti Hadyan yang kini menghentikan acara memakan roti bakarnya, serta Rhayyan yang sekarang sudah menutup laptopnya, menghentikan sesi belajarnya.
“Jangan ngomong gitu. Nggak akan ada yang siap buat lo tinggalin dan lo nggak akan ninggalin siapa-siapa, setidaknya buat sekarang,” tutur Juan lagi, pandangnya lurus menatap Nathan lekat.
Hadyan kini ikut memutar tubuhnya menghadap Nathan, “Gue yakin lo bakal baik-baik aja,” ujarnya.
“Nath,” panggil Rhayyan pelan. “Gue bakal belajar mati-matian buat suatu saat bisa cari solusi biar lo bisa sembuh kalo emang teknologi biomedis sekarang belom mampu nyembuhin sahabat gue,” ujarnya tak mau kalah.
Nathan hanya diam menatap ketiga sahabatnya satu persatu. Matanya terasa panas sekarang, mulai mengumpulkan genangan air di sana, pun hatinya ikut menghangat sebab ucapan sahabat-sahabatnya mampu menguatkannya untuk bertahan. “Makasih udah mau jadi temen-temen terbaik gue,” ujarnya sambil menahan air mata itu agar tak terjatuh.
Hadyan tersenyum, ia lalu menyikut lengan Nathan pelan, “Kayak sama siapa aja dah lo, santai aja, nggak usah ikutan kaku kayak hidup Rhayyan.”
“Gue lagi anjingg yang kena,” tukas Rhayyan, kembali emosi.
Nathan tersenyum lagi dibuatnya, “Baru dibilangin jangan ribut,” ujarnya.
Hadyan kini menatap Nathan tulus, matanya berbinar penuh kesungguhan, “Nath,” panggilnya.
Nathan menoleh ke kanan, “Apa?”
“Gue bakal terus ngajak Rhayyan ribut, lo nggak usah khawatir,” ujar Hadyan penuh keseriusan, ditambah dengan tepukan pelan di punggung Nathan yang seolah semakin meyakinkan ucapannya.
Rhayyan tersenyum datar, sudah lelah tampaknya dengan kelakuan remaja di depannya itu. Salah apa gue bisa kenal sama makhluk abstrak kayak dia, batinnya.
“Makanya lo harus tetep di sini buat misahin ribut gua sama dia!” lanjut Hadyan, kali ini dibarengi dengan senyum lebarnya, diikuti Nathan yang juga membalas dengan cengirannya.
Nathan lalu mengangkat tangan kanannya, hendak memanggil pelayan, mengingat sejak tiba tadi bahkan ia belum menenggak sedikit pun air. Kala pelayan laki-laki itu menghampiri mejanya dan memberikan buku menu, Nathan langsung membaca sekilas beberapa menu yang ditulis di sana, kemudian memesan segelas susu cokelat hangat sambil mengulurkan tangan, hendak mengembalikan buku menu tersebut pada pelayan yang berdiri di sampingnya dengan buku catatan kecil di tangannya. Pelayan itu mengangguk, lalu melangkahkan kakinya pergi meninggalkan keempat remaja yang sudah sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Nathan kini sudah sibuk memberikan fokusnya pada band yang entah sudah menyanyikan lagu keberapa sejak ia sampai di sini. Telinga remaja laki-laki itu mendengarkan dengan baik lagu yang dinyanyikan oleh vokalis perempuan di panggung kecil itu, sedangkan jemarinya mengetuk-ngetuk pelan di meja, mengikuti irama musik yang mendominasi ruangan, namun berbeda dengan benaknya yang riuh oleh banyak pertanyaan perihal apakah ia benar-benar bisa sembuh? Apakah jika ia sembuh nanti ia bisa mengajak Grizella jalan-jalan keliling dunia berdua? Apa beberapa tahun ke depan ia bisa bekerja di kantor besar di tengah kota? Apakah nanti ia benar-benar bisa menikah, memiliki anak-anak baik, dan mendidik mereka sampai besar? Apakah teman-temannya akan tetap bersamanya hingga saat itu? Entahlah. Pertanyaannya hanya dapat ia jawab dengan ketidaktahuan yang akan semesta siapkan untuknya di depan sana. Entah apa ia akan mampu bertahan dan sembuh dari penyakitnya yang merenggut banyak kebahagiaannya, entah apakah nanti ia bisa terus menemani Grizella sampai akhir hayatnya, bahkan ia ragu ia akan bisa lulus dari kampusnya sebelum penyakitnya benar-benar menenggelamkannya dalam kegelapan. Entahlah. Ketidaktahuan itu terkadang menyergapnya di sela tidur malamnya yang tak pernah setenang hembusan angin kala senja. Keraguan itu masih berada di sana, masih terus menahan langkahnya untuk bergerak maju ke arah bahagia. Ia takut. Takut tidak sempat membahagiakan orang terkasihnya sebelum dirinya hilang ditelan bumi. Ia takut tidak sempat membanggakan kedua orang tuanya nanti. Ia takut, tapi ia tidak bisa sampaikan ketakutan itu pada siapa pun, lantas hanya ia simpan di dalam hati, tak jarang membuatnya semakin merasa sesak seolah ditekan peti besi.
Nathan lalu menghela napas panjang sambil menutup mata, ia lalu kembali menatap ketiga sahabatnya yang sedang sibuk berbincang-bincang.
“Gue kepikiran satu hal,” ujar Nathan tiba-tiba, membuat ketiganya langsung menoleh.
“Kepikiran apa?” tanya Juan.
Nathan menelan ludahnya sendiri, sempat ragu untuk melanjutkan tuturnya, ia lalu berdeham dan menegakkan duduknya sebelum benar-benar membuka suara. “Gue mau minta tolong.”
“Minta tolong apa? Apa pun gue bantu sini,” ujar Hadyan antusias.
“Nanti, tolong jagain Grizella ya. Setidaknya tolong temenin dia kalo dia lagi sedih. Tolong ada di samping dia kalo gue nggak berkesempatan untuk sembuh,” tukas Nathan.
Ketiganya tak langsung menjawab, entah masih mencerna perkataan Nathan atau memang tak tahu ingin menjawab dengan jawaban yang seperti apa.
Hadyan, seperti biasanya, ia memilih untuk tidak memberi respons serius demi agar terciptanya atmosfer baik di antara mereka, “Nggak usah tunggu nanti, Nath. Dari sekarang nitip Ijel juga nggak apa-apa, siniin nomernya,” tangan kanannya kini sudah menengadah seolah benar meminta. Ia lantas mendapat tendangan dari Rhayyan di bawah meja dan berakhir mengaduh kesakitan sebab tendangan remaja itu tepat mengenai tulang keringnya.
“Kata gue lo berobat aja anjir isi otak lu udah nggak beres,” ujar Rhayyan setelahnya.
Nathan kembali dibuat tertawa, “Serius dulu please,” ujarnya.
“Nggak ada titip-titip, jagain sendiri pacarnya, makanya ayo sembuh,” jawab Juan.
“Ya kan just in case....”
Rhayyan menghela napas, “Iya iya ditemenin elah, kan Zella juga temen kita, masa iya kita biarin dia nangis sendiri, nangis bareng-bareng lah.” jawaban Rhayyan kini berhasil membuat Nathan kembali tersenyum, “Thanks ya.”
Hadyan tiba-tiba bangkit dari duduknya, “Udah ah gua mau ngerokok dulu di depan,” ujarnya lalu menyambar bungkus rokoknya yang ia letakkan di atas meja.
“Ikut.” Juan lantas ikut berdiri mengekor Hadyan, menyisakan Rhayyan dan Nathan berdua di sana.
Nathan kembali bungkam, membiarkan Rhayyan melanjutkan kegiatan belajarnya dalam keadaan yang tenang. Netranya kembali ia fokuskan pada musik yang disuguhkan, sedangkan pikirannya kembali berkelana seperti sebelumnya. Katanya, dunia itu adil. Dia sempat ragu akan pernyataan itu, namun kali ini ia yakini memang benar adanya. Jerapah yang memiliki leher panjang membutuhkan usaha lebih banyak untuk memompa darahnya ke kepala, tapi di sisi lain Tuhan berikan ia kemampuan lebih berupa kekuatan jantung yang lebih besar. Pernahkah kalian berpikir jerapah dengan leher panjang merasa iri pada manusia yang lehernya jauh lebih pendek? Tidak. Bayangkan jika lehernya pendek seperti manusia maka tekanan jantung besar yang dimilikinya akan membunuhnya begitu saja. Sama dengan Nathan, semesta berikan ia sakit, namun semesta berikan orang-orang yang selalu mendukungnya di sela ketakutan yang menghantuinya. Ia yakin dunia itu adil, ia diberikan kesenangan di samping kesulitan yang ada. Teman-teman terbaiknya adalah salah satu hal yang ia syukuri dari banyak hal yang diberikan padanya.