Enam Juni
Shanine—gadis itu kini tengah menyisir rambutnya dan sontak menoleh ke arah pintu kala mendengar ketukan.
“Non?” suara seorang wanita paruh baya terdengar dari sisi lain pintu tersebut.
“Iya Bi? Buka aja ga pa-pa,” jawab Shanine dengan suara yang sedikit lantang, bermaksud agar wanita itu dapat mendengarnya.
Pintu kamar Shanine kemudian dibuka dan memunculkan seorang wanita dengan surainya yang sudah memutih sebagian. “Maaf Non, itu Den Aksa sudah ada di bawah,” ujarnya.
Shanine langsung menghentikan kegiatannya dan menoleh menatap wanita itu, “Eh? Oke Bi terima kasih, nanti Shanine turun,” jawabnya sopan.
Selang beberapa menit, gadis itu langsung keluar dari kamarnya dan sedikit berlari menuruni tangga. Kala kakinya menginjak anak tangga terakhir, maniknya langsung mendapati Aksa yang kini sedang duduk diam di sofa sembari memainkan ponselnya.
“Rapi amat tumben,” ujar Shanine kemudian ikut duduk di samping sahabatnya, gadis itu memasang senyum lebar seperti yang biasa ia lakukan.
Aksa menoleh dan menangkap sosok gadis manis itu kini sudah duduk di sampingnya. Dress kotak-kotak yang dikenakannya tampak sangat cantik dan cocok melekat pada tubuh rampingnya, pun rambut kecokelatan milik perempuan itu menambah kesan manis pada wajah mungilnya, Aksa terpesona, pria itu tidak berkutik.
“Jun?” Shanine yang menyadari sahabatnya kini tidak berkedip akhirnya berinisiatif untuk membantunya sadar. “Oi, Aksa!” ujarnya lagi, kali ini ditambah dengan tepukan pelan pada pundak pria itu.
“Hah? Oh, kenapa?” Aksa menjawab, tampak bingung.
“Lo yang kenapa, ngeliatin gue kayak ngeliat setan, ga kedip.”
“Ya, ga pa-pa. Udah yuk ah udah siap kan?” tanya Aksa setelah ia bangkit dari duduknya.
Shanine ikut berdiri, “Siap, kapten!”
Kedua remaja itu kini sudah berada di dalam mobil dengan Aksa yang tentu saja mengambil alih kemudi, sedang Shanine yang duduk di sampingnya masih sibuk menyanyikan lagu ulang tahun sejak 5 menit yang lalu. Suara manis dari gadis itu terkadang menggelitik perut Aksa, remaja pria itu tidak dapat menurunkan ujung bibirnya yang terus tertarik ke atas.
“Ganti lagu ah Nin, itu mulu yang dinyanyiin,” ujar Aksa akhirnya.
“Ih kan lagi hari ulang tahun, happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday, selamat ulang tahun, semoga panjang umur,” jawab Shanine yang dilanjutkan kembali dengan nyanyiannya, masih dengan lagu yang sama.
“Yang konsisten dong mau bahasa inggris apa indonesia.”
“Rese ah penontonnya banyak request,” ujar Shanine, gadis itu kini sudah tidak menyanyi lagi.
“Udah nyanyinya? Capek?”
“Haus.”
Aksa tertawa kala mendengar jawaban perempuan itu, tangannya kemudian menggapai botol mineral yang masih tersegel yang sengaja ia bawa tadi. “Nih, minum,” ujarnya seraya memberikan botol tersebut pada sahabatnya.
“Wah prepare sekali seperti Rafael, thank you.”
“Rafael mulu, dulu Rafael ya yang paling lo suka?”
“Engga, Morgan.”
“Ga tau lah ga kenal,” balas Aksa sembari tangannya membelokkan kemudi.
“Kenalan lah.”
“Gak penting.”
“Ck, Jun lu kok wangi banget deh? Wanginya beda gitu, pasti bukan parfum lo ini, wanginya agak kalem, lembut, enak,” ujar Shanine kemudian mendekatkan wajahnya pada Aksa dengan tujuan untuk menghirup lebih banyak harum yang menguar dari temannya itu.
“Aduh! Lo ah jangan deket-deket!” omel Aksa. “Apa sih galak banget tuan muda.” “Parfum Bang Sakha.” “Oh, pantes.” “Emang bau gue biasanya gimana?” “Bau bayi.” Aksa diam, hingga detik selanjutnya ia kembali bersuara, “Serah lo.”
Setelah sekitar 20 menit dalam perjalanan, sepasang sahabat itu kini tiba di sebuah restoran yang tentu saja merupakan restoran yang sudah disiapkan oleh Aksa sejak jauh hari. Ini yang pertama kalinya bagi Shanine datang ke tempat itu, netranya tidak henti memandang sekeliling hingga kemudian tangannya ditarik lembut oleh sang teman untuk masuk ke dalam. Suara lonceng menyambut mereka ketika pintu terbuka, tidak banyak orang yang berkunjung sehingga menjadikan tempat tersebut semakin terlihat nyaman. Aksa memimpin langkah keduanya menuju salah satu meja yang terletak pada sisi dekat dengan etalase kaca, tempat yang hangat dan nyaman, Shanine akui sahabatnya ini pandai mencari tempat yang memang gadis itu sukai. Keduanya lalu duduk berhadapan dan memesan beberapa menu.
“Jun, lo tau tempat ini dari mana?” tanya Shanine penasaran seraya memberikan kembali buku menu kepada pelayan. “Ibu.” “Ohhh, oke.” “Kata Ibu dulu waktu Ibu sama Ayah pacaran makannya di sini. Katanya enak dan ga begitu mahal, dan juga view-nya ga buruk.”
Shanine mengangguk setuju sembari maniknya masih menyisir tempat itu dengan penuh kekaguman. “Kenapa lo minta rekomendasi tempat orang pacaran?” ujar gadis itu, kemudian menaruh pandang pada teman yang ditanya.
Aksa tidak langsung menjawab, ia bingung. “Ekhm, itu.... Ya gue ga minta rekomendasi tempat pacaran sih, cuma minta rekomendasi restoran, terus Ibu ngasih taunya tempat ini.”
“Oh, kirain.” “Ya, gitu.”
Obrolan yang terus berlanjut di antara keduanya ikut menemani mereka selama makanan mereka belum dihidangkan. Aroma harum keju dan daging yang dibakar kini menambah rasa lapar mereka, pun beberapa kali pelayan berjalan bolak-balik membawa senampan penuh makanan dan minuman yang tampak menggiurkan. Aksa sesekali tertawa mengamati tingkah Shanine yang terus-terusan menoleh pada setiap pelayan yang melewati mereka.
“Lu laper atau gimana dah?” Aksa bertanya, masih tertawa kecil.
Shanine yang sadar bahwa dirinya diajak bicara kemudian menoleh cepat, “Hah?”
“Lu dari tadi ngeliatin pelayan lewat mulu, Nin, laper atau kepo doang?”
“Laper.” Jawab gadis itu jujur.
Aksa semakin tertawa dibuatnya kala melihat raut wajah Shanine yang tampak sedikit lesu.
“Sumpah tadi tuh gue ga begitu laper asli, tapi ini bau makanannya udah kecium, Jun. Udah keburu memenuhi rongga hidung gue, jadi terpancing ini cacing di perut saya sudah meronta.” Tutur Shanine yang berhasil membuat Aksa kini tertawa lepas.
“Tuh, kayaknya punya kita,” ujar Aksa sembari menunjuk sekilas seorang pelayan wanita yang membawa nampan berisi dua piring pasta dan dua gelas minuman dengan warna berbeda. Shanine langsung menoleh, memasang atensinya pada pelayan yang Aksa maksud. Matanya semakin berbinar ketika mendapati pelayan itu kini berhenti tepat di meja mereka dan meletakkan satu per satu menu yang dipesan sebelumnya.
“Udah tuh makan cepet.”
“Nanti dulu, Jun, kita foto dulu,” jawab gadis itu lalu kembali meraih kamera miliknya dan memotret dari berbagai sisi.
“Oke udah, ayo makan!”
Usai kegiatan makan mereka selesai, Shanine kembali dibuat sibuk memotret tempat tersebut dari duduknya. Jemari mungil gadis itu asyik menekan tombol pada kamera yang ia bawa sejak tadi. Gadis itu fokus pada kegiatannya hingga tidak menyadari sepasang netra yang kini menatapnya lekat, penuh kasih sayang. Pemilik netra itu kemudian tersenyum, merasa senang karena telah berhasil menghadiahkan kepada Shanine hari ulang tahun yang cukup indah untuk diingat.
“Nin,” panggil Aksa pelan.
Gadis di hadapannya kemudian menoleh, “Ya?”
“Emm.... Katanya mau tau?”
Shanine sempat tampak berpikir, “OH! Iya, ayo spill bestie, inisial M,” ujarnya sambil meletakkan kamera miliknya di atas meja, kini gadis itu hanya memberikan atensinya pada Aksa.
“Gue ngirim link jamboard, coba cek chat kita,” ujar Aksa dengan suara yang sedikit gemetar, jujur sejak tadi jantungnya sangat berisik, pun tangannya ikut dingin sekarang.
“Ribet amat sih, ya udah bentar,” Shanine kemudian mengambil ponselnya dari dalam tas, membuka ruang chatnya dengan Aksa.
“EH EH tardulu,” ujar Aksa tiba-tiba, tangannya lalu menahan gerakan tangan Shanine.
“Aduh apa sih.”
“Tapi lo buka itu jangan liat gue ya, jangan ngomong sama gue pokoknya baca sampe selesai tapi jangan ngomong sama gue sampe lo baca sampe akhir oke?”
“Ih ribet amat, iya iya.”
“Oke lo boleh buka sekarang.”