I Close My Eyes And All I See Is You
Mengetahui kabar dari Hadyan mengenai kecelakaan itu, Keisha segera pergi menuju rumah sakit. Pukul sembilan malam. Gerimis sedang turun ketika Keisha usai memarkirkan mobilnya di halaman rumah sakit yang luas. Lantas dengan air mata yang masih mengalir di pipinya, gadis itu berlari memasuki bangunan bercat putih tersebut.
Derap langkah Keisha mengisi keheningan di koridor rumah sakit yang cukup lengang. Hanya ada beberapa perawat dan dokter yang berlalu-lalang, tampaknya tak banyak pasien di sana malam ini. Keisha masih kepalang panik, napasnya terengah-engah seperti sedang dikejar hantu. Lalu dengan sigap gadis itu berbelok di ujung lorong dan menghentikan langkahnya, sedangkan kedua matanya ia pasang menyisir tempat itu, mencari keberadaan laki-laki yang memang disayanginya.
Setelah hampir lima belas detik gadis itu mencari, ditemukanlah olehnya Hadyan yang terduduk di atas ranjang rumah sakit. Lelaki itu tampak sedang bicara dengan perawat yang masih sibuk membalut kakinya dengan perban. Sempat menunggu dalam diam sambil masih mengatur napasnya, Keisha berdiri tak jauh dari ruangan itu. Dua menit setelahnya sang perawat keluar dari ruangan, memberikan Keisha kesempatan bertemu Hadyan.
Langkah Keisha sedikit berat mendekat pada pintu kaca. Di sana Hadyan masih memandang kakinya yang dibalut perban dengan wajah tanpa rasa bersalah sudah membuat Keisha terbirit-birit dari rumahnya ke rumah sakit, mengebut seperti orang gila di jalanan yang cukup padat. Sedetik setelahnya Hadyan mendongak dan terkejut menemukan Keisha berdiri di pintu masuk dengan air mata berderai, membuatnya ingat akan kejadian di pameran seni tempo hari.
“Kei? Kok jadi lo yang dateng?” ujarnya tak percaya.
Setelahnya tanpa Hadyan sempat menyiapkan hatinya, tubuh Keisha sudah benar-benar jatuh ke dalam dekapannya. Perempuan itu merengkuh erat Hadyan seolah laki-laki itu akan hilang dari muka bumi jika dilepas. Keisha menyerah malam ini. Menyerah melawan isi hatinya sendiri dan membiarkan apa pun yang dibisikkan oleh hatinya mengontrol tingkah lakunya. Tangan Keisha masih melingkar sempurna pada tubuh Hadyan, mengabaikan laki-laki itu yang masih membelalak tak percaya. Jantung Hadyan berpacu cepat. Persis seperti milik Keisha.
Lantas pelukan itu dilepas oleh sang gadis. Kini Keisha mengalihkan atensinya pada seluruh tubuh Hadyan, memeriksa apa-apa saja yang terluka di sana.
“Lo nggak pa-pa? Mana yang sakit? Siapa yang nyerempet? Kok bisa sih? Lo kan jago naik motor masa keserempet sih, Yan? Lo mau ke mana emangnya nggak pelan-pelan? Itu kakinya aja yang luka? Tangannya gimana? Kepalanya nggak kena apa-apa, ‘kan?” Keisha menghujani Hadyan dengan pertanyaan yang tentu saja tak tahu harus dijawab dari mana lebih dulu. Air mata gadis itu masih turun, suaranya pun masih bergetar di ujung kalimat. Baru membayangkan akan kehilangan Hadyan saja tampaknya ia tak akan pernah sanggup.
Hadyan masih bergeming. Untuk yang pertama kalinya Keisha bicara sebanyak itu padanya. Untuk pertama kalinya gadis itu menjatuhkan banyak sekali pertanyaan padanya, terlebih arah pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan seluruh kekhawatirannya. Ia masih memandang Keisha tak percaya, apakah benar seorang Keisha Davira mengkhawatirkannya sekarang?
“Kei … gue nggak apa-apa. Kaki doang ini yang susah jalan dikit, yang lain nggak apa-apa.” Hadyan akhirnya menjelaskan kondisinya, sedangkan gadis di depannya masih terisak.
Keisha memundurkan satu langkahnya menjauhi Hadyan. Air matanya masih terus mengalir meski hatinya perlahan mulai menghangat sebab kondisi Hadyan tak separah yang dipikirkannya selama di perjalanan tadi.
“Gue khawatir banget, sialan! Hiks…” Biar saja jika nanti-nanti Hadyan mengejeknya cengeng atau apa pun. Ia tak sanggup lagi menahan air matanya malam ini. Biarkan ia menangis sejadi-jadinya dan untuk yang pertama kali tangisnya ia suarakan tepat di depan Hadyan dengan sejujur-jujurnya.
Gantian, kini Hadyan yang menatap Keisha khawatir. “Kei—”
“Lo bilang … lo bilang mau nunggu gue sampe gue jawab ‘Yes’? Lo bohong, Yan!” Keisha menukas cepat ucapan Hadyan sambil masih terisak, “tapi kenapa lo malah berhenti, Yan?”
Hadyan diam. Hanya mampu mendengarkan.
“Kenapa lo berhenti suka sama gue? Kenapa lo nyerah, Hadyan?” Perempuan itu menjeda ucapannya guna menarik napas sebab dadanya sudah sesak sekali rasanya, “Lo boleh suka hujan lagi, Yan. Lo boleh suka hujan lagi sebanyak yang lo mau dan kali ini gue nggak akan bairin lo kehujanan. Atau kalo mau kehujanan lo nggak akan kehujanan sendirian. Biar gue jadi payung lo kalo emang jatuh cinta lo ibaratkan seperti suka hujan. Gue bakal jadi payung lo.” Tangis Keisha semakin deras. Namun, seiring seluruh kalimat itu keluar dari bibirnya, hatinya terasa lebih ringan.
“Gue sayang sama lo, Hadyan … gue nyerah, gue suka sama lo. Tapi gue paham kalo emang lo udah telanjur nggak bisa jatuhin lagi cinta lo ke gue gapapa, gue bi—”
Pergelangan tangan Keisha sudah ditarik oleh lelaki di depannya bahkan sebelum ucapannya usai ia lontarkan. Kini tubuh gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukan yang dirindukannya sejak lama, membuat Keisha terdiam. Tangan besar milik Hadyan bergerak lembut di atas kepala Keisha, membelai rambut perempuan itu perlahan guna menyalurkan kasih sayang.
“Sama, Kei. Gue emang bilang mau berhenti suka sama lo tapi sebanyak apa pun gue nyoba nggak akan pernah berhasil.” Hadyan bertutur lembut tepat di samping telinga Keisha, membisikkan kalimat itu setenang mungkin sambil tangannya masih bergerak mengelus kepala gadisnya. “Gue masih suka sama lo, Kei. Dan akan selalu suka sama lo karena lagi-lagi perasaan gue selalu balik ke lo, Keisha. Gue sayang sama lo, nggak pernah berkurang sedikit pun.”
Lantas di detik berikutnya tangis Keisha kembali pecah untuk yang kesekian kalinya. Namun, untuk yang pertama kalinya tangisnya tak sendirian, kini ia bisa menangis di pundak laki-laki yang selalu ia harap-harapkan kehadirannya.
“Jadi … gue boleh jadi pacar lo, Kei?”
Anggukan kecil dari Keisha menjadi jawaban yang sangat cukup bagi Hadyan. Laki-laki itu lantas tersenyum, semakin mengeratkan pelukannya pada gadisnya.
“Makasih banyak, Keisha.” Sebuah kecupan lalu mendarat sempurna di kening perempuan itu.
Mengingat kaki Hadyan terluka dan bahkan untuk berjalan saja ia sedikit kesulitan, Keisha akhirnya bertugas mengantar laki-laki itu hingga di depan rumahnya. Pukul sepuluh lebih lima belas menit, mobil Keisha berhenti tepat di depan bangunan bertingkat dua yang merupakan kediaman Hadyan.
Perempuan itu menarik rem tangan dan menoleh ke sampingnya. “Udah sampe,” ujarnya pada laki-laki yang masih bergeming di kursi penumpang sambil menatap lurus ke arahnya.
“Kei,” panggil Hadyan disertai cengirannya. Hadyan-nya Keisha sudah kembali seperti dulu, selalu dengan cengiran menyebalkannya.
“Apa?” “Makasih ya, udah dateng jemput aku.”
Rona merah muda mulai terlihat di pipi Keisha. Sepertinya sebutan “Aku” masih belum terbiasa di telinganya. “Sama-sama.”
“Ya udah aku turun ya? Maaf kamu jadi pulang sendirian.”
“Apa sih santai aja orang cuma nyebrang tuh rumah gue.” Keisha mengalihkan pandangnya ke jendela.
Hadyan terkekeh pelan, ia tahu Keisha sedang gugup sekarang. “Beneran nih aku turun sekarang? Kamu nggak kangen? Mau peluk lagi nggak?” tanyanya setengah menggoda.
Keisha membelalak menatap Hadyan. “Geli banget sana turun!” balasnya yang disambut tawa oleh laki-laki itu.
Lalu Hadyan mengangguk dan membuka pintu mobil, hendak keluar. Namun, tiba-tiba saja tangannya ditahan oleh Keisha, sehingga kepalanya kembali tertoleh ke belakang.
“Kenapa?” Hadyan bertanya.
Keisha menunduk dan menggigit bibir bawahnya, sempat ragu. “Gue … nggak suka kalo lo deket sama Karin,” ungkapnya.
Hadyan sempat diam, lalu di detik selanjutnya ia tersenyum hangat. “Aku bakal selalu pilih kamu dari pada siapa pun. Makasih udah bilang kalo kamu nggak suka aku deket sama Karin, aku paham batasnya, nggak usah khawatir.” Tangan besarnya kembali ia daratkan di atas kepala sang gadis. “Aku turun ya? Nanti kamu pulang langsung istirahat aja. Good night, Keisha, and thank you.”
Seharusnya Keisha percaya saja ucapan Grizella dulu. Seharusnya ia biarkan saja hatinya menang di atas berisik suara di dalam kepala kecilnya. Sebab ketika ia pilih suara hatinya yang paling jujur untuk didengar, maka benang-benang masalah di dalam kepalanya juga ikut terurai satu per satu. Benar, hatinya selalu tahu ke mana akan pulang ke mana akan kembali. Dan kembalinya selalu pada Hadyan. Karena setiap matanya terpejam, hanya bayangan laki-laki itu yang tak pernah meninggalkannya.