Kali ini benar ditolak

Aksara menutup rapat tubuhnya dengan selimut. Seharian ini ia hanya di kamar, mungkin keluar hanya sekadar untuk makan dan ke toilet. Entah kenapa hari ini kepalanya terasa begitu berat. Ia sudah sering menyatakan perasaannya pada gadis yang selalu ia sukai—Kayla, pun ia sudah ditolak berkali-kali setiap ia menyatakan perasaan. Biasanya ia hanya akan bersedih setengah hari atau satu hari, namun kali ini ia merasa sangat kalut. Berkali-kali suara Kayla terdengar di kepalanya, mencoba terus memutar kembali memori. Ucapan Kayla kemarin benar-benar berdampak padanya tanpa ia sangka.

Maaf Aksara, lo cowok baik, gue tau. Tapi perasaan ga bisa dibohongin kan Sa? Selama ini gue cuma memandang satu orang yang sama, Arsakha. Gue tau Sa, perasaan gue juga ga berbalas, makanya gue paham perasaan lo sekarang, gue minta maaf Sa. Jujur, gue pernah coba buat lebih perhatian ke lo Sa, pernah gue coba buat pindah hati ke lo Sa, tapi lagi-lagi, ucapan atau perlakuan kecil dari Arsakha selalu bisa bikin gue kembali. Gue ga mau maksain diri dan malah nyakitin lo, gue minta maaf. Kali ini, gue bener-bener nolak lo, maaf.

Aksara paham, ia sangat paham dengan apa yang diucapkan Kayla kemarin sore. Ia mengerti perasaan memang tidak bisa dipaksakan begitu saja. Hanya saja ia belum dapat menerima kenyataan bahwa ia tidak ada sedikit pun di hati Kayla, ia tidak ada dalam setiap pandangnya, ia hanya teman yang Kayla tahu adalah adik dari pria yang disukainya, Arsakha. Ingatan itu membuat kepalanya lebih sakit hari ini. Bahkan Aksa hanya memakan sedikit makan siangnya, itu pun karena Arsakha memaksa.

Jam menunjukkan pukul 3 sore. Aksara masih larut dalam lamunannya hingga ia disadarkan oleh suara bel rumahnya, “Pasti Shanine,” pikirnya. Samar-samar ia dapat mendengar suara Shanine di luar sedang mengobrol dengan abangnya. Beberapa menit kemudian pintu kamar Aksara diketuk pelan. Sakha membuka sedikit pintu tersebut, mencoba mengintip ke dalam kamar adik laki-lakinya.

“Aksa, ini ada Shanine,” ucap Sakha.

“Iya,” balas Aksa singkat, masih dengan selimut yang menutupi tubuhnya.

“Bang Sakha mau keluar sebentar disuruh Ibu beli beberapa keperluan, Shanine temenin kamu di sini ya?”

“Iya, Shanine suruh masuk aja gapapa.”

“Oke, abang suruh Shanine masuk.”

Shanine masuk ke kamar Aksa setelah mendapat izin dari Sakha. Hati Shanine sakit setiap kali ia melihat Aksa seperti ini, tidak, sebenarnya Aksa jarang sakit, ia anak yang kuat, tapi Shanine tahu, ia sampai demam begini boleh jadi karena kejadian kemarin.

“Halo? Jun? Gue masuk ya?” Shanine mencoba membuka percakapan meski yang diajak bicara hanya diam, masih menyelimuti dirinya.

“Jun lo udah makan kan?” ucap Shanine lagi.

“Udah.”

“Oke.”

Keduanya kembali terdiam. Shanine memutuskan untuk membenahi kamar Aksa yang sedikit berantakan dengan buku-buku yang berserakan di lantai bercampur dengan remah-remah biskuit. Shanine menghentikan kegiatan menyapunya karena tiba-tiba Aksa memanggil.

“Shanine....”

“Ya Sa? Kenapa? Butuh apa?”

“Gue laper tapi males makan.”

“Hmm mau sup makaroni ya gue bikinin?”

“Ga mau.”

“Apa dong?”

“Energen aja. Tapi mix vanilla sama cokelat.”

“Hah? Dua gitu? Dua energen gua campur trus seduh bareng?”

“Ya.”

“Aneh tapi yaudah bentar gue ke dapur.”

Shanine keluar dari kamar Aksa dan menuju dapur rumahnya. Ia sudah hafal denah rumah sahabatnya ini karena memang sudah sangat sering bermain ke rumah Aksa sejak SMP. Shanine mengambil satu bungkus energen cokelat dan satu bungkus energen vanilla sesuai dengan yang diinginkan Aksa. Ia kemudian menyeduhnya bersamaan. Jujur, baru pertama kali Shanine membuat minuman itu dengan cara seperti ini. Setelah selesai menyeduhnya, ia kemudian membawa minuman itu ke kamar Aksa.

“Sa, nih udah jadi. Sumpah aneh ga sih rasanya?”

“Ga tau gue juga baru pertama kali minum begini,” balas Aksa kemudian mengaduk minumannya.

“DIH? gimana sih gue kira lo udah sering soalnya pede banget mintanya. Yaudah minum deh. Gue izin lanjutin beresin kamar lo,” ucap Shanine sebelum detik berikutnya ia kembali melanjutkan kegiatan menyapunya, sedang Aksa menikmati minumannnya sambil sesekali menatap sahabatnya.

“Sori ga jadi nonton.” Aksa mencoba membuka percakapan.

“Santai aja Sa, lagian nonton juga maunya lo kok kemaren, gue niat nemenin doang.”

“Juni.”

“Hah?”

“Panggil gue Juni. Dari tadi lo manggil gue Aksa aneh banget rasanya.”

“HAHAHA tapi nama lo kan emang Aksaaa?”

“Ya gapapa Juni aja.”

“Ya udah iya Juni.” Shanine mengalah.

Lo pikir gue ga deg-degan juga apa ya dipanggil Shanine mulu dua hari berturut-turut? batinnya.

“Shanine,” panggil Aksa lagi.

“Apaaa?”

“Kemaren gue ditolak Kayla.”

“Iya tau, lo udah cerita.”

“Beneran ditolak.”

“Iya..”

“Gue harus nyerah aja apa ya Nin?”

“Kata tweet lo kemaren ga mau nyerah?”

“Ga tau deh, Kayla bilang perasaan ga bisa dipaksa dan dia sukanya sama Bang Sakha.”

“Ya, perasaan lo juga ga bisa dipaksa berarti kan? Kalo lo masih suka sama Kayla terus mau bilang apa?” ujar Shanine seolah menampar dirinya sendiri dengan ucapannya. Aksa hanya diam, bingung ingin menjawab apa.

“Kalo menurut gue nih Sa—”

“Jun. Juni.”

“Iya maksud gue Juni, menurut gue nih Jun, terserah aja lo mau tetep suka Kayla apa engga. Tapi kalau Kayla beneran ga mau sama lo, hargai aja keputusannya. Tapi lo masih boleh suka sama dia kan,” lanjut gadis itu, masih dengan sapu yang setia menghiasi tangan kanannya.

“Iya..”

“Nah udah begitu aja dulu mikirnya, pelan-pelan, kalo emang jodoh pasti dipertemukan, udah tenang aja oke?”

“Iya, makasih Mbul.”