Lelaki yang Tak Akan Patahkan Kamu Lagi
“Mana sih Rhayyan lama amat.” Sudah yang keempat kalinya Hadyan mengomel sebab Rhayyan tak kunjung menampakkan batang hidungnya sejak tadi.
Aura, Grizella, Keisha, Juan, Hadyan, ditambah Ian. Keenam remaja itu tengah berkumpul di halaman rerumputan luas di depan fakultas mereka. Hari sukacita, perayaan dimana-mana, ucapan selamat dan sorak-sorai bahagia terdengar di seluruh penjuru kampus. Para mahasiswa berjubah gelap dengan topi toga menghiasi kepala, berfoto bersama. Hari kelulusan.
“Itu Rhayyan bukan sih?” Aura menyipitkan mata, berujar pada Hadyan yang sudah tak sabaran ingin mengambil foto bersama teman-temannya sejak sepuluh menit yang lalu.
“Mana?” Hadyan sedikit berjinjit.
“Ituuu, yang lagi foto sama cewek,” jawab Aura.
“Oalah anjir pantesan lama … empat tahun kenal Rhayyan gue baru kali ini liat dia foto berdua sama cewek, mana bukan anak fakultas tuh, kagak kenal gue.” Sudah dapat dipastikan saat Rhayyan menghampiri mereka maka godaan dari Hadyan adalah yang pertama menyapa gendang telinganya nanti.
Dan benar saja.
“Sorry lama.” Rhayyan menghampiri, napasnya sedikit terengah, sempat berlari.
“Cie … siapa tuh? Anak fakultas mana?” Nada bicara Hadyan terdengar menyebalkan, melirik Rhayyan dengan tatapan menggoda.
Rhayyan memicingkan mata, memukul keras lengan Hadyan. “Bacot!”
“Kok dipukul sih?!” seru Hadyan tak terima.
“Udah-udah, ayo foto katanya mau foto.” Tentu saja itu adalah suara Juan, si jagonya menengahi.
Ketujuh remaja itu mengatur posisi. Memutuskan untuk membiarkan para perempuan berada di tengah. Juan berjajar di belakang bersama Ian sebab merekalah yang paling tinggi. Jangan tanya posisi Hadyan di mana, tentu saja keberadaannya tak pernah jauh dari Keisha, merangkul pundak wanita itu meski diomeli berkali-kali karena Keisha malu. Grizella terkekeh melihat pasangan itu, lantas menerima buket bunga pemberian Ian dengan senyum semringah, mengucapkan terima kasih.
“Rhay geseran sini dikit, itu Nathan nggak kebagian!” Hadyan sedikit berteriak.
“Hah?” Rhayyan mengerutkan dahi, mungkin tak mendengar ucapan Hadyan sebab di sana bising sekali.
“Majuan dikit, terus geser ke sini! Nathan nggak kebagian tempat nanti!” ulang Hadyan.
Rhayyan mengangguk, lantas menurut.
“Nah, gitu dong, ganteng banget Bang Rhayyan udah punya pacar.” Bukan Hadyan kalau tidak menciptakan suasana keributan.
Dengan wajah bersungut-sungut, Rhayyan tak sempat merespons, sebab tombol kamera sudah ditekan oleh Pak Satpam yang dimintai tolong untuk memotret tadi oleh Hadyan.
“Eh ulang! Gue belom senyum!” Rhayyan protes, lantas dihadiahi tawa oleh teman-temannya.
Siang yang panas, angin berhembus kencang meniup dedaunan yang sebagian sudah gugur. Sinar matahari terselip di antara sela dedaunan, menghangatkan. Hari itu hari kelulusan, hari bahagia yang tak terlupakan, disertai sebuah potret indah ketujuh remaja yang baru saja beranjak ke level kehidupan yang berikutnya, dunia kerja. Foto yang indah meski wajah Rhayyan tampak tidak bersahabat, selalu berhasil mengundang tawa teman-temannya keluar.
Kembali kepada jalan setapak itu. Langkah kaki Grizella ringan melangkah di depan Ian, memimpin jalan menuju pusara Nathan. Setelah selesai dengan acara senang-senangnya di kampus tadi, Grizella dan Ian memutuskan untuk mengunjungi Nathan. Grizella ingin bilang pada Nathan bahwa dirinya sudah lulus, sudah berhasil melalui hari-hari yang sulit.
“Nathan! Halo!” Grizella berseru ceria, matanya menyipit seiring senyumnya melebar, cantik.
“Nath, aku sama temen-temen yang lain udah lulus lho! Seneng banget, Rhayyan juga keren tadi maju ke podium buat nerima penghargaan mahasiswa berprestasi. Yang berdiri di sana tuh Rhayyan, bukan aku, tapi aku ikut bangga banget, temen kita hebat ya?” Grizella berjongkok, diikuti Ian di sampingnya.
“Iya, Nath, lo harus liat sih Zella tadi cantik—” Begitu kalau sebelum bicara tidak pikir panjang, Ian keceplosan. “Eh, engga, maksud gue … aduh…”
Grizella menoleh, terkekeh. “Makasih, Kak.”
Semburat merah muda terlihat samar menghiasi kedua pipi Atharyan Cakra sore itu. Perkara Grizella tersenyum saja hatinya sudah amat bahagia, terlebih senyum gadis itu disebabkan oleh ucapannya, bukan main bahagianya berlipat ganda.
Lalu sore itu Ian membuat sebuah pengakuan. Pengakuan tentang perasaannya yang semakin hari semakin memahami mengapa Nathan bisa sejatuh cinta itu pada perempuan yang tengah berjongkok di sampingnya. Ian bukan ingin meminta Grizella menjadi kekasihnya, rasanya belum pantas baginya meminta seperti itu, terlalu cepat. Ian hanya ingin meminta izin pada Nathan. Meminta izin untuk menjatuhkan hatinya pada Grizella.
“Nath, gue mau jujur ke lo…” ucapannya terjeda, sejenak menarik napas menahan gugup, “gue sayang sama Zella, Nath. Gue sayang sama dia, dan gue rasa perasaan gue udah lebih dari sekedar temen deket, gue nyaman tiap deket dia, gue seneng liat dia senyum, gue juga sedih tiap dia sedih. Kalo gue boleh minta izin, gue boleh nggak, Nath, buat jatuh cinta sama Zella? Sebesar lo sayang sama dia, dan sebanyak lo mengagumi dia.” Tatapan Ian lurus menatap papan kayu bertuliskan nama sepupunya, hatinya tak gentar meski ia tahu tengah ditatap lekat oleh Grizella.
“… Kak?” Grizella berujar ragu. “Kakak serius ngomong gitu?”
Ian menoleh, mengangguk. Ia tidak pernah seserius ini pada siapa pun.
Grizella mengalihkan pandangnya dari Ian, menunduk menatap gundukan tanah. Memang benar ia ingin belajar membuka hatinya sejak lama. Terlebih orang itu adalah Ian, ia tak perlu khawatir akan dikecewakan, bukan? Namun Grizella masih punya sedikit takut. Takut-takut nanti ia justru memandang sosok Ian sebagai Nathan, takut-takut nanti Grizella masih sering teringat Nathan ketika ia bersama Ian, takut-takut semua yang dikhawatirkannya itu justru akan membuat laki-laki itu merasa kecewa sebab dipandang sebagai orang lain. Tak apa, Grizella juga sedang belajar lagi untuk mencintai, kan? Dan sejatinya belajar itu tak akan berhasil dalam sekejap, butuh waktu lebih lama dari yang diduganya.
“Makasih, Kak, udah sayang sama gue. Tapi gue masih harus ikhlasin banyak hal, gue rasa hati gue belom siap kalau diminta bales perasaan lo sekarang. Masih ada hal-hal yang gue takutin, Kak. Dan kalo boleh jujur gue juga nyaman ada di deket lo, gue juga sayang sama lo, lo orang spesial buat gue, Kak. Karena cuma lo yang bersedia nemenin gue di titik terendah gue sekalipun. Tapi gue boleh minta waktu lagi? Seandainya lo berharap jawaban gue lebih dari ini.” Gadis itu tak punya nyali menatap mata Ian, ia takut Ian akan kecewa dan meninggalkannya.
Alih-alih pergi seperti yang Grizella duga, Ian justru tersenyum lembut. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala Grizella. “Hahaha … santai aja, Zel. Gue cuma minta izin ke Nathan doang, nggak maksa lo buat jawab ini itu. Gue bakal tunggu, karena gue yakin nanti lo bisa jatuh cinta sama gue lebih dari lo jatuh cinta ke Nathan.”
Benar, Grizella tak perlu khawatir. Tak perlu khawatir sebab ini Ian bukan orang lain. Jangankan disuruh menunggu satu atau dua bulan, bahkan satu tahun atau dua tahun ke depan sepertinya Ian sanggup. Karena mencintai Grizella juga berarti mengingatkannya akan Nathan, sepupunya yang berharga. Dan lagi Ian merasa cukup percaya diri cepat atau lambat Grizella akan menerima dan membalas perasaannya dengan perasaan yang serupa. Sebab Ian tahu, perempuan itu hanya butuh waktu sebentar lagi untuk kembali jatuh cinta setelah dipatahkan sepatah-patahnya. Ian akan menunggu. Menunggu sambil membantu membenahi remukan di hati Grizella, menyusunnya lagi.
Lalu angin sejuk kembali melintas di antara keduanya. Berkali-kali hilir mudik ke depan dan ke belakang. Itu persetujuan dari Nathan. Jatuh cintalah lagi, Grizella, sebab laki-laki yang satu ini tak akan patahkan kamu lagi.
Back to You -END-