Let Her Go


Manusia adalah makhluk paling sempurna, katanya. Pun manusia menjadi makhluk yang paling sering bimbang. Bukankah hidup sudah memberi kita banyak sekali pilihan? Mulai dari bangun tidur sudah dihadapkan pilihan lebih baik bangun atau lanjut tidur lagi, lalu turun dari kasur lagi-lagi diberi pilihan lebih baik mandi atau makan terlebih dahulu. Adakalanya pilihan-pilihan itu menjadi lebih sulit, memaksa manusia menerka-nerka apa yang sebaiknya mereka pilih, apa yang sebaiknya mereka lakukan. Melawan apa kata hatinya … atau lebih baik menerima apa adanya perasaan itu?

Keisha sudah memikirkannya selama beberapa hari ini.

Jawaban perihal bagaimana cara menerima apa adanya perasaan itu. Juga mengenai jawaban bagaimana caranya menyelesaikan ketakutannya akan masa lalu. Perihal Hadyan yang semakin memenuhi pikirannya akhir-akhir ini, perihal perasaannya yang semakin hari semakin ia bohongi sendiri.

Sesak rasanya. Maka Keisha malam ini memilih untuk pergi keluar dari rumahnya dan duduk di atas sebuah ayunan di taman kompleksnya. Perempuan dengan rambut yang ia kuncir asal-asalan itu mulai menghela napasnya berat. Kalau jatuh cinta ternyata jadi serumit ini maka kalau bisa ia tidak ingin. Kakinya yang menjejak di atas rumput itu didorong-dorong pelan, membuat ayunan yang dinaikinya bergerak perlahan. Meski tak membantu banyak setidaknya angin malam yang berembus melewatinya dapat sedikitnya mengurangi beban pikirannya.

Lalu, tiba-tiba pipi gadis itu merasakan sesuatu yang dingin ditempelkan pada permukaan kulitnya. Terkejut, ia pun menoleh cepat dan menemukan Hadyan sudah berdiri di sampingnya dengan cengirannya seperti biasa. Memegang sebuah es krim yang masih dibungkus di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menenteng plastik putih. Bukankah selalu begitu? Seperti yang sudah-sudah, lelaki itu selalu muncul entah Keisha sedang butuh atau tidak.

“Nih.” Hadyan mengulurkan tangan kanannya, memberikan es krim itu pada gadis yang masih menatapnya sendu. “Ini, buat lo, ambil,” ujarnya lagi kala uluran tangannya tak juga disambut.

Akhirnya Keisha menerima pemberian es krim itu tanpa bicara apa pun. Sedangkan Hadyan sudah ikut duduk di ayunan tepat di sampingnya. Keisha lalu mengikuti gerak-gerik Hadyan yang kini tengah membuka bungkus es krim miliknya sendiri dan mulai memakannya. Sunyi menghampiri mereka berdua. Keisha, pun Hadyan, keduanya hanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, mendongak menatap langit tanpa bintang yang menaungi.

Kehadiran seorang Hadyan bagi Keisha seperti sesuatu yang ajaib sekali. Terbukti entah bagaimana sekarang ia merasa jauh lebih nyaman dan merasa aman. Padahal lelaki itulah satu-satunya alasan ia tak dapat tidur di malam hari, membuat kepalanya pusing, dan tak jarang membuat matanya bengkak karena menangis. Keisha sudah memikirkannya beberapa hari terakhir, haruskah ia jujur pada Hadyan sekarang? Mengenai ketakutan-ketakutannya akan masa lalu, perihal perasaannya, kekhawatirannya, semuanya. Haruskah?

Lalu dengan segenap keberanian ia mulai membuka mulutnya, hendak bicara.

“Yan.” “Kei…”

Keduanya lantas menoleh bersamaan, saling bertatapan. Kenapa juga bisa-bisanya mereka kompak mulai berbicara.

Hadyan terkekeh, “Lo duluan, Kei. Kenapa?” Jika Hadyan yang orang-orang kenal adalah Hadyan yang cerewet, ceria, bicaranya kasar, maka Hadyan di hadapan Keisha adalah seseorang paling pengertian, suaranya lembut, juga tutur katanya mampu menenangkan.

Keisha lantas menggelengkan kepalanya. “Lo aja duluan.”

“Beneran?” Hadyan memastikan, lalu gadis di sampingnya membalas dengan anggukan. Setelahnya Hadyan tak langsung bicara, tanpa menatapnya pun Keisha tahu laki-laki itu sedang menarik napas panjang. Mungkin sesak yang lelaki itu rasakan hampir sama seperti yang dirasakan oleh Keisha.

“Gue boleh jadi pacar lo nggak, Kei? Gue sayang sama lo, sayang banget.” Hadyan berujar tulus, bahkan jika diperhatikan betul-betul matanya sudah mulai berair sekarang. Hadyan selalu setulus itu untuk Keisha, tak pernah berkurang sedikit pun.

Keisha yang mendengar ucapan Hadyan kini hanya dapat diam seribu bahasa. Entah sudah berapa kali laki-laki itu bilang ingin jadi pacarnya. Ia sungguh ingin berbicara sekarang, membalas ucapan Hadyan. Namun kata-katanya tercekat di tenggorokkan, tak mampu dikeluarkan. Ketakutan itu mulai hadir lagi, sejenak membuat jemarinya bergetar dan dingin. Lantas perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya sambil menatap lurus ke depan, mengalihkan kedua maniknya dari Hadyan.

Gelengan kepala dari Keisha sudah cukup menjadi jawaban bagi Hadyan. Laki-laki itu mengangguk paham dan memasang senyum simpul. “Belum bisa ya, Kei? Ya udah nggak apa-apa,” ujarnya pelan, tetapi Keisha masih dapat mendengarnya dengan jelas.

“Kei, dengerin gue deh bentar aja.” Hadyan bicara sambil menatap langit malam yang gelap. Sedangkan Keisha sudah menatapnya lekat, menunggu kalimat selanjutnya dari laki-laki itu. “Soal perasaan cinta, nggak melulu harus berakhir bahagia ternyata.”

Keisha masih terdiam. Mengunci mulutnya rapat. Mendengarkan Hadyan bicara begini membuat hatinya berkecamuk.

“Jatuh cinta menurut gue ibaratnya kayak gue suka hujan. Alias kalo gue suka hujan, harus mau dan siap buat kehujanan, ‘kan? Gue udah mutusin buat jatuhin cinta gue ke lo jadinya gue harus mau dan siap buat patah hati juga kalau belum berhasil.” Hadyan masih bertutur, sedang Keisha hanya mampu menatapnya sendu.

Laki-laki itu lalu menarik napas sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya. “Yang jadi masalah adalah gue udah sering banget kehujanan, Kei. Dan gue rasa ini saatnya gue berhenti buat suka hujan biar gue nggak sakit nantinya.” Keisha mencelos mendengarnya, tapi apa yang bisa diperbuat olehnya? Bukankah Keisha masih jadi gadis penakut? Hanya mampu diam tak menyuarakan isi hatinya.

Hadyan seolah tak memberinya jeda untuk sekadar menghirup oksigen lebih banyak. Laki-laki itu kini menatap lurus ke arah dua bola mata Keisha, menatapnya penuh ketulusan seperti yang sudah-sudah. Lalu ia kembali berujar, “Kei, gue … berhenti ya? Suka sama lo.” Dia, Hadyan, hari ini memutuskan untuk merelakan perasaannya. Ia akhirnya memutuskan untuk melepas perempuannya pergi, tak ingin lagi memaksakan.

Jangan. Jangan berhenti. Gue mohon. Tungguin gue sedikit lagi, sebentar lagi.

Sayang sekali. Semua itu hanya mampu Keisha ucapkan di dalam hatinya. Lalu seolah tak mengerti Keisha sedang menahan seluruh tangisnya, Hadyan kembali melanjutkan kalimatnya. “Gue tau nggak gampang, tapi mulai sekarang kayaknya gue harus mulai bisa lepas lo, Kei, gue nggak mau maksa lagi. Makasih ya? Udah pernah jadi alasan gue senyum di hari buruk gue dan udah jadi alasan gue sedih di hari baik gue … Gue berhenti ya, Kei?”

Tak mendapat respons apa pun dari gadis itu, Hadyan lantas berdiri dari duduknya. Ia tersenyum. “Ya udah, gue mau ngomong itu aja kok, lo tadi mau ngomong apa?”

Bukankah sudah terlambat? Untuk mengucapkan semuanya sekarang? Maka Keisha lagi-lagi memilih untuk menjadi anak penakut. Ia menggelengkan kepalanya sembari menunduk.

Hadyan mengangguk. “Oke, kalo nggak ada yang mau lo sampein, gue balik sekarang ya? Lo juga sana masuk rumah, anginnya makin kenceng, nanti malah sakit.” Ia lalu melangkahkan kakinya hendak pergi dari taman.

Entah apa yang membuat Keisha kini tiba-tiba bangkit dari duduknya. “Yan!”

Hadyan menghentikan langkahnya, lalu kembali menoleh ke belakang.

“Hadyan…” Jangan pergi.

“Gue…” Gue sayang sama lo!

“Minta maaf…” Maaf karena gue terlambat...

Mendengar sebuah permintaan maaf dari Keisha, Hadyan kini tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, nggak perlu minta maaf. Ini perasaan gue, urusan gue, lo nggak perlu bertanggung jawab. Lagian kita masih bisa temenan, ‘kan? Masih bisa ngobrol bareng temen-temen yang lain juga … Gue duluan ya.”

Lantas setelah perginya Hadyan dari taman, perempuan itu kembali terduduk lemas di atas ayunan. Es krim di tangannya, pemberian dari Hadyan, sudah lama cair. Lalu air mata yang sudah menggenang di pelupuknya mulai turun, diikuti gerakan pundaknya yang naik turun akibat isakannya tak kunjung reda.

Untuk yang kedua kalinya gadis itu kembali menyuarakan tangisnya seorang diri. Hanya ditemani oleh es krim pemberian laki-laki yang katanya sudah terlalu banyak kehujanan.