Luka Shanine

Aksa kembali meletakkan ponselnya di meja setelah memastikan Shanine baik-baik saja, namun maniknya belum lepas dari perempuan itu. 10 menit sudah berlalu dan Shanine belum kunjung menunjukkan tanda-tanda ingin bangun dari posisinya sekarang. Aksa dapat melihat salah satu tangan gadis itu sibuk memegang pelipisnya, sesekali ia memijatnya. Merasa tidak dapat membiarkan sahabat kesayangannya itu merasa sakit, Aksa bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah gadis itu. Perhatian seluruh manik mata seisi kelas kini diberikan kepada Aksa.

“Ayo, ke UKS,” ujar Aksa sembari memegang pergelangan tangan Shanine dengan lembut.

Shanine menoleh dan mendapati sahabatnya kini sudah berdiri tepat di sampingnya, “Kenapa lu berdiri di sini Jun?” balas Shanine dengan nada lemah.

“Ayo, lu bisa jalan ga? Kalo ga bisa, gue gendong,” Aksa kini menyamakan tingginya dengan Shanine, pandangnya menatap lurus ke arah netra sang gadis. Hatinya sakit kala melihat wajah sahabatnya ini terlihat sangat pucat pun ia tidak menemukan adanya pancaran sinar bahagia yang biasanya selalu bertengger pada kedua matanya. Tatapan gadis itu sendu.

Merasa belum mendapat jawaban, Aksa memutuskan untuk memberi aksi, “Gue gendong,” ucapnya kemudian menarik tangan gadis itu dengan lembut, namun tangan Aksa langsung ditepis pelan.

“Gue bisa jalan sendiri ga apa-apa,” Shanine kemudian berdiri, dengan Aksa yang masih setia menjaganya dari belakang.

Namun kemudian pandang gadis itu memburam, kepalanya merasa lebih sakit sekarang seolah ada sesuatu yang menekannya dengan keras. Langkah Shanine terhenti, remaja itu memegang kepalanya dengan kedua tangannya, kakinya pun terasa lemas. Gadis itu kemudian ambruk, namun sebelum ia jatuh Aksa sudah lebih dulu memegangnya. Laki-laki itu kemudian dengan sigap menggendong Shanine, mengangkat gadis itu mendekat pada dekapannya.

“Maaf Bu, saya izin bawa Shanine ke UKS,” ujar Aksa yang disahut dengan anggukan oleh gurunya. Keduanya kemudian berlalu.


Hening. Begitulah keadaan UKS saat ini. Hanya suara jarum jam yang setia menemani Aksa yang kini masih menatap khawatir ke arah Shanine. Sahabatnya ini masih memejamkan matanya sejak 15 menit yang lalu, wajahnya pucat, bibirnya tidak merah seperti biasa, alisnya pun berkerut seolah memberitahukan Aksa betapa sakitnya ia sekarang. Remaja laki-laki itu mengusap pelan kening sang gadis, menyingkirkan beberapa anak rambut yang menghalangi, dan menggenggam lembut tangannya, mencoba menyalurkan kehangatan seperti apa yang Shanine lakukan untuknya kala ia jatuh saat classmeet tempo hari. Aksa menatap sahabatnya sendu, “Ayo bangun,” bisiknya. Semesta seolah mendengar doa remaja itu, Shanine kini membuka pelan matanya dan menoleh ke sisi kanannya. Gadis itu mendapati Aksa yang sedang menunduk sembari masih setia menggenggam tangan kanan gadis itu.

“Jun....” panggil Shanine pelan, masih dengan nada lemah.

Aksa terkejut kala merasa namanya dipanggil, ia langsung mengangkat kepalanya dengan cepat dan mendapati Shanine yang kini tersenyum ke arahnya.

“Udah bangun? Gimana? Masih pusing? Iya? Mau gue beliin teh anget ya di kantin? Aduh dompet gue dimana, sebentar, kayaknya ketinggalan di kelas, Nin, sebentar ya gue ambil dulu,” ujar Aksa yang saat ini terlihat bingung dan panik, pria itu kemudian bangkit dari duduknya, namun tangannya dengan cepat ditahan oleh Shanine.

“Di sini aja dulu, gue ga pa-pa,” ujar Shanine lembut, berusaha memberi senyuman.

Aksa kembali ke posisi duduknya, sedangkan Shanine menatap kosong ke arah langit-langit. Aksa benar-benar merasa sesuatu terjadi pada sahabatnya, sahabatnya ini tidak baik-baik saja sekarang. Dengan ragu akhirnya Aksa membuka suara.

“Mau cerita?” ujar pria itu. Shanine menoleh, “Hm?” “Lu ada masalah kan? Kalo mau cerita, gue selalu siap dengerin.” Gadis itu terkekeh pelan, “Gue bener-bener ga bisa sembunyiin apa-apa dari lo ya Jun?” “Gue ga maksa kalo lu ga mau cerita, tapi gue bakal selalu ada di pihak lo Nin, apapun ceritanya.” Gadis itu kembali menarik napas panjang sembari memejamkan matanya, “Orang tua gue kemaren pulang dari kerjaannya di luar kota,” ujarnya mulai bercerita.

Aksa menatap Shanine tidak berkedip, menunggu lanjutan dari ceritanya.

“Mereka sampe di rumah tepat abis kita selesai chat-an tadi malem,” lanjut Shanine. “Terus?” “Terus mereka berantem.”

Aksa terdiam. Ia tahu betul orang tua sahabatnya ini hanya akan akur jika menyangkut pekerjaan saja, selebihnya mereka hanya akan meributkan banyak hal, tapi tentu saja yang jadi korban adalah anak perempuan mereka yang tidak tahu apa-apa.

Air mata Shanine jatuh. Gadis itu kembali melanjutkan ceritanya, “Mereka bilang–“ isak tangisnya semakin menjadi kala memorinya memutar ulang kejadian malam tadi, gadis itu kemudian menjeda ucapannya.

Aksa mengusap pelan punggung tangan sang gadis, “Ga pa-pa, pelan-pelan aja ceritanya,” ujarnya sembari membantu Shanine menghapus jejak air matanya. Bukan sekali dua kali pria itu mendengarkan Shanine bercerita seperti ini, namun tampaknya kejadian kali ini lebih serius dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya.

“Mereka bilang, harusnya mereka ga menikah, harusnya mereka ga ketemu. Dan harusnya mereka ga punya gue,” lanjut Shanine sembari memasang senyum yang terlihat sangat menyakitkan bagi Aksa.

Aksa kini hanya menunduk, menyembunyikan air matanya yang sudah menggenang. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa orang tua bicara begitu bahkan di depan anaknya sendiri. Seumur-umur ia bahkan belum pernah dibentak sedikit pun oleh kedua orang tuanya. Hatinya mengucap syukur memiliki orang tua dan kakak laki-laki yang baik, namun sekaligus ia merasa sangat iba pada temannya itu.

“Gue salah apa Jun? Dari kecil gue ga pernah minta apa-apa ke mereka. Gue cuma pernah minta satu hal ke mereka pas gue SD. Gue bilang gue mau liburan bareng mereka, udah, itu aja. Tapi mereka selalu sibuk, gue paham, jadi gue diem. Dari kecil gue cuma ditemenin sama Bibi asisten rumah gue, gue ga minta apa-apa lagi Jun, gue cuma mau mereka baik-baik kayak Bunda Nessa sama Om Johan,” lanjut Shanine bercerita. Air mata gadis itu masih setia menghiasi wajah cantiknya.

“Buat apa Jun, buat apa banyak uang, pekerjaan bagus, rumah besar, mobil banyak, kalo rumah itu, rumah gue, rasanya dingin. Ga ada ibu yang nyambut gue setiap pulang, ga ada ayah yang bawain makanan enak tiap pulang kerja. Kayaknya harapan gue yang kayak gitu terlalu tinggi ya Jun?”

Hati Aksa mencelos mendengar seluruh cerita Shanine. Gadis baik di hadapannya ini hanya menginginkan sebuah kehangatan dari keluarganya yang belum bisa ia sebut ‘rumah’. Aksa kini paham kenapa Shanine sangat menempel padanya sejak SMP, ia paham kenapa setiap ia pergi ke rumah gadis itu pasti tidak ada orang tuanya di sana, ia paham sebesar apa Shanine butuh teman untuk hidupnya. Dan saat ini hanya Aksa yang dapat memberikannya, setidaknya untuk sementara, karena ia berharap orang tua gadis itu segera sadar dan bisa memperbaiki kesalahan mereka.

“Lo ga salah apa-apa Nin. Gue minta maaf ga bisa berbuat apa-apa buat bantu lo, gue minta maaf gue cuma bisa nemenin dan dengerin lo kayak gini dari dulu. Gua cuma mau lo tau kalo lo itu lebih berharga dari yang mereka bilang,” ujar Aksa sembari mengelus pelan pundak gadis di hadapannya.

Shanine menghapus air mata terakhirnya, “Makasih Jun, setidaknya Tuhan masih baik udah izinin gue kenal sama lo,” ucap gadis itu sambil tersenyum lebar hingga matanya menyipit yang justru membuat hati Aksa seperti diiris-iris. Ucapan ibunya adalah benar, Shanine gadis baik.

May I?” ucap Aksa pelan. “Apa?” “Hug you?”