Malam Terakhir Nathan
Nathan kembali mematikan handphone-nya usai memberi kabar seadanya pada Grizella dan teman-temannya. Ia sudah menduga Grizella akan sebegitu khawatir padanya. Namun, sejujurnya ia sedikit terkejut ketika teman-temannya juga ikut heboh mencarinya seharian ini. Ponsel Nathan seharian hanya dibanjiri oleh chat dari Juan, Grizella, Rhayyan, bahkan Hadyan ikut mengomelinya melalui pesan singkat di ruang chat pribadinya dengan gaya bahasa yang cukup aneh. Hadyan juga, ia tampaknya sedang tidak baik-baik saja.
Laki-laki yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit itu membuang napas gusar. Entah sejak jam berapa tangannya sudah ditanam jarum dan ditempeli oleh kain putih tipis. Nathan hanya memandang perban itu lekat-lekat, lalu beralih pada infus yang perlahan menetes dari atas, mulai mengaliri tubuhnya dengan cairan. Lelah sekali rasanya, padahal ia juga baru bangun satu jam yang lalu, tapi pegalnya seperti sudah dikeroyoki orang satu kampung.
“Udah main hapenya?” Suara yang sedikit berat itu berasal dari laki-laki bernama Ian, sepupu Nathan yang tak bosan-bosan menemani Nathan dalam kondisi apa pun.
Nathan lantas mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ian. Ia lalu kembali memberikan ponselnya pada laki-laki yang tengah duduk di kursi tepat di samping ranjangnya berada untuk kemudian diletakkan di atas meja kecil.
Jarak usia Nathan dan Ian hanya berkisar satu tahun, jadilah sejak kecil mereka sudah terbiasa bersama, bahkan mendaftar di SD yang sama. Dulu, rasanya sangat aneh kalau ada Nathan, namun tidak ada Ian atau sebaliknya. Mereka selalu berdua, saling mengenalkan teman-temannya hingga akrab.
“Lo dari jam berapa, Bang, di sini?” tanya Nathan penasaran, sebab tadi ketika ia membuka mata alih-alih ibunya yang ia lihat justru laki-laki berjaket biru gelap itu yang menyambutnya.
Ian tidak langsung menjawab. Kekhawatiran tercetak jelas di kedua mata sendunya. Baginya Nathan sudah seperti adik laki-laki yang mana ia harus ikut bertanggung jawab menjaganya.
Lalu laki-laki yang lebih tua menjawab, “Sejak lo pingsan di kamar mandi gue udah sama lo, Nath. Udah gue bilang kalo pusing nggak usah berdiri dulu, ini malah ke kamar mandi, cari mati ya lo?” omelnya yang sebenarnya adalah caranya menyampaikan bahwa ia khawatir.
Nathan terkekeh. Sudah biasa ia mendapati omelan seperti itu dari Ian. Dan ia tidak pernah keberatan untuk terus diomeli karena rasanya seperti ia punya orang yang benar-benar menyayanginya, bahkan rela untuk mengkhawatirkannya.
“Nggak usah ketawa. Gimana kepalanya? Masih pusing? Mual?” Ian memajukan duduknya pada Nathan, hendak memeriksa sepupunya yang tampaknya masih tak berdaya melawan rasa sakitnya.
“Udah mendingan kok, mual sedikit tapi nggak apa-apa. Thanks ya, kalo nggak ada Bang Ian mah gue udah dikerubungin kecoak di kamar mandi kali tadi,” gurau Nathan, ia lalu terkekeh lagi sebelum tiba-tiba terbatuk.
Ian menggelengkan kepalanya heran. Bisa-bisanya Nathan masih sempat bercanda ketika tadi dirinya sudah di ambang hidup dan mati? Asal tahu saja tadi betapa terkejutnya Ian ketika menemukan sepupunya tergeletak tak berdaya di lantai kamar mandi dengan bersimbah darah. Rasanya jantungnya seolah berhenti. Namun, yang dikhawatirkan justru bisa-bisanya tertawa seperti ini?
“Nggak sopan, lo nggak tau gue sekaget apa pas nemuin lo di kamar mandi.” Tangan Ian meraih segelas air di atas meja kecil untuk kemudian ia berikan pada Nathan yang masih terbatuk-batuk ringan. “Nih, minum.”
Nathan menegakkan duduknya, dibantu oleh Ian kini ia bisa menyandarkan punggungnya dengan nyaman di atas tumpukan bantal. Segelas air itu berpindah tangan, lalu diteguk isinya oleh Nathan hingga menyisakan setengah. “Tadi gue kira gue udah nggak bisa bangun.” Nathan berujar terus terang, lantas kembali mengoper gelas itu pada Ian.
“Bisa lah bangun. Lo kan ajaib, jatoh dari sepeda sampe masuk selokan aja lo masih bisa pulang dengan cengar-cengir padahal sepeda lo sampe rusak nggak berbentuk.” Ian mengingat lagi kejadian saat mereka masih kanak-kanak. “Tuh bekas jaitan di lutut lo saksinya betapa kuatnya seorang Nathan dengan lutut berdarah masih bisa lari pulang.” Seolah ucapan Ian adalah hal yang paling membahagiakan di dunia ini, Nathan menerimanya dengan senyuman. Namun, tatapannya tidak demikian. Ada sinar sendu dan kerinduan yang terpancar dari kedua manik gelap milik Nathan.
“Bang.” Sebuah panggilan kembali membuat Ian fokus menatap Nathan.
“Apa?”
“Gue tau lo udah bantu gue banyak banget dari dulu, tapi gue mau minta tolong lagi boleh?” Nathan mengajukan permintaan sambil menatap lurus pada Ian. Pikirnya sebelum bundanya kembali masuk ke dalam kamar inapnya, setidaknya ia harus meminta tolong satu hal ini pada sepupu laki-laki yang sudah sangat ia percayai.
“Minta tolong apa?”
“Tolong ambilin kertas sama pulpen.”
Ian mengernyit, bingung. Dalam kondisi seperti ini? Meminta kertas dan pulpen?
“Buat apa sih?” Ian tak langsung menyanggupi permintaan Nathan.
“Mau nulis surat….”
“Surat apaan lo nggak punya harta benda yang harus diwariskan ke anak dan cucu.” Laki-laki yang lebih tua itu menatap malas.
Nathan membuang napas gusar. “Bang, ayolah… surat buat Ijel… gue mau nulis surat buat Ijel,” pintanya sekali lagi, kali ini dengan tampang yang lebih memelas.
Menyerah, akhirnya Ian berdiri dari duduknya. Ia berjalan keluar dari ruangan dan kembali semenit setelahnya dengan sebuah pulpen hitam dan dua buah lembar kertas putih polos.
“Nih,” ujar Ian sambil menyerahkan benda yang diminta itu pada Nathan.
Wajah Nathan tampak lebih cerah meski bibirnya masih pucat. “Asik, thank you, Bang.”
Entah apa yang ditulis oleh Nathan di atas kertas itu, Ian tak ingin ikut campur. Namun, ia tahu sesuatu yang ditulis di atas sana adalah sesuatu yang tulus, sebab Nathan berkali-kali menarik napasnya, tampak ingin menahan tangisnya sendiri. Ian tak ingin mengganggu, lantas ia hanya mengalihkan fokusnya pada ponselnya.
Sekitar sepuluh menit setelahnya, Nathan kembali bersuara. “Bang, ini,” ujarnya sambil menyerahkan kertas yang sudah dilipatnya.
“Hah? Buat gue?”
“Ya bukan. Tadi kan gue bilang mau nulis buat Ijel, gimana sih?” Nathan memasang wajah sebal yang dibuat-buat.
Ian menatap Nathan dan kertas itu bergantian. “Terus kenapa dikasih ke gue?”
“Nitip tolong kasih Ijel.”
Lagi-lagi ia tak tega menolaknya, lantas Ian kembali memajukan dirinya mendekat pada Nathan dan menerima kertas itu. “Ngasihnya kapan?” tanyanya.
“Besok. Besok Grizella ulang tahun.”
“Ya kenapa nggak kasih sendiri?”
“Gue belom selesai ngomong, Bang. Itu, suratnya, tolong kasih Grizella besok seandainya gue nggak bisa ngasih. Just in case gue… kenapa-napa.”
Nathan bicara dengan nada datar seperti biasa, seolah yang diucapkannya itu adalah hal biasa. Namun, bagi Ian itu lebih tampak seperti sebuah… peringatan.
“Suratnya gue simpen sampe besok pagi lo bangun. Nanti kasih sendiri ke Grizella,” ujar Ian pelan sambil memasukkan kertas itu ke dalam saku jaketnya.
Nathan tersenyum ringan, tetapi tatapannya masih sendu. “Kalo besok pagi gue bisa ketemu Grizella ya gue ngomong langsung, Bang. Nggak pake surat itu...,” ia menjeda ucapannya, lalu menarik napas sebelum kembali bicara, “makasih banyak udah bantuin gue dalam segala hal, bahkan banyak belain gue pas dimarahin Bunda.”
Ian lalu sempat bungkam, hanya menatap Nathan penuh kasih sayang.
“Serah lo. Gue mau ke kamar mandi dulu, kalo ada apa-apa pencet aja tuh tombolnya.” Ian beranjak dari duduknya sambil menunjuk sebuah tombol yang menggantung di dekat Nathan, setelahnya ia berjalan ke arah pintu. “Oh iya, katanya Bunda lo—” Belum tuntas Ian bicara, namun ketika dirinya menoleh ke belakang, di sana Nathan sudah kembali tak sadarkan diri dengan hidung yang lagi-lagi mengeluarkan cairan merah.
“NATHAN!” Ian berlari kembali pada sepupunya. Diambil olehnya dua lembar tisu untuk ia seka darah yang belum juga ingin berhenti mengalir. Air mata sudah menggenang di pelupuk Ian, ia tidak ingin kehilangan sepupu tersayangnya sekaligus yang sudah ia anggap adik sendiri. Membayangkan malam-malam tanpa bergurau dengan Nathan di meja makan saja sudah sangat mengerikan baginya.
Lantas dengan tangan gemetar ia meraih tombol yang menggantung itu dan dipencet olehnya beberapa kali. Sedangkan tangan lainnya masih ia gunakan untuk menahan lembaran tisu yang terus basah.
“Nathan gue mohon… bangun, ayo bangun.” Ian masih terus membisikkan kalimat itu di telinga sepupunya, berharap anak laki-laki yang katanya kuat itu bisa segera bangun dan kembali menyapanya dengan senyuman.
Iya, Nathan juga inginnya bangun. Inginnya besok pagi sudah siap pakai baju rapi dan memberikan sebuket bunga untuk Grizella disertai kecupan di dahi, lalu disusul oleh ucapan ulang tahun yang keluar sendiri dari bibirnya. Inginnya begitu. Tapi sepertinya kesempatannya sudah habis. Tuhan juga tidak ingin melihat Nathan sakit lagi, Dia terlalu sayang pada laki-laki itu.
Lantas tanpa sempat berpamitan pada Grizella, wanita kedua yang paling ia sayang setelah bundanya, Nathan sudah diajak pergi. Dijemput dengan baik-baik. Dan tidak sakit lagi.