Neo Mufest!

Shanine memutuskan untuk langsung keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ya, di rumahnya saat ini hanya tinggal gadis itu seorang diri. Ayah dan ibunya sedang pergi ke luar kota untuk urusan bisnis kata mereka, sedang asisten rumah tangganya sedang izin untuk pergi. Gadis itu kini duduk di salah satu kursi di teras rumahnya sambil sesekali bersenandung ceria, menunggu Aksa datang menjemputnya. Ia sudah bersiap diri dengan pakaian yang cantik dan dengan rambut serta make up yang telah ia tata dengan rapi sejak tadi pagi. Jam tangannya menunjukkan pukul 2 siang hari, matahari siang ini tidak begitu terik, sangat pas dengan kegiatan yang berlangsung di sekolah mereka hari ini. Neo Music Festival—acara tahunan yang selalu diselenggarakan oleh sekolah mereka ini sudah menjadi perhatian banyak pihak dari banyak sekolah. Tidak sedikit siswa-siswi dari sekolah lain ikut datang ke sekolah mereka untuk meramaikan acara tersebut, pun karena tiket masuknya juga tidak dipungut biaya sama sekali. Akan ada bintang tamu yang sudah disiapkan oleh panitia serta penampilan musik dari sekolah Neo itu sendiri.

Shanine masih sesekali becermin di jendela rumahnya, memastikan penampilannya sudah benar-benar rapi hingga suara mobil Aksa terdengar dan membuat gadis itu langsung menoleh dan berlari menghampiri mobil sahabatnya. Gadis itu langsung membuka pintu depan mobil, “Hai Aksa!” sapanya pada laki-laki yang kini duduk di bangku kemudi.

“Rapi amat,” balas Aksa singkat. “Iya dong harus cantik biar ga kalah,” ujar Shanine sembari masih mengatur duduknya. “Ga kalah dari?” “Dari Kayla.” “Kenapa ga mau kalah?” tanya Aksa bingung. Dahi pria itu sudah mengerut sekarang. “Eh ya ga apa-apa biar ga kebanting aja, siapa tau mau foto bareng kan nanti.” Jawab Shanine yang sebenarnya hanya alasan palsu karangannya. Gadis itu hanya ingin tampil cantik di depan Aksa saat ini, tapi terlalu malu untuk jujur. “Ya udah pake seatbelt-nya, gue mau jalan,” ujar Aksa yang disahut anggukan oleh Shanine. Gadis itu langsung memasang seatbelt-nya dengan benar, “Yuk!” ucapnya kemudian.


Hanya alunan lagu yang terdengar dari speaker mobil Aksa yang saat ini menemani kedua sahabat itu dalam perjalanannya menuju sekolah. Sesekali Aksa bersenandung mengikuti lagu yang terputar. Shanine hanya menatap sahabatnya dengan kekaguman. Ya, sebenarnya tidak ada satu hari pun gadis itu tidak mengagumi seorang Aksara Juni, namun hari ini Shanine benar-benar menyadari bahwa sahabatnya sudah bertumbuh dengan baik. Mengingat mereka sudah kenal jauh sebelum hari ini membuat Shanine tiba-tiba saja teringat memori kala mereka SMP dulu. Kini Aksa sudah jelas bertumbuh lebih dewasa, laki-laki itu juga sudah bisa menyetir mobil dengan baik sekarang. Shanine tersenyum, “Jun lo udah gede ya,” ucapnya. Aksa menoleh ke arah Shanine sebentar kemudian pandangnya kembali pada jalan raya di depannya yang cukup ramai.

“Kenapa?” tanya Aksa yang merasa ucapan Shanine cukup serius kali ini karena dapat dilihat olehnya mata gadis itu yang berbinar kala mengucap kalimat tersebut hingga bibirnya yang melengkung sempurna, menghadirkan senyuman.

“Engga, gue cuma sadar aja lo udah jauh lebih dewasa Jun, dulu lo kalo dilarang sama Bunda Nessa buat jangan naik motor ke sekolah aja lo langsung kabur dari rumah ga mau pulang terus main di rumah gue sampe tengah malem. Tapi sekarang lo udah bisa nyetir malah, udah bisa dipercaya,” ujar Shanine.

Ucapan Shanine membuat Aksa mengingat kejadian empat tahun silam, saat ia masih berumur sekitar tiga belas tahun. Hari itu ia ingin pergi ke sekolah dengan motor karena ia merasa iri pada Sakha yang diizinkan mengendarai motornya sendiri. Namun, Hanessa tidak mengizinkan putra keduanya ini ikut mengendarai motor, “Ikut abang Sakha aja ya, Nak?” ucap Hanessa hari itu. Aksa memang menurut, ia akhirnya berangkat bersama Sakha, namun ketika pulang sekolah, ia mengikuti Shanine ke rumahnya dan bermain seharian di sana, tidak ingin pulang. Hingga hari sudah larut, Johan dan Hanessa pun datang menjemput Aksa yang tengah terlelap.

“Hahaha lo masih inget aja Mbul,” ucap Aksa, gelak tawanya sudah terdengar sekarang.

“Tapi gue bersyukur Jun ketemu sama lo,” jawab Shanine. Gadis itu sedikit menunduk, tapi Aksa dapat melihat senyum masih terukir pada wajah cantiknya.

“Gue juga seneng ketemu sama lo Nin, lo banyak bantu gue, makasih,” ujar Aksa sembari ikut tersenyum.

“Haha iya lo emang ngerepotin sih, tapi gue sayangg!” Shanine menjawab, gadis itu tertawa tapi kemudian langsung terdiam beberapa detik setelah menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

“Apa? Ulang dong gue ga denger.” Pinta Aksa, menggoda sahabatnya.

“ENGGA.”

“Ulang dong Nin.”

“Ga mau! Udah lo nyetir aja ah sana,” ujar Shanine sembari memukul pelan laki-laki di sebelahnya.

“Awh sakit tau, aduh-aduh pala gue,” Aksa berpura-pura kesakitan sembari memegangi kepalanya yang masih diperban.

“EH sori-sori, Jun lo ga apa-apa? Maaf-maaf, coba sini gue liat,” ucap Shanine khawatir.

“Bohong deng.”

“LO MAH JANGAN SUKA KAYAK GITU!”


Sesampainya kedua sahabat itu di sekolah, Aksa langsung memarkirkan kendaraannya di parkiran sekolahnya yang cukup luas itu. Sudah banyak orang berkumpul, mengantri untuk masuk bergiliran karena harus dilakukan pengecekan barang terlebih dahulu. Kini Aksa berdiri tepat di belakang Shanine, membiarkan gadis itu berdiri di depannya. “Banyak juga ya yang dateng Jun,” ucap gadis itu sembari masih melihat-lihat sekelilingnya yang dipenuhi manusia. “Ya kalo sepi mah kuburan,” jawab Aksa singkat dan hanya dibalas tatapan datar dari sahabatnya.

Mereka kemudian memasuki area acara. Ada panggung besar yang didirikan di tengah lapangan sekolah mereka, seorang pria sedang bernyanyi di sana, mencoba memberi pertunjukan pembuka untuk para penonton.

“Mau nonton di lapangan Mbul?” tanya Aksa. “Engga ah, masih agak panas mataharinya, nanti aja sore an,” jawab Shanine kemudian berjalan mendahului sahabatnya. Gadis itu tampak senang. Ia berjalan cepat, antusias melihat banyak booth makanan dan minuman yang sengaja diundang oleh sekolah untuk ikut meramaikan acara. “Mbul pelan-pelan woi jalannya jangan lari!” Aksa mencoba mengingatkan, sedangkan gadis yang diajak bicara seolah tidak mendengarkan dan tetap berjalan lebih cepat mendahului sahabatnya. Aksa mencoba menyusulnya kemudian ditarik olehnya tangan gadis itu dan dibawa lebih dekat padanya kala melihat temannya itu hampir menabrak seseorang. Shanine terkejut. “Dibilang jangan lari! Lo hampir nabrak orang itu,” ucap Aksa yang hanya dibalas anggukan pelan oleh gadis itu.


Mereka menikmati acara hingga malam. Shanine sudah mencoba hampir semua makanan yang dihadirkan oleh sekolahnya itu, meninggalkan Aksa yang kekenyangan. Gadis itu sebelumnya sudah lebih dulu izin pada Hanessa setiap ingin membelikan Aksa makanan, ia akan bertanya apa Aksa boleh makan ini itu atau tidak, Hanessa hanya bisa mengiyakan, ikut merasa senang karena nada bicara Shanine di telepon tadi terlihat bahagia dan antusias. “Sa ayo yuk nonton di lapangan!” ajak Shanine kemudian menarik tangan Aksa. Aksa hanya pasrah, menurut.