Parts of Me were Made by You
Dulu, Grizella pernah membuat daftar kegiatan yang akan dilakukannya dengan Nathan. Together list, that is how they called it. Catatan yang bisa membuat Nathan bertahan lebih lama melawan penyakitnya sendiri. Dan baru-baru ini Grizella menambahkan nama Ian untuk ikut tergabung ke dalamnya, mengizinkan pemuda itu menemaninya untuk melengkapi daftar keinginan yang dibuatnya, sebab Nathan tak akan bisa memenuhinya lagi.
Jadilah mereka di sini. Dengan Ian yang duduk diam di hadapan Grizella. Di sebuah perpustakaan kota yang tak jauh dari kampus mereka berada. Di sana tak begitu ramai pengunjung, mungkin orang-orang akan lebih memilih pergi ke pantai atau berlibur ke luar kota mengingat sekarang sedang masa-masa libur panjang.
Together list number nine, reading books together.
Ian mengangkat kepalanya sedikit, melirik Grizella yang masih belum bergerak dari posisi duduknya sejak empat puluh menit yang lalu, masih terus menaruh perhatian pada buku yang tengah dibacanya. Kedua alis gadis itu menukik tajam, tampak lucu di mata Ian, mungkin akan diingat olehnya wajah serius Grizella hari ini.
“Zel…,” suara lembut Ian menyapa lagi gendang telinga Grizella setelah sejenak tak saling bicara.
“Hm?” Wanita yang dipanggil hanya menjawab dengan gumaman pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku bacaan di tangannya. Grizella membalik lagi halaman selanjutnya dan halaman selanjutnya, terus begitu tanpa peduli laki-laki di depannya sudah menatap ke arahnya sedalam apa.
“Udah mau 45 menit, leher lo nggak pegel nunduk terus?” tanya Ian dengan nada khawatir.
“Engga.”
Ian mendengus. “Ngobrol dulu dong, atau jalan kaki bentar nyari buku lagi yuk, biar pantatnya ga gepeng duduk terus.” Ia bergurau.
“Ssstt … di perpustakaan nggak boleh ngobrol apalagi berisik.” Gadis itu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, bicara setengah berbisik.
Ian menyerah, membiarkan Grizella kembali hanyut dalam buku bacaannya. Lalu maniknya diajak berkeliling, mengamati setiap sudut perpustakaan itu. Tembok-tembok kayu, rak-rak tua yang masih terawat, lantai kayu yang mungkin setiap dua kali sehari dibersihkan sebab tampak mengilap. Lantas pandangnya bergerak lurus ke arah balkon dengan pintu kaca yang sengaja dikunci, entah kenapa rasa penasarannya tiba-tiba saja muncul seolah kakinya juga diajak ingin pergi ke sana.
“Zel…,”
“Apa lagi sih, Kakkk?” Grizella gemas lantaran namanya terus-terusan dipanggil, membuat isi kepalanya buyar dan tidak bisa fokus lagi.
“Itu, balkonnya kenapa dikunci?” tanya Ian, wajar saja ia tidak tahu, baru pertama kali dirinya pergi ke tempat itu, sedangkan Grizella tampaknya sudah berkali-kali mengunjungi perpustakaan tersebut sampai-sampai hafal betul letak rak-rak bukunya.
Grizella mengangkat kepalanya. Mendengar pertanyaan dari Ian membuatnya langsung menutup buku yang tengah dibacanya. Lantas kepalanya ia tolehkan menghadap ke arah balkon yang agak jauh di belakangnya.
“Dikunci … karena biar nggak ada yang ke sana,” jawab Grizella singkat, namun semakin membuat Ian penasaran.
“Kenapa emang kalo ke sana?” Wajah Ian menyiratkan sedikit kengerian. Pikirnya mungkin saja pernah ada tragedi tak menyenangkan di balkon itu hingga menimbulkan korban jiwa. Hal tersebut berhasil membuat bulu kuduknya berdiri.
Grizella terkekeh. Pandangnya lalu menatap Ian lagi, membuat jantung pemuda itu seketika berdetak lebih cepat. “Bukan cerita serem, Kak,” ujar Grizella layaknya tahu apa yang Ian pikirkan, “waktu itu sih pas belom dikunci banyak banget yang ke sana, Kak. View-nya bagus, banyak yang foto-foto, akhirnya berisik kan malah ganggu orang-orang yang niatnya baca buku, jadinya dikunci deh sekarang,” jelasnya yang disahut Ian oleh anggukan pelan, pemuda itu sedikit merasa lega, setidaknya bukan hal menakutkan yang terjadi.
“Terus …,” ucapan Grizella menggantung, tatapan sendu itu kembali mampir di kedua maniknya.
“Terus kenapa?” Ian bertanya penuh kehati-hatian.
“Di balkon itu gue pertama kali ketemu sama Nathan, Kak.”
Ian terkesiap. Ia belum pernah mendengar cerita seperti itu sebelumnya. Yang Ian tahu, dan yang Nathan pernah cerita padanya, pertama kali Nathan melihat Grizella adalah di kampus, tepatnya di gedung fakultas mereka. Lalu yang Ian tahu juga Grizella adalah yang pertama kali mengajak Nathan berkenalan, itu pun posisinya juga di kampus keduanya. Tak ada pembahasan mengenai perpustakaan itu dalam setiap cerita Nathan. Namun, hari ini, Grizella menuturkan kisah baru.
Diamnya Ian membuat Grizella akhirnya kembali melanjutkan ceritanya. “Hampir dua tahun yang lalu berarti ya? Pokoknya waktu itu, gue lagi duduk di kursi yang lo dudukin sekarang, Kak. Gue lagi bengong ngeliatin laptop gue, mau ngerjain tugas juga bingung, jadinya gue malah ngeliatin balkon yang waktu itu cuma ada satu orang cowok yang lagi baca di sana.” Gadis itu menjeda kalimatnya untuk sejenak melirik kembali ke arah balkon yang sedang dibahasnya.
“Itu Nathan, yang waktu itu lagi baca buku sendirian, berdiri senderan ke pagar balkon. Pas itu gue belom sadar kalo dia temen angkatan gue, Kak. Yang gue pikir waktu itu cuma ‘itu cowok keren banget!’, gitu. Gue belom berani kenalan.” Ada senyum simpul tercetak di wajah mungil Grizella, perlahan menyayat hati Ian sebab Ian tahu Grizella amat sangat merindukan laki-lakinya yang pergi tanpa berpamitan.
“Gue sayang banget sama Nathan, Kak.” Tak mampu menahannya lagi, sekarang air mata Grizella sudah turun, suara isakannya perlahan terdengar sangat menyedihkan. “Gue kangen banget … Gue belom tahu banyak tentang dia tapi dia udah pergi duluan, Kak.”
Ian segera merogoh tasnya, mengeluarkan sebungkus tisu kecil yang masih tersegel rapat. “Maaf, Zel, gue nggak maksud bikin lo jadi sedih gara-gara inget Nathan lagi.” Tangannya lantas bergerak menghapus air mata gadis itu.
Grizella mengambil tisu dari tangan Ian. Ia menggeleng. “Nggak, Kak … nggak apa-apa. Gue nggak pernah sedih tiap inget Nathan, dan pembahasan apa pun tentang Nathan bakal selalu jadi favorit gue, jadi jangan ragu buat ajak gue inget lagi sama Nathan, ya?” Perempuan itu kembali tersenyum, meski air matanya masih terus mengalir.
Jika ditanya mengapa Ian tiba-tiba sering berdebar ketika berada di dekat Grizella, pun jika ditanya mengapa senyum Ian tak pernah luntur ketika ia saling mengirim pesan dengan Grizella sebelum tidur, maka jawabannya mungkin bukan dirinya jatuh cinta pada gadis itu. Tentu saja mana berani Ian jatuh cinta pada perempuan yang amat disayangi oleh sepupunya? Maka jawabannya mungkin hanya satu. Ian kagum. Ian kagum akan bagaimana Grizella menjalani hidupnya dengan tegar. Ian kagum bagaimana Grizella bisa tetap tersenyum di hari-hari buruknya. Ia kagum pada Grizella dan segala perilaku manisnya.
Maka jika boleh, Ian ingin tetap berada di sisinya. Maka jika boleh, Ian ingin menjadi pundak tempat Grizella istirahat. Maka jika boleh, Ian ingin menjadi alasan Grizella bisa tersenyum lagi. Tidak muluk, Ian tak berniat ingin menggantikan Nathan di hati gadis itu, sebab sepertinya mustahil. Grizella sudah amat menyayangi Nathan, dan Ian hanya ingin menjadi seseorang yang berdiri di samping Grizella, menggenggam tangannya, mengajaknya bertemu lagi dengan Nathan melalui serpihan kenangan. Ian janji akan ceritakan semua tentang Nathan pada gadis itu, Ian janji akan kenalkan Nathan lagi pada Grizella untuk yang kedua kalinya. Dan jika presensinya hanya sebatas itu, maka tak apa, itu sudah lebih dari cukup untuk Ian.
“Jangan nangis, Zella … gue bakal nemenin lo, gue janji bakal kenalin lo ke Nathan yang gue kenal, ke Nathan yang kita kenal.”
Iya, jangan menangis lagi, Grizella. Ingat kan kata Nathan semoga kamu temukan laki-laki yang lebih baik darinya.
Jika mungkin Ian tak sebaik Nathan, juga tak apa. Setidaknya itu Ian, Ian sepupu Nathan yang berharga. Karena bersama dengan Ian maka Grizella akan bisa mengenal Nathan sekali lagi untuk waktu yang teramat lama.
Sebab mengingat segalanya tentang Nathan akan menjadi hal yang paling disukai Grizella seumur hidupnya. Dan untuk saat ini, tentu dengan Ian sebagai penutur kisahnya.