Perempuan yang Selalu Mengatakan bahwa Dirinya Tidak Suka
Begitu sepasang kaki milik Grizella berpijak pada lantai kantin, netranya langsung ia pasang mengitari seisi tempat tersebut guna mencari dimana kekasihnya, Nathan, dan teman-temannya itu tengah duduk. Baru sekitar satu menit dirinya fokus mencari hingga tiba-tiba saja pundak kanannya ditepuk pelan, sontak membuat dirinya menoleh cepat.
“Aura! Kaget gue, kapan nyampenya?” tanya Grizella sambil mengelus dadanya sendiri sebab jantungnya dipaksa berdetak lebih cepat sekarang.
Gadis yang diajak bicara itu lalu memasang cengirannya. “Hehe … Sorry, Zel, gue baru kok nyampenya.”
“Tadi sama Keisha? Udah pergi anaknya?”
Aura mengangguk ragu sambil menggaruk pelan pelipisnya. “Iya, tadi begitu nganter gue ke sini dia langsung pergi gitu aja, padahal udah gue coba ajak.”
Grizella menghela napas mendengar jawaban Aura. Ia sudah cukup lama mengenal Keisha, pun sudah tahu bagaimana sifat asli gadis itu. Ingatan Grizella sempat diputar ulang sejenak, diajak berkelana menghampiri waktu lampau, ketika dirinya dan Keisha masih duduk di bangku SMA. Anak itu, Keisha, ia adalah anak yang rajin, penuh senyum, ceria, cantik, dan cukup popular pada masanya. Bahkan jika dibandingkan dengan dirinya, Keisha-lah yang sebenarnya lebih banyak bicara, Keisha-lah yang lebih aktif mengajaknya ke sana kemari, Keisha-lah yang membawanya mengenal banyak teman baru. Semua mulai berubah sejak hari itu, ketika laki-laki yang dahulu Keisha sebut-sebut sebagai kesayangannya itu ternyata hanya menjadikannya bahan taruhan dan candaan teman-temannya. Sejak hari itu Keisha berubah jadi lebih pendiam, lebih tertutup akan perasaannya, bahkan lebih dingin pada laki-laki manapun. Mungkin memang benar ada satu alasan lain yang membuatnya semakin tak percaya cinta itu ada. Ayahnya. Ayahnya ikut mematahkan pengertian cinta di hidupnya. Dua laki-laki itulah yang akhirnya menjadikan Keisha mati rasa akan rasa cinta. Ia sudah tak menganggap rasa itu ada di dunia ini.
Grizella menggelengkan kepalanya cepat guna menghapus apa yang ia pikirkan sebelumnya. Semoga saja perkiraannya tidak benar. Sebab Keisha, untuk yang pertama kalinya, tempo hari bilang akan mulai membuka hatinya lagi untuk laki-laki bernama Hadyan. Semoga saja dugaan Grizella tidak benar bahwa mungkin saja jiwa kecil Keisha masih terluka jauh di dalam sana, memaksanya lagi, menariknya kembali kepada perasaan sakit itu. Hingga akhirnya tak berani lagi ia buka untuk orang lain.
“Zel? Lo nggak apa-apa?” Aura mulai khawatir kala mendapati Grizella tiba-tiba saja diam tidak berkutik.
“Eh? Iya, iya gue nggak apa-apa, udah yuk itu Nathan udah dadah-dadah ke kita.” Tangan Aura lantas digenggam oleh temannya dan diajak pergi menghampiri Nathan dan teman-temannya yang lain.
Seperti biasa, meja yang tak jauh dari Warung Oma Nena itu sudah diisi oleh empat remaja laki-laki yang suara tawanya sudah menggema mengisi sebagian ruang. Senyum dari Nathan adalah yang pertama kali menyambut Grizella di sana. Laki-laki yang duduk tepat di sebelah Hadyan itu lantas bergeser sedikit guna memberi tempat untuk kekasihnya.
“Sini, Jel, duduk,” tukas Nathan masih dengan senyum manis yang tidak pernah bosan menjadi kesukaan Grizella.
Tanpa berlama-lama lagi, gadis itu sudah mendudukkan dirinya di samping Nathan, sedangkan Aura memilih untuk duduk di hadapannya, tepat di samping Juan. Mungkin yang lain tidak menyadari, tetapi Hadyan kini sudah celingukan mencari pujaan hatinya yang katanya akan diajak juga.
“Keisha mana?” Pertanyaan utama akhirnya dilontarkan oleh Hadyan.
Grizella menoleh pada si pemberi pertanyaan, lantas menjawab dengan, “Dia katanya ada keperluan dulu jadi balik ke rumah, nanti jam 1 dia ke kampus lagi buat ujian,” yang sebenarnya adalah jawaban setengah bohong. Grizella tentu saja tidak ingin blak-blakan mengatakan bahwa Keisha mungkin saja sebenarnya sedang menghindari Hadyan, bukan?
Hadyan menganggukkan kepalanya. Siapapun juga dapat paham dari sinar sendu yang terpancar dari mata laki-laki itu bahwa Hadyan sudah pasti merasa sedikit kecewa. “Dia … makan siangnya gimana?” Bukannya mengkhawatirkan perasaannya sendiri, laki-laki itu justru bertanya bagaimana Keisha akan makan siang nantinya jika sendirian di rumahnya, sebab ia tahu orang tua Keisha tidak akan ada di rumah siang-siang seperti ini.
“Hm … gue nggak tahu dia gimana makannya, tapi Kei bilang dia bakal makan di rumahnya,” jawab Grizella sesuai dengan apa yang Keisha tuliskan di pesan singkat beberapa menit lalu.
Hadyan menganggukkan lagi kepalanya. Lalu, suasana sempat menjadi hening, padahal biasanya Hadyan-lah yang membuatnya lebih berwarna. Sedikit banyak Juan peka terhadap situasi itu, lantas ia berdiri dan berujar, “Mau makan apa? Gue pesenin. Pesenin ya, bukan bayarin.”
Setelahnya memang benar keenam remaja itu tertawa dan mulai melempar candaan akan ucapan Juan. Namun, di sana, Hadyan hanya memasang senyum simpulnya. Ia menunduk sambil menggulirkan layar ponselnya, mencari nomor telepon Keisha dan langsung mendekatkan benda persegi panjang itu ke telinga. Seperti yang sudah ia duga, panggilannya tidak dijawab oleh gadis itu. Sejujurnya sejak kepulangan mereka berlibur ke Ciater tempo hari, Keisha tampak seperti menghindarinya. Laki-laki itu sudah tak asing lagi dengan perlakuan dingin Keisha terhadapnya, laki-laki itu juga selalu menyiapkan dirinya ketika nanti justru pukulan yang hanya diperolehnya dari perempuan itu. Dan lagi, jika pun boleh memilih, ia akan lebih memilih dipukul dua ratus kali dalam sehari oleh gadis itu dibandingkan diacuhkan seperti ini. Pesan singkatnya tidak dibalas sejak kemarin, teleponnya tidak diangkat, bahkan kalau pergi ke rumahnya pun Keisha tak ingin menemuinya.
Ia salah apa? Pikirnya. Apa ada kata-kata darinya yang tidak berkenan di hati gadis itu? Seingatnya saat di taman hiburan pun Keisha tampak bersenang-senang. Tidak dapat menemukan jawaban akan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya, ia hanya bisa berdo’a bahwa semoga setidaknya Keisha tidak membencinya.
Pukul empat sore dan seluruh mahasiswa sudah berhamburan keluar dari Gedung Biologi. Hadyan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara guna meregangkan punggungnya yang kaku sebab dipaksa duduk dua jam lebih. Ujian hari pertama akhirnya selesai. Di sampingnya, Rhayyan berjalan sambil masih membolak-balikkan buku catatannya dengan serius, mungkin memeriksa jawabannya tadi kalau-kalau ia salah.
“Udah kali, Rhay. Udah selesai juga ujiannya,” ujar Hadyan sambil memiringkan kepala mendekat pada Rhayyan, ikut mengintip buku catatan milik laki-laki itu meski sebenarnya juga ia tak penasaran sama sekali.
“Yeh, penasaran gue. Udah lu duluan aja, Yan. Gue mau ketemu dosen bentar, dipanggil.”
Hadyan kembali menjauhkan wajahnya dari buku catatan Rhayyan, lantas mengambil sebotol air mineral dari tas punggungnya dan menenggaknya sedikit. “Terus lo pulangnya gimana?”
“Ya … gue bawa motor? Udah sana ah ngapain sih lu nanya-nanya, tumben amat.” Dengan alis yang masih menukik serius, Rhayyan memasukkan lagi buku catatannya ke dalam tas. “Udah ya, gue duluan, udah ditungguin Pak Abim,” pamit Rhayyan sebelum langkahnya ia lanjutkan meninggalkan Hadyan yang masih diam di tempat.
“Rhay!” Baru saja Rhayyan jalan tiga langkah menjauhi temannya, suara Hadyan kembali menghiasi gendang telinganya, jadilah ia menoleh dengan tampang malas.
“Apaan?”
“Besok ujian apa?”
“Mikro.”
Hadyan mengangguk. “Bagi catetan.” Lalu cengiran itu kembali ia hadirkan.
Rhayyan menghela napasnya. “Iya, nanti gue email.”
“Thanks!” seru Hadyan setengah berteriak sebab Rhayyan sudah jalan lebih dulu meninggalkannya.
Di atas sana, langit sudah tidak berwarna biru seperti tadi siang. Gumpalan awan abu-abu kini menutupi disertai oleh suara gemuruh. Mungkin hujan akan datang sebentar lagi, pikir Hadyan sambil berjalan hendak menuju parkiran Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dan benar saja, tepat ketika kakinya sampai di gedung utama, tiba-tiba saja hujan mengguyur dengan derasnya. Aroma petrikor langsung saja memasuki indra penciumannya tanpa permisi. Namun, ia sempat mengucap syukur sebab aroma itu akhirnya mampu memberi ketenangan terhadap pikirannya yang sejak kemarin gelisah. Laki-laki itu lantas memejamkan matanya sambil menarik napas dalam.
Dan tepat ketika ia kembali membuka kelopak matanya, tak jauh darinya berdiri, berdirilah seorang perempuan yang namanya tak bosan-bosan hadir dalam harapnya. Keisha, remaja berambut panjang itu menengadah menatap langit yang semakin gelap. Hadyan sudah bisa menebak pasti gadis itu lupa membawa payungnya lagi. Mungkin sudah bosan juga semesta menyaksikan bagaimana senyum Hadyan dengan mudahnya kembali mekar meski sudah disakiti berkali-kali, meski sudah dijatuhkan harapannya berkali-kali. Senyumnya kembali hadir di sana. Padahal ia hanya melihat Keisha dari kejauhan, tapi rasanya bahagia sekali.
Mengabaikan rasa takutnya dan mengabaikan juga semua penolakan yang Keisha berikan untuknya sejak lama, laki-laki itu melangkahkan kaki dengan mantap ke arah perempuan yang mungkin masih belum menyadari keberadaan dirinya. Tak butuh waktu lama, kini Hadyan sudah berdiri tepat di samping Keisha tanpa menoleh pada perempuan itu, dirinya malah sengaja mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi apa pun yang ada di sana seolah dirinya sedang dibuat sibuk. Keisha lalu sadar dan menoleh ke sisi kirinya, menemukan pria yang lebih tinggi darinya itu berdiri di sampingnya.
“Hadyan?” Suara itu sudah sejak kemarin dirindukan oleh seorang Hadyan Reza. “Lo ngapain?” Keisha bertanya dengan air muka ragu-ragu.
Laki-laki itu lantas menoleh ke sisi kanannya. “Oh? Ada Keisha? Sorry gue nggak lihat. Gue ini mau pulang, ujiannya baru selesai, lo juga?” Benda elektronik persegi panjang itu kini sudah berakhir masuk ke dalam kantong celana Hadyan sebab tugasnya sebagai pengalih perhatian sudah selesai.
Keisha mengangguk pelan sebagai jawaban akan pertanyaan Hadyan. Wajahnya kembali ia hadapkan ke depan, menolak untuk menatap Hadyan lama-lama sebab mungkin saja hatinya kembali goyah. “Y-ya udah … gue duluan ya.” Kaki kanan perempuan itu melangkah maju, sepatu depannya bahkan sudah terkena tetesan air hujan. Namun, tentu saja Hadyan tak akan membiarkan kesayangannya itu basah kuyup, bukan?
Pergelangan tangan Keisha tiba-tiba saja sudah digenggam oleh Hadyan. “Pulang sama gue … yuk?” ajak laki-laki itu setengah ragu, sebab ia yakin dirinya sudah pasti akan ditolak, tapi semua usaha pantas diperjuangkan, jadilah ia lontarkan ajakannya.
Keisha menatap lurus kedua manik gelap milik Hadyan. Ikut tenggelam dalam obsidian hitam milik lelaki di hadapannya. Di situlah Hadyan sadar akan sesuatu. Ia menyadari sebuah kilat ketakutan pada kedua netra cantik itu. Mata Keisha mulai berkaca-kaca, sebisa mungkin perempuan itu tahan agar air matanya tak jatuh di depan Hadyan, laki-laki yang sialnya sudah berhasil membuatnya kembali merasakan seperti apa rasanya berdebar setelah sekian lama. Namun, mau bagaimana jika lagi-lagi ketakutannya untuk menerima rasa cinta itu kembali menyapanya. Mengingat sakit hati yang ia rasakan di masa lalu sudah mampu membuatnya ingin mundur sebelum ia menjatuhkan terlalu banyak perasaan pada Hadyan.
Tangan Keisha mengepal kuat, lantas ia tarik cepat tangan kirinya dari genggaman Hadyan dengan sedikit kasar. “Gue bisa pulang sendiri. Gue bawa mobil.” Berbeda dengan nada bicaranya yang ketus, suaranya justru gemetar di ujung kalimat. Mendengarnya, Hadyan semakin yakin ada yang tidak beres. Namun, tak bisa juga ia langsung bertanya ada apa, ‘kan?
“Kei …,” suara Hadyan lirih, memanggil nama itu lagi untuk yang kesekian kalinya hari ini. “Oke, gue nggak akan maksa lo buat pulang bareng gue, tapi coba lo liat langitnya, hujannya masih deres gitu,” ada jeda pada kalimat Hadyan, ia masih berusaha menerka-nerka reaksi perempuan di depannya. Keisha masih enggan untuk menatap wajah Hadyan, lantas hanya memunggungi laki-laki itu dan diam di tempat. Namun, jelas kedua tangannya masih mengepal kuat di sisi samping tubuhnya.
Hadyan sempat menghela napas pelan sebelum akhirnya kembali melanjutkan kalimatnya. “… gue nggak akan maksa kalo lo emang mau pulang sendiri, tapi izinin gue anter lo sampe mobil, ya? Gue bawa payung, tapi sayangnya cuma satu. Sepayung berdua nggak apa-apa?”
Demi apa pun jika boleh berteriak sekarang maka Keisha akan berteriak sekencang-kencangnya. Memberi tahu semua makhluk yang ada di Bumi bahwa sebenarnya ia tidak tega memperlakukan Hadyan seperti itu. Sakit sekali hatinya. Ia bersumpah mungkin ujung matanya sudah basah sekarang. Kenapa laki-laki itu tidak menyerah saja? Pikirnya semakin membuat dirinya semakin sulit jika Hadyan terus-terusan memperlakukannya dengan lembut seperti itu. Dan mungkin akan jauh lebih mudah baginya jika lelaki itu menjauh darinya.
“Nggak usah. Mobil gue deket kok parkirnya, payungnya lo pake aja, gue lari sedikit nggak akan sampe kuyup.” Keisha menelan ludahnya, napasnya sudah sangat sesak menahan air mata yang sudah tak sabaran ingin turun dari pelupuknya. “Udah ya, Yan. Gue duluan.”
Dan lagi. Seperti tidak ada kapoknya laki-laki bernama Hadyan Reza. Masa bodoh jika nanti tangannya ditepis kasar. Masa bodoh juga jika ia diteriaki oleh Keisha di sini sekarang. Tangannya kini sudah menggenggam lagi pergelangan tangan gadis itu, menahannya agar tak semakin jauh melangkah dan nanti justru kehujanan.
“Nih, payungnya. Kalo nggak mau gue yang anter lo ke mobil karena harus satu payung berdua, ini payungnya buat lo aja.” Kepalan tangan Keisha dibuka pelan oleh laki-laki itu dan diberikanlah padanya sebuah payung lipat berwarna biru gelap. “Gue parkirnya lebih deket dari mobil lo, mungkin kalo gue larinya sekenceng Naruto nggak akan kebasahan, jadi tenang aja. Kaki gue lebih panjang dari lo, jadi pasti nyampenya lebih cepet. Dipake ya, Kei, payungnya. Lain kali gue janji bawa dua payung biar satu-satu. Gue duluan.”
Lantas Hadyan pergi meninggalkan Keisha yang masih terpaku di tempatnya. Gadis itu lalu bergerak perlahan membuka payung lipat di tangannya dan berjalan di tengah butiran air yang turun dari langit. Dadanya sudah sesak sekali, tapi ia tidak paham kenapa air matanya belum juga mau turun. Tak butuh waktu lama, kini ia sudah berdiri tepat di samping mobilnya. Lalu ditekanlah kunci mobil itu. Lantas ia segera masuk dan duduk di balik kemudi.
Payung itu masih basah. Namun, sepertinya ia tidak peduli. Sebab masih saja ia letakkan benda yang berhasil menyelamatkannya dari hujan itu di pangkuannya. Ditataplah payung biru gelap itu lekat-lekat. Suara Hadyan menyusul setelahnya, kembali terngiang di dalam pikirannya. Kepalanya mulai bekerja menghitung sebanyak apa ia sudah menyakiti Hadyan. Sudah seberapa banyak penolakan yang ia berikan. Teruskan saja, Keisha. Teruskan saja semisal kamu ingin membohongi diri sendiri terlalu lama. Dada Keisha seolah ditekan batu besar, napasnya mulai tersengal. Ia terisak. Lalu isakannya berubah jadi tangis yang terdengar sangat memilukan bagi siapapun yang mendengarnya. Tangannya mengepal kuat di depan dada dan ia pukul-pukul perlahan dengan harapan hal itu mampu meredakan sesaknya. Namun, nihil. Rasanya justru semakin sakit, ditambah senyum Hadyan tiba-tiba terlintas di benaknya.
Lalu gadis itu hanya berakhir di sana. Duduk di jok mobilnya. Di balik kemudinya. Menangis tanpa suara sambil memegang sebuah payung berwarna biru gelap yang dipinjamkan oleh laki-laki yang ratusan kali disakiti olehnya.