Pulih
Sudah terhitung satu jam sejak dokter menginformasikan kondisi Aksa. Sesuai ucapan dokter seharusnya Aksa sudah dapat dijenguk sekarang. Sakha dan Shanine yang sejak tadi menunggu di depan kamar Aksa hanya berkali-kali melihat ke arah jam. Tidak banyak orang yang berlalu-lalang di rumah sakit sore ini, “Udah satu jam, kata susternya juga udah boleh masuk, yuk?” ajak Sakha.
Kedua remaja itu akhirnya masuk ke dalam kamar rawat Aksa. Dilihatnya oleh gadis itu sahabatnya yang masih terlelap, belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Sakha kini berdiri tepat di samping ranjang adiknya diikuti oleh Shanine. Beberapa menit kemudian terlihat sedikit pergerakan dari tangan Aksa, pun matanya mencoba untuk dibuka, “S-Shanine....” panggilnya pelan.
Shanine yang merasa namanya dipanggil kemudian mendekat, “Ya kenapa Sa?” sahutnya.
Aksa, laki-laki itu kemudian memegang erat tangan Shanine, entah anak itu sedang bermimpi atau bagaimana. Shanine yang tangannya digenggam erat hanya terdiam, gadis itu lantas mengusap pelan tangan sahabatnya, mencoba memberi ketenangan. Tidak lama, Aksa kemudian membuka matanya dan mencoba melihat ke sekelilingnya. Didapati olehnya sahabat dan kakak laki-lakinya kini berdiri di samping ranjangnya membuatnya merasa jauh lebih baik.
“Aksa bisa denger abang?” ujar Sakha ingin memastikan adiknya benar-benar sadar saat ini. Anggukan pelan dari Aksa menjadi jawaban untuk pertanyaan abangnya.
“Pinter adek abang kuat, makasih Aksa udah berani. Shanine, sebentar ya, bang Sakha mau telepon ayah sama ibu, mau ngabarin Aksa udah sadar,” lanjut Sakha lalu keluar dari ruangan, meninggalkan Aksa dan Shanine.
Hening sempat menghampiri keduanya, pun Shanine mengarahkan kedua maniknya untuk menatap sahabatnya.
“Lo tau ga sih Sa sakit perut gue udah ga gue rasa, lo mah ya ada-ada aja,” omel Shanine, sedangkan Aksa hanya tertawa kecil mendengarnya.
“Seragam lo,” ucap Aksa, suaranya masih sedikit serak.
“Oh iya ini seragam gue belom gue ganti, masih kotor,” jawab gadis itu sembari melihat seragamnya yang masih banyak bekas darah.
“Makasih,” ucap Aksa lagi, manik matanya menatap lurus mata sahabatnya, membuat mereka kini saling tatap.
“Ah elah lo mah kayak sama siapa aja,” jawab Shanine canggung. Aksa tersenyum, entah mengapa ia merasa senang hari ini.
“Nin, elus kepala gue dong,”
“Ga mau???”
“Please?”
Shanine menyerah, Aksa selalu punya cara untuk membuatnya mengalah. Gadis itu mendekat, mengusap pelan pucuk kepala temannya. “You did well Sa,” ucapnya pelan.
Sekitar pukul tujuh malam orang tua Aksa dan Sakha pun datang. “Aksaraaa!” panggil ibunya ketika membuka pintu kamar rawat Aksa.
Pemilik nama yang semula masih mengobrol dengan Sakha dan Shanine pun menoleh, “Ibu?” ujarnya pelan. Wanita paruh baya itu langsung memeluk anak laki-lakinya dan sesekali mengelus lengannya.
“Aksa kamu ga apa-apa nak? Pusing? Masih sakit ya? Kenapa bisa begini nak?” ucap wanita bernama Hanessa itu, ia terus memberi pertanyaan pada putra keduanya.
“Aduh Ibu, Aksa jawab yang mana dulu?” jawab Aksa.
“Jawab ini aja, kamu gimana sekarang rasanya gimana nak?”
“Udah jauh lebih baik Ibu, ada bang Sakha sama Shanine juga yang dari tadi nemenin Aksa di sini.”
Sang Ibu pun menoleh pada Shanine. Didekatinya sahabat putranya itu dan dipeluknya. “Makasih Shanine, kamu selalu ada buat Aksa,” ujarnya.
“I-iya tante ga masalah,” jawab Shanine, membalas pelukan Ibu dari sahabatnya.
“Aduh, kok tante sih? Kamu lupa ya Shanine? Kamu boleh panggil saya Bunda Nessa,” ujar wanita itu lagi. Anak-anaknya biasa memanggil Hanessa dengan sebutan “Ibu” yang sebenarnya Hanessa ingin sekali dipanggil dengan sebutan “Bunda”, hal itulah yang memberikan Hanessa ide untuk meminta sahabat dari putranya ini memanggilnya bunda.
“Hehe iya Bunda Nessa,” Shanine menjawab sedikit canggung.
“Bunda Nessa sama Om Jo udah di sini, jadi ga apa-apa Shanine kalau mau pulang nak, sudah malam.”
“Engga apa-apa tante, Shanine belum mau pulang,” balas Shanine.
“Engga, kamu harus pulang, Sakha anterin ya? Ayo yuk Shanine siap-siap,” Hanessa kemudian membantu gadis itu merapikan barang-barangnya.
“Kamu sampai rumah, mandi, ganti baju, terus makan ya Shanine, kamu jangan ikut sakit juga,” lanjut wanita itu.
Shanine yang terpaksa menurut hanya mengangguk mengikuti perintah Hanessa.
“Abang Sakha tolong anterin Shanine ya bang,” ucap Om Johan, Ayah dari Aksa dan Sakha.
“Iya Ayah, yuk Shanine,” Ajak Sakha. Shanine kemudian pamit dan pergi, meninggalkan Aksa yang pandangnya masih belum lepas dari gadis yang seragamnya berhasil ia kotori tadi siang.