Selalu Ada
Aksa langsung beranjak dari kasurnya usai bertukar pesan dengan Bi Inah, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah kekasihnya. Laki-laki itu dengan cepat menyambar jaket hitamnya dan meraih kunci motornya di atas meja kemudian segera berlari meninggalkan kamarnya. Dengan langkah tergesa-gesa remaja itu melewati ruang makan di mana keluarganya sedang berbincang santai, saling bertukar candaan. Hanessa langsung menyadari Aksa yang kini hendak berlari keluar dari rumah kemudian menegur.
“Eh Aksara kamu mau ke mana malem-malem gini?” Tanya Hanessa, ikut panik. Disusul oleh tatapan dari Johan dan Sakha.
Aksa menghentikan langkahnya, wajahnya pucat sekarang, sibuk membayangkan ada di mana kesayangannya saat ini, membayangkan gadis itu menangis seorang diri.
Dengan napas terengah-engah, anak bungsu dari keluarga itu menjawab pertanyaan ibunya, “Aksa.... Aksa mau cari Shanine.”
“Hah? Emang Shanine kenapa?” Hanessa berjalan mendekati Aksa yang saat ini terlihat sangat kacau.
Aksa menggeleng, enggan menjawab pertanyaan ibunya dengan informasi yang lengkap, khawatir masalah keluarga gadis itu menjadi hal yang sedikit sensitif untuk diceritakan.
“Aksa harus cari Shanine.” Hanya itu yang dapat Aksa katakan pada ibunya sebagai jawaban.
“Shanine kenapa, Aksa?” Sekarang Sakha ikut berdiri di samping remaja itu.
“Maaf, Aksa ga bisa bilang Shanine kenapa, yang jelas Aksa ga tahu sekarang Shanine ada di mana, Aksa harus cari Shanine.”
“Oke, oke Aksa boleh cari Shanine, tapi jangan ngebut, bawa jas hujan, bawa payung, pakai helm, janji?” timpal Johan dan hanya dibalas anggukan oleh Aksa.
“Aksa pergi sebentar.” Ujar pria itu kemudian melangkah keluar dari rumahnya.
Tidak memenuhi janjinya pada ayahnya, kini Aksa melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Benaknya tak dapat menemukan jawaban ke mana Shanine pergi selarut ini, pun dadanya bergemuruh hebat, ikut merasa iba dan marah pada orang tua Shanine yang tega menyakiti gadis baik hati itu.
Aksa sudah berkeliling selama kurang lebih lima belas menit, namun nihil, ia tidak kunjung menemukan kekasihnya. Laki-laki itu kini menepi, berusaha menjernihkan pikirannya agar dapat menemukan titik terang keberadaan perempuan itu. Aksa sempat memejamkan matanya untuk menenangkan diri hingga ia merasakan tetesan air jatuh pada punggung tangannya, hujan mulai turun. Rasa tenang ternyata hanya sebentar menghampirinya, kini benaknya mulai mengirim bayang-bayang Shanine yang basah oleh hujan, entah di mana gadis itu berada sekarang.
Mengabaikan hujan yang kini mulai deras mengguyur, Aksa melajukan motornya ke tempat di mana dirinya selalu bersembunyi kala sedang kalut, warung bubur. Dan benar saja, ketika motornya berbelok di sisi jalan, maniknya mendapati Shanine sedang berjongkok tepat di samping tempat makan itu. Aksa dapat bernapas sedikit lega sekarang. Usai memarkirkan motornya, diambil olehnya payung dan jaket yang ia bawa dari rumah tadi dan ia langkahkan kakinya dengan cepat pada gadis itu.
Shanine yang sejak lima menit lalu sudah berada di samping tempat makan favorit sahabat sekaligus kekasihnya ini hanya dapat diam menatap orang-orang yang tengah makan, tidak menyadari Aksa yang sudah berdiri tepat di belakangnya. Ketika gadis itu sudah tak lagi merasakan tetesan air jatuh di atasnya, ia kemudian menoleh dan terkejut kala mendapati Aksa sudah tersenyum dengan manisnya sembari menjulurkan payung sehingga gadis itu tak lagi kebasahan.
“Masuk yuk? Di sini hujan, kamu basah.” Ujar pria itu lembut, kemudian menarik pelan tangan Shanine untuk berdiri dari posisi jongkoknya.
Shanine yang belum dapat merespon apa-apa kini hanya menurut, mengikuti langkah Aksa memasuki tempat makan tersebut. Mata Aksa langsung menyisir tempat itu, mencari bangku kosong untuk diisi. Kala manik pria itu mendapati meja kosong pada sisi kanan ruangan, ia langsung menarik gadisnya pelan untuk berjalan sedikit jauh dari pintu masuk.
Aksa langsung menarik kursi dan mendudukkan gadis itu di atasnya, sedang perempuan itu hanya pasrah mengikuti. Dalam diamnya, Aksa kemudian sedikit menunduk di hadapan gadisnya, mencoba mengeringkan rambut dan tangan perempuan itu yang masih basah oleh air hujan tadi dengan handuk kecil. Isakan kecil masih dapat terdengar dari Shanine, namun tidak apa-apa, yang terpenting adalah ia sudah menemukan gadisnya sekarang, batin Aksa.
“Kenapa tadi ga masuk aja, hm?” Tanya Aksa lembut usai mengeringkan sebagian tubuh Shanine.
“Ga bawa dompet, ga punya uang buat beli bubur,” jawab gadis itu. Kini tangisnya kembali hadir.
Aksa tersenyum, diusap pelan kepala gadis itu olehnya, “Hmm.... Karena aku punya uang, jadi aku pesenin ya? Kamu belum makan kan pasti?”
Shanine hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Oke, aku pesenin, tunggu di sini ya. Ini jaket aku pake aja, ga basah kok,” ujar laki-laki itu sembari memberikan jaket hitamnya pada gadis di hadapannya kemudian melangkah pergi, hendak memesan semangkuk bubur untuk Shanine.
Aksa kembali setelah lima menit dengan semangkuk bubur dan segelas teh hangat yang segera ia letakkan di atas meja, “Makan dulu, ya?” ujarnya.
Shanine hanya menatap kosong ke arah mangkuk bubur yang masih mengepulkan asap tersebut, tak kunjung menyentuhnya. Bibir gadis itu sudah pucat, sedikit membiru, mungkin karena baju yang ia kenakan sudah basah sehingga ia merasa dingin sekarang.
“Nin? Minum dulu yuk tehnya biar ga dingin lagi,” ucap Aksa lembut, namun tak kunjung ada respon dari wanita yang diajak bicara.
“Aku suapin ya?”
Shanine hanya menggeleng.
“Oke, makan sendiri. Tapi cepetan keburu dingin nanti ga enak.”
Gadis itu mulai mengambil sendok dan menyuapi dirinya sendiri dengan air mata yang terus menetes dari pelupuknya. Aksa yang dengan sabar dan telaten kini mencoba membantu menghapus air mata pada wajah cantik perempuan di depannya, “Makan dulu ya, nangisnya simpen buat nanti lagi.”
Hujan sudah cukup lama berhenti, saat ini kedua remaja itu sudah berada tepat di mana Aksa memarkirkan motornya tadi, hendak meninggalkan warung bubur.
“Ga mau pulang.” Shanine tiba-tiba berbicara dengan suara paraunya. “Hm? Oke ga pulang. Kita jalan-jalan aja, yuk naik.”
Angin malam yang cukup dingin melewati keduanya berlawanan arah. Aksa melajukan motornya pelan dan membiarkan gadis di belakangnya masih menggunakan jaket hitam miliknya, mengabaikan kaosnya yang juga dingin karena hujan tadi, baginya Shanine jauh lebih penting saat ini. Laki-laki itu menghentikan motornya tepat di depan sebuah bangunan bercat putih yang terletak di sisi jalan. Shanine tidak tahu ke mana Aksa akan membawanya pergi, ia hanya mengikuti langkah pria itu menaiki beberapa anak tangga hingga sampai pada rooftop yang dikelilingi lampu gantung yang tampak indah. Gadis itu mendongak, menatap lampu-lampu itu yang bersinar terang di bawah gelapnya langit malam, netranya kini bergeser pada warna-warni lampu kota yang dapat dilihat sejauh mata memandang, membuat perasaannya sekarang jauh lebih ringan.
“Duduk sini, Nin,” ujar Aksa yang sudah mendudukkan dirinya di atas ayunan kayu yang entah bagaimana ada di sana.
Gadis itu berjalan mendekati kekasihnya dan mendudukkan diri di samping Aksa dengan netra yang belum lepas dari hamparan luas gedung-gedung bertingkat yang terlihat sangat kecil dipandang mata.
“Nin,” panggil Aksa pelan. Gadis itu menoleh, “Ya?” “Inget ga dulu kamu pernah bilang, in your bad days, lihat aja ke langit, di situ kamu tahu kalo kamu ga sendiri,” ujar Aksa sembari menatap langit malam yang bersih tanpa bintang namun cahaya birunya masih elok dipandang.
Shanine ikut menatap langit, hatinya jauh terasa hangat sekarang. Gadis itu tersenyum. Aksa memang selalu menjadi obat baginya.
“Jun...” “Ya?” “Makasih, ya?”
Aksa tersenyum kala melihat gadis cantiknya sudah jauh lebih ceria dibandingkan dengan beberapa jam lalu, “Sama-sama,” jawabnya lembut sembari membelai pelan rambut Shanine.
Memang begitu seorang Aksara, tidak banyak bertanya, tidak banyak bicara, namun dengan jelas ia selalu dapat paham jelas perasaan Shanine dan ia selalu siap memperbaiki gadis itu kembali. Pun Shanine yang akan bersikap demikian kala Aksa sedang menghadapi hari-hari buruknya. Seperti puzzle yang saling melengkapi, Shanine yang selalu ada untuk Aksa dan Aksa yang selalu hadir untuk Shanine. Keduanya mengucap syukur dalam hati, setidaknya semesta mengizinkan mereka untuk bertemu, mengizinkan mereka untuk berbagi rasa, dan mengizinkan mereka untuk saling melengkapi.