Remaja dan Perasaan

Hiruk-pikuk yang terjadi setiap jam istirahat di sekolah kini menemani langkah seorang gadis menuju lapangan. Shanine—gadis manis itu sedang mencari sosok pria yang merupakan teman dekatnya sejak SMP. Ia mencari temannya itu untuk memberikan benda yang baru saja dititipkan padanya melalui pesan singkat beberapa menit lalu. Begitu matanya menangkap sosok pria yang dimaksud, ia langsung berteriak, hendak memanggilnya.

“JUNN!! nih dompet looo!”

Aksara—pria yang dimaksud oleh Shanine kini menghentikan kegiatannya bermain bola basket dan menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Aksa berjalan ke pinggir lapangan, bermaksud untuk menghampiri sahabatnya, “Thanks Mbul, yuk ke kantin beli makan,” ajaknya.

Shanine hanya mengekor Aksa yang berjalan lebih dulu di depannya. Sebenarnya ia tidak terlalu lapar saat ini, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Aksara saja.

“Lo mau makan apa mbul?” Tanya Aksa sambil sesekali mengetik di ponselnya.

“Gue ga laper,” jawab Shanine singkat.

“Mie ayam bakso mau gak? temenin gue makan, kalo lu ga laper makannya berdua aja,” ujar Aksa santai sedangkan gadis yang diajak bicara kini hanya terpaku, sedikit terkejut dengan ucapan temannya.

“Hah? makan semangkok bedua gitu maksud lo?” Tanyanya memastikan. “Iye.” “Ga, lo makan aja sendiri.” “Dih malu ya lo sepiring berdua?” “ENGGA YA?? Cuma ga normal aja elah aneh ide lo. Lagian lo kan rakus, habis lah itu sendiri,” jawab Shanine kikuk sambil membuang wajahnya. “Dih, yauda gue pesenin bakso sama pangsit rebus kesukaan lo aja ya,” balas Aksa kemudian mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu. “IH Jun engga gua beli sendiri ajaa.” “Udeh diem.” “Cih yaudah makasih.”

Obrolan santai menemani dua sosok sahabat yang kini sedang menunggu makanan pesanannya siap, sesekali mereka bercanda dan tertawa. Keduanya kemudian langsung mengambil pesanan masing-masing begitu makanan mereka siap.

“Penuh Mbul mejanya, duduk di mana ya?” “Hmm lo ga ada kenal orang yang bisa bareng Jun?” “OH ada, itu, princess gue. Duduk bareng Kayla yuk, dia sendiri tuh.” “Ya, boleh,” jawab Shanine kemudian menghela napasnya pelan.

Aksa langsung berjalan cepat menghampiri meja yang dimaksud, “Halo Kay, gue sama Shanine boleh duduk di sini nggak? Mejanya penuh semua.”

“Oh halo Aksa, boleh kok,” jawab gadis bernama Kayla itu dengan ramah.

Aksa langsung memosisikan duduknya di hadapan gadis yang ia sukai itu sedangkan Shanine duduk di samping Kayla. Hubungan Shanine dan Kayla terbilang teman dekat. Mereka memang tidak pernah satu kelas sejak kelas 10, namun kelas mereka selalu bersebelahan sehingga mereka sering bertemu dan mengobrol. Kayla adalah sosok wanita yang cantik, ia orang yang lembut dan sabar, ia pintar dan merupakan juara kelas, tutur katanya baik, sikapnya selalu sopan, sehingga tidak sedikit pria ataupun wanita yang ingin akrab dengannya, termasuk Aksa, ia sudah menyukai gadis ini sejak awal kelas 10, “Ini cinta pandangan pertama namanya Mbul,” ucapnya hari itu sambil tidak henti-hentinya memandangi gadis bernama Kayla yang baru ia temui.

Ketiga remaja itu kini menghabiskan makanan mereka bersama sambil sesekali mengobrol tentang sekolah, hobi, dan hal lainnya. Aksa mendengarkan Kayla dan Shanine yang asyik mengobrol sambil sibuk mengetik di layar ponselnya. Shanine yang sedari tadi memperhatikan temannya yang sibuk dengan ponselnya itu akhirnya ikut penasaran.

“Jun lo ngapain sih sibuk amat?” Tanya Shanine yang disusul juga oleh tatapan penasaran Kayla.

“Oh engga ini Bang Sakha katanya mau ke sini tapi tiba-tiba ga jadi, aneh. Udah makan belum ya tuh orang,” jawab Aksa.

“Ga coba ditelepon aja orangnya?” Usul Shanine.

“Ga deh udah jawab di chat tadi katanya ada urusan di kelasnya,” balas Aksa yang disusul anggukan oleh sahabatnya. Kayla yang sebenarnya menyukai kakak dari Aksara itu hanya menunduk, sedikit kecewa, baru saja ia merasa senang Sakha akan ikut makan bersamanya.

Bukan tanpa alasan Sakha mengurungkan niatnya untuk ikut makan bersama adik lelaki kesayangannya dan teman-teman adiknya itu. Ia sebenarnya sudah sampai di kantin beberapa menit lalu sebelum ia mengabarkan pada Aksa bahwa ia punya urusan. Namun, melihat Kayla duduk di meja yang sama dengan adiknya membuat dadanya sedikit sesak, perasaan dilema bermunculan di hatinya. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan sang adik, namun di sisi lain ia juga sangat ingin mengobrol bersama gadis yang ia sukai, Kayla. Dengan berat hati akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kelasnya.


Sudah sekitar lima belas menit ketiga remaja itu menghabiskan waktu mereka di kantin hingga lima menit setelahnya bel masuk berbunyi membuat mereka cepat-cepat beranjak dan berjalan kembali ke kelas. Aksa dan Kayla masih sibuk mengobrol sepanjang jalan menuju kelas, sedang di belakangnya Shanine hanya sesekali menambahkan obrolan meski kini hatinya terasa sepi, menyadari perasaan Aksa bukan untuknya, melainkan perempuan lain yang ia rasa jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengannya.

Saat ini Shanine sudah duduk di bangkunya, asyik memainkan ponselnya hingga tak menyadari Aksa kini sudah duduk di hadapannya, menidurkan kepalanya di atas lengannya sendiri sambil menatap sahabatnya.

“Kenapa senyum-senyum sendiri dah,” ucap Aksa.

“KAGET! Jun sejak kapan lo duduk di situ?!”

“Baru aja,” jawab Aksa singkat kemudian mengeluarkan seluruh isi tempat pensil temannya yang sebelumnya terbuka. Shanine hanya membiarkan temannya itu melakukan apa yang ia mau seolah sudah terbiasa dengan keusilan seorang Aksara Juni.

“Mbul, Kayla cantik banget kan ya,” ujar Aksa yang kini sudah mencoret-coret buku tulis Shanine seolah itu miliknya. Mendengar ucapan tersebut, Shanine menghentikan gerakan jarinya pada ponselnya, merasa moodnya tidak lagi sebaik sebelumnya.

“Iya,” balas Shanine singkat dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.

“Gua bisa ga ya Mbul jadi pacar dia?”

“Nggak bisa,” jawab Shanine datar sedangkan yang diajak bicara sekarang sudah memasang wajah menyebalkan.

“Hih bisa lah Aksara kan tampan dan berani!” Balasnya dengan percaya diri.

“Iya iya gue mah bakal dukung lo aja selama itu bukan kegiatan yang buruk,” ucap Shanine santai meski ia tahu hatinya akan sangat sakit.

“Hehe lo emang temen terbaik gua dah emang paling top.”

“Yayayayaya.”

“Mbul.”

“Apaan lagiii!”

“Lo nggak suka sama siapa-siapa gitu Mbul? Sejak SMP gua nggak pernah tuh denger lo curhat tentang cowok atau deket sama cowok selain gua sama Bang Sakha?”

Shanine yang mendengar ucapan temannya ini hanya tersenyum miris. “Nggak ada. Nggak ada yang mau deketin gua soalnya takut sama lo,” jawab Shanine asal.

“HAHAHA ya udah gue cariin pacar mau nggak?” tanya Aksa.

“Engga.”

“Jangan-jangan lo nggak suka cowok ya?!”

“HEH enak aja!”

“Oh atau jangan-jangan lo suka sama guru matematika yang baru ya?”

“ENGGAK??” jawab Shanine, mulai kesal.

“HAHAHA OH gua tauu, jangan-jangan lo suka sama gua ya makanya lo nggak mau sama yang lain?” ucap Aksa sambil mengelap air matanya yang keluar karena terlalu banyak tertawa.

Shanine kini hanya terpaku, manik matanya menatap lurus pada Aksa yang masih asyik tertawa. Tidak berniat menjawab, ia hanya diam kemudian melanjutkan gambar 'jelek' Aksara pada buku tulisnya. Aksa yang menyadari temannya tidak menjawab pun akhirnya terdiam.

“Jadi bener? lo suka sama gue?”

Shanine hanya menatap temannya lagi dan kembali menggambar.

“Enggak lah gila lo. Udah kembung gue main sama lo, masa iya mesti pacaran juga,” jawab Shanine akhirnya.

Aksa hanya menaikkan sebelah alisnya kemudian mengangguk, ia lalu beranjak dari duduknya, hendak kembali ke bangku miliknya sendiri mengingat guru yang akan mengajar sudah tiba di kelas mereka, sedangkan Shanine masih dapat merasakan perih di hatinya.