Resmi
Shanine tidak berkutik usai membaca seluruh pesan yang diberikan sahabatnya, ia bingung, senang, berdebar, dan merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Gadis itu masih menundukkan kepalanya menatap layar ponselnya kemudian melirik sekilas pada Aksa melalui ujung matanya. Tampak pria itu benar-benar terlihat gugup sekarang, ia dapat tahu Aksa tampak gelisah karena sejak tadi kakinya terus bergerak di bawah meja, pun alisnya menukik, memasang wajah serius yang tampak lucu di mata Shanine. Perempuan itu kemudian mengangkat tangannya hingga setinggi bahunya, menuruti apa yang diperintahkan melalui jamboard tadi. Aksa menoleh pada gadis di depannya dan langsung mengambil ponselnya, hendak memeriksa jawaban Shanine. Pria itu menarik napas dalam sebelum membuka mata untuk mengetahui apa yang sahabatnya ini jawab.
Gue yakin banget jawabannya D, jadi yaudah gue pilih yang D ya, semoga bener.
Rasanya dada Aksa ingin meledak sebab debaran yang terasa benar-benar membuatnya sesak sekarang, pun ia merasa kupu-kupu di perutnya mungkin kini sudah naik hingga pada dadanya. Pria itu tidak lagi dapat menahan senyumnya. Dilirik olehnya sang gadis yang kini sedang menatap lurus ke arahnya sembari tersenyum lucu.
“Udah boleh ngomong, Nin,” ujar Aksa.
“OKE! Ih gue kebelet ngomong banget asli Jun lo serius?” Shanine kini membuka lebar matanya ketika pertanyaan itu ia lontarkan pada pria di depannya.
Aksa tertawa, “Ya serius lah? Iseng amat gue kalo itu bercanda.”
“Ga percaya.”
“Sini gue buat percaya.”
Aksa kemudian meraih tangan gadisnya, hendak mengecup pelan, namun dengan cepat Shanine menariknya kembali.
“EH—eh lo mau ngapain gila ya!” Gadis itu tampak panik.
Aksa tertawa lagi, “Ya biar lo percaya aja.”
“Baru day 1 udah cium-cium astaga Aksara ckckck.”
“Ya ga pa-pa dong? Ada yang langsung ciumnya di bibir, mau?” ucapan Aksa kini berhasil membuatnya mendapat pukulan pada lengan kirinya dari gadis itu.
“Sakit! Kok dipukul sih?”
“YA ELOOO ADA ADA AJA.”
Shanine dan Aksa—keduanya kini sudah berada di dalam mobil, hendak meninggalkan restoran usai acara makan siang mereka selesai. Alih-alih langsung menyalakan mesin mobil dan pergi menjauhi tempat itu, Aksa kini hanya fokus menjatuhkan netranya pada gadis di sampingnya yang kini tampak sedang menghindari tatapannya.
“Apaan sih liat-liat?” ujar Shanine kala sudah tak sanggup menahan degup jantungnya sendiri yang semakin kencang sebab pria yang ia suka sedang menatapnya lurus.
“Mau ke mana sekarang?” tanya Aksa. “Pantai.” “Tiba-tiba?” “Iyaaa mau ke pantai. Tadi lo nanya, gimana sih?” “Galak banget pacar gue, ya udah ayo pantai.”
‘Pacar’ sebuah silabel yang masih terdengar asing di telinga Shanine. Ia tak percaya akan datang hari dimana harapan besarnya benar-benar dikabulkan. Perempuan itu tidak dapat menahan ujung bibirnya yang terus tertarik ke atas, menghadirkan senyum paling tulus dari hatinya.
“Ulang dong,” ujar gadis itu. “Ulang apaan?” “Tadi lo manggil gue apa?” “Hm? Mbul.” Shanine menatap datar, bibirnya yang semula tersenyum kini melengkung dengan arah sebaliknya, “Bukan.”
“Shanine?” “Bukan.” “Apaan dong?” “Ga tau ah bete.”
Aksa tertawa, rasanya selalu menyenangkan menjaili sahabat sekaligus kekasihnya ini, “Iya iya, pacar gue, Shanine pacar gue, kenapa hm?” ujar pria itu dengan nada yang lebih lembut, berhasil membuat senyum Shanine kembali merekah pada wajah cantiknya.
“Ga, ga pa-pa. Udah ayo jalan ajaa, keburu kesorean nantiii,” ujar gadis itu akhirnya.
“Oke princess.”
Langit jingga mulai turun kala keduanya tiba di tujuan. Hamparan luas air di depan sana kini dapat dilihat sejauh mata memandang, pun hembusan angin sejuk yang membelai rambut keduanya kini sudah meminta perhatian. Aksara—pria itu berjalan di belakang kekasihnya yang sudah lebih dulu berlari membelah butiran pasir. Tawa ringan dan senyum cantik dari gadis itu terasa sangat candu memanjakan setiap indra yang Aksa miliki. Bahagia, ya, itu yang dirasa olehnya saat ini, ingin dan sangat berharap waktu dapat berhenti sebentar saja.
“Jun cepet sini!” teriak Shanine dari jarak yang sudah lumayan jauh.
“Sabar dong!” jawab pria itu kemudian sedikit berlari menyusul kekasihnya.
Begitu Aksa sudah berdiri tepat di hadapan gadisnya, tangannya langsung ia letakkan pada puncak kepala sang gadis, membelai lembut setiap helai rambut yang dimiliki olehnya. “Jangan lari kayak gitu, nanti kalau jatuh gue ga bawa hansaplast,” ujarnya seraya masih mencoba menghirup lebih banyak oksigen sebab sebelumnya ia berlari cukup jauh untuk menyusul sang hawa.
Shanine dibuat mematung karenanya. Ini mah beneran definisi yang diacak-acak rambut tapi yang berantakan hati, batinnya. Ingin rasanya gadis itu teriak dan berguling di tumpukan pasir sekarang, namun mengingat ia masih punya malu, maka ia urungkan niatnya itu.
“Eum, Jun..” “Ya?” “Fotoin.”
Aksa tertawa kecil mendengar permintaan gadis itu yang terdengar lucu di telinganya, “Sini,” ujarnya kemudian mengambil alih kamera milik Shanine.