Sakha untuk Kayla
Suara derasnya hujan yang mengguyur kini mendominasi seisi ruangan. Aksa dan Sakha duduk berdampingan di ruang tamu, sedangkan Ayah dan Ibunya sedang pergi entah ke mana. Kedua kakak-beradik itu kini sibuk menyesap cokelat panas yang Sakha buatkan beberapa menit lalu dengan tenang. Aksa menoleh ke jendela, menatap hujan yang turun dengan dahsyatnya, sesekali petir menyambar dengan kencang, sedangkan kakaknya saat ini sedang menatap kosong ke arah cokelat panasnya yang masih mengeluarkan kepulan asap.
“Bang, Ayah sama Ibu ke mana sih?” ujar Aksa memecah keheningan. “Hm? Tadi seinget Abang mereka mau beli karpet,” jawab Sakha lembut. Aksa mengangguk, “Hujannya deres banget.” Sakha pun ikut menoleh ke arah jendela, menatap sendu hujan yang turun, entah mengapa hatinya terasa resah.
“Aksa, inget ga dulu waktu kamu kecil, setiap ada petir pasti kamu ngumpet di selimut Abang,” tutur Sakha kala memori masa kecilnya kembali terangkat secara tiba-tiba.
Aksa menatap Abangnya selama beberapa detik, remaja itu kemudian tertawa, “Iya iya bang gue inget, terus Abang selalu bilang ‘Aksa jangan takut, kalo ada petir gitu tuh artinya Tuhan lagi foto kita pake lampu kamera, jadi harusnya kita senyum sambil pose nih gini kayak gini’,” balas Aksa sembari menampilkan jajaran giginya dan membentuk jemarinya membuat pose peace.
Sakha kini tertawa dibuatnya, perasaan resahnya tiba-tiba saja menghilang, digantikan oleh perasaan hangat penuh kasih sayang dan rindu yang sudah tidak lagi bisa diobati karena kenangan tetaplah kenangan, tidak akan bisa terulang. Tidak ada satu hari pun bagi seorang Arsakha untuk tidak mengucap syukur pada Tuhan akan setiap kesempatannya untuk hidup di keluarga yang demikian baiknya. Aksa kemudian menatap lurus ke arah manik kakaknya yang tampak sendu, hatinya bergetar seolah dapat merasakan semua perasaan yang Sakha rasakan saat ini.
“Bang.”
Sakha menoleh, “Ya?”
“Abang tau kan kalo Abang tuh Abang terbaik yang pernah Aksa punya?”
Kakak laki-lakinya kemudian tertawa kecil, “Iya, Abang tahu, Abang juga seneng banget bisa jadi Abangnya Aksa,” jawabnya lembut.
“Abang kalo punya masalah pokoknya bagi-bagi aja ya bang ke gue, apa lagi kalo nanti Abang lagi suka sama orang Abang juga harus cerita, oke?”
Jantung Sakha terasa berhenti selama beberapa detik. Maniknya tidak berkedip. Mana mungkin bisa menceritakan wanita yang selalu ia kagumi pada adiknya yang juga menyukai wanita yang sama? pikirnya.
“Iya, nanti Abang cerita,” jawab Sakha akhirnya. Aksa mengangguk dan tiba-tiba bangkit dari duduknya, hendak melangkah pergi. “Eh Aksa mau ke mana?” tanya Sakha. “Toilettt.” “Oke.”
Ponsel Aksa terus bergetar sepeninggalan pemiliknya. Sakha yang mulai penasaran apa yang menyebabkan ponsel itu terus bergetar kemudian mengambilnya dan sontak terkejut kala melihat sebuah nama yang terpampang pada layar. Nama seorang gadis yang selalu ia sayangi sejak lama. Detik selanjutnya benak remaja laki-laki itu sudah melanglang jauh, membayangkan skenario-skenario bahaya yang mungkin saja gadisnya sedang hadapi saat ini. Dengan cepat dan tanpa berpikir panjang lagi, Sakha langsung mengangkat panggilan gadis itu.
“Halo? Kayla?” “Aksa.... Aksa maaf gue nelpon lo, tapi.... tapi—“ suara gadis itu terdengar seperti berbisik dan bergetar seolah sedang sangat ketakutan saat ini. “Kay?” “Aksa.... Aksa gue takut.... Ada orang ga gue kenal ada di depan pintu rumah gue, bajunya item-item pake topi. Tadinya dia sendiri, tapi terus ada dua temennya dateng. B-bawa pisau besar. Sa, gue sendirian di rumah,” tutur gadis itu.
Jantung Sakha terasa berhenti, tangannya kini mencengkeram kuat ponsel Aksa yang masih ia dekatkan pada telinga. Gadisnya sedang dalam bahaya. Di tengah derasnya hujan, benak Sakha membayangkan betapa ketakutannya wanita cantik itu sekarang. Gadis itu membutuhkannya. Gadis tercintanya membutuhkan bantuan dan hanya Sakha harapan satu-satunya.
“S-Sa, mereka masuk rumah....”
Sakha langsung bangkit dari duduknya, “Saya ke sana,” ujarnya kemudian berlari mengambil kunci motor.
tw // blood
Sakha melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Derasnya hujan dan petir yang menyambar ia abaikan. Mungkin orang-orang akan melihatnya heran, tapi benak Sakha hanya terpaku pada Kayla. Ia harus menolongnya. Remaja itu merasa sedikit bersyukur hujan turun saat ini, setidaknya itu bisa membantunya untuk menutupi air mata yang kini keluar dari kedua maniknya. Tangannya bergetar, mengabaikan rasa dingin yang tercipta dari kencangnya angin yang berhembus berlawanan arah dengannya.
Begitu sampai di rumah gadis kesayangannya, remaja itu langsung memarkirkan motornya asal, melepas helm, dan langsung berlari kencang ke arah pintu masuk yang kini sudah dalam keadaan sedikit terbuka. Sakha melongokkan kepalanya ke dalam, bermaksud mengintip lebih dulu. Jika boleh jujur, pria itu ketakutan sekarang, ditambah dengan pakaian dan rambutnya yang basah membuatnya sedikit kedinginan dan jemarinya sedikit pucat. Namun, pria itu langsung berlari masuk ke dalam rumah Kayla begitu mendengar suara pecahan kaca yang cukup keras, mengabaikan seluruh ketakutan dan kedinginan yang ia rasakan.
Kayla berjalan pelan keluar dari kamarnya, langkah kecilnya tidak bersuara, air mata terus mengalir dari kedua pelupuknya, pun pundak gadis itu gemetar hebat. Kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah, Ayahnya masih bekerja dan Ibunya sedang merawat neneknya yang sakit di rumah sakit dan baru kali pertama gadis itu menghadapi keadaan berbahaya seperti ini, sungguh ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain bersembunyi dan berusaha untuk keluar menyelamatkan diri. Ia sudah berhasil menelepon nomor darurat beberapa menit lalu untuk membantunya keluar dari bahaya, tapi tak kunjung ada tanda-tanda pertolongan dari mereka. Gadis itu kini bersembunyi di balik tembok dekat dapur, netranya tidak lepas dari pengawasan sekitarnya. Tiba-tiba mulut gadis itu dibungkam oleh tangan yang jauh lebih besar dari miliknya. Kayla dibuat terkejut dan jauh lebih terkejut lagi kala mendapati Arsakha adalah orang yang kini tengah membungkam mulutnya dengan lembut.
“K-Kak?” ujar gadis itu pelan. “Ssstt, saya lihat mereka tadi masih di atas.”
Kayla bingung. Jelas-jelas tadi jemarinya menekan nomor Aksa, tapi kenapa justru kakak laki-lakinya yang datang? Apa Aksa yang menyuruhnya? pikirnya.
“Kita keluar diem-diem lewat pintu belakang, kamu jalan duluan, saya di belakang,” ujar Sakha berbisik dan disahut anggukan oleh gadis di depannya.
Kedua remaja itu berjalan menuju pintu belakang sesuai dengan apa yang Sakha perintahkan. Namun, mereka tidak menyadari salah satu dari tiga penjahat itu kini berada tepat di belakang Sakha hingga Kayla menoleh dan sontak berteriak, “KAK, DI BELAKANG!”
Sakha langsung menoleh dengan cepat kala mendengar Kayla berteriak, namun pergerakannya tidak lebih cepat dari tangan pria berbaju serba hitam itu yang kini sudah menggoreskan pisaunya dengan cepat ke perut Sakha. Remaja laki-laki itu tidak berkutik, pun Kayla sudah menjerit histeris di belakangnya sembari menutup mulutnya rapat dengan kedua tangannya. Selang beberapa detik, mobil polisi terdengar dari kejauhan, dengan tampak terpaksa akhirnya ketiga orang asing itu dengan cepat lari ke luar rumah untuk mencari selamat, meninggalkan Sakha yang saat ini terduduk lemas bersimbah darah.
Kayla takut. Sangat takut. Bahkan untuk menarik napas saja rasanya ia tidak sanggup. Gadis itu berjalan pelan mendekat ke arah laki-laki yang ia sukai sejak lama. Tangannya bergetar kala jemarinya menyentuh pundak Sakha, air matanya mengalir deras. Sakha yang kini merintih menahan sakit hanya bisa memasang senyum simpul pada gadisnya yang tampak sangat ketakutan, “Sa-saya ga apa,” bisiknya. Kayla berlari mencari kain yang dapat digunakannya untuk setidaknya membantu menahan darah yang terus mengalir dari tubuh pria itu. Gadis itu kemudian bersimpuh di samping Sakha sembari jemarinya menempelkan kain tersebut pada perut pria di depannya. Air matanya tak kunjung berhenti, namun Sakha tahu gadis itu mencoba untuk berani.
“M-Maaf, kak.... Maafin Kayla....” ucap Kayla lirih, tangannya kini sudah merengkuh dengan lembut remaja laki-laki itu, pun jemarinya bergerak mengusap pelan rambut Sakha yang masih sedikit basah akibat hujan tadi.
Ingin hati Sakha menenangkan gadis itu, namun kini rasa sakit yang dirasakan olehnya jauh lebih kuat dari keinginan itu sendiri. Ia merasa sangat mual sekarang, kepalanya pusing, dan kelopak matanya terasa berat. Pria itu kemudian memejamkan matanya, menutupnya rapat kala tidak lagi sanggup menahan rasa sakit yang ada dan meninggalkan Kayla yang kini hanya menangis meminta bantuan, “Kak, jangan tidur dulu ya? Ayo bangun dulu. Kayla mohon.”