Saturday Night with Hadyan-Kei
Langit malam tanpa bintang. Gumpalan awan samar terlihat di atas sana, membawa sejuk angin berembus. Jalanan ramai malam ini, penuh oleh kendaraan roda empat maupun roda dua, berlomba-lomba membunyikan klakson seolah yang paling kencang suaranya dapat lebih cepat sampai ke tujuan, padahal tidak juga. Penyebab jalanan yang padat tentu saja tak lain dan tak bukan adalah karena sekarang Sabtu malam, akhir pekan, semua orang bergotong-gotong keluar rumah mencari hiburan atau sekadar untuk menghirup udara malam sejuk setelah sepekan penat dengan kewajiban-kewajiban.
Tak terkecuali Hadyan dan Keisha. Entah muncul dari mana ide Hadyan untuk mengajak Keisha makan sate malam ini, dia hanya ingin menghabiskan waktunya dengan gadis itu lebih lama usai sepekan ini keduanya disibukkan oleh tugas kuliah yang menggunung. Hadyan duduk nyaman di balik kemudi, kakinya perlahan menghentak-hentak di bawah, mengikuti irama lagu “Strawberries & Cigarettes” oleh Troye Sivan yang mendominasi suara di dalam mobilnya. Sedangkan Keisha hanya duduk diam di sampingnya, menatap lurus jalanan yang semakin padat kendaraan, mobilnya berhenti, menunggu lampu merah berubah warna.
“Diem aja geulis,” ujar Hadyan enteng guna memecah keheningan.
Keisha menoleh ke samping, menatap Hadyan malas. “Emang mau ngapain? Joget?” balasnya datar.
Hadyan terkekeh. Wanita di sampingnya ini boleh jadi kalau bicara memang sedikit galak, tapi jangan diragukan kalau Keisha sudah menyayangi satu orang maka tak akan dia tinggalkan.
“Yaaa … ngapain, kek. Pegang tangan aku misalnya? Dingin nih coba pegang, aku kedinginan,” rengek Hadyan sambil menjulurkan tangan kirinya pada gadis itu.
Alih-alih menggenggam tangan Hadyan seperti yang diperintahkan, Keisha justru bergerak maju mengotak-atik AC mobil, membuat embusan angin yang keluar dari sana tak sekencang tadi.
“Kok malah dipelanin AC-nya?”
“Katanya dingin?” Keisha kembali bersandar.
Hadyan cemberut. “Bukan gitu.”
“Tuh maju, udah ijo.” Keisha tak ambil pusing, lantas dia hanya menunjuk ke arah lampu lalu lintas yang sudah berubah warna jadi hijau, mobil-mobil di depan berangsur maju. Hadyan kembali memutar kepala ke depan, memperhatikan jalanan, melajukan lagi mobilnya di tengah padat kota malam itu.
Hanya butuh sepuluh menit setelah kemacetan di lampu merah, kini Hadyan dan Keisha sudah duduk nyaman pada salah satu kursi panjang di warung sate yang Hadyan bilang rasanya lezat. Warung itu tak besar, tak juga kecil. Orang-orang ramai berbaris di depan, menunggu kursi kosong, beberapa menyerah, ada yang menyantap sate sambil berdiri, ada juga yang memutuskan untuk dibawa pulang atau makan di mobil. Bersyukur Hadyan dan Keisha datang tepat waktu, langsung mendapat tempat duduk tadi, bergabung dengan orang-orang yang sibuk menyusun tusuk sate bekas di piring. Tenda besar membentang di atas gerobak di depan warung, penjualnya dua orang, sibuk mengipas daging-daging di atas pemanggang, aroma asapnya menguar ke jalanan, mengundang semakin banyak perut-perut yang lapar datang menghampiri.
“Ini pesanannya.” Seorang laki-laki paruh baya mengantarkan dua piring sate dan dua gelas air jeruk hangat, meletakkannya di depan pasangan itu.
“Makasih, Pak.” Hadyan berujar sambil tersenyum ramah.
“Eh datang lagi? Ini pacarnya yang waktu itu bilang mau diajak?” Bapak itu bercakap-cakap akrab dengan Hadyan, sedangkan Keisha hanya mengernyit bingung, mengangguk-angguk malu.
“Yoi, pacar saya, Pak. Cantik, kan?” balas Hadyan sambil tersenyum bangga.
“Ckck … ini mah geulis pisan, nemu di mana?”
“Waduh ini mah susah, Pak, carinya. Ke ujung dunia juga belom tentu nemu yang kayak gini, eh taunya nemu di depan rumah,” kata Hadyan enteng, lantas dibalas oleh Keisha dengan pukulan di lengan, wajahnya bersungut-sungut.
Tawa si penjual sate itu mereda, dia usap sekilas air di ujung matanya. “Ya sudah ya sudah, silakan dinikmati satenya, kalau mau nambah teriak aja,” ujarnya lagi sebelum berlalu kembali mengantarkan pesanan ke meja-meja.
Hadyan menyuap sate ke dalam mulutnya, Keisha mengikuti di sampingnya, sesekali kepalanya mengangguk, tak salah lagi Hadyan adalah jagonya memilih makanan lezat.
“Enak?” tanya Hadyan sambil menatap lurus ke arah Keisha.
“Enak.” Keisha mengangguk, menjawab singkat. “Ih udah jangan ngeliatin mulu sana makan!” omelnya kala melihat Hadyan justru sibuk mengamati lekuk wajahnya, tak tergoda dengan lezat makanan di depannya.
Hadyan tertawa. Keisha selalu menggemaskan di matanya meskipun tak sedikit orang bilang gadis itu galak dan menakutkan. Di mata Hadyan tidak begitu, baginya Keisha hanya gadis manis yang galaknya hanya dia gunakan sesekali sebagai pertahanan menutupi malu-malunya.
Lima menit mengobrol ringan sambil terus menghabiskan makanan di piring, ada sesuatu yang menarik perhatian Keisha. Gadis itu terus menatap lamat-lamat ke depan warung, tepatnya di samping gerobak tempat penjual menyiapkan pesanan. Tak butuh waktu lama bagi Hadyan untuk akhirnya sadar Keisha tak lagi mendengarkan ocehannya, lantas dia mengikuti arah pandang perempuannya.
“Ngeliatin apa sih?” Hadyan bertanya, tak berhasil menemukan objek yang menyita banyak perhatian Keisha sejak tadi.
Keisha menoleh lagi menatap piringnya, menyuap lagi, dan menggelengkan kepala. “Engga, itu ada anak bawa gitar kecil, kasihan aku liatnya, dia pastil aper nggak sih, Yan?”
Bola mata Hadyan beralih dari Keisha, menatap ke depan, menemukan anak laki-laki dengan kaus kumal tengah memainkan ukulelenya, sibuk menyanyikan lagu yang suaranya tak sampai terdengar ke telinga Hadyan. Iya, benar kata Keisha, anak itu pasti lapar sebab tak henti-hentinya dia menatap sate-sate yang disusun di atas piring. Lantas Hadyan bangkit dari duduk, membuat Keisha menaikkan sebelah alisnya, bingung.
“Eh mau ke mana?” Keisha menahan lengan kekasihnya.
Hadyan menoleh. “Hm? Aku ke sana sebentar, sebentar aja.”
Jadilah Keisha mengangguk samar, mulai melepaskan genggamannya dari lengan Hadyan.
Hadyan memang laki-laki yang sulit ditebak kepribadiannya. Dia tampak ceria, tampak tak punya masalah, temannya banyak, mungkin satu kampus boleh jadi kenal dengannya. Hadyan juga mudah akrab dengan orang baru, dia terkadang memang manja dan tampak kekanakan, tapi coba lihat lagi, semakin kenal dengannya maka siapapun akan semakin paham sisi dewasa miliknya. Tak jarang membuat Keisha berdebar.
Iya, Hadyan memang terkadang sulit ditebak perilakunya. Seperti saat ini mungkin? Keisha tadi sebenarnya hanya berujar asal, tak mengira Hadyan akan benar-benar mengajak anak laki-laki itu duduk bersama mereka sekarang sambil membawa sepiring sate di tangannya.
“Nah, ini pacar Kakak. Namanya Kakak Kei.” Hadyan mengenalkan Keisha pada anak itu yang hanya dibalas anggukan malu-malu oleh anak tersebut. Kini Hadyan sudah duduk, diapit oleh Keisha dan teman kecil yang baru dikenalnya.
“Halo.” Keisha menyapa ramah sambil tersenyum. Senyum yang jarang-jarang Hadyan lihat.
“H-halo.” Anak itu gugup membalas sapaan Keisha. “Terima kasih, Kak, satenya.” Matanya berbinar menatap Hadyan, penuh terima kasih.
“Sama-sama,” balas Hadyan sambil mengusap kepala anak itu. “Dah, langsung makan aja.” Menuruti kata Hadyan, sang anak langsung menyantap makan malamnya yang mewah.
Keisha terdiam melihat kejadian itu. Lantas matanya beralih menatap Hadyan lamat-lamat tanpa berkedip. Apakah jantungnya ini tidak normal? Berdetak cepat sekali.
Hadyan urung kembali melanjutkan acara makannya sebab sadar tengah ditatap oleh sang gadis. “Kenapa? Mau diusap juga?” ujarnya enteng, mengabaikan debaran di dada Keisha yang rasanya seolah ingin meledak.
Boleh kan kalau Keisha sebegitu sayangnya oleh laki-laki di sampingnya ini? Boleh, kan? Sebab Hadyan selalu punya seribu satu cara untuk buat Keisha terkesima. Dan Keisha, mau sebanyak apa pun dulu dia menolak cinta pada Hadyan, akhirnya jatuh juga. Bagaimana tidak? Laki-laki ini punya pesona yang jelas berbeda, dia tidak mudah menyerah, dia tak banyak maunya. Juga yang terpenting Hadyan selalu ada untuk Keisha, tak pernah absen ketika Keisha sedang butuh teman cerita, Hadyan akan selalu ada di sana, menjadi telinga untuknya.
Lalu tiba-tiba Keisha rasakan tangan kirinya menghangat. Dia menoleh ke bawah, menemukan tangannya sudah berada dalam genggaman Hadyan, dimasukkan ke dalam saku hoodie abu-abunya. Jemarinya perlahan bersilangan dengan milik Hadyan, menciptakan debaran yang semakin terasa. Boleh jadi kupu-kupu di dalam perutnya bukan lagi terbang anggun tapi sedang mengamuk di sana.
“Tangan kamu dingin, aku giniin nggak apa-apa?” Hadyan bertanya polos, mengabaikan Keisha yang sudah kelimpungan bingung ingin memasang ekspresi macam apa sekarang.
Lantas perempuan itu hanya mampu mengangguk. Semburat merah muda sudah jelas tercetak di wajahnya. Hadyan tersenyum gemas, lalu melanjutkan makannya menggunakan tangan kiri.
Sungguh Sabtu malam yang akan Keisha abadikan di dalam kepalanya sepanjang dia hidup.