Sebab Bersama Hadyan, Segalanya Jadi Serba Ringan


Tepat ketika kaki Hadyan melangkah keluar dari lift, jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul lima sore lebih sepuluh menit. Dengan napas sedikit terengah-engah, Hadyan terus maju melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Harum obat-obatan segera menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya, memenuhi dada. Kedua maniknya tak diam, sibuk menoleh kanan-kiri, mengurutkan kamar-kamar. Lantai empat, kamar lima, batinnya terus mengucap kalimat itu agar tidak terlewat.

Langkah kakinya lantas berhenti tepat di depan kamar rawat yang dicari. Kamar lima, lantai empat. Hadyan tak langsung masuk, dia sempatkan dulu dirinya merapikan rambut dan baju yang sedikit kusut akibat lari-larian dari parkiran tadi. Kedua tangannya kini penuh, membawa parsel buah dan roti daging kesukaan Keisha. Usai yakin rambut dan bajunya sudah rapi, laki-laki itu menarik napas, memejamkan mata. Oke, Hadyan, masuk ke sana untuk lihat kondisi Kei, bukan untuk marah-marah, rapalnya dalam hati.

Lantas pintu itu dibuka olehnya, menampilkan sosok gadis yang dicari-cari wujudnya sejak pagi tadi, lengkap dengan selang infus yang ditanam di punggung tangan. Kamar itu kini kosong, hanya ada perempuan itu seorang diri, mungkin ibunya sedang pergi entah ke mana. Hadyan menghela napas, sedih. Bisa-bisanya Keisha tak bilang apa-apa padahal kondisinya sebegini parah? Coba lihat wajah cantik yang biasanya tampak galak kini pucat pasi, matanya terpejam damai. Lalu Hadyan melangkahkan kaki maju, mendekat pada ranjang. Parsel buah dan bungkusan roti daging yang dibawanya diletakkan di atas nakas, lantas Hadyan duduk di kursi yang entah sejak kapan sudah berada di samping kasur. Laki-laki itu melirik, menatap wajah kekasihnya sendu sebelum mengulurkan tangan, membelai pelan rambut Keisha.

“Kenapa nggak bilang aku?” Pertanyaan itu terlontar dengan nada lirih, sudah pasti Keisha tidak dengar. Tangannya terus bergerak di atas kepala Keisha, lalu berpindah, kini menggenggam hangat tangan gadisnya, dikecup pelan.

Mungkin akibat gerak-gerik Hadyan tadi, kedua mata Keisha lantas terbuka pelan, masih mencoba menyesuaikan cahaya kamar setelah tidur panjangnya. Kepala gadis itu tertoleh ke samping, mendapati Hadyan sudah duduk di kursi, menunduk, menggenggam tangannya erat. Seulas senyum tak bisa ditahan lagi untuk diterbitkan, sabit sudah muncul pada wajah pucat sang perempuan.

“Yan…,” panggil Keisha pelan, yang dipanggil langsung menoleh cepat.

“Eh, maaf jadi kebangun, ya?” Hadyan melepas genggaman, lalu bergerak maju, menarik kursi lebih dekat pada Keisha. “Aku tadinya mau langsung ke sini aja pas kamu kasih tahu nomor kamarnya, tapi terus kepikir kayaknya harus bawa buah deh biar cantikku ini cepet sembuh. Udah tuh, Kei, aku udah beli buah, aku minta mbak-mbaknya buat susun buahnya secantik mungkin, yang rapi. Abis beli buah, aku langsung jalan mau ke rumah sakit, kan, tapi tiba-tiba keinget lagi, apa aku beli roti daging kesukaan kamu ya? Biar cantikku ini bisa semangat lagi. Terus ya udah aku ke stasiun, ngebut, Kei! Soalnya takut kehabisan, jam lima biasanya udah abis kan waktu itu kita ke sana. Udah deh, abis itu baru aku langsung ke rumah sakit, roti dagingnya aku beli tiga, satu untuk mama kamu, dua untuk kamu soalnya kamu rakus kalo makan roti itu nggak bisa cuma satu.” Hadyan bicara panjang lebar, menghujani Keisha dengan banyak pernyataan, membuat gadis itu hanya mampu memandang Hadyan tanpa berkedip. Jika ditanya bakat Hadyan apa, boleh jadi jawabannya adalah ‘satu menit bercerita seharian dia ngapain aja’.

Keisha tersenyum. Lantas senyumnya berubah jadi tawa kecil. Rona merah muda mulai mengisi wajahnya, tak sepucat tadi. Hadyan benar-benar ajaib, mampu mengubah suasana sesuram apa pun jadi terang benderang. Juga terkadang mampu ubah suasana terang benderang jadi sekelam langit malam dalam sekejap.

“Dih, diketawain,” cibir Hadyan, cemberut.

Tawa Keisha semakin kencang, perutnya bergerak naik turun. “Hahaha … lucu soalnya. Kayak kamu tuh punya tombol buat cerita macem-macem, tapi kadang tombolnya rusak, nggak diteken bunyi sendiri.”

Hadyan menatap datar ke arah Keisha, masih cemberut. “Iya, nggak kayak kamu, tombolnya lepas, hilang pula.”

“Maksudnya?” Keisha mengernyit, tawanya berangsur-angsur reda.

Hadyan menghela napas, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Ya, iya. Kamu nggak cerita kalo ada apa-apa. Bedanya aku sama Rhayyan, Juan, dan temen-temen yang lain apa dong kalo kamu suka nggak cerita sama aku? Bahkan Aura kayaknya yang pacar kamu ya? Dia tahu semuanya. Mungkin Zella juga pacar kamu.” Hadyan membuang muka, malas-malas menatap Keisha.

Gadis itu tersenyum lagi. Dia tahu Hadyan-nya ini bukan marah, jelas bukan juga cemburu, Hadyan-nya hanya sedang khawatir. Dan benar semua ucapan laki-laki itu, seharusnya Keisha cerita kalau ada apa-apa, seperti tombol rusak milik Hadyan yang tidak dipencet saja sudah berkoar-koar mengeluarkan cerita semrawut seharian dia ngapain aja.

“Iya, aku minta maaf, ya? Aku selalu berusaha apa-apa sendiri. Tadinya malah aku bilang mau ke rumah sakit sendiri aja, nggak usah ditemenin, tapi Ibu maksa buat ikut.” Cerita Keisha sempat terpotong, gadis itu menunduk, tangannya sibuk mencakar-cakar kuku jari, tatapannya sendu. “Aku bukannya mau kayak begini, Yan. Jadi mandiri dan apa-apa sendiri itu emang enak, tapi jujur lebih seringnya jadi kesepian. Tapi aku kayaknya telanjur terbiasa apa-apa sendiri, aku udah nggak ada Ayah, kan? Sejak itu aku nggak bisa bergantung siapa-siapa.”

Hadyan perlahan menoleh lagi pada kekasihnya. Menyadari kalimat dari cerita Keisha mulai memasuki bahasan yang sensitif, laki-laki itu kembali bergerak mendekat.

“Kei, nggak usah dipaksa ka—”

“Aku takut, Yan.” Ucapan Hadyan dipotong begitu saja oleh Keisha. “Aku takut diremehin orang kalo aku keliatan lemah. Dulu, waktu SMA pernah ada yang nganggep aku gampangan, Yan. I trusted him, tapi dia justru nganggep aku bukan apa-apa karena aku dianggap lemah, aku dianggap butuh dia. Makanya, aku nggak mau lagi, Yan. Aku harus kuat sendirian.” Bulir-bulir air bening mulai berjatuhan dari kedua manik Keisha, seketika membuat Hadyan panik. Bukan itu maksud Hadyan tadi. Laki-laki itu tak berpikir panjang bahwa ucapannya boleh jadi memang mengundang bahasan yang sensitif seperti ini.

Tangis Keisha semakin deras, air matanya terus turun tak terbendung. Lalu Hadyan segera bergerak maju, merengkuh wanita itu dalam dekapan hangatnya. Menepuk-nepuk punggung wanita yang selama ini melakukan segalanya sendirian, menahan semuanya sendirian. “Ssstt … iya, iya, sendirian itu nggak enak, makanya aku di sini.”

Bukannya mereda, air mata justru turun semakin deras, pundak Keisha bergetar hebat. Namun, tak apa, nanti juga sedihnya lekas larut sebab segala takutnya sudah diusir pergi sebagian oleh Hadyan. Laki-laki itu masih menepuk punggung gadisnya seolah berkata semua akan baik-baik saja, lantas tak lupa kening Keisha dihujani puluhan kecup, akhirnya membuat sang perempuan mendorong mundur lelakinya sebelum dahinya habis diciumi.

“Ah! Jangan kayak gitu!” Alis Keisha bertautan, kesal. Dia tutupi dahinya, juga diusap-usap pelan.

Hadyan tertawa, merasa puas berhasil membuat sisi galak Keisha kembali keluar setelah tadi sendunya tak mau beranjak pulang. “Hahaha … kan tadi kamu yang minta. Kutanya mau dibawain apa katanya mau dibawain kiss? Ya itu udah kubeli kiss-nya tadi di indomaret, lagi promo beli satu gratis dua puluh jadinya kuborong.”

Keisha masih menatap jengkel, cemberut.

“Kei, laper nggak? Mau roti daging nggak? Aku bukain ya? Ini tuh spesial kubilang ‘Pak ini untuk pacar saya yang cantiknya lebih dari istri bapak jadinya harus pake daging yang banyak, yang empuk ya pilihin jangan yang keras, rotinya juga yang tebel!’ gitu, terus aku diomelin bapaknya, katanya ‘jangan banyak request, masih banyak antrian.’ jahat, ya? Padahal kan aku juga beli, kutambah lima ribu lagi duitnya, dasar.” Hadyan mengomel sambil tangannya bergerak membuka kemasan kertas berisi roti daging yang katanya “spesial”.

“Nih, aku suapin. Hari ini kamu nggak boleh jadi mandiri, cukup bank aja yang mandiri,” ujar Hadyan lagi, berhasil membuat tawa Keisha kembali keluar. Roti daging hangat masuk ke dalam mulut Keisha, rasanya luar biasa lezat. Hadyan benar, roti dagingnya kali ini lebih lezat dari yang biasa Keisha makan.

“Kok beneran lebih enak rotinya?”

“Ya iyalah kan disuapin aku, semuanya enak kalo disuapin aku, besok aku suapin yang banyak.” Hadyan bergurau lagi. “Sini, buka lagi mulutnya, aaaaa….” laki-laki itu menggerakkan tangan layaknya menyuapi anak kecil, membuat gerakan pesawat terbang.

“AKU BUKAN ANAK KECIL!” Keisha kembali mengamuk, mendaratkan satu pukulan di lengan kekasihnya.

“Aduh! Kamu beneran sakit nggak sih ini? Masih besar pukulannya sebesar cintaku padamu.”

“HADYAN!”

“IYA SIAP SALAH!”

Jam dinding yang melekat di atas televisi sudah menunjukkan pukul enam lebih lima menit. Matahari sudah tumbang ke kaki barat sejak tadi, mulai menarik bentangan kain hitam di langit beserta taburan bintang di sana. Malam yang Keisha pikir akan sepi dan menakutkan kini berubah sekejap menjadi malam indah penuh senyuman. Mungkin benar, memilih Hadyan sebagai seseorang yang dia percaya adalah pilihan yang tepat. Sebab bersamanya Keisha diizinkan untuk bersandar, sebab bersamanya Keisha diizinkan untuk lelah, sebab bersamanya juga Keisha tak melulu harus jadi kuat, dan bersamanya juga artinya segalanya berubah jadi serba ringan.