Sudah Tidak Suka
Pukul 12 siang, ujian hari pertama telah usai. Shanine kini sedang merapikan semua barang-barangnya, bersiap untuk pulang. Gadis itu masih fokus dengan kegiatannya hingga pundaknya ditepuk pelan oleh sahabatnya. “Ayo pulang,” ajak Aksa. Remaja laki-laki itu kemudian mendudukkan dirinya di kursi milik Shanine, mengingat gadis itu sejak tadi terus berdiri. Aksa memeluk tasnya dan menatap Shanine lekat dengan senyuman jahil khasnya. Shanine yang sejak tadi merasa ditatap kemudian menghentikan kegiatannya dan menoleh.
“Kenapa liatin gue begitu?” “Cantik.” Shanine diam, otaknya masih memproses ucapan temannya sekarang, “Emang,” ucapnya kemudian. “Ayo cepet beresin barangnya terus kita pulang.” “Ya lo minggir dulu Jun, itu liat tas gue lo dudukin,” ujar gadis itu sembari menunjuk tasnya yang berada tepat di belakang Aksa. Aksa menyingkir, pria itu berdiri dari duduknya, “Gue tunggu di depan kelas ya?” “Yaaa.”
Shanine melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Sepasang maniknya langsung mencari sosok Aksa yang beberapa menit lalu mengatakan akan menunggu di depan kelas. Gadis itu kemudian mendapati pria itu kini tengah mengobrol dengan Kayla, entah apa yang mereka bicarakan, namun keduanya tampak bersenang-senang. Merasa tidak ingin mengganggu, Shanine hanya diam menatap sahabatnya dari kejauhan. Selang beberapa menit, ujung mata Kayla menangkap sosok Shanine yang kini sedang menatap lurus ke arahnya dan Aksa, gadis itu kemudian melambaikan tangannya bermaksud menyapa. Shanine tersenyum dan berjalan mendekati keduanya.
“Hai Shanine! Gimana ujiannya?” sapa Kayla. “Hai Kay, ga tau gue banyak ngasal hehe.” “Sepanjang ujian dia cuma muter-muterin pensil, gambar-gambar di lembar soal, terus sibuk ngeliat keluar jendela ga tau ada apaan,” ucap Aksa yang akhirnya berhasil mendapatkan pukulan dari gadis itu. “Lo ga pulang Kay?” Shanine kembali bersuara. “Ya, ini mau pulang kok.” “Ya udah yuk bareng ke bawahnya,” ajak Shanine kemudian menarik tangan Kayla dan membawanya pergi, meninggalkan Aksa yang mengekor di belakang.
“Nih,” ujar Aksa sembari menyodorkan helm. Shanine menerima benda tersebut dan segera memakainya dalam diam. Gadis itu menatap sahabatnya yang masih sibuk menyiapkan motornya dengan tatapan kosong. “Naik,” Aksa kembali menyuarakan titahnya. Tidak ada pembicaraan antara keduanya sepanjang perjalanan mereka pulang. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tidak terasa motor Aksa sudah berhenti tepat di depan rumah gadis yang diboncengnya itu. Shanine langsung turun, melepas helm, dan memberikannya pada Aksa. “Makasih,” ucap gadis itu, entah mengapa masih enggan untuk bicara banyak. “Totalnya 15 ribu ya dek,” balas Aksa. Shanine tertawa kecil, “Sori-sori,” ujarnya kala paham dengan gurauan Aksa. “Lagian gue diperlakukan kayak ojol aja dah.” “Ya terus maunya gimana? Biasanya juga lo abis nganterin gue langsung balik.” Mendengar nada bicara Shanine yang tampaknya tidak biasa, Aksa terdiam sejenak, “Mau main di rumah lo boleh ga?” ujarnya. “Besok ujian, kenapa lo main....” “Ya udah ganti judul, kita belajar bareng aja ceritanya.” “Ya udah boleh,” jawab Shanine kemudian membuka pagar rumahnya dan membiarkan laki-laki itu memarkirkan motornya di halaman.
Kedua remaja itu kini masuk ke rumah Shanine. Sebuah rumah yang dapat dibilang megah, namun terasa sangat dingin dan sepi. Shanine hanya tinggal berdua dengan asisten rumah tangganya yang sudah bekerja dengan keluarganya sejak remaja itu masuk SMP, sedangkan Ayah dan Ibunya lebih sering pergi ke luar kota dengan alasan pekerjaan. Shanine terbiasa dengan keadaan rumahnya yang sepi ini, hanya ucapan “Sudah pulang, Non?” dari asisten rumah tangganya yang selalu menyambut telinganya setiap pulang ke rumah.
“Seperti biasa, anggep aja rumah sendiri, karena ya, ga ada peraturan apa-apa juga di sini,” ujar Shanine pada Aksa. “Gue mau ke kamar sebentar ya, ganti baju sama ambil buku,” lanjut gadis itu kemudian berlalu.
Aksa memutuskan untuk duduk di sofa ruang tamu. Kedua maniknya belum lepas dari seisi rumah sahabatnya yang sejak dulu belum berubah.
“Ini Den Aksa minumnya,” ujar wanita paruh baya itu sembari meletakkan segelas jus jeruk di meja tepat di depan Aksa. “Eh iya terima kasih Bi,” balas Aksa dengan senyumannya. “Den Aksa kok jarang main ke sini lagi? Sebenernya Bibi kasihan sama Non Shanine, kesepian meski di rumahnya sendiri,” ujar wanita itu lagi.
Aksa yang mendengar ucapan itu lagi-lagi merasa iba pada temannya, “Iya, nanti Aksa sering main deh Bi, makasih udah jagain Shanine,” jawabnya.
“Minggu kemarin Nyonya sama Tuan pulang, tapi langsung ribut Den, kayaknya itu pas Non Shanine pulang dari Jogja. Sampe besoknya juga Non Shanine ga berani buat sarapan bareng Nyonya sama Tuan. Saya sudah tawari bawa bekal tapi Non ga mau,” tutur wanita itu panjang lebar. Memang sudah menjadi kebiasaan di antara Aksa dan wanita paruh baya itu untuk saling bertukar cerita mengenai Shanine, itu karena permintaan Aksa beberapa tahun lalu yang menginginkan wanita yang kerap dipanggil ‘Bibi’ ini untuk menceritakan seluruh keadaan sahabatnya sebagai salah satu bentuk kepeduliannya. Aksa mengangguk mendengar cerita itu, ia semakin paham kenapa Shanine bisa pingsan tempo hari, ya, itu pasti karena gadis itu tidak makan pagi.
“Lain kali boleh telepon saya aja Bi kalau Shanine ada apa-apa, biar saya bawa dia kabur. Bibi masih simpan nomor telepon saya kan?” “Iya dong masih Bibi simpan.” “Oke, kalo ada apa-apa boleh tolong telepon Aksa aja ga apa.”
Aksa menatap sahabatnya yang sejak tadi masih fokus dengan bukunya, makan siang gadis itu belum juga disentuh. Aksa juga tahu bahwa Shanine pasti hanya menjadikan buku itu sebagai pelampiasan untuk menghindari kontak mata dengannya, entah karena apa.
“Nin, makan dulu baru belajar lagi, ini udah telat makan siangnya,” ujar Aksa kala melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah 2 siang. “Iya, nanti,” jawab gadis itu seadanya. “Gue suapin?” “Engga.” Aksa semakin bingung. Di sekolah tadi seingatnya Shanine masih baik-baik saja dan masih tersenyum, tapi kenapa sekarang gadis itu terlihat marah? “Gue ada salah kah?” “Engga.” “Gue pasti ada salah.” “Enggaaa.” “Iya iya Aksa minta maaf ya kalo tadi salah?” ujar remaja laki-laki itu mengalah. “Engga salaaahh,” jawab Shanine, gadis itu kemudian menutup buku pelajarannya dan menarik piring makannya mendekat. Masih tidak berniat untuk makan, gadis itu hanya mengaduk-aduk makanannya pelan.
Aksa menatap sahabatnya, “Ya udah, tapi kalo mau cerita gue bakal dengerin, oke?” Shanine mengangguk kemudian mulai memakan makanannya yang sudah sedikit dingin.
“Tapi,” ucap gadis itu tiba-tiba. Aksa menoleh, “Hm?” Shanine kembali meletakkan sendoknya kemudian menggeser duduknya lebih dekat pada Aksa. Netra keduanya bertemu, membuat Aksa merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Lo masih suka sama Kayla, Jun?” Aksa terdiam, mencoba memikirkan alasan mengapa sahabatnya tiba-tiba bertanya demikian. “Kenapa?” jawab pria itu sebagai jawaban. “Jawab aja.” “Jadi lo ngambek karena gue tadi ngobrol sama Kayla? Cemburu kah?” tebak Aksa sembari memasang wajah jahilnya. “IH ENGGA, udah jawab aja!” “Engga.” “Engga?” “Iya, gue udah ga suka sama Kayla.” “Kok bisa?” “Ya bisa aja. Kenapa emangnya?”
Shanine berdeham kemudian mengalihkan pandangnya dari Aksa. Ia merasa sedikit lega.
“Sejak kapan?” “Sejak.... Kapan ya, sejak dia nolak gue sebenernya gue udah mulai ragu sih Mbul. Kenapa sih tiba-tiba nanya gitu?” “Ga pa-pa.” Aksa belum juga melepas pandangnya dari wanita di hadapannya, “Sekarang gue sih suka sama orang lain,” balasnya. Shanine menoleh dengan cepat, “S-siapa? Cepet amat nemunya.” “Ya, cepet. Soalnya dia selalu ada buat gue sih, gue-nya aja yang bodoh baru nyadar.” “Siapa?” “Apa?” “Sekarang lo sukanya sama siapa?” Aksa diam sejenak. “Nanti aja pas kita ultah baru gue bilang,” jawabnya enteng kemudian menenggak jus miliknya. “Kelamaan, sekarang aja.” “Sabar dong? Kalo bilang sekarang takutnya lo kaget.” “Ga, ga kagettt, cepetann.” “Ga mau.” “Ya udah ga mau makan.” “Kok gitu? Ih gue tuh harus nyiapin blablabla nya dulu.” “Kok ribet banget? Ketimbang bilang doang.”
Ya, soalnya itu eluuu anjir, soalnya gue sukanya sama eluuu, batin Aksa.
“Ya, ribet.” “Cih ya udah. Eh tapi orangnya deket sama gue juga ga?” “Iya.” Shanine tampak berpikir, “Caca?” “Caca siapa?” “Caca kelas sebelah.” “Hah? Engga.” “Ya udahlah gue nyerah.” “Dibilang nanti aja, udah sekarang makan dulu.” “Inisial? Kasih gue huruf depan namanya,” Shanine belum juga menyerah. “Maksa banget sih?!” “Cepet, abis itu janji gue makan.” Aksa menghela napas pelan, “Inisialnya M,” jawabnya. “Ha? Ga tau ah ga kenal,” ujar gadis itu menyerah kemudian kembali dengan kegiatan makannya. Lagi-lagi ia tidak memiliki tempat di hati Aksa, pikirnya.