Tentang Arsakha

Sakha meletakkan kembali ponselnya usai bertukar pesan dengan keluarganya tadi. Remaja itu menatap kosong ke arah tugas-tugas sekolahnya yang tengah ia kerjakan sekarang. Benaknya tidak lepas dari gadis yang selalu ia sukai sejak tahun keduanya di SMA. Memorinya kembali mengangkat kenangan satu tahun lalu, ketika pria itu pertama kali bertemu dengan gadis baik hati bernama Kayla.


“Eh, maaf, kakak ga apa-apa?” ujar Kayla pada remaja laki-laki yang satu tahun lebih tua darinya itu. Gadis itu dengan hati-hati menyapa Sakha yang tampaknya tengah menangis entah karena apa.

Sakha menoleh, maniknya menangkap sosok wanita yang asing baginya. Laki-laki itu cukup lama memberikan atensinya pada gadis bersurai panjang kelam dengan pita merah muda kecil yang setia menghiasi rambutnya. Anak baru ya, batinnya.

Merasa diamnya Sakha belum menjadi jawaban akan pertanyaan Kayla, gadis itu kembali membuka suara, “Kakak ga apa-apa?” tanyanya sekali lagi.

Sakha menggeleng, “Ga apa-apa,” sembari kedua tangannya menghapus pelan air mata yang masih mencoba turun dari kedua matanya.

Alih-alih pergi meninggalkan Sakha, gadis itu mendudukkan dirinya di samping pria itu. Wajah tampak samping Kayla juga terlihat sangat cantik, pun tercium wangi bunga menyeruak darinya membuat Sakha yang perasaannya sedang kalut sore itu menjadi lebih tenang. Sakha menghela napas panjang. Tidak banyak siswa siswi yang mengetahui bahwa di belakang sekolah mereka terdapat taman kecil yang cukup indah. Taman yang tidak dirawat dengan baik namun menurut Sakha tempat itu sudah lebih dari cukup untuknya menenangkan pikiran kala sedang kalut seperti ini. Terkadang juga banyak burung yang datang ke tempat tersebut seolah menemani Sakha yang tengah menyendiri, remaja laki-laki itu pun tak jarang memberi mereka sedikit makanan.

Atensi gadis itu kembali pada sosok Sakha dengan surai hitamnya. Matanya bengkak dan merah, menandakan ia sudah sejak berjam-jam lalu menangis sendirian di sini. Merasa tidak tega untuk meninggalkan pria itu, Kayla memutuskan diam dan duduk, berniat untuk menemani.

“Mmmm, Kayla,” ucap gadis itu memecah keheningan di antara mereka. Sakha menoleh pelan, “Hm?” “Nama gue Kayla, nama kakak siapa?” bibir kecil Kayla kembali bergerak. “Saya Sakha, maaf kalau canggung, saya ga terbiasa pakai lo-gue,” jawaban Sakha membuat gadis di sampingnya merasa sedikit terhibur. Lucu, pikirnya.

“Iya ga apa-apa kak, kalo gitu aku ga pake lo-gue deh.” “Ya ga apa kalo kamu mau pake.” “Engga ah, bosen pake lo-gue terus,” balas gadis itu sebagai alasan. “Kenapa bisa ke sini?” tanya Sakha penasaran. “Mmm, gimana ya, awalnya aku cuma lagi jalan-jalan aja, penasaran sama isi sekolah, tapi terus ada jalan kecil yang nyambung dari gedung belakang ke sini, ya udah aku ikutin terus sampe di sini, kaget juga ada orang ternyata. Eh maaf kak aku malah ngomong panjang lebar,” gadis itu kini menutup rapat mulutnya dengan kedua tangannya.

Sakha tertawa kecil, “Ga kok ga apa, kan tadi saya yang tanya.” Gadis di sampingnya kini hanya tersenyum. Sebuah senyum yang sangat cantik bagi Sakha, senyum yang tulus dan ringan. “Ga takut ke sini sendiri? Kalau seandainya ga ada saya di sini gimana?” laki-laki itu kembali membuka suara.

“Mmm, ya kalo gitu aku balik lah ngapain ke sini. Tapi bukan karena takut jugaaa.” Sakha tersenyum, “Oke.” “Kakak kenapa nangis? Eh tapi kalo ga mau cerita ga apa-apa,” Kayla menggaruk pelan tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.

Sebenarnya baru pertama kali ada orang lain yang melihat sisi lemah dari seorang Arsakha, terlebih orang itu adalah orang yang baru saja ia temui untuk kali pertama. Sakha merasa sedikit malu membiarkan seorang gadis melihatnya menangis tadi. Tapi tak apa, manusia tetap manusia, tidak lepas dari kesedihan, pikirnya.

“Tadi, saya dapat nilai jelek waktu ulangan,” jawab Sakha akan pertanyaan wanita itu. Kayla menatap Sakha tanpa berkedip, “Itu aja kak alasannya?” Sakha mengangguk. “Bukannya itu biasa ya? Emang nilainya berapa?” “70.” Kayla heran, angka 70 masih termasuk bagus bagi gadis itu, “70 masih ga terlalu jelek kak.” “Tapi di bawah KKM.” “Tapi ga parah-parah banget.” “Tapi saya jadi ga bisa bawa pulang prestasi untuk ibu saya.”

Jawaban Sakha mencuri perhatian gadis itu. Sangat jarang Kayla menemukan seorang pria yang begitu lembut baik hati dan tutur katanya seperti ini.

“70 kan juga nilai kak. Dari pada sedih mikirin nilai segitu lebih baik bersyukur? Ga apa sekali-sekali remed kan? Kalau gagal dapat nilai 100, setidaknya bisa disyukuri masih mendapat di atas KKM, atau kalau ga memenuhi KKM setidaknya masih bisa bersyukur udah diberi kesempatan untuk berusaha, apalagi kalau ngerjainnya jujur, dibandingkan sama yang dapet nilai bagus tapi nyontek kan percuma aja kak,” gadis itu kembali menyuarakan pendapat panjangnya yang kini berhasil membuat Sakha terpana. “Aku yakin ibu kakak ga akan sebegitu kecewanya, toh anaknya ga mencuri jawaban orang lain?” lanjut Kayla.

“Iya, makasih ya?” Sakha kembali menampilkan senyum manisnya diiringi matanya yang kian mengecil kala pria itu tersenyum. Kayla tidak berkutik, seolah tersihir dengan paras indah pria di sampingnya. “Maaf bikin kamu jadi harus lihat sisi lemah saya,” lanjut Sakha. “Sisi lemah apa?” “Kamu lihat saya nangis tadi.” “Menurutku nangis bukan berarti lemah kok, kadang menangis bisa jadi tanda bahwa kita pernah jadi kuat. Kalau seandainya kesedihan juga ga ada di dunia, berarti kebahagiaan juga ga ada, manusia ga akan tahu apa itu bahagia sampai mereka tahu apa itu kesedihan kan?”

Ucapan Kayla lagi-lagi membuat Sakha kagum. Ia ingat dulu sekali ayahnya pernah berkata “Jagoan ga boleh nangis,” namun kali ini ia tahu ucapan ayahnya tidak mutlak. Jagoan terkadang boleh menangis.

“Jadi jagoan boleh nangis?” tanya Sakha tanpa sadar. Kayla menatap lurus kedua manik pria itu, “Jagoan? Iya jagoan manapun boleh nangis,” jawab gadis itu sambil tertawa kecil.

Senyumnya mampu menciptakan atmosfer baru bagi Sakha. Keduanya memutuskan untuk saling jatuh cinta sore itu. Ditemani kicauan burung yang samar-samar terdengar di telinga mereka. Netra keduanya tidak lepas satu sama lain, meninggalkan sedikit kehangatan di hati masing-masing pemiliknya. Keduanya memutuskan untuk saling mengagumi, kesan pertama yang mereka dapat satu sama lain berhasil mendobrak kembali hati yang semula tertutup rapat. Keduanya jatuh cinta.


Sakha mengusak kasar rambutnya. Kilas baliknya ia cukupkan sampai di sini. Merasa tidak lagi ingin melanjutkan tugas-tugasnya, pria itu membuka laci meja belajarnya dan mengambil sebuah buku. Buku yang sudah sejak setahun lalu menjadi satu-satunya saksi akan perasaan kagumnya pada Kayla. Buku yang sengaja ia siapkan untuk menumpahkan segala kekagumannya pada gadis itu, gadis yang belum direstui semesta untuk menjadi miliknya, gadis yang ia tahu dikagumi pula oleh adik kesayangannya.

Remaja itu membolak-balik buku bersampul cokelat yang ia sendiri beri nama ‘Ruang Sakha’ pada sampulnya. Di dalamnya hanya berisi tulisan-tulisan pendeknya yang selalu berhasil membuatnya kembali tersenyum kala mengingat seluruh momen yang ditulisnya di sana. Sedang asyik dengan kegiatannya, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk pelan. Pria itu bergegas memasukkan kembali buku tersebut di dalam laci meja belajarnya.

“Abang Sakha?” ujar seorang wanita yang kini tengah mengintip. “Iya ibu, ada apa?” “Masih belajar nak? Ibu boleh masuk?” “Boleh ibu.” Hanessa kemudian masuk ke dalam kamar putra pertamanya itu, meletakkan beberapa pakaian bersih milik Sakha di kasur, dan menghampiri anaknya.

“Jangan dipaksa, kalo capek istirahat aja bang,” Hanessa mengelus pelan kepala putranya, merengkuhnya dalam pelukan hangat yang selalu Sakha sukai sejak kecil. Sakha selalu bersyukur akan itu, sebelumnya tidak pernah terbesit di benaknya akan mendapat kesempatan kedua untuk memiliki keluarga. Keluarga yang jauh lebih layak. “Ibu,” panggil Sakha pelan. “Iya?” “Maaf kalau Sakha belum bisa kasih imbalan apa-apa untuk semua kebaikan yang ibu, ayah, dan Aksa kasih ke Sakha,” tutur remaja itu.

Hanessa terdiam sejenak, “Abang ngomong apa sih? Dengerin ibu ya nak, Ibu sama Ayah memutuskan untuk memilih Sakha karena ibu sama ayah sayang sama Sakha nak. Apapun ga akan jadi pembeda antara kamu dan Aksa. Kamu anak ibu, Aksa juga anak ibu, ibu sayang kalian berdua dengan porsi yang sama. Abang Sakha udah ngasih banyak kebaikan kok untuk ibu, dengan Abang Sakha hadir di hidup Ibu sama Ayah juga itu udah lebih dari cukup buat kami, oke? Sakha harus bahagia juga dong, jangan dipikirin hal-hal yang ga perlu. Bagi cerita abang sama ibu kalo abang ga bisa simpen sendiri,” ujar Hanessa yang jemarinya masih setia membelai pelan rambut putranya.

“Sakha anak ayah yang paling baik hati,” ujar seorang pria yang kini ikut masuk ke dalam kamar Sakha.

Hanessa dan Sakha sontak menoleh, mendapati Johan yang menatap mereka lekat. Pria paruh baya itu kemudian berjalan mendekat kepada keduanya dan ikut memberikan kehangatan pada putra pertamanya melalui jemarinya yang ikut membelai pelan rambut Sakha.

“Jangan pernah abang merasa sendiri ya nak, ada Ayah, ada Ibu, ada Aksa, kita keluarga, jadi jangan pernah merasa berbeda, ya? Kita udah sering bahas ini, tapi ayah ga akan pernah bosan untuk ingatkan abang kalau abang itu anak ayah. Abang kan sudah tau alasan ayah kasih abang nama Arsakha Putra Adhinatha? Ya karena Arsakha memang putra Adhinatha, ga ada bedanya sama Aksa,” ujar Johan lembut.

Sakha merasa hatinya jauh lebih hangat, ya, ucapan Ayah dan Ibunya adalah benar. Sekarang ia tidak sendiri, setidaknya tidak seperti saat ia berada di panti bertahun-tahun silam. Saat ini ia punya keluarga, keluarga yang ia janji akan lindungi sampai akhir hayatnya. Janji ia pada dirinya sendiri akan berikan apapun yang bisa ia berikan untuk kebahagiaan keluarganya, apapun itu, meski itu adalah kebahagiaan miliknya.