Tentang Hadirnya Sosok Nathan
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun Grizella, gadis itu masih merebahkan dirinya di kasur dengan posisi menghadap langit-langit. Perempuan itu hanya diam, berbeda dengan pikirannya yang terlalu berisik hari ini. Otaknya terlalu sibuk memikirkan perihal kuliah, Nathan, kencan mereka, pun ditambah hari ini dia mendapat omelan dari dosen karena tugasnya yang tak dikerjakan dengan baik. Grizella lantas menarik napas panjang sembari memejamkan mata, memang benar hari itu dia tidak melakukan kegiatan apa-apa sejak siang tadi, tapi rasanya tetap saja melelahkan.
Di tengah riuh pikiran yang menarik fokusnya, tiba-tiba saja telinga Grizella mendengar sebuah suara bel apartemennya. Ia lalu dengan malas bangkit dari posisi tidurnya, hendak menghampiri siapa yang berani-beraninya mengganggu waktu istirahatnya itu.
“Aduh siapa sih malem-malem? Ga tau apa orang lagi kesel,” omelnya seraya melangkah cepat menuju pintu.
Kala kakinya tepat sampai di balik pintu, gadis itu kemudian mengintip dari lubang kecil pada pintu tersebut guna memastikan siapa yang berdiri di baliknya—khawatir jika orang jahat yang berada di sana. Matanya lalu membelalak ketika mendapati seseorang yang sangat ia kenal sedang berdiri dengan senyuman di balik pintu itu. Grizella dengan cepat menggerakkan gagang pintu itu ke bawah, hendak membukakannya untuk orang yang berdiri di baliknya.
“Nath? Kamu ngapain di sini?” ujar gadis itu begitu pintu apartemennya sudah ia buka, menunjukkan sosok kekasihnya yang sedang tersenyum dengan manisnya di sana.
“Hai Ijel, aku tau kamu kalo lagi sedih pasti nggak mau makan, jadi ini aku bawa martabak buat kamu, mau diterima nggak?” balas pria itu sambil memberikan kantong plastik berisi martabak yang sedari tadi berada di genggamannya itu.
Grizella lalu mengalihkan netranya dari Nathan ke arah kantong plastik yang disodorkan padanya, kini ikut membawa harum martabak yang manis dari sana, membuat perut gadis itu sontak berbunyi.
“Tuh, laper kan? Ambil, nih. Kalo kamu lagi mau sendirian nggak apa-apa, aku langsung pulang aja habis ngasih ini,” ujar Nathan lagi.
Gadis itu mengangguk, lantas mengambil kantong plastik tersebut dari tangan kekasihnya, “Makasih, Nath.”
Masih dengan senyum yang sama, Nathan kemudian menjatuhkan tangannya di atas kepala gadisnya untuk ia elus pelan, “Sama-sama. Dimakan ya, jangan skip makan lagi, aku pulang sekarang ya, Ijel,” ujarnya sebagai penutup sebelum ia benar-benar melangkahkan kakinya menjauhi Grizella yang masih berdiri mematung.
Baru sekitar tujuh langkah laki-laki itu menjauh, suara gadisnya tiba-tiba kembali terdengar, “Nath!” panggilnya.
Nathan, laki-laki yang dipanggil itu kini menghentikan langkahnya, ia lalu memutar tubuhnya kembali menghadap kekasihnya, “Kenapaa?” ujarnya sedikit berteriak.
“Can you stay here? Please?”
Nathan kini sudah mendudukkan dirinya dengan nyaman di atas sofa yang berada di ruang tamu, sedangkan gadisnya, Grizella, masih menyibukkan diri di dapur untuk memindahkan martabak yang Nathan bawa ke piring-piringnya. Setelah selesai dengan kegiatannya memindahkan makanan, gadis itu lalu membawa sepiring martabak keju serta dua buah piring kecil dengan garpu, meletakkannya di atas meja kecil di depan sofa, dan ikut mendudukkan diri di samping Nathan.
“Nih, kamu kalo mau ambil aja,” ujar Grizella sambil menggeser sedikit piring berisi martabak itu kepada Nathan.
“Kan emang aku yang beli, kok jadi kamu yang nawarin?” gurau Nathan.
Grizella lantas menoleh dengan ekspresi kesal, “Ya kan udah punya aku,” ujarnya.
Laki-laki itu terkekeh pelan, “Iya, iya, udah punya Ijel, ya udah dimakan sanaa.”
“Nanti aja, belom laper.”
“Bohong, tadi perutnya udah bunyi gitu.”
“IH ENGGA!”
Nathan kembali dibuat tertawa sebab wajah gadisnya terlihat sangat lucu saat marah, “Mau aku suapin?”
Grizella tak segera menjawab, ia kini hanya memalingkan wajahnya dari Nathan, “Nggak usah.”
“Oke aku suapin.”
“NAATTH!”
“Apaaa sayanggg?”
“Nggak tau ah, kesel.”
Niat Nathan yang semula hendak mengambil piring kecil di hadapannya kini ia urungkan, laki-laki itu lantas kembali memutar tubuhnya menghadap Grizella dan menatap gadis itu lekat. Grizella yang jelas-jelas sadar akan hal itu kini ikut menoleh menatap balik Nathan, “Kenapa?” tanya gadis itu singkat.
“Need a hug?”
Alih-alih menjawab, Grizella hanya diam sembari menatap lurus pada Nathan, sedangkan laki-laki itu sudah merentangkan kedua tangannya sekarang, “Come here,” ujarnya lagi.
Dengan perasaan yang sedikit ragu, gadis itu lalu mendekat pada Nathan dan tubuhnya langsung disambut oleh rengkuhan hangat dari laki-laki itu. Grizella kini memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada dada bidang laki-laki itu, mencoba merasakan kehangatan yang Nathan berikan melalui usapan lembut di punggungnya. Seolah tersihir dengan seluruh kenyamanan yang hadir, Grizella kembali menitikkan air matanya, punggungnya mulai bergetar, tangis yang tadinya ia tahan-tahan akhirnya tumpah juga.
“It’s okay, keluarin aja, Jel. Nangis aja nggak apa-apa,” ujar Nathan sembari tangannya belum berhenti memberikan usapan pada punggung gadis itu.
Dunia berputar, katanya. Di antara putaran-putaran yang dialaminya ikut mengantarkan kaki-kaki manusia yang hidup di dalamnya mau tidak mau terus melangkah, entah untuk mengejar impian-impiannya, atau sekadar untuk bertahan hidup. Dalam langkah-langkah yang tak pernah kita sadari itu, anak manusia saling menyapa, saling dipertemukan oleh takdir yang mungkin memang memiliki maksud tertentu. Tapi ketahuilah, dunia memang berputar, akan terus begitu, namun sesekali langkah kita boleh berhenti jika dirasa butuh istirahat.
Terkadang, di antara pertemuan-pertemuan anak manusia itu, ada yang hadirnya memberi makna, ada yang hadirnya memberi pelajaran, pun ada yang hadirnya memberi kenangan. Dan bagi gadis itu—gadis yang tengah menangis tersedu-sedu di dekapan kekasihnya—kehadiran seorang Nathan pada hidupnya adalah sebagai ruang istirahatnya ketika dunia sudah terlalu jauh menyakitinya. Grizella tidak ingin kehilangan rumah istirahatnya, dia butuh Nathan untuk bersandar kala penat, dia butuh Nathan untuk berbagi gembira kala senang, dia butuh Nathan untuk menemaninya menghadapi kenyataan dunia yang terlalu kejam, dia butuh Nathan untuk hidupnya, akan selalu begitu.
“N-nath....”
“Hm?”
“Boleh minta sesuatu?”
“Apa?”
“Selalu di sini ya? Selalu sama aku, jangan pergi, jangan tinggalin aku.”