Tentang Manusia-Manusia yang Dipertemukan
Langit yang semula berwarna biru cerah kini mulai gelap. Di atas sana gumpalan awan serupa kapas mulai sulit terlihat, digantikan oleh taburan bintang cantik. Lampu-lampu sudah dinyalakan, menciptakan suasana hangat di taman hiburan itu sekarang. Grizella, perempuan yang masih setia memajang senyum di wajahnya itu terus melangkahkan kaki dengan kekasihnya di sampingnya, menyamakan langkah. Mungkin tanpa gadis itu sadari, di sana sudah ada sepasang mata yang memperhatikannya penuh kasih sayang. Siapa lagi jika bukan Nathan? Laki-laki dengan kamera yang menggantung di lehernya itu belum juga bosan menaruh perhatian pada gadisnya, perasaannya menghangat begitu melihat Grizella kesayangannya tampak senang hari ini. Ternyata benar saja, ide jalan-jalan dari Hadyan sudah menyelamatkan banyak jiwa yang lelah diterkam kewajiban tugas-tugas kuliah.
“Itu Aura!” Grizella berujar ceria, lantas mempercepat langkahnya menghampiri sahabat perempuannya yang entah sudah berapa lama berdiri di dekat wahana besar itu, di sampingnya juga sudah ada Juan dan Rhayyan yang tengah sibuk berbagi sekantong popcorn.
“Ijel!” sapa Aura dengan senyum lebarnya, tangannya ia lamabai-lambaikan ke atas, bermaksud agar Grizella dapat melihatnya dengan jelas.
“Hai! Keisha sama Hadyan belom ke sini?” tanya Grizella sebab kedua maniknya belum juga menangkap kehadiran kedua remaja itu. Lalu Aura hanya menjawab dengan gelengan kepala singkat.
“Bentar lagi mungkin.” Tanpa diminta, Rhayyan ikut menambahkan, masih dengan mulutnya yang dipenuhi oleh makanan. Namun, tak lama setelahnya, sosok laki-laki dan perempuan yang tengah dibahas itu muncul dari keramaian.
“Oy, sorry lama, tadi Keisha ngajak foto bareng.” Hadyan sudah memamerkan cengirannya begitu langkah terakhirnya tepat sampai di samping Nathan.
“Dih? Lo yang ngajak foto, jangan ngarang cerita sendiri.” Keisha tak terima, sebab faktanya dirinya lah yang diajak—tidak, lebih tepatnya dipaksa—untuk mengambil foto dengan Hadyan.
“Sama aja. Udah, yuk, naik itu terakhir baru abis itu kita pulang,” tukas Hadyan sembari menunjuk wahana besar di depannya, disusul acungan jempol dari Nathan dan yang lainnya mengekor langkah Hadyan untuk berbaris di antara orang-orang yang juga hendak menaiki wahana yang sama.
Itu adalah komidi putar. Permainan yang banyak disukai oleh anak-anak dengan tempat duduk yang didesain serupa kuda-kudaan, kereta kuda, dan bentuk menarik lainnya. Juga, siapa yang tidak akan tertarik mencobanya jika pada malam hari lampu oranye itu mulai menyala dan mengalunkan lagu-lagu ringan yang romantis? Benar-benar pilihan yang tepat untuk menikmati suasana menenangkan itu bersama orang-orang tersayang.
Grizella sedikit berkeliling, lalu memutuskan untuk duduk di salah satu kursi serupa kuda yang berpasangan. Nathan mengikuti, kini sudah duduk tepat di samping perempuannya. Entah duduk di mana teman-temannya yang lain sekarang sebab wahana itu terlalu luas dan rasanya lampu-lampu cantik itu sudah berhasil menghipnotis Grizella. Gadis itu bahkan tidak tampak peduli pada kehadiran kekasihnya di sampingnya, ia masih menengadah, masih sibuk menyisir setiap ukiran unik yang mengelilingi wahana itu hingga di menit setelahnya mesin permainan mulai dinyalakan, membuatnya berputar dengan kecepatan pelan.
“Seneng banget ya?” Nathan akhirnya membuka percakapan lebih dulu.
Perempuan yang diajak bicara lantas menoleh. “Eh? Iya hehe, maaf ya aku norak. Jujur belum pernah naik ini.”
Senyum Nathan sudah mekar sempurna, siapa pun juga dapat tahu laki-laki itu sangat menyayangi wanita di depannya lebih dari apapun sebab tatapan tulusnya tak bosan-bosan diberikan. “Aku juga baru pertama kali naik ini,” ujarnya.
“Hm? Bukannya waktu kecil kamu pernah naik ini sama Tante Rumi? Kamu pernah nunjukin fotonya ke aku lho, Nath.” Grizella dibuat bingung. Ia ingat, waktu itu Nathan pernah satu kali menunjukkan foto kecilnya yang tengah duduk di atas kuda buatan seperti ini.
“Aku belum selesai ngomong, Ijel. Maksud aku baru pertama kali naik ini sama kamu.” Rasanya bukan Nathan jika satu hari saja tidak membuat rona merah muda itu kembali hadir di wajah Grizella.
Gadis itu terkekeh pelan. “Kebiasaan.”
Hening kembali menyapa. Suara anak-anak yang juga ikut menikmati putaran wahana itu mulai mendominasi, disusul oleh alunan musik lembut yang menghiasi malam mereka. Senyum Grizella belum juga luntur, sesekali ia tertawa melihat kelakuan anak kecil di depannya yang berkali-kali mondar-mandir duduk di kuda mainan yang berbeda, membuat ayahnya tampak kewalahan. Nathan tak menanggapi, mungkin hanya ikut tersenyum untuk membalas gurauan Grizella. Iya, bibirnya memang tak mengeluarkan sepatah kata pun dari sana, tapi isi kepalanya cenderung banyak sekali. Perihal bagaimana ia bisa menghentikan waktu saat ini juga untuk mengabadikan momennya. Perihal apa tahun-tahun berikutnya ia masih bisa melihat Grizella-nya tersenyum cantik seperti hari ini? Pun perihal perasaannya yang sedikit merasa kasihan karena Grizella harus punya kekasih seperti dirinya yang tidak bisa memberi banyak. Tatapannya mulai sendu, tapi senyumnya belum pudar. Ia ingin selamanya seperti ini. Selamanya. Seumur hidupnya dengan Grizella di sampingnya, pun ia mau seumur hidup gadis itu bisa bersama dengannya pula. Selama yang ia bisa, selama yang semesta berikan padanya, selama waktunya belum habis, selama itu, sangat lama inginnya.
“Nath?” Grizella mulai khawatir sebab kekasihnya sejak tadi tak merespons apa-apa, hanya menatapnya lurus dengan tatapan kosong. “Nathan, kamu nggak apa-apa? Pusing?” Perempuan itu mulai mendekatkan dirinya pada kekasihnya.
“Jangan suka sama aku, Ijel….”
Grizella dengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh laki-lakinya, tapi mungkin ia salah dengar? Atau Nathan mungkin sedang tidak bicara padanya?
“Kamu bilang apa, Nath? Maaf aku nggak denger jelas.” Grizella berujar lembut sambil tersenyum.
“Jangan suka sama aku. Jangan terlalu banyak sukanya, ya? Jangan melebihi aku suka sama kamu. Sesekali coba buat berdiri tanpa aku,” ujar laki-laki itu kembali menjelaskan ucapan sebelumnya.
Mungkin Nathan tidak melihatnya, tetapi Grizella jelas tengah meremat pakaiannya sendiri. Memutuskan untuk tak ambil serius, wanita itu lantas terkekeh pelan. “Ngomong apa sih, Nath? Aku masih di sini lho, masih sama kamu. Kamu juga nih, masih sama aku, di depan aku, bisa aku sentuh, bisa aku peluk. Khawatir sama apa? Hasil check-up kamu kemaren juga bagus, ‘kan? Kamu udah janji sama aku, Nath buat nggak ninggalin aku ka—”
“Aku takut, Ijel.” Ucapan Grizella dipotong begitu saja oleh kekasihnya, membuat perempuan itu lantas bungkam.
“Aku takut… takut nggak bisa lepas kamu, takut terlalu bergantung sama kehadiran kamu, dan paling takut kalo justru kamu yang nggak baik-baik aja waktu nanti aku yang pergi. Aku takut, Ijel. Aku takut.” Entah sejak kapan air mata itu sudah menggenang di pelupuknya, jemarinya mungkin sudah dingin sekarang, sedikit gemetar.
Nathan selalu takut. Namun, bukan takut pada penyakitnya yang perlahan merenggut banyak bahagianya. Ia lebih takut dan mengkhawatirkan orang-orang yang ia tinggal nantinya. Orang-orang tersayangnya. Termasuk Grizella. Mungkin karena penyakitnya juga, akhir-akhir ini perasaannya sering dibuat bingung. Sedikit-sedikit merasa senang, sedikit-sedikit merasa khawatir, nanti tiba-tiba jadi sedih, lalu kembali tenang, tapi tak lama sebab langsung saja monster jahat di dalam kepalanya kembali menyergapnya.
“Nath, sini lihat aku.” Perlahan gadis itu meraih tangan kekasihnya, menyalurkan kehangatan.
Menuruti ucapan Grizella, Nathan lalu mengangkat kepalanya pelan dan menatap lurus kedua manik indah yang entah sudah sejak kapan menjadi kesukaannya.
“Udah berapa banyak, Nath?” Pertanyaan Grizella hanya dibalas raut bingung dari kekasihnya. “Udah berapa banyak bahagia kamu yang diambil? Dulu, Nathan itu laki-laki paling pemberani yang aku kenal, lho? Siapa ya yang waktu itu ngebelain Juan pas diperlakukan nggak adil sama dosen? Waktu itu juga siapa ya yang ikut ngejar maling di jalan? Kamu, Nath. Udah berapa banyak keberanian yang diambil dari kamu? Kenapa harus takut, Nathan … aku masih di sini, masih bisa pegang kamu, coba lihat tangan aku, nih aku elus-elus kamu, nyata lho, kita masih di sini … jangan takut apa pun, Nathan... ya?”
Ucapan Grizella berhasil meloloskan satu tetes air mata milik Nathan. Siapa yang bilang Nathan itu kuat? Siapa juga yang bilang dirinya berani? Sejujurnya ia selalu tampak lemah jika berhadapan dengan Grizella, bukan?
“Manusia itu, Nath… dipertemukan untuk sebuah alasan. Atau mungkin untuk banyak alasan? Dan buat aku, ketemu kamu adalah hadiah, Nath. Nggak usah banyak-banyak kamu kasih ke aku, aku udah merasa ketemu kamu aja itu hadiah, Nath. Juga, di setiap pertemuan selalu ada perpisahannya, ‘kan? Dan itu nggak memandang usia, nggak memandang siap atau engganya… dua-duanya, si kembar pertemuan dan perpisahan itu pasti datengnya tiba-tiba. Siapa yang tahu kalo kamu pergi duluan? Nggak ada, ‘kan? Aku nggak mau bilang ini, tapi siapa tahu aku duluan? Nggak ada yang tahu, jadi tolong … tolong jadi Nathannya Ijel sekali lagi aja, untuk waktu yang lamaaaa banget, ya?”
Nathan tak sanggup berkata apa-apa lagi, hanya saja hatinya merapal satu kalimat berkali-kali.
Tuhan, tolong izinin saya jadi Nathannya Ijel untuk waktu yang sangat lama. Dan di kehidupan lainnya, kehidupan saya yang ke sekian ratus kali pun, tolong jadikan saya Nathannya Ijel untuk waktu yang lama.