There's Always Somebody Who Can Watch You
Pukul sembilan malam. Juan tengah duduk di atas hamparan rerumputan, membiarkan semilir angin malam menerpa rambutnya. Di depannya kini terbentang danau luas yang airnya tenang, berharap isi kepala Juan bisa lebih baik dibuatnya. Sudah hampir tiga minggu Juan hanya menghabiskan waktunya bersama Grizella untuk mempersiapkan olimpiade yang akan mereka ikuti. Kepalanya sudah dibuat amat panas, setiap hari menatap jajaran angka di atas kertas.
Juan menghela napas. Menatap langit tanpa bintang yang menaunginya. Tangannya lalu bergerak memijat pelipisnya pelan sambil memejamkan mata. Tiba-tiba seorang gadis dengan balutan kaus putih bersih yang disandingkan dengan celana jins biru mendekatinya, ia menepuk pelan pundak Juan.
“Sendirian aja?” Perempuan itu mendudukkan diri di samping Juan, melempar senyum hangat.
Juan menoleh, sedikit terkejut dengan kehadiran seseorang yang tak pernah terlintas di benaknya malam itu. “Aura? Ngapain?” ujarnya melontarkan pertanyaan.
Aura terkekeh. “Gue? Ya nemenin lo, lah. Ngapain lagi emang keliatannya?”
Juan masih menatap lurus wanita di sampingnya. “Kok tahu gue di sini?”
Tangan Aura terangkat, menunjuk ke sebuah kafe yang terletak tak jauh dari danau tempat mereka duduk sekarang. “Di sana, temen gue ngadain ulang tahun,” katanya, meski sebenarnya jawaban perempuan itu tak bisa menjawab dengan betul pertanyaan dari Juan.
“Terus ngapain ke sini?” Juan menaikkan sebelah alis, masih tak paham.
“Lo udah makan?”
“Aura, jawab dulu pertanyaan gue…,”
Perempuan itu meremat ujung kausnya. Sebenarnya yang sudah ia katakan itu adalah fakta yang benar. Temannya tengah mengadakan acara ulang tahun itu benar. Namun, rasanya Aura tak sanggup menjelaskan pada Juan bahwa sebenarnya ia langsung ingin menghampiri laki-laki itu begitu melihat mobil Juan terparkir rapi tak jauh dari kafe tersebut berada.
“Eum … gue ngeliat mobil lo parkir, Ju. Terus gue ya ke sini aja akhirnya karena di dalem juga gue udah sumpek. Gue ganggu ya?” jawab Aura dengan suara yang amat pelan.
Juan yang tadinya masih menatap lurus ke arah Aura kini kembali memutar kepalanya ke depan, menatap air danau yang tenang. “Nggak, lo nggak ganggu.”
Senyum perempuan itu kembali cerah. “Capek ya belajar terus?” tanyanya sambil membuka bungkus sandwich yang tadi dibelinya. “Nih, Ju, lo pasti belom makan, ‘kan?”
Juan menoleh, tersenyum. “Thanks, iya gue belom makan.” Roti isi itu berpindah tangan.
Lantas setelahnya hening kembali menyapa. Aura mengikuti Juan, menatap lurus air danau yang tenang. Sambil perlahan memakan sandwich pemberian Aura, isi kepala Juan tak serta merta kosong. Di dalamnya ia masih sibuk memikirkan soal-soal olimpiadenya, memikirkan pertengkaran Hadyan-Rhayyan yang belum selesai, juga Juan rasa dirinya butuh istirahat sebab tubuh dan pikirannya sudah berada di ambang batas.
Lima belas menit. Roti isi di tangan Juan sudah tandas. Belum ada lagi percakapan yang menghiasi di tengah diamnya kedua remaja itu. Juan meraih botol air minum yang tadi dibawanya dan menenggaknya hingga tersisa seperempat.
“Berat ya, Ju?” Aura berujar pelan.
Juan mengangkat lagi pandangnya pada Aura. “Hm?”
“Hari-hari lo juga jadi semakin berat ya? Sejak Nathan pergi.”
Pemuda itu bungkam. Memikirkan bagaimana bisa Aura mengetahuinya bahwa beban yang berada di pundaknya tiba-tiba saja terasa semakin berat akhir-akhir ini. Sejak dulu Juan memang yang paling bertanggung jawab di antara mereka. Semua kesulitan pasti dengan segera menemukan solusinya jika Juan ikut berperan. Juan yang paling bisa dipercaya, Juan yang paling bisa diandalkan, begitu kata Nathan. Kendati demikian, Juan tak merasa dirinya bisa diandalkan. Alih-alih bisa dipercaya, Juan hanya merasa takut. Takut jika teman-temannya terluka, takut jika orang-orang terdekatnya kesulitan, takut jika dirinya tak bisa membantu banyak. Dia anak satu-satunya di keluarga. Juan juga ikut menopang segala ekspektasi ayahnya yang mungkin kelewat tinggi baginya.
Sejak dulu bebannya sudah banyak. Juan diduakan oleh perempuan yang dulu amat dicintainya, lalu direnggut kepercayaannya terhadap sebuah rasa yang dinamakan cinta, dibuat mati rasa. Lantas pulang juga keluarganya hanya menyambutnya ramah ketika dirinya membawa pulang medali emas. Juan bukan anak yang paling pintar di kelasnya sejak dulu, bukan juga juara kelas seperti Nathan. Ia hanya beruntung. Beruntung punya Nathan yang siap menopang segala susahnya ketika lagi-lagi yang ia peroleh tak sesuai ekspektasi ayahnya. Juan hanya ingin menjadi berguna, sebab menjadi manusia yang tak berguna hanya akan membuatnya merasa ragu akan hak hidupnya sendiri. Dan Nathan selalu hadir untuk memperbaiki pola pikirnya yang seringkali berantakan, memikirkan untuk apa ia hidup jika tak memberi manfaat.
Lalu Nathan yang ia harapkan bisa terus menjadi teman seperjalanannya ternyata pulang lebih dulu. Meninggalkannya di atas dunia yang dingin bersama ekspektasi ayahnya yang masih terus menghantuinya. Memintanya untuk duduk di singgasana paling tinggi di dunia akademis meski ia tak sanggup, Juan tak suka menjalani hidup yang dikekang seperti itu. Ingin melawan, namun siapa dirinya? Ia yakin pilihan orangtuanya masih yang terbaik dan yang paling baik untuk masa depannya kelak.
Kedua manik Juan mulai berlinangan air mata. Aura bisa melihatnya. “Iya, Ra, berat.” Untuk yang pertama kalinya seseorang selain Nathan mengetahui bahwa semua yang dijalaninya berat. “Gue mau mundur, mau nyerah.”
Aura belum paham seberat apa beban di pundak Juan. Aura belum tahu perihal tanggung jawab bagi Juan bukan hal yang main-main. Aura belum tahu semua ekspektasi ayah Juan sebesar apa pada anak tunggalnya. Aura belum tahu semuanya. Namun, yang bisa gadis itu yakini adalah sejak kepergian Nathan ia merasa Juan benar-benar sangat lelah, terkadang juga terlihat berbeda dari biasanya; mudah termenung, mudah bingung, lupa makan, tak ceria.
Aura meraih tangan Juan yang dingin sebab semakin malam mereka berada di sana maka angin akan semakin kencang berembus. “Ju … kalo lo ngerasa capek, bukan mundur solusinya. Tapi berhenti sejenak, duduk, jangan dilanjutin dulu jalannya.”
Ucapan Aura berhasil meloloskan air mata yang sejak tadi Juan tahan mati-matian. Sudah lama sekali rasanya sejak seseorang tak menasihatinya seperti ini. Lantas entah mungkin karena atmosfer di sekitar mereka berdua tampak nyaman, Juan menyerah, melepas lelahnya dengan menyandarkan kepalanya di pundak Aura. Sang pemilik bahu hanya mampu bergeming di tempatnya.
“Gue nggak tahu seberat apa beban lo, Ju … tapi gue mau lo inget kalo ini hidup lo, jadi harus ada lo di dalemnya. Jangan terus mikirin orang lain, Ju. Lo juga harus mikirin diri sendiri.” Aura berujar lagi dengan suara yang sedikit gemetar di ujung kalimat. Kini genggaman tangan Aura dibalas oleh Juan, semakin erat menautkan jemari. Rasanya sudah lama Juan tidak merasakan kehangatan seperti ini. Ia sedikit rindu.
“Ra…,” “Ya?” “Makasih banyak.”
Dua remaja dalam satu malam, menciptakan atmosfer hangat di samping danau yang tenang. Juan belum sembuh istirahatnya, tapi setidaknya Aura sudah menjadi tempat istirahat yang cukup nyaman untuknya malam ini. Melepas lelah, melepas kekhawatiran, dan meletakkan sejenak beban di pundaknya selama ini. Sedangkan Aura yang akhir-akhir ini mulai merasa cemburu pada Grizella sebab gadis itu terus menerus berada di dekat Juan akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Karena akhirnya Aura berani melangkahkan kakinya satu langkah ke depan untuk mendekati Juan.
“Cuma Nathan, Ra … cuma Nathan yang bisa nyatuin kita semua,” Juan tiba-tiba berujar lagi, ia menarik napas panjang, “Hadyan sama Rhayyan belum baikan, gue harus gimana?”
Mungkin Juan sudah terlalu bingung ingin cerita pada siapa, jadilah malam ini Aura bertugas untuk mendengarkan semuanya. Aura tak mengetahui alasan sebetulnya Hadyan dan Rhayyan bertengkar akhir-akhir ini, jangankan alasannya, mungkin fakta bahwa kedua pemuda itu sedang tak akur saja Aura baru mengetahuinya sekarang. Namun, wanita itu tetap diam, tak ingin banyak bertanya.
“Kalo cuma Nathan yang bisa bikin mereka akur lagi, kenapa nggak lo bawa ke Nathan aja?” Aura mengajukan pendapat.
Juan bergeming. Isi otaknya menyetujui pendapat Aura. Iya juga, pikirnya, kenapa tak ia bawa saja Hadyan dan Rhayyan menghadap Nathan? Mungkin Nathan akan membawa solusi dengan berbagai cara.
Lalu akhirnya, untuk yang pertama kali hari ini, senyum Juan bisa terlihat amat tulus. Seolah beban di pundaknya sudah terangkat separuh. Laki-laki itu mengangkat kepalanya yang sebelumnya bersandar di pundak Aura, menatap mata gadis itu lekat-lekat.
“Gue bakal bawa mereka ke Nathan, makasih banyak, Ra!”
Aura balas tersenyum, “Sama-sama.”
Untuk Juan, pemuda yang menaruh banyak beban di kedua pundaknya. Laki-laki yang tak pernah bermain dengan tanggung jawab dan kepercayaan yang telah diberikan padanya. Seseorang yang selalu menaruh kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya. Dan untuk Juan, baginya tak muluk mengharapkan seseorang yang selalu bisa menolongnya di hari-hari sulitnya. Namun, yang Juan butuhkan terkadang hanya seseorang yang bersedia menjadi pendengar terbaiknya. Seseorang yang bersedia meminjamkan pundaknya untuk sejenak Juan beristirahat. Dan malam ini yang ditemukannya adalah figur Aura yang memenuhi segala yang dibutuhkannya.
Dari orang yang tak disangka-sangka, terkadang kasih sayang itu datang tanpa diundang. Dan dari Aura, kehangatan itu Juan dapatkan.