Tragedi

tw//blood

Shanine langsung bangkit dari duduknya dan berjalan pelan keluar kelas untuk turun ke lapangan. Kelasnya berhasil masuk final, ia sudah berjanji pada Aksara akan menontonnya. Gadis itu berjalan dengan posisi setengah menunduk karena perutnya masih tidak nyaman. “Ayolah perut, gue mohon,” batinnya merutuki perutnya yang sudah merepotkan banyak pihak sejak pagi hari. Sekitar 5 menit kemudian gadis itu berhasil sampai di lapangan. Sesuai dugaan, lapangan sangat penuh dan ramai dengan suara riuh tepuk tangan para siswa. Shanine memutuskan untuk duduk bersama anak-anak sekelasnya. Mata gadis itu sibuk mencari sosok sahabatnya di tengah kerumunan banyak orang. “Oh itu dia anaknya,” batinnya setelah mendapati Aksa yang bajunya jelas sudah basah oleh keringat. Aksa tidak menyadari bahwa Shanine sudah disana menontonnya dan tampaknya anak laki-laki itu terlalu sibuk untuk mencari keberadaan sahabatnya sekarang.

Pertandingan futsal antar kelas 11 IPA 1 dan 12 IPA 2 kini semakin sengit. Skor yang dicetak masing-masing tim selalu saling menyusul. Riuh tepuk tangan dan teriakan para siswa tidak henti-hentinya disumbangkan. Shanine hanya duduk di pinggir lapangan, manik matanya tidak lepas dari sosok Aksara sembari masih memegangi perutnya. Ia sangat ingin memotret temannya itu, namun fokusnya terganggu oleh perutnya yang sedang tidak mendukung sekarang. Pertandingan sudah berlangsung selama beberapa menit, kini hanya tinggal menghitung sedikit lagi skor yang berhasil dicetak oleh salah satu tim untuk memutuskan siapa pemenangnya. Pertandingan yang semakin sengit mungkin membuat para pemain kini merasa sedikit tertekan, pergerakan mereka semakin cepat dan gesit. Aksara mendapat peran menggiring bola saat ini, ia dengan cekatan menghindari lawan, melindungi bola timnya hingga pada suatu waktu kaki salah seorang pemain yang berlari di dekatnya terjulur dan menyandung langkah Aksa, entah sengaja atau tidak. Teriakan para siswi mulai terdengar kala melihat Aksara jatuh dan kepalanya membentur pinggir lapangan dengan cukup keras.

“WOI AKSA BERDARAH!” teriak salah satu siswa yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Shanine terpaku di tempatnya, hatinya terasa sakit hingga mati rasa, gadis itu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Shanine masih terdiam hingga beberapa detik kemudian gadis itu berlari kencang ke arah para siswa yang sedang mengerumuni Aksa.

“Permisi, please, awas gue mau lewat, Juni gue, permisi, gue mohon,” Gadis itu tidak henti-hentinya memohon pada orang-orang yang menghalangi jalannya. Air matanya sudah keluar sekarang, pikirannya sudah jauh melayang membayangkan bagaimana kondisi Aksa saat ini. Gadis itu masih terus mencoba menerobos kerumunan dengan kaki yang sudah terasa lemas, mulai melupakan perutnya yang terkadang masih terasa perih. Shanine kemudian berhasil sampai untuk melihat keadaan temannya sekarang. Dilihatnya Aksara sedang memegangi pelipisnya sambil sesekali merintih kesakitan. Shanine yang melihat darah keluar dari kepala anak laki-laki itu akhirnya mengambil sapu tangan yang ia selalu simpan di saku roknya kemudian bersimpuh di samping Aksa.

“Jun, coba gue liat ya?” ujar Shanine mencoba untuk tenang meski ia tahu air matanya tidak bisa berhenti sejak tadi. Gadis itu menjulurkan tangannya, mencoba membersihkan darah pada dahi temannya. “Ssshh ga apa-apa Mbul ini cuma berdarah dikittt.” Aksara mencoba menenangkan sahabatnya yang terlihat kacau sekarang. “Ga apa-apa sini gue aja yang ngelap darahnya,” ujar pria itu sembari mencoba mengambil sapu tangan milik Shanine.

“JUN LO DIEM DULU GUE MOHON!” Shanine sedikit berteriak. Aksa yang mendengarnya memutuskan untuk diam dan membiarkan sahabatnya membersihkan sedikit demi sedikit darah yang mengotori dahinya. “Biar gue tahan ya biar darahnya ga keluar banyak,” lanjut gadis itu kemudian mencoba mencari sumber luka pada pelipis temannya dan menahannya pelan dengan sapu tangan. Direngkuhnya tubuh pria itu ke dalam dekapannya sambil sesekali gadis itu mengelus punggung sahabatnya, mencoba memberikan kehangatan pada Aksa. Aksa yang mulai merasakan kehangatan menjalar pada hatinya akhirnya merasa sedikit tenang. Jujur pria itu sejak tadi merasa takut dan bingung kala melihat darah menetes dari pelipisnya.

“Aksa ayo, abang bantu berdiri, kita ke rumah sakit,” ujar Sakha pada adiknya sembari membantunya berdiri. “Shanine kamu kalau mau ikut boleh,” lanjut Sakha yang tahu bahwa Shanine sangat khawatir saat ini. Ketiga remaja itu kemudian berjalan ke arah mobil sekolah yang sudah disiapkan dengan Sakha yang merangkul adiknya untuk membantunya berjalan dan Shanine yang masih menahan luka pada pelipis pria yang disayanginya itu. Mereka pergi ke rumah sakit didampingi oleh wali kelasnya yang saat ini sudah duduk di bangku sebelah supir sedang ketiga remaja itu duduk di bagian tengah dengan Aksa yang diapit oleh Sakha dan Shanine. Sakha mengetik pada ponselnya, mencoba mengabari kedua orang tuanya dengan kalimat setenang mungkin. Shanine yang pandangnya belum lepas dari Aksa hanya melihat sahabatnya yang kesakitan, sesekali menggenggam tangan pria itu dengan lembut. “Sakit ya Jun? Sebentar lagi sampai kok, tahan ya, lo kuat,” ujar Shanine yang dibalas anggukan oleh Aksa, pria itu mencoba tersenyum. “Maaf harus lo yang kayak gini Jun,” lanjut gadis itu, air matanya terlihat menggenang seolah kapan pun bisa jatuh jika sang pemilik mengizinkan. “Gue yang minta maaf itu sapu tangan lo jadi kotor,” balas Aksa kemudian tertawa kecil, mencoba menghibur temannya sedikit.

Sesampainya mereka di rumah sakit Aksa langsung diberikan penanganan oleh tim medis. Sakha, Shanine, dan wali kelasnya hanya menunggu di ruang tunggu. Saat ini Shanine dan Sakha terlihat sama kacaunya. Mereka berdua adalah salah satu yang paling menyayangi Aksa. “Sebentar ya, bapak mau angkat telepon, kalian tunggu disini,” ujar guru mereka.

“Aksa bakal baik-baik aja kan?” ucap Shanine pelan, sesekali isakannya terdengar. “Iya Aksa bakal baik-baik aja, tadi ga terlalu parah kok. Shanine tenang ya?” jawab Sakha, mencoba menenangkan gadis di sampingnya yang sejak tadi matanya belum kunjung kering. “Mau bang Sakha temenin ke kamar mandi untuk cuci tangan? Tangan kamu kotor Nin,” tawar Sakha. Shanine yang melihat tangan dan seragamnya penuh dengan darah sahabatnya kemudian kembali terisak, gadis itu mengangguk.