Tujuh Warna Pelangi


Katanya, kantin MIPA adalah tempat paling nyaman di Arcadia University. Tempat itu selalu penuh pengunjung baik dari mahasiswa FMIPA itu sendiri atau pun mahasiswa dari fakultas lain. Kantin MIPA juga punya menu unggulan yang setiap hari akan sold out dalam jangka waktu yang cukup singkat, yaitu ayam geprek dan mie ayam khas Oma Nena. Selain menunya yang lezat, daya tarik lain dari tempat tersebut adalah karena letaknya yang strategis—dekat dari mini market, stasiun, ATM, dan perpustakaan. Ditambah dengan tersedianya free wi-fi serta kehadiran pepohonan rindang yang menaungi lingkungan tersebut ikut memberi kontribusi untuk menjadikan lokasi itu semakin diminati banyak orang.

Grizella dan Nathan kini sudah melangkahkan kaki mereka ke dalam kantin yang sudah dipenuhi anak manusia. Manik gelap milik Nathan kemudian langsung dapat mengenali ketiga temannya yang duduk tak jauh dari warung Oma Nena, bagaimana tidak, tawa Hadyan sudah menguar mendominasi seisi ruangan, mungkin sedang menertawakan Rhayyan lagi seperti biasanya. Nathan—laki-laki yang tangannya masih setia menggenggam erat tangan gadisnya itu lantas melanjutkan langkah kakinya mendekati ketiga sahabatnya itu.

“Oitt Ijell, sini Jel duduk di samping gue,” ujar Hadyan sembari menepuk-nepuk sisi kosong pada bangku panjang yang ia duduki setelah mendapati Nathan dan Grizella yang kini sudah berdiri tepat di samping meja.

Grizella hanya tertawa melihat kelakuan sahabat kekasihnya itu, Hadyan selalu begitu, ucapannya sering kali tidak disaring lebih dulu dan tak jarang menimbulkan keributan, terbukti dari pandangan Nathan yang kini sudah menatap tajam ke arah Hadyan.

“Ini cewek gue kalo lo lupa,” ujar Nathan singkat, kemudian ia lebih memilih untuk mendudukkan dirinya di samping Juan—yang duduk berhadapan dengan Hadyan dan Rhayyan—disusul Grizella yang ikut duduk tepat di sisi kiri Nathan.

Hadyan berdecak sebal, “Galak banget pawangnya.” Remaja itu lalu mengubah target utamanya menjadi Rhayyan yang kini masih sibuk mengetik di laptopnya, entah mungkin ia sedang mengerjakan laporan praktikum seperti biasa.

“Rhay udah dong jangan belajar muluuu, mau nasi goreng nggak?” ujar Hadyan sembari mendekatkan wajahnya pada Rhayyan, sedangkan temannya itu tetap acuh dan terus mengetik pada laptopnya.

“Rhay, ayo yuk beli nasi gorengg...” Tidak menyerah, Hadyan kini mulai menunjukkan wajah ‘sok’ menggemaskannya sembari menggelayuti lengan Rhayyan yang membuat ketiga remaja lainnya bergidik ngeri.

“AH BACOT BANGET HADYAN REZA! Beli sendiri kan bisa? Gue lagi ngerjain laprak!” Omelan Rhayyan kini keluar, sedangkan Hadyan sudah tertawa puas. Mungkin satu hari tanpa mengganggu Rhayyan akan terasa sangat hampa bagi Hadyan.

“Udah napa Yan, jangan digangguin mulu Rhayyan-nya, kasian itu lu nggak liat kepalanya udah ngebul?” ujar Nathan yang memang selalu menengahi mereka ketika keduanya tengah ribut, sedangkan Grizella yang melihatnya kembali melemparkan tawa.

“Cih nggak asik.” Hadyan lalu menyambar sebotol air mineral di depannya dan menenggaknya hingga tersisa setengah. “Zel, temen lu yang cantik jelita paras dan hatinya itu lagi ngapain? Suruh ke sini dongg,” ujar Hadyan setelah menutup kembali botol air mineral miliknya.

“Bahasa lo dangdut banget, Yan,” ujar Juan yang mulutnya masih penuh oleh makanan.

Grizella, wanita yang ditanya oleh Hadyan itu lantas membalas, “Maksud lo tuh Kei?”

“Yoi, siapa lagi emangnya?” Hadyan kini sudah mengambil satu pangsit milik Juan untuk kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. Mungkin di antara pertemanan ini Juan-lah yang akan selalu bersabar akan tingkah Hadyan yang terlalu banyak polanya, entah karena Juan memang baik hati atau sebenarnya ia hanya tidak peduli selama itu baginya tidak berlebihan.

“Ya kan siapa tau ada yang lain.. kalo Kei.. tuh orangnya ada di belakang lo,” ujar Grizella santai, sedangkan Hadyan langsung membelalakkan matanya dan perlahan memutar tubuhnya ke belakang. Netranya tentu saja langsung menemukan Keisha yang sedang berdiri tepat di belakangnya dengan raut wajah datar menatap Hadyan.

Hadyan sempat diam beberapa detik sebelum akhirnya kembali membuka suara, “Eyy Keishaa, sini Kei duduk di samping gue,” ujarnya.

Tidak menuruti ucapan Hadyan, kini Keisha justru mendudukkan dirinya di samping Rhayyan, menyebabkan Rhayyan kini diapit oleh dua orang—Hadyan dan gadis itu.

Hadyan cemberut, “Kok malah di situ sih duduknya, Keiii?” ujarnya.

“Aura mana?” Keisha yang pura-pura tidak mendengar rengekan dari Hadyan kini melontarkan pertanyaan pada Grizella.

“Gue kira tadi sama lo?” Bukannya menjawab dengan jawaban yang pasti, Grizella justru membalas dengan pertanyaan juga.

Keisha mengernyit, “Nggak sih? Tadi terakhir liat dia lagi ngobrol sama Bu Tari di depan ruang B, terus nggak tahu ke mana..”

“Sebentar ya, coba gue telepon.” Namun, tepat ketika Grizella hendak mengambil ponselnya dari dalam tas, sosok perempuan yang tengah dicari oleh warga itu tiba-tiba saja muncul, “Oh! Itu dia, Aura! Sinii!” teriak Grizella sembari melambaikan tangannya, bermaksud agar sahabatnya itu menyadari kehadirannya.

Dengan napas terengah-engah, Aura kini sudah duduk di samping Keisha, “Aduh sorry gue lama,” ujarnya.

“Abis dari mana lo?” tanya Keisha sambil menyodorkan sebotol air mineral yang masih tersegel pada temannya itu, “Nih, minum.”

Thanks..” Aura lalu membuka botol air tersebut dan meminum isinya, ia masih mengatur napas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Keisha, “Tadi gue abis ketemu temen gue di FT, terus pas mau ke kantin malah nyasar,” ujarnya.

Tak heran, pun orang-orang terdekatnya sudah terbiasa dengan Aura si Tukang Nyasar itu. Hampir setiap hari, bahkan di kampusnya sendiri pun gadis itu tak jarang salah jalan dan berujung tersasar.

“Kebiasaan, makanya coba lo tuh kalo jalan jangan sibuk mikir ini itu dulu, fokus liat sekitar,” omel Keisha, sedang gadis yang diajak bicara kini hanya menampilkan jajaran gigi putihnya, “Hehe iya Keiiii, ngertii.”

Nathan tiba-tiba saja berdiri dari duduknya, “Nah, karena udah ngumpul semua, sekarang mau pesen apa? Gue deh yang pesenin.”

“Bayarin juga nggak?” tanya Hadyan polos.

“Yan, lu nggak malu apa ada cewek lu terus lu berlagak sok miskin?” Rhayyan membalas, laptopnya sudah ia matikan sejak beberapa menit lalu, mengingat sudah mulai banyak orang di meja makan itu dan kondisinya sudah tidak kondusif lagi untuk mengerjakan tugas.

“Oh iya maaf, Kei.”

“Ngapain minta maaf ke gue?” Keisha melirik tajam ke arah Hadyan.

“Ya kan lo cewek gue.”

“OGAHHH!”

“Eits jangan buru-buru jawabnya, Kei. Gue bakal tunggu dengan sabar sampe jawabannya ‘Yes’,” ujar Hadyan lagi dengan senyum penuh keyakinan.

Keisha bangkit dari duduknya, “Lo pilih mau gue pukul pake tas atau laptopnya Rhayyan?”

“Kenapa laptop gue kena juga anjirr?” Rhayyan tak terima karena semua ilmunya ada di dalam sana, ia lantas memeluk benda elektronik tersebut, berjaga-jaga jika wanita di sampingnya itu benar-benar berniat melemparnya ke wajah Hadyan.

“BURUANNN MAU MAKAN APAAN ASTAGA!” Nathan yang sedari tadi menunggu jawaban sekarang sudah marah besar.

Begitulah jika ketujuhnya dipertemukan. Ada tujuh rupa manusia dengan tingkah pola dan kepribadian yang berbeda, namun jika salah satu saja tidak hadir, maka yang lain juga akan merasa kurang dan hampa. Ketujuhnya dipertemukan oleh semesta dengan cara yang berbeda, pun tidak dalam waktu yang bersamaan. Kembali teringat kala awal mereka saling mengenal adalah karena Grizella dan Nathan resmi berkencan tahun lalu. Grizella yang memperkenalkan teman-temannya serta Nathan juga melakukan hal serupa. Sehingga entah bagaimana ketujuhnya akhirnya lebih sering bertemu dan berujung saling mengakrabkan diri hingga nyaman.

Anggap seperti tujuh warna pelangi, masing-masing mereka punya latar belakang dan ciri khasnya masing-masing, tapi ketika ketujuhnya berada pada satu bingkai yang sama, maka warna-warni itu akan semakin terlihat elok dipandang mata. Jika satu saja warna dari ketujuhnya pudar, rasanya seolah menjadi burung yang terbang dengan sebelah sayapnya yang patah, tak lagi utuh, rapuh, dan mudah jatuh.