Nathan dan Sakitnya
Grizella menengadah, menatap langit yang menaunginya itu kini sudah tak biru lagi. Tumpukan awan sudah semakin menebal dan bergerak semakin cepat sebab angin terus berhembus kencang, mungkin sebentar lagi akan turun hujan, pikirnya. Wanita dengan rambut yang sengaja ia gerai bebas itu lalu melangkahkan kakinya dengan berat memasuki sebuah bangunan yang beberapa bulan terakhir sudah cukup sering ia kunjungi. Pintu kaca yang dilengkapi dengan sensor itu lantas terbuka dengan sendirinya, mempersilakan perempuan berkulit putih itu untuk masuk. Bau obat-obatan yang khas kini mulai menyapa indra penciumannya, menemani setiap langkah kakinya—yang masih terasa berat itu—untuk terus melangkah maju menuju lift.
Grizella kini sudah berada di dalam lift yang akan membawanya ke lantai di mana kekasihnya, Nathan, akan melakukan terapi rutinnya. Gadis itu kini mencengkeram erat paper bag berisi puding buah—yang sudah ia janjikan pada Nathan semalam—untuk menyalurkan perasaan gugupnya. Bukan kali pertama gadis itu mengunjungi Nathan seperti ini, pun bukan yang kedua kalinya. Entah sudah kali keberapa, namun gadis itu belum dan mungkin tidak akan pernah terbiasa.
Ting!
Setelah sekian menit Grizella menunggu, akhirnya lift yang ia gunakan berhasil membawanya sampai hingga lantai yang dimaksud. Ketika pintu besi itu terbuka, wanita tersebut langsung melangkahkan kaki kanannya untuk keluar dan berbelok ke kiri. Grizella lalu menghitung langkahnya dalam hati—adalah cara lain miliknya untuk mengalihkan pikiran buruk yang menghampiri. Tepat saat dirinya menghitung sampai angka ke-25, kakinya berhenti. Dia kemudian menolehkan kepalanya ke kiri, mengintip dari bagian kaca yang tidak tertutupi gorden dan menemukan kekasihnya kini tengah berbaring di seberang sana sendirian. Hatinya mencelos, pertahanannya runtuh seketika, air mata yang sudah ia tahan sejak ia turun dari mobil tadi kini meluncur dengan mudahnya, pun bibirnya ia gigit pelan sebab mulai bergetar. Kekasihnya di sana seorang diri, laki-laki yang ia sayangi beberapa bulan terakhir itu sedang di sana melawan rasa sakit itu sendirian, tidak ada yang menemani—mengingat ruangan tersebut harus steril sehingga tidak seorang pun diizinkan untuk masuk.
Grizella kini menempelkan tangan kirinya pada kaca seolah dapat mengelus Nathan dari jarak yang cukup jauh itu. Nathan belum menyadari kedatangan gadis itu, laki-laki itu masih berbaring terlentang di sana dengan mata yang terpejam beserta selang infus yang masih tertanam pada punggung tangannya. Dari kejauhan Grizella dapat melihat alis Nathan yang berkerut dan dahinya mulai berkeringat. Gadis itu dapat tahu Nathan sedang menahan sakit yang luar biasa kala cairan obat itu masuk ke dalam tubuhnya.
Gadis itu lalu menghapus air matanya, tidak ingin membuat kekasihnya itu justru khawatir dengan kehadirannya di sana. Dia lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya berhasil menampilkan senyum palsu.
Tok! Tok! Tok! Tok!
Ketukan sebanyak empat kali diberikan oleh Grizella pada kaca di hadapannya—satu-satunya benda yang menghalangi dirinya dengan sang adam. Tidak mendapatkan respons dari Nathan, kini gadis itu kembali mengulang ketukan tersebut, kali ini sedikit lebih kencang. Sekitar dua detik Grizella menunggu jawaban, akhirnya Nathan menolehkan kepalanya ke kanan dan menemukan perempuan itu sedang melambaikan tangan ke arahnya disertai senyuman lebar yang tampak bahagia—meski kenyataannya harus pilu yang perempuan itu tahan di dalam hatinya.
Nathan, laki-laki itu hanya membalas lambaian tangan Grizella dengan seulas senyum sebab dirinya terlalu lemas jika harus membalas dengan lambaian tangan juga. Perempuan itu kemudian mengeluarkan sebuah sketchbook berukuran A4 dari dalam tas yang ia bawa, pun sebuah spidol hitam ia ambil dari tempat yang sama. Grizella lantas memberikan fokusnya untuk menuliskan sesuatu di sana, meninggalkan Nathan yang hanya menatapnya dengan tatapan bingung.
Usai tangan gadis itu menuliskan beberapa kata di sana, dia lalu memutar buku gambar tersebut agar Nathan dapat membacanya. Begitulah satu-satunya cara mereka dapat berkomunikasi mengingat kaca di hadapannya cukup tebal dan sulit untuk menghantarkan suara.
Hai, Nath, aku udah dateng!
Pesan pertama yang Grizella tuliskan di sana berhasil membuat Nathan tersenyum semakin lebar, hatinya mulai menghangat berkat kehadiran gadisnya di sana.
Grizella kembali menuliskan beberapa kata untuk membentuk sebuah kalimat lainnya. Ia sengaja menyiapkan kalimat-kalimat singkat yang memang jawabannya hanya akan ‘Ya’ atau ‘Tidak’ sehingga Nathan dapat menjawabnya hanya dengan anggukan atau gelengan kepala, mengingat laki-laki itu tak mungkin bisa menjawabnya dengan jawaban yang panjang.
Gimana perasaannya? Sakit ya?
Nathan kembali membaca tulisan yang tertera di sana, sedangkan gadisnya menunggu jawaban tersebut dengan hati yang mulai bergetar, tak kuat menahan tangisnya. Nathan kemudian menatap gadis itu lekat, sedangkan Grizella hanya membalas dengan senyum hangat yang masih setia menghiasi wajahnya.
Nathan lalu mengangguk.
Grizella kini meremat buku di tangannya sedikit lebih kencang untuk menyalurkan tangisnya yang tertahan. Jawaban dari Nathan tadi membuat kakinya lemas seketika. Nathannya sakit. Nathannya Ijel sedang menahan sakit. Jujur lelaki itu kerap bilang bahwa kemoterapi yang ia jalani itu tak begitu menyakitkan seperti yang ia bayangkan, setidaknya itu dulu, namun untuk yang pertama kalinya Grizella mendapat jawaban yang berbeda hari ini. Nathan mengangguk, itu menandakan dirinya benar-benar sedang kesakitan.
Perempuan itu masih terus mengulas senyum palsu di wajahnya dan kembali menuliskan kalimat-kalimat di buku tersebut. Kali ini disertai dengan gambar-gambar lucu untuk menghibur kekasihnya yang bibirnya mulai tampak pucat, pun manik laki-laki itu tak lagi menampakkan sinar bahagia, namun terlihat sangat lesu melawan kelelahan.
Nggak apa-apa, tahan ya? Ijel tau Nathan yang paling kuat!
Nathan kembali tersenyum dibuatnya, ia lantas mengangguk. Setidaknya kedatangan Grizella di sini membuatnya tidak lagi merasa sendiri, mengingat bundanya kini sedang berbicara dengan dokternya entah di mana.
Sesuai janji! Aku bawa puding buah buat kamu, nanti habis kemo jangan lupa dimakan ya?
Remaja laki-laki itu mengangguk lagi sebagai jawaban.
Ya udah sekarang kamu merem aja kalo pusing, nanti pudingnya aku titip tante rumi, ya. Semangat, Nath.. Ijel sayang Nathan.
Kalimat tersebut menjadi penutup akan pembicaraan kedua anak manusia itu hari ini sebab Nathan kembali memutar kepalanya menghadap langit-langit, lantas memejamkan kedua matanya. Grizella lalu menutup kembali buku gambar miliknya, ia masih berdiri di sana, masih setia menatap laki-lakinya lekat. Satu titik air mata kini berhasil lolos dari pelupuk matanya, membiarkan butiran-butiran bening lainnya ikut meluncur bebas dari sana. Gadis itu lalu menutup mulutnya sendiri agar isakannya tidak mengganggu orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Dia tak kuat lagi, rasanya ingin masuk ke dalam ruangan itu dan memeluk Nathan saat ini juga. Ingin rasanya memberi tahu laki-laki itu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia ingin ke sana, ingin merengkuh kekasihnya ke dalam dekapan hangatnya.
Ingatan Grizella kini ditarik paksa untuk memutar memori hari itu. Kejadian tahun lalu yang tidak akan pernah ia lupakan. Hari pertama dia tahu bahwa Nathan kesayangannya sedang tidak baik-baik saja.
“Leukemia, Jel. Aku sakit.” Suara Nathan hari itu masih dapat terdengar jelas di telinga Grizella hari ini. Ia ingat jelas pertama kali kalimat itu meluncur melewati telinganya, saat itu juga maniknya tidak berkedip, menatap lurus netra Nathan yang juga terlihat sama takutnya.
Leukemia, katanya. Nama penyakit yang Nathan katakan pada gadis itu tepat setelah dua bulan mereka resmi berkencan. Penyakit yang merenggut keceriaan yang laki-laki itu punya. Semuanya berubah sejak itu, Nathan yang sering merasa ketakutan Grizella akan meninggalkannya, dan Grizella pun yang merasa takut Nathan akan meninggalkannya dalam artian lain. Semuanya memang berubah, kecuali satu. Perasaan mereka tidak akan pernah berubah, bahkan hingga detik ini.
“Kapan pun kamu mau udahan, bilang ya, Jel? Bilang ke aku. Aku nggak akan marah.” Satu kalimat yang membuat hati Grizella hari itu terasa sangat sakit, ingin marah pada semesta, namun tak berdaya. Dia lalu hanya mampu menjawab dengan sebuah gelengan kepala.
Hari itu memang berat bagi keduanya. Dan masih terasa berat hingga hari ini. Menghadapi kenyataan bahwa orang yang ia sayangi mengidap penyakit seserius itu memang membuat Grizella terpukul, namun perasaannya terhadap Nathan tidak pernah berubah sedikit pun. masih dengan debaran yang sama ketika pertama kali gadis itu bertemu dengan Nathan, masih dengan rona merah muda yang sama ketika pertama kali ia mengulur tangan untuk mengajak Nathan berkenalan, dan masih dengan rasa kagum yang sama seperti awal wanita itu memutuskan untuk menjatuhkan hatinya pada Nathan.
Grizella yang kini sedang mendudukkan dirinya di salah satu kursi besi di depan ruangan kemoterapi Nathan kembali menyuarakan tangisnya. Ia menunduk, menutup kedua matanya dengan tangannya sendiri untuk mengeringkan air matanya.
“Nggak akan aku bilang mau udahan sama kamu, Nath. Nggak akan, kecuali Tuhan yang memaksa,” ujarnya pelan dengan suaranya yang bergetar.