itsdysa


“Kei!” Hadyan berseru senang tepat ketika kaki Keisha menapak pada lantai teras, tangannya dia rentangkan lebar-lebar, bersiap menyambut gadisnya dengan pelukan hangat.

“Ssssttt … jangan teriak-teriak udah malem,” tukas Keisha cepat sambil melepas alas kaki, tak memedulikan pelukan yang Hadyan tawarkan. Lantas gadis itu berdiri di hadapan kekasihnya, lengkap dengan balutan kardigan merah muda yang sedikit kebesaran di tubuhnya, tapi tetap tampak manis. Rambutnya dia kuncir asal-asalan malam ini, tak sempat menata sebab Hadyan sudah merengek kelaparan sejak tadi.

Hadyan masih bergeming pada posisinya, membiarkan Keisha mengerutkan kening kebingungan. “Yan? Jangan bengong, yuk masak, tadi katanya udah laper banget hampir pingsan?”

Seolah tak mendengar ucapan Keisha, sepasang manik gelap Hadyan belum lepas dari wanita itu. “Kei … super cantik,” katanya, sambil mengacungkan dua jempol ke depan. “Pacarku paling cantik!”

Keisha menatap malas, membuang muka. Hadyan tidak boleh melihat rona merah muda di pipinya yang semakin kentara. “Udah ayo buruan, minggir,” ucapnya sambil mendorong pelan tubuh Hadyan ke samping sebelum melangkah masuk ke dalam rumah laki-laki itu, diikuti Hadyan yang mengekor di belakang.

Tanpa berlama-lama gadis itu segera melangkahkan kaki ke dapur, disambut oleh pemandangan luar biasa yang tidak mengherankan.

Dapurnya sudah berubah jadi kapal pecah.

Panci kotor berserakan di wastafel, tumpahan minyak di lantai, nasi yang mengerak di penggorengan, wadah kosong bekas cup mi instan yang entah bagaimana bisa berakhir di atas kulkas, keset basah oleh tumpahan jus tomat, hingga sarung tangan oven yang ujungnya terbakar hangus.

Hadyan memasang wajah takut-takut di belakang kekasihnya. “I … I tried my best?” katanya dengan suara yang semakin samar di ujung kalimat.

Setelahnya terdengar helaan napas dari Keisha. “Sekarang aku paham kenapa Bunda ngomel terus tiap kamu ke dapur.”

Hadyan memasang cengiran terbaiknya.

“Kamu beresin dapurnya, aku masak. Di-be-re-sin, bukan makin diberantakin, oke?” ujar Keisha lagi dengan sedikit penekanan di kalimatnya.

“Iya siap kapten!” Laki-laki berkaus hitam itu, tanpa disuruh dua kali, sudah pontang-panting sendiri mencari lap basah, membersihkan meja bekas tumpahan kecap.

Tiga puluh menit, acara masak dan bersih-bersih dadakan itu akhirnya selesai. Hadyan sudah duduk di balik meja makan dengan raut wajah tak sabaran melihat Keisha memindahkan nasi goreng dari panci ke piring. Harumnya luar biasa lezat, hampir seperti aroma nasi goreng buatan Bunda. Lantas piring itu digeser oleh Keisha mendekat pada Hadyan sebelum dia mendudukkan diri di bangku untuk yang pertama kalinya setelah setengah jam lalu tiba di rumah laki-laki itu.

Hadyan menatap nasi di piringnya dengan senyum semringah, lantas tangannya bergerak cepat menyambar sepasang sendok dan garpu. “Selamat makan!” Sesuap nasi goreng berhasil masuk ke dalam mulutnya, matanya berbinar, ini lezat persis seperti dugaannya.

“Kei kamu buka restoran aja,” kata Hadyan lagi dengan mulut yang masih penuh.

Keisha terkekeh. “Enak?”

“Banget!” Hadyan mengangkat kepalanya, mengacungkan dua jempol. “Aku kasih lima jempol, satunya pinjem kamu dulu soalnya aku cuma punya empat,” ujarnya lagi yang langsung mengundang tawa Keisha keluar hingga matanya menyipit membentuk bulan setengah lingkar.

“Ya udah habisin, ya.” Gadis itu kembali berdiri dari bangkunya, hendak berjalan ke arah kompor.

“Kamu mau ngapain? Nggak makan juga?”

Tangan Keisha terulur, mengambil piring dari rak. “Ini mau makan,” katanya, lalu dia memindahkan nasi yang belum mengerak dari panci ke piring, mahakarya Hadyan tadi usai mengadakan sesi masak-memasak yang lebih seperti eksperimen percobaan.

“Kok makan yang itu, Kei?!” ujar Hadyan lantang, dia hendak berdiri dari duduknya sebelum akhirnya Keisha memberi isyarat untuk jangan bergerak.

“Udah kamu duduk aja, makan,” peritah Keisha. Lantas gadis itu duduk di hadapan Hadyan, mengambil alat makan, dan menyuapkan nasi goreng (setengah gosong) ke dalam mulutnya.

Hadyan meringis. Pasti rasanya luar biasa hancur, tidak bisa dikunyah, terlalu asin, pedas, asam, pahit…

“J-jangan dipaksa, Kei …” Hadyan segera meraih tisu, memberikannya pada Keisha. Namun, gadis itu masih memasang raut wajah datar seolah nasi goreng Hadyan (yang hampir disiram air karena katanya terlalu kering) adalah makanan sehari-harinya.

Di detik selanjutnya, dahi Keisha mengernyit, kunyahannya semakin pelan, dan dia berhenti menyendok.

“MUNTAHIN AJA!” Hadyan panik, sudah berdiri dari bangkunya, lantas berjalan cepat menghampiri Keisha. “Sumpah, muntahin aja ya sayang ya? Aku masih mau nikah sama kamu, jangan mati dulu….”

Mengabaikan kepanikan Hadyan, Keisha justru tersenyum. Kemudian senyum itu semakin mengembang membentuk tawa kecil hingga akhirnya dia tertawa lebar. “Astaga, Hadyan …”

Hadyan bingung, dia kembali menegakkan tubuh. “Kok malah ketawa? Bisa ditelen nggak?”

Keisha menyeka air di ujung matanya. “Baru kali ini aku ngerasain makanan yang rasanya … banyak.”

“Rasanya banyak?” Hadyan menarik bangku di samping kekasihnya, memutuskan untuk duduk di sana alih-alih kembali ke bangkunya.

Perempuan itu mengangguk setelah menenggak air dalam gelas. “Pertama aku makan rasanya biasa aja, tekstur nasinya normal, cuma sedikit kurang asin.”

“KURANG ASIN? Aku nambahin garem berapa sendok ya tadi, banyak … masih kurang asin?” Hadyan bingung, mencoba mengingat berapa sendok garam dia tambahkan ke dalam masakannya tadi.

Keisha menggeleng. “Dengerin dulu …,” Hadyan langsung memasang telinga, menatap Keisha lekat-lekat seolah gadis itu adalah objek yang amat dia kagumi, atau mungkin benar. “Di awal emang kurang asin, Yan. Tapi pas aku kunyah lagi, tiba-tiba asin banget, terus sedetik selanjutnya pedes. Itu baru satu suapan, lho? Rasanya udah beragam banget.” Keisha melanjutkan ucapannya sebelum senyum itu kembali mengembang.

Hadyan tidak terlalu mendengarkan ucapan kekasihnya. Dia sudah telanjur terbuai oleh cantiknya paras Keisha ketika senyum itu hadir di wajahnya. “Boleh nggak, senyum kayak gitu selamanya?” katanya tanpa sadar.

Tawa Keisha mereda, dia menoleh, balas menatap Hadyan. Kini jarak wajah mereka hanya sejengkal tangan, bayangkan jika ada Rhayyan di sana, boleh jadi salah satunya didorong dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Keisha sejenak menahan napas, mencoba meredam suara jantungnya sendiri meski usahanya percuma, organ kecil setelapak tangannya itu masih berdetak cepat.

Menyadari atmosfer di antara mereka yang semakin canggung, Hadyan memutuskan untuk mundur lebih dulu. “I-iya maksudku cantik, tadi, senyum kamu,” ujarnya, lantas dia menarik kembali piring nasi goreng buatan Keisha, menyuap lagi ke dalam mulutnya. “Kalo nasi goreng kamu ini rasanya enak banget! Mirip bikinan Bunda!” Lelaki itu mencoba mengganti topik, tak ingin membuat Keisha tidak nyaman berada di dekatnya.

Keisha masih bergeming. Dia baru menyadari satu hal, bahwa senyum yang tadi dia tunjukkan adalah senyum tulus yang hanya dapat terbit kalau Hadyan bersamanya. Otaknya lantas berputar, bertanya sudah berapa lama dia tidak tersenyum? Mungkin sebelum mengenal Hadyan. Sebab entah bagaimana laki-laki di sampingnya ini, yang tengah memakan dengan lahap masakannya, dengan mudah bisa membuatnya tersenyum bahkan hanya dengan mengingatnya sebelum tidur. Benar, Hadyan mungkin bisa jadi awan gelap di tengah hari cerahnya, dan terkadang bisa menjadi sinar mentari hangat di tengah gelap badai di dalam kepalanya.

“Yan, I wanna tell you something,” ujar Keisha setengah berbisik, suaranya sedikit serak akibat emosi yang dia tahan-tahan.

Hadyan menoleh, mendengarkan.

Thank you for being there for me,” ucapannya tercekat sejenak, matanya sedikit berkaca-kaca entah Hadyan menyadarinya atau tidak. “I’m glad I met you.”

Hadyan bingung ingin membalas bagaimana. Dia membisu. Ini adalah kali pertama Keisha mengutarakan isi hatinya dengan cara seperti ini. Hadyan menatap lurus kedua manik gelap milik kekasihnya, lantas menemukan ketulusan di tengah genangan air mata yang mungkin Keisha sedang tahan-tahan agar tak turun. Hadyan paham bagaimana Keisha benci menangis di depan orang lain, lantas dia akan pura-pura tidak menyadarinya. Garpu dan sendok di tangannya lantas dilepas sebelum dia berujar, “Please don’t expect anything from me … aku nggak jago bikin kata-kata romantis,” sambil dia menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, “tapi kayak yang dibilang New West di lagunya … the only place I wanna be is next to you.”

Keisha masih diam mendengarkan hingga di detik kelima dia kembali terkekeh. “You like New West that much, huh?”

Not as much as I like you,” ujar Hadyan setengah menggoda, dia mulai memasang wajah menyebalkan; menaikkan alis sambil tersenyum miring. Dan yang diperolehnya tak lain dan tak bukan adalah pukulan dari Keisha di lengan.

“Nyebelin mukanya!”

“Hahaha … tapi deg-degan, kan?”

“HADYAN!!” Kali ini bukan pukulan lagi yang diperolehnya, melainkan cubitan di punggung tangan.

“ADUH, IYA SIAP SALAH!”


Tepat ketika kaki Hadyan melangkah keluar dari lift, jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul lima sore lebih sepuluh menit. Dengan napas sedikit terengah-engah, Hadyan terus maju melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Harum obat-obatan segera menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya, memenuhi dada. Kedua maniknya tak diam, sibuk menoleh kanan-kiri, mengurutkan kamar-kamar. Lantai empat, kamar lima, batinnya terus mengucap kalimat itu agar tidak terlewat.

Langkah kakinya lantas berhenti tepat di depan kamar rawat yang dicari. Kamar lima, lantai empat. Hadyan tak langsung masuk, dia sempatkan dulu dirinya merapikan rambut dan baju yang sedikit kusut akibat lari-larian dari parkiran tadi. Kedua tangannya kini penuh, membawa parsel buah dan roti daging kesukaan Keisha. Usai yakin rambut dan bajunya sudah rapi, laki-laki itu menarik napas, memejamkan mata. Oke, Hadyan, masuk ke sana untuk lihat kondisi Kei, bukan untuk marah-marah, rapalnya dalam hati.

Lantas pintu itu dibuka olehnya, menampilkan sosok gadis yang dicari-cari wujudnya sejak pagi tadi, lengkap dengan selang infus yang ditanam di punggung tangan. Kamar itu kini kosong, hanya ada perempuan itu seorang diri, mungkin ibunya sedang pergi entah ke mana. Hadyan menghela napas, sedih. Bisa-bisanya Keisha tak bilang apa-apa padahal kondisinya sebegini parah? Coba lihat wajah cantik yang biasanya tampak galak kini pucat pasi, matanya terpejam damai. Lalu Hadyan melangkahkan kaki maju, mendekat pada ranjang. Parsel buah dan bungkusan roti daging yang dibawanya diletakkan di atas nakas, lantas Hadyan duduk di kursi yang entah sejak kapan sudah berada di samping kasur. Laki-laki itu melirik, menatap wajah kekasihnya sendu sebelum mengulurkan tangan, membelai pelan rambut Keisha.

“Kenapa nggak bilang aku?” Pertanyaan itu terlontar dengan nada lirih, sudah pasti Keisha tidak dengar. Tangannya terus bergerak di atas kepala Keisha, lalu berpindah, kini menggenggam hangat tangan gadisnya, dikecup pelan.

Mungkin akibat gerak-gerik Hadyan tadi, kedua mata Keisha lantas terbuka pelan, masih mencoba menyesuaikan cahaya kamar setelah tidur panjangnya. Kepala gadis itu tertoleh ke samping, mendapati Hadyan sudah duduk di kursi, menunduk, menggenggam tangannya erat. Seulas senyum tak bisa ditahan lagi untuk diterbitkan, sabit sudah muncul pada wajah pucat sang perempuan.

“Yan…,” panggil Keisha pelan, yang dipanggil langsung menoleh cepat.

“Eh, maaf jadi kebangun, ya?” Hadyan melepas genggaman, lalu bergerak maju, menarik kursi lebih dekat pada Keisha. “Aku tadinya mau langsung ke sini aja pas kamu kasih tahu nomor kamarnya, tapi terus kepikir kayaknya harus bawa buah deh biar cantikku ini cepet sembuh. Udah tuh, Kei, aku udah beli buah, aku minta mbak-mbaknya buat susun buahnya secantik mungkin, yang rapi. Abis beli buah, aku langsung jalan mau ke rumah sakit, kan, tapi tiba-tiba keinget lagi, apa aku beli roti daging kesukaan kamu ya? Biar cantikku ini bisa semangat lagi. Terus ya udah aku ke stasiun, ngebut, Kei! Soalnya takut kehabisan, jam lima biasanya udah abis kan waktu itu kita ke sana. Udah deh, abis itu baru aku langsung ke rumah sakit, roti dagingnya aku beli tiga, satu untuk mama kamu, dua untuk kamu soalnya kamu rakus kalo makan roti itu nggak bisa cuma satu.” Hadyan bicara panjang lebar, menghujani Keisha dengan banyak pernyataan, membuat gadis itu hanya mampu memandang Hadyan tanpa berkedip. Jika ditanya bakat Hadyan apa, boleh jadi jawabannya adalah ‘satu menit bercerita seharian dia ngapain aja’.

Keisha tersenyum. Lantas senyumnya berubah jadi tawa kecil. Rona merah muda mulai mengisi wajahnya, tak sepucat tadi. Hadyan benar-benar ajaib, mampu mengubah suasana sesuram apa pun jadi terang benderang. Juga terkadang mampu ubah suasana terang benderang jadi sekelam langit malam dalam sekejap.

“Dih, diketawain,” cibir Hadyan, cemberut.

Tawa Keisha semakin kencang, perutnya bergerak naik turun. “Hahaha … lucu soalnya. Kayak kamu tuh punya tombol buat cerita macem-macem, tapi kadang tombolnya rusak, nggak diteken bunyi sendiri.”

Hadyan menatap datar ke arah Keisha, masih cemberut. “Iya, nggak kayak kamu, tombolnya lepas, hilang pula.”

“Maksudnya?” Keisha mengernyit, tawanya berangsur-angsur reda.

Hadyan menghela napas, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Ya, iya. Kamu nggak cerita kalo ada apa-apa. Bedanya aku sama Rhayyan, Juan, dan temen-temen yang lain apa dong kalo kamu suka nggak cerita sama aku? Bahkan Aura kayaknya yang pacar kamu ya? Dia tahu semuanya. Mungkin Zella juga pacar kamu.” Hadyan membuang muka, malas-malas menatap Keisha.

Gadis itu tersenyum lagi. Dia tahu Hadyan-nya ini bukan marah, jelas bukan juga cemburu, Hadyan-nya hanya sedang khawatir. Dan benar semua ucapan laki-laki itu, seharusnya Keisha cerita kalau ada apa-apa, seperti tombol rusak milik Hadyan yang tidak dipencet saja sudah berkoar-koar mengeluarkan cerita semrawut seharian dia ngapain aja.

“Iya, aku minta maaf, ya? Aku selalu berusaha apa-apa sendiri. Tadinya malah aku bilang mau ke rumah sakit sendiri aja, nggak usah ditemenin, tapi Ibu maksa buat ikut.” Cerita Keisha sempat terpotong, gadis itu menunduk, tangannya sibuk mencakar-cakar kuku jari, tatapannya sendu. “Aku bukannya mau kayak begini, Yan. Jadi mandiri dan apa-apa sendiri itu emang enak, tapi jujur lebih seringnya jadi kesepian. Tapi aku kayaknya telanjur terbiasa apa-apa sendiri, aku udah nggak ada Ayah, kan? Sejak itu aku nggak bisa bergantung siapa-siapa.”

Hadyan perlahan menoleh lagi pada kekasihnya. Menyadari kalimat dari cerita Keisha mulai memasuki bahasan yang sensitif, laki-laki itu kembali bergerak mendekat.

“Kei, nggak usah dipaksa ka—”

“Aku takut, Yan.” Ucapan Hadyan dipotong begitu saja oleh Keisha. “Aku takut diremehin orang kalo aku keliatan lemah. Dulu, waktu SMA pernah ada yang nganggep aku gampangan, Yan. I trusted him, tapi dia justru nganggep aku bukan apa-apa karena aku dianggap lemah, aku dianggap butuh dia. Makanya, aku nggak mau lagi, Yan. Aku harus kuat sendirian.” Bulir-bulir air bening mulai berjatuhan dari kedua manik Keisha, seketika membuat Hadyan panik. Bukan itu maksud Hadyan tadi. Laki-laki itu tak berpikir panjang bahwa ucapannya boleh jadi memang mengundang bahasan yang sensitif seperti ini.

Tangis Keisha semakin deras, air matanya terus turun tak terbendung. Lalu Hadyan segera bergerak maju, merengkuh wanita itu dalam dekapan hangatnya. Menepuk-nepuk punggung wanita yang selama ini melakukan segalanya sendirian, menahan semuanya sendirian. “Ssstt … iya, iya, sendirian itu nggak enak, makanya aku di sini.”

Bukannya mereda, air mata justru turun semakin deras, pundak Keisha bergetar hebat. Namun, tak apa, nanti juga sedihnya lekas larut sebab segala takutnya sudah diusir pergi sebagian oleh Hadyan. Laki-laki itu masih menepuk punggung gadisnya seolah berkata semua akan baik-baik saja, lantas tak lupa kening Keisha dihujani puluhan kecup, akhirnya membuat sang perempuan mendorong mundur lelakinya sebelum dahinya habis diciumi.

“Ah! Jangan kayak gitu!” Alis Keisha bertautan, kesal. Dia tutupi dahinya, juga diusap-usap pelan.

Hadyan tertawa, merasa puas berhasil membuat sisi galak Keisha kembali keluar setelah tadi sendunya tak mau beranjak pulang. “Hahaha … kan tadi kamu yang minta. Kutanya mau dibawain apa katanya mau dibawain kiss? Ya itu udah kubeli kiss-nya tadi di indomaret, lagi promo beli satu gratis dua puluh jadinya kuborong.”

Keisha masih menatap jengkel, cemberut.

“Kei, laper nggak? Mau roti daging nggak? Aku bukain ya? Ini tuh spesial kubilang ‘Pak ini untuk pacar saya yang cantiknya lebih dari istri bapak jadinya harus pake daging yang banyak, yang empuk ya pilihin jangan yang keras, rotinya juga yang tebel!’ gitu, terus aku diomelin bapaknya, katanya ‘jangan banyak request, masih banyak antrian.’ jahat, ya? Padahal kan aku juga beli, kutambah lima ribu lagi duitnya, dasar.” Hadyan mengomel sambil tangannya bergerak membuka kemasan kertas berisi roti daging yang katanya “spesial”.

“Nih, aku suapin. Hari ini kamu nggak boleh jadi mandiri, cukup bank aja yang mandiri,” ujar Hadyan lagi, berhasil membuat tawa Keisha kembali keluar. Roti daging hangat masuk ke dalam mulut Keisha, rasanya luar biasa lezat. Hadyan benar, roti dagingnya kali ini lebih lezat dari yang biasa Keisha makan.

“Kok beneran lebih enak rotinya?”

“Ya iyalah kan disuapin aku, semuanya enak kalo disuapin aku, besok aku suapin yang banyak.” Hadyan bergurau lagi. “Sini, buka lagi mulutnya, aaaaa….” laki-laki itu menggerakkan tangan layaknya menyuapi anak kecil, membuat gerakan pesawat terbang.

“AKU BUKAN ANAK KECIL!” Keisha kembali mengamuk, mendaratkan satu pukulan di lengan kekasihnya.

“Aduh! Kamu beneran sakit nggak sih ini? Masih besar pukulannya sebesar cintaku padamu.”

“HADYAN!”

“IYA SIAP SALAH!”

Jam dinding yang melekat di atas televisi sudah menunjukkan pukul enam lebih lima menit. Matahari sudah tumbang ke kaki barat sejak tadi, mulai menarik bentangan kain hitam di langit beserta taburan bintang di sana. Malam yang Keisha pikir akan sepi dan menakutkan kini berubah sekejap menjadi malam indah penuh senyuman. Mungkin benar, memilih Hadyan sebagai seseorang yang dia percaya adalah pilihan yang tepat. Sebab bersamanya Keisha diizinkan untuk bersandar, sebab bersamanya Keisha diizinkan untuk lelah, sebab bersamanya juga Keisha tak melulu harus jadi kuat, dan bersamanya juga artinya segalanya berubah jadi serba ringan.


Langit malam tanpa bintang. Gumpalan awan samar terlihat di atas sana, membawa sejuk angin berembus. Jalanan ramai malam ini, penuh oleh kendaraan roda empat maupun roda dua, berlomba-lomba membunyikan klakson seolah yang paling kencang suaranya dapat lebih cepat sampai ke tujuan, padahal tidak juga. Penyebab jalanan yang padat tentu saja tak lain dan tak bukan adalah karena sekarang Sabtu malam, akhir pekan, semua orang bergotong-gotong keluar rumah mencari hiburan atau sekadar untuk menghirup udara malam sejuk setelah sepekan penat dengan kewajiban-kewajiban.

Tak terkecuali Hadyan dan Keisha. Entah muncul dari mana ide Hadyan untuk mengajak Keisha makan sate malam ini, dia hanya ingin menghabiskan waktunya dengan gadis itu lebih lama usai sepekan ini keduanya disibukkan oleh tugas kuliah yang menggunung. Hadyan duduk nyaman di balik kemudi, kakinya perlahan menghentak-hentak di bawah, mengikuti irama lagu “Strawberries & Cigarettes” oleh Troye Sivan yang mendominasi suara di dalam mobilnya. Sedangkan Keisha hanya duduk diam di sampingnya, menatap lurus jalanan yang semakin padat kendaraan, mobilnya berhenti, menunggu lampu merah berubah warna.

“Diem aja geulis,” ujar Hadyan enteng guna memecah keheningan.

Keisha menoleh ke samping, menatap Hadyan malas. “Emang mau ngapain? Joget?” balasnya datar.

Hadyan terkekeh. Wanita di sampingnya ini boleh jadi kalau bicara memang sedikit galak, tapi jangan diragukan kalau Keisha sudah menyayangi satu orang maka tak akan dia tinggalkan.

“Yaaa … ngapain, kek. Pegang tangan aku misalnya? Dingin nih coba pegang, aku kedinginan,” rengek Hadyan sambil menjulurkan tangan kirinya pada gadis itu.

Alih-alih menggenggam tangan Hadyan seperti yang diperintahkan, Keisha justru bergerak maju mengotak-atik AC mobil, membuat embusan angin yang keluar dari sana tak sekencang tadi.

“Kok malah dipelanin AC-nya?”

“Katanya dingin?” Keisha kembali bersandar.

Hadyan cemberut. “Bukan gitu.”

“Tuh maju, udah ijo.” Keisha tak ambil pusing, lantas dia hanya menunjuk ke arah lampu lalu lintas yang sudah berubah warna jadi hijau, mobil-mobil di depan berangsur maju. Hadyan kembali memutar kepala ke depan, memperhatikan jalanan, melajukan lagi mobilnya di tengah padat kota malam itu.

Hanya butuh sepuluh menit setelah kemacetan di lampu merah, kini Hadyan dan Keisha sudah duduk nyaman pada salah satu kursi panjang di warung sate yang Hadyan bilang rasanya lezat. Warung itu tak besar, tak juga kecil. Orang-orang ramai berbaris di depan, menunggu kursi kosong, beberapa menyerah, ada yang menyantap sate sambil berdiri, ada juga yang memutuskan untuk dibawa pulang atau makan di mobil. Bersyukur Hadyan dan Keisha datang tepat waktu, langsung mendapat tempat duduk tadi, bergabung dengan orang-orang yang sibuk menyusun tusuk sate bekas di piring. Tenda besar membentang di atas gerobak di depan warung, penjualnya dua orang, sibuk mengipas daging-daging di atas pemanggang, aroma asapnya menguar ke jalanan, mengundang semakin banyak perut-perut yang lapar datang menghampiri.

“Ini pesanannya.” Seorang laki-laki paruh baya mengantarkan dua piring sate dan dua gelas air jeruk hangat, meletakkannya di depan pasangan itu.

“Makasih, Pak.” Hadyan berujar sambil tersenyum ramah.

“Eh datang lagi? Ini pacarnya yang waktu itu bilang mau diajak?” Bapak itu bercakap-cakap akrab dengan Hadyan, sedangkan Keisha hanya mengernyit bingung, mengangguk-angguk malu.

“Yoi, pacar saya, Pak. Cantik, kan?” balas Hadyan sambil tersenyum bangga.

“Ckck … ini mah geulis pisan, nemu di mana?”

“Waduh ini mah susah, Pak, carinya. Ke ujung dunia juga belom tentu nemu yang kayak gini, eh taunya nemu di depan rumah,” kata Hadyan enteng, lantas dibalas oleh Keisha dengan pukulan di lengan, wajahnya bersungut-sungut.

Tawa si penjual sate itu mereda, dia usap sekilas air di ujung matanya. “Ya sudah ya sudah, silakan dinikmati satenya, kalau mau nambah teriak aja,” ujarnya lagi sebelum berlalu kembali mengantarkan pesanan ke meja-meja.

Hadyan menyuap sate ke dalam mulutnya, Keisha mengikuti di sampingnya, sesekali kepalanya mengangguk, tak salah lagi Hadyan adalah jagonya memilih makanan lezat.

“Enak?” tanya Hadyan sambil menatap lurus ke arah Keisha.

“Enak.” Keisha mengangguk, menjawab singkat. “Ih udah jangan ngeliatin mulu sana makan!” omelnya kala melihat Hadyan justru sibuk mengamati lekuk wajahnya, tak tergoda dengan lezat makanan di depannya.

Hadyan tertawa. Keisha selalu menggemaskan di matanya meskipun tak sedikit orang bilang gadis itu galak dan menakutkan. Di mata Hadyan tidak begitu, baginya Keisha hanya gadis manis yang galaknya hanya dia gunakan sesekali sebagai pertahanan menutupi malu-malunya.

Lima menit mengobrol ringan sambil terus menghabiskan makanan di piring, ada sesuatu yang menarik perhatian Keisha. Gadis itu terus menatap lamat-lamat ke depan warung, tepatnya di samping gerobak tempat penjual menyiapkan pesanan. Tak butuh waktu lama bagi Hadyan untuk akhirnya sadar Keisha tak lagi mendengarkan ocehannya, lantas dia mengikuti arah pandang perempuannya.

“Ngeliatin apa sih?” Hadyan bertanya, tak berhasil menemukan objek yang menyita banyak perhatian Keisha sejak tadi.

Keisha menoleh lagi menatap piringnya, menyuap lagi, dan menggelengkan kepala. “Engga, itu ada anak bawa gitar kecil, kasihan aku liatnya, dia pastil aper nggak sih, Yan?”

Bola mata Hadyan beralih dari Keisha, menatap ke depan, menemukan anak laki-laki dengan kaus kumal tengah memainkan ukulelenya, sibuk menyanyikan lagu yang suaranya tak sampai terdengar ke telinga Hadyan. Iya, benar kata Keisha, anak itu pasti lapar sebab tak henti-hentinya dia menatap sate-sate yang disusun di atas piring. Lantas Hadyan bangkit dari duduk, membuat Keisha menaikkan sebelah alisnya, bingung.

“Eh mau ke mana?” Keisha menahan lengan kekasihnya.

Hadyan menoleh. “Hm? Aku ke sana sebentar, sebentar aja.”

Jadilah Keisha mengangguk samar, mulai melepaskan genggamannya dari lengan Hadyan.

Hadyan memang laki-laki yang sulit ditebak kepribadiannya. Dia tampak ceria, tampak tak punya masalah, temannya banyak, mungkin satu kampus boleh jadi kenal dengannya. Hadyan juga mudah akrab dengan orang baru, dia terkadang memang manja dan tampak kekanakan, tapi coba lihat lagi, semakin kenal dengannya maka siapapun akan semakin paham sisi dewasa miliknya. Tak jarang membuat Keisha berdebar.

Iya, Hadyan memang terkadang sulit ditebak perilakunya. Seperti saat ini mungkin? Keisha tadi sebenarnya hanya berujar asal, tak mengira Hadyan akan benar-benar mengajak anak laki-laki itu duduk bersama mereka sekarang sambil membawa sepiring sate di tangannya.

“Nah, ini pacar Kakak. Namanya Kakak Kei.” Hadyan mengenalkan Keisha pada anak itu yang hanya dibalas anggukan malu-malu oleh anak tersebut. Kini Hadyan sudah duduk, diapit oleh Keisha dan teman kecil yang baru dikenalnya.

“Halo.” Keisha menyapa ramah sambil tersenyum. Senyum yang jarang-jarang Hadyan lihat.

“H-halo.” Anak itu gugup membalas sapaan Keisha. “Terima kasih, Kak, satenya.” Matanya berbinar menatap Hadyan, penuh terima kasih.

“Sama-sama,” balas Hadyan sambil mengusap kepala anak itu. “Dah, langsung makan aja.” Menuruti kata Hadyan, sang anak langsung menyantap makan malamnya yang mewah.

Keisha terdiam melihat kejadian itu. Lantas matanya beralih menatap Hadyan lamat-lamat tanpa berkedip. Apakah jantungnya ini tidak normal? Berdetak cepat sekali.

Hadyan urung kembali melanjutkan acara makannya sebab sadar tengah ditatap oleh sang gadis. “Kenapa? Mau diusap juga?” ujarnya enteng, mengabaikan debaran di dada Keisha yang rasanya seolah ingin meledak.

Boleh kan kalau Keisha sebegitu sayangnya oleh laki-laki di sampingnya ini? Boleh, kan? Sebab Hadyan selalu punya seribu satu cara untuk buat Keisha terkesima. Dan Keisha, mau sebanyak apa pun dulu dia menolak cinta pada Hadyan, akhirnya jatuh juga. Bagaimana tidak? Laki-laki ini punya pesona yang jelas berbeda, dia tidak mudah menyerah, dia tak banyak maunya. Juga yang terpenting Hadyan selalu ada untuk Keisha, tak pernah absen ketika Keisha sedang butuh teman cerita, Hadyan akan selalu ada di sana, menjadi telinga untuknya.

Lalu tiba-tiba Keisha rasakan tangan kirinya menghangat. Dia menoleh ke bawah, menemukan tangannya sudah berada dalam genggaman Hadyan, dimasukkan ke dalam saku hoodie abu-abunya. Jemarinya perlahan bersilangan dengan milik Hadyan, menciptakan debaran yang semakin terasa. Boleh jadi kupu-kupu di dalam perutnya bukan lagi terbang anggun tapi sedang mengamuk di sana.

“Tangan kamu dingin, aku giniin nggak apa-apa?” Hadyan bertanya polos, mengabaikan Keisha yang sudah kelimpungan bingung ingin memasang ekspresi macam apa sekarang.

Lantas perempuan itu hanya mampu mengangguk. Semburat merah muda sudah jelas tercetak di wajahnya. Hadyan tersenyum gemas, lalu melanjutkan makannya menggunakan tangan kiri.

Sungguh Sabtu malam yang akan Keisha abadikan di dalam kepalanya sepanjang dia hidup.


“Mana sih Rhayyan lama amat.” Sudah yang keempat kalinya Hadyan mengomel sebab Rhayyan tak kunjung menampakkan batang hidungnya sejak tadi.

Aura, Grizella, Keisha, Juan, Hadyan, ditambah Ian. Keenam remaja itu tengah berkumpul di halaman rerumputan luas di depan fakultas mereka. Hari sukacita, perayaan dimana-mana, ucapan selamat dan sorak-sorai bahagia terdengar di seluruh penjuru kampus. Para mahasiswa berjubah gelap dengan topi toga menghiasi kepala, berfoto bersama. Hari kelulusan.

“Itu Rhayyan bukan sih?” Aura menyipitkan mata, berujar pada Hadyan yang sudah tak sabaran ingin mengambil foto bersama teman-temannya sejak sepuluh menit yang lalu.

“Mana?” Hadyan sedikit berjinjit.

“Ituuu, yang lagi foto sama cewek,” jawab Aura.

“Oalah anjir pantesan lama … empat tahun kenal Rhayyan gue baru kali ini liat dia foto berdua sama cewek, mana bukan anak fakultas tuh, kagak kenal gue.” Sudah dapat dipastikan saat Rhayyan menghampiri mereka maka godaan dari Hadyan adalah yang pertama menyapa gendang telinganya nanti.

Dan benar saja.

“Sorry lama.” Rhayyan menghampiri, napasnya sedikit terengah, sempat berlari.

“Cie … siapa tuh? Anak fakultas mana?” Nada bicara Hadyan terdengar menyebalkan, melirik Rhayyan dengan tatapan menggoda.

Rhayyan memicingkan mata, memukul keras lengan Hadyan. “Bacot!”

“Kok dipukul sih?!” seru Hadyan tak terima.

“Udah-udah, ayo foto katanya mau foto.” Tentu saja itu adalah suara Juan, si jagonya menengahi.

Ketujuh remaja itu mengatur posisi. Memutuskan untuk membiarkan para perempuan berada di tengah. Juan berjajar di belakang bersama Ian sebab merekalah yang paling tinggi. Jangan tanya posisi Hadyan di mana, tentu saja keberadaannya tak pernah jauh dari Keisha, merangkul pundak wanita itu meski diomeli berkali-kali karena Keisha malu. Grizella terkekeh melihat pasangan itu, lantas menerima buket bunga pemberian Ian dengan senyum semringah, mengucapkan terima kasih.

“Rhay geseran sini dikit, itu Nathan nggak kebagian!” Hadyan sedikit berteriak.

“Hah?” Rhayyan mengerutkan dahi, mungkin tak mendengar ucapan Hadyan sebab di sana bising sekali.

“Majuan dikit, terus geser ke sini! Nathan nggak kebagian tempat nanti!” ulang Hadyan.

Rhayyan mengangguk, lantas menurut.

“Nah, gitu dong, ganteng banget Bang Rhayyan udah punya pacar.” Bukan Hadyan kalau tidak menciptakan suasana keributan.

Dengan wajah bersungut-sungut, Rhayyan tak sempat merespons, sebab tombol kamera sudah ditekan oleh Pak Satpam yang dimintai tolong untuk memotret tadi oleh Hadyan.

“Eh ulang! Gue belom senyum!” Rhayyan protes, lantas dihadiahi tawa oleh teman-temannya.

Siang yang panas, angin berhembus kencang meniup dedaunan yang sebagian sudah gugur. Sinar matahari terselip di antara sela dedaunan, menghangatkan. Hari itu hari kelulusan, hari bahagia yang tak terlupakan, disertai sebuah potret indah ketujuh remaja yang baru saja beranjak ke level kehidupan yang berikutnya, dunia kerja. Foto yang indah meski wajah Rhayyan tampak tidak bersahabat, selalu berhasil mengundang tawa teman-temannya keluar.


Kembali kepada jalan setapak itu. Langkah kaki Grizella ringan melangkah di depan Ian, memimpin jalan menuju pusara Nathan. Setelah selesai dengan acara senang-senangnya di kampus tadi, Grizella dan Ian memutuskan untuk mengunjungi Nathan. Grizella ingin bilang pada Nathan bahwa dirinya sudah lulus, sudah berhasil melalui hari-hari yang sulit.

“Nathan! Halo!” Grizella berseru ceria, matanya menyipit seiring senyumnya melebar, cantik.

“Nath, aku sama temen-temen yang lain udah lulus lho! Seneng banget, Rhayyan juga keren tadi maju ke podium buat nerima penghargaan mahasiswa berprestasi. Yang berdiri di sana tuh Rhayyan, bukan aku, tapi aku ikut bangga banget, temen kita hebat ya?” Grizella berjongkok, diikuti Ian di sampingnya.

“Iya, Nath, lo harus liat sih Zella tadi cantik—” Begitu kalau sebelum bicara tidak pikir panjang, Ian keceplosan. “Eh, engga, maksud gue … aduh…”

Grizella menoleh, terkekeh. “Makasih, Kak.”

Semburat merah muda terlihat samar menghiasi kedua pipi Atharyan Cakra sore itu. Perkara Grizella tersenyum saja hatinya sudah amat bahagia, terlebih senyum gadis itu disebabkan oleh ucapannya, bukan main bahagianya berlipat ganda.

Lalu sore itu Ian membuat sebuah pengakuan. Pengakuan tentang perasaannya yang semakin hari semakin memahami mengapa Nathan bisa sejatuh cinta itu pada perempuan yang tengah berjongkok di sampingnya. Ian bukan ingin meminta Grizella menjadi kekasihnya, rasanya belum pantas baginya meminta seperti itu, terlalu cepat. Ian hanya ingin meminta izin pada Nathan. Meminta izin untuk menjatuhkan hatinya pada Grizella.

“Nath, gue mau jujur ke lo…” ucapannya terjeda, sejenak menarik napas menahan gugup, “gue sayang sama Zella, Nath. Gue sayang sama dia, dan gue rasa perasaan gue udah lebih dari sekedar temen deket, gue nyaman tiap deket dia, gue seneng liat dia senyum, gue juga sedih tiap dia sedih. Kalo gue boleh minta izin, gue boleh nggak, Nath, buat jatuh cinta sama Zella? Sebesar lo sayang sama dia, dan sebanyak lo mengagumi dia.” Tatapan Ian lurus menatap papan kayu bertuliskan nama sepupunya, hatinya tak gentar meski ia tahu tengah ditatap lekat oleh Grizella.

“… Kak?” Grizella berujar ragu. “Kakak serius ngomong gitu?”

Ian menoleh, mengangguk. Ia tidak pernah seserius ini pada siapa pun.

Grizella mengalihkan pandangnya dari Ian, menunduk menatap gundukan tanah. Memang benar ia ingin belajar membuka hatinya sejak lama. Terlebih orang itu adalah Ian, ia tak perlu khawatir akan dikecewakan, bukan? Namun Grizella masih punya sedikit takut. Takut-takut nanti ia justru memandang sosok Ian sebagai Nathan, takut-takut nanti Grizella masih sering teringat Nathan ketika ia bersama Ian, takut-takut semua yang dikhawatirkannya itu justru akan membuat laki-laki itu merasa kecewa sebab dipandang sebagai orang lain. Tak apa, Grizella juga sedang belajar lagi untuk mencintai, kan? Dan sejatinya belajar itu tak akan berhasil dalam sekejap, butuh waktu lebih lama dari yang diduganya.

“Makasih, Kak, udah sayang sama gue. Tapi gue masih harus ikhlasin banyak hal, gue rasa hati gue belom siap kalau diminta bales perasaan lo sekarang. Masih ada hal-hal yang gue takutin, Kak. Dan kalo boleh jujur gue juga nyaman ada di deket lo, gue juga sayang sama lo, lo orang spesial buat gue, Kak. Karena cuma lo yang bersedia nemenin gue di titik terendah gue sekalipun. Tapi gue boleh minta waktu lagi? Seandainya lo berharap jawaban gue lebih dari ini.” Gadis itu tak punya nyali menatap mata Ian, ia takut Ian akan kecewa dan meninggalkannya.

Alih-alih pergi seperti yang Grizella duga, Ian justru tersenyum lembut. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala Grizella. “Hahaha … santai aja, Zel. Gue cuma minta izin ke Nathan doang, nggak maksa lo buat jawab ini itu. Gue bakal tunggu, karena gue yakin nanti lo bisa jatuh cinta sama gue lebih dari lo jatuh cinta ke Nathan.”

Benar, Grizella tak perlu khawatir. Tak perlu khawatir sebab ini Ian bukan orang lain. Jangankan disuruh menunggu satu atau dua bulan, bahkan satu tahun atau dua tahun ke depan sepertinya Ian sanggup. Karena mencintai Grizella juga berarti mengingatkannya akan Nathan, sepupunya yang berharga. Dan lagi Ian merasa cukup percaya diri cepat atau lambat Grizella akan menerima dan membalas perasaannya dengan perasaan yang serupa. Sebab Ian tahu, perempuan itu hanya butuh waktu sebentar lagi untuk kembali jatuh cinta setelah dipatahkan sepatah-patahnya. Ian akan menunggu. Menunggu sambil membantu membenahi remukan di hati Grizella, menyusunnya lagi.

Lalu angin sejuk kembali melintas di antara keduanya. Berkali-kali hilir mudik ke depan dan ke belakang. Itu persetujuan dari Nathan. Jatuh cintalah lagi, Grizella, sebab laki-laki yang satu ini tak akan patahkan kamu lagi.

Back to You -END-


Tak terasa sudah hampir setengah hari Grizella terlelap di atas kasur empuknya. Usai membersihkan diri sepulangnya dari makam Nathan tadi, dirinya hanya bertukar pesan singkat dengan Ian sambil mendengarkan lagi rekaman-rekaman suara Nathan yang tak pernah membuatnya bosan. Mendengarkan rekaman-rekaman itu hingga kantuk menghampiri, membuat kelopak mata Grizella terasa lebih berat, terlelap.

Pukul enam sore menjelang malam. Sang surya sudah tumbang ke kaki Barat, meninggalkan Grizella yang masih nyenyak dalam mimpi-mimpinya, bahkan kamar gelapnya tak berhasil mengusik tidurnya. Jendela kamarnya masih terbuka, membawa angin malam masuk meniup gorden, sejuk, ditambah aroma petrikor bekas hujan tadi siang masih dapat tercium jelas. Lalu pintu kamar Grizella terdengar sedikit berderit, tanda ada yang membukanya. Langkah kaki terdengar, diiringi embusan angin yang semakin kencang, Grizella mengeratkan selimutnya.

“Ijel … Ijel, bangun yuk?”

Bisikan yang dirindukan.

“Ijel, kamu tadi nggak makan siang, bangun yuk? Kita makan bareng.” Tubuh Grizella digoyangkan perlahan, namun gadis itu tak kunjung membuka mata.

“Ijel … ini aku, bangun yuk, katanya minta peluk?” Wajah itu mendekat pada telinga Grizella, berbisik penuh kasih sayang sambil perlahan tangannya membelai pelan rambut panjang Grizella.

Grizella bergerak perlahan, dahinya berkerut, tangannya bergerak menggosok matanya yang masih terasa berat sebab tadi ia sempat menangis sebentar. Gadis itu menoleh ke sisi kanannya, lantas membelalak hebat. Tubuhnya gemetar, bibirnya terkatup rapat, sempat terpikir olehnya bahwa ini masih mimpinya. Seseorang di sana, di sampingnya, seseorang yang membangunkannya adalah orang yang sejak setahun lalu ia rindukan.

“N-nathan?” Suaranya gemetar, air mata mulai berlinangan. “I-ini aku nggak mimpi, kan?”

Nathan bergerak mundur guna memberi waktu bagi Grizella untuk mencerna semuanya. Ia berdiri tegak, tersenyum. “Ini aku, Ijel. Anggep aja bonus dari Tuhan karena setiap hari kamu minta ketemu aku terus,” ujarnya tenang.

Grizella menatap lurus, lampu kamarnya masih belum dinyalakan, boleh jadi ini benar halusinasinya saja. Lalu tangan kanannya perlahan menjulur ke nakas, menekan tombol lampu, menyalakannya. Kamar terang benderang. Nathan masih di sana, berdiri sambil tersenyum. Kaus putih berlengan panjang dikenakannya, lengkap dengan celana panjang berwarna serupa, tampak nyaman. Rambutnya terlihat lebih panjang dari saat satu tahun lalu, dan Nathan-nya jelas lebih tampan dari biasanya. Di pergelangan tangannya melingkar sebuah gelang elastis dengan kait logam yang seingat Grizella tadi itu diberikan pada kelinci kecil miliknya, atau jangan-jangan…

Grizella menggeleng, masih enggan percaya. “N-nggak mungkin,” bisiknya.

Nathan berjalan mendekat. “Nggak apa-apa, Ijel, ini aku, sini pegang kalo nggak percaya,” tangannya ia julurkan. Grizella diam, hanya menatap tangan Nathan, lalu kembali menaruh perhatian pada wajah laki-laki di depannya. Itu Nathan. Benar-benar Nathan. Suaranya masih sama. Itu Nathan, Nathan kembali.

Air mata Grizella turun tanpa ia sadari. Ia sudah sangat rindu lebih dari apa pun. Berkali-kali berterima kasih pada Tuhan sebab akhirnya ia bisa bertemu dengan Nathan-nya lagi. Terserah saja jika ini hanya mimpi, ia tak peduli, ia hanya ingin menikmatinya sekarang. Hari ulang tahunnya masih tersisa hingga beberapa jam lagi, dan ia ingin detik-detik terakhir hari spesialnya ini dihabiskan dengan Nathan.

“Nathan … hiks … kamu perginya lama banget….” Tubuh Grizella sudah jatuh ke dalam pelukan yang sudah dirindukannya sejak lama. Tangisannya semakin deras seiring tangan Nathan bergerak pelan mengelus punggung rapuh gadis yang sudah banyak memaksakan diri untuk jadi kuat.

“Aku di sini, Ijel … nggak akan jauh-jauh dari kamu.” Kecupan di kening diberikan oleh Nathan. “Ya udah yuk, makan dulu, kamu belum makan tadi siang, kan?”

Grizella tersenyum, menghapus air matanya, lantas berdiri berjalan mengekor Nathan dengan tangan yang masih saling menggenggam. Nathan-nya kembali, kesayangannya Ijel kembali.


Setengah jam, dua piring pasta itu tandas, menyisakan bekas saus tomat di atasnya. Grizella duduk tepat di samping Nathan, balkon kamar apartemennya dibuka lebar-lebar, lalu mereka duduk di sana menikmati embusan angin malam. Bulan purnama muncul dari balik tumpukan awan, tampak besar, menyala indah di antara puluhan bintang kecil berkelap-kelip. Nathan menoleh, menatap gadisnya yang masih asyik menghitung jumlah bintang di atas sana.

“Ijel,” panggil Nathan pelan.

Grizella menoleh, senyumnya tidak luntur sejak tadi. Jika diminta mendeskripsikan apa itu bahagia maka inilah bahagianya, duduk di samping Nathan, mendengarnya bercerita. “Apa, Nath?”

Tangan Nathan terangkat, bergerak menyelipkan rambut Grizella di belakang telinga gadis itu. “Maafin aku, ya? Pergi tanpa pamit kamu.”

Bibir Grizella terkatup rapat, air matanya kembali berlinangan. Ia menggeleng sambil tangannya bergerak meraih tangan Nathan, menggenggamnya penuh kasih sayang. “Pun, kalo kamu pamit ke aku, nggak akan ada yang berubah, Nath. Kamu bakal tetep pergi dan aku bakal tetep kehilangan.”

Sejuk embusan angin malam memberikan mereka jeda untuk saling memahami kesepian yang dirasakan. Samar-samar suara klakson mobil terdengar, jalanan di bawah sana macet total, malam-malam sibuk, manusia pergi keluar untuk bersenang-senang.

Kedua manik remaja itu bertemu, saling menatap dalam kerinduan. Sudah berapa lama ya sejak mereka tak saling memandang seperti ini? Pukul sebelas malam, satu jam lagi ulang tahun Grizella akan berakhir. Tak apa, ia sudah dapat kado terindah hari ini.

“Grizella, dengerin aku baik-baik ya?” Nathan bertutur lembut.

Grizella mengangguk, sesekali menghapus air mata yang turun membasahi pipinya.

“Aku seneng banget bisa kenal sama kamu, Ijel. Aku sayaaaaaanggg banget sama kamu, percaya, kan?” Nathan menjeda kalimatnya, sejenak menarik napas. “Tapi, Ijel … aku nggak bisa terus sama kamu, maafin aku nggak bisa bertahan lebih lama hari itu untuk sekedar kasih kamu bunga.”

“Nath ….” Tak tahan lagi, Grizella paling tidak kuat ketika Nathan bicara begini padanya.

Nathan tersenyum lagi, namun pendaran sendu dari matanya tak bisa berbohong bahwa ia amat sedih meninggalkan Grizella. “Ada laki-laki baik, Zel. Selain aku. Ada satu, aku kenal banget sama dia, dan aku yakin kamu udah kenal sama dia juga. Aku nggak maksa kamu, tapi aku mau kasih tau kamu kalo kita udah sampe di sini aja, Ijel, dan aku harap kamu bisa buka hati kamu lagi untuk dia yang mungkin udah nungguin kamu?”

Siapa pun laki-laki yang Nathan maksud, Grizella masih tak ingin. Baginya hatinya masih untuk Nathan sampai detik ini. Entah besok lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan hatinya mau pergi berlabuh ke mana, tapi yang Grizella yakini hari ini hatinya masih memilih Nathan sebagai rumah singgahnya. Ia masih tak ingin yang lain, tepatnya ia tak bisa memaksa hatinya mencabut rasa sayangnya terhadap Nathan sampai ke akar-akarnya dalam sekejap.

“Ijel cuma sayang Nathan.” Perempuan itu bertutur lembut di sela isakannya. Air matanya terjun bebas.

Tangan Nathan terangkat, menghapus air mata Grizella. “Iya aku tahu, makasih ya, Ijel. Nathan juga cuma sayang sama Ijel, nggak ada yang lain.” Gemerincing kait logam yang melingkar di pergelangan tangan Nathan berbunyi, membuat Grizella teringat kelincinya benar-benar tak ada di apartemennya malam ini.

“Nath, kelinci yang tadi pagi berubah jadi kamu atau kamu yang nyamar jadi kelinci?” Perempuan itu bertanya polos.

Nathan terkekeh, gadisnya itu manis sekali. “Aku nyamar jadi kelinci, seharian dikasih wortel doang.”

Lantas tawa keduanya menguar. Senyum Grizella telah kembali. Setelahnya Nathan merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah spidol hitam dari sana.

“Pinjem tangannya ya, Ijel, aku mau nulis sesuatu.” Nathan meraih tangan kiri Grizella, menuliskan sesuatu di sana entah apa. “Pokoknya inget ya, Ijel. Nanti, pas aku pulang, pas aku pergi lagi, kamu harus senyum.” Nathan masih fokus pada kegiatannya menciptakan karya seni di telapak tangan gadisnya.

Pukul sebelas lebih lima puluh menit. Sebentar lagi tengah malam dan hari akan berganti. Nathan melirik jam yang menghiasi dinding di atas televisi. Waktunya tak banyak. Satu detik saja terlewat dari jam dua belas maka ia harus pergi lagi. Pergi selama-lamanya, kembali meninggalkan Grizella kesayangannya.

Nathan selesai dengan karya seninya. Spidol ditutup, kembali dimasukkan ke dalam saku. Pukul sebelas lebih lima puluh lima menit. “Ijel, lima menit lagi jam dua belas. Aku nggak bisa lama-lama,” ujarnya sendu.

Grizella menatap lurus pada kekasihnya, merekam dengan jelas setiap garis wajah laki-laki di depannya. Ia akan segera kembali merindukannya. Tak apa, ini sudah lebih dari cukup. Malam ini sudah lebih dari cukup.

“Nggak apa-apa, Nath. Istirahat nanti yang nyenyak ya? Nggak sakit lagi, nggak perlu ke rumah sakit lagi, nggak perlu khawatir lagi.” Grizella sudah ikhlas.

Pukul sebelas lebih lima puluh tujuh menit. Jarum jam terus bergerak, semakin mengikis waktu. Tubuh Nathan sudah mulai pudar bayangannya, mungkin sebentar lagi akan hilang. Grizella mengulas senyum, ia tak boleh menangis lagi, setidaknya ia harus mengantar Nathan pergi dengan senyuman, kan?

Nathan memajukan tubuhnya, menarik Grizella lebih dekat padanya. Pelukan terakhir sebelum satu menit lagi pukul dua belas tepat. Kehangatan itu, Grizella akan mengingatnya seumur hidupnya. Jarum jam rasanya terdengar lebih kencang, setiap detiknya semakin membuat tubuh Nathan memudar, perlahan berubah jadi asap putih. Nathan melepas pelukannya, mengecup kening gadisnya untuk yang terakhir kali sebelum berpisah.

“Makasih udah jadi Ijel-nya Nathan di kehidupan yang ini, dan semoga di kehidupan lain juga. Bubbyee Ijel, jangan kangen, kita bisa ketemu lagi kapanpun kamu inget aku. Kapanpun kamu menutup mata dan inget aku, aku di sana. “Happy birthday, Grizella. Aku pamit, ya?”

Lalu tubuh Nathan menguap ke udara, pergi bersama dengan rindu-rindu. Meninggalkan Grizella yang duduk sendiri di balkon apartemennya. Ia sudah janji pada Nathan bahwa ia tak akan menangis lagi, harus senyum. Namun, maaf Nathan, Grizella ingin menangis lagi malam ini. Pergi ditinggal Nathan tak akan pernah membuatnya terbiasa.

Dan gadis itu duduk di sana seorang diri dengan seulas senyum, juga dengan air mata yang meluncur dari pelupuknya. Seketika pandangannya memudar, lalu menggelap.

“Selamat tinggal, Nathan, tidur yang nyenyak. Ijel sayang Nathan,” bisiknya pelan.


Alarm ponsel Grizella berbunyi nyaring. Gadis itu perlahan membuka matanya yang terasa berat. Cahaya matahari mulai masuk melalui kisi jendela. Pukul berapa ini? Kepalanya berat sekali rasanya. Bantalnya basah kuyup, sepertinya ia menangis deras di dalam tidurnya semalam. Grizella memasang posisi duduk dari rebahnya tadi, tangannya lantas meraih ponselnya di nakas, tanggal 16 Juli, tepat hari ulang tahunnya, jam tujuh pagi. Grizella tersenyum, pertemuannya dengan Nathan ternyata hanya bunga tidurnya. Kendati demikian, ia sudah bahagia, itu artinya Nathan menjadi orang pertama yang memberikan ucapan selamat ulang tahun untuknya.

Iya, seharusnya itu hanya mimpi. Seharusnya itu hanya mimpi sebab benar saja teman-temannya baru mengiriminya pesan ucapan ulang tahun sekarang. Seharusnya hanya mimpi, namun kenapa gelang elastis dengan kait logam yang telah ditulis nama “Nathan” itu ada di nakasnya?

Alis Grizella terangkat sebelah. Tangannya perlahan meraih gelang itu. Benar, ia ingat tulisannya di mimpi persis seperti yang ada di gelang itu. Lantas perhatiannya teralih pada telapak tangan kirinya, terkejut. Di sana tertulis sebuah kalimat disertai gambar kelinci kecil yang manis.

“Kamu tempat pulangku. -Nathan”

Seharusnya itu hanya mimpi. Namun, mungkin saja Nathan-nya benar-benar mampir tadi malam. Memeluknya, mengecup keningnya. Sesuai janji, Grizella tak akan menangis lagi, ia hanya akan tersenyum mulai detik ini. Tersenyum ketika mengingat apa pun tentang Nathan.

Lalu lamunannya dibuyarkan oleh dering ponselnya. Seseorang menelepon.

Happy birthday, Ijel!” Seorang pria berseru ceria dari seberang telepon.

Grizella terkekeh. “Udah dibilang jangan panggil Ijel! Kak Ian di mana? Jadi ke Nathan nanti?”

Itu adalah laki-laki yang mungkin sempat disebutkan Nathan di mimpinya. Ada laki-laki baik yang menunggunya, boleh jadi itu Ian. Laki-laki yang akan menjaga Grizella sebaik Nathan mencintainya.

Iya, itu laki-laki yang barangkali besok lusa akan menemani Grizella di sisa hidupnya. Seseorang yang akan selalu bersedia mengenalkan Nathan lagi, seseorang yang bersedia menyingkirkan potongan timun di piringnya, seseorang yang akan membawakan martabak keju dan berdiri di depan pintu apartemennya dengan senyum manis.

Grizella akan belajar mencintai lagi. Karena barangkali Ian memang laki-laki yang pantas untuk dikasihi.


Dulu, Grizella pernah membuat daftar kegiatan yang akan dilakukannya dengan Nathan. Together list, that is how they called it. Catatan yang bisa membuat Nathan bertahan lebih lama melawan penyakitnya sendiri. Dan baru-baru ini Grizella menambahkan nama Ian untuk ikut tergabung ke dalamnya, mengizinkan pemuda itu menemaninya untuk melengkapi daftar keinginan yang dibuatnya, sebab Nathan tak akan bisa memenuhinya lagi.

Jadilah mereka di sini. Dengan Ian yang duduk diam di hadapan Grizella. Di sebuah perpustakaan kota yang tak jauh dari kampus mereka berada. Di sana tak begitu ramai pengunjung, mungkin orang-orang akan lebih memilih pergi ke pantai atau berlibur ke luar kota mengingat sekarang sedang masa-masa libur panjang.

Together list number nine, reading books together.

Ian mengangkat kepalanya sedikit, melirik Grizella yang masih belum bergerak dari posisi duduknya sejak empat puluh menit yang lalu, masih terus menaruh perhatian pada buku yang tengah dibacanya. Kedua alis gadis itu menukik tajam, tampak lucu di mata Ian, mungkin akan diingat olehnya wajah serius Grizella hari ini.

“Zel…,” suara lembut Ian menyapa lagi gendang telinga Grizella setelah sejenak tak saling bicara.

“Hm?” Wanita yang dipanggil hanya menjawab dengan gumaman pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku bacaan di tangannya. Grizella membalik lagi halaman selanjutnya dan halaman selanjutnya, terus begitu tanpa peduli laki-laki di depannya sudah menatap ke arahnya sedalam apa.

“Udah mau 45 menit, leher lo nggak pegel nunduk terus?” tanya Ian dengan nada khawatir.

“Engga.”

Ian mendengus. “Ngobrol dulu dong, atau jalan kaki bentar nyari buku lagi yuk, biar pantatnya ga gepeng duduk terus.” Ia bergurau.

“Ssstt … di perpustakaan nggak boleh ngobrol apalagi berisik.” Gadis itu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, bicara setengah berbisik.

Ian menyerah, membiarkan Grizella kembali hanyut dalam buku bacaannya. Lalu maniknya diajak berkeliling, mengamati setiap sudut perpustakaan itu. Tembok-tembok kayu, rak-rak tua yang masih terawat, lantai kayu yang mungkin setiap dua kali sehari dibersihkan sebab tampak mengilap. Lantas pandangnya bergerak lurus ke arah balkon dengan pintu kaca yang sengaja dikunci, entah kenapa rasa penasarannya tiba-tiba saja muncul seolah kakinya juga diajak ingin pergi ke sana.

“Zel…,”

“Apa lagi sih, Kakkk?” Grizella gemas lantaran namanya terus-terusan dipanggil, membuat isi kepalanya buyar dan tidak bisa fokus lagi.

“Itu, balkonnya kenapa dikunci?” tanya Ian, wajar saja ia tidak tahu, baru pertama kali dirinya pergi ke tempat itu, sedangkan Grizella tampaknya sudah berkali-kali mengunjungi perpustakaan tersebut sampai-sampai hafal betul letak rak-rak bukunya.

Grizella mengangkat kepalanya. Mendengar pertanyaan dari Ian membuatnya langsung menutup buku yang tengah dibacanya. Lantas kepalanya ia tolehkan menghadap ke arah balkon yang agak jauh di belakangnya.

“Dikunci … karena biar nggak ada yang ke sana,” jawab Grizella singkat, namun semakin membuat Ian penasaran.

“Kenapa emang kalo ke sana?” Wajah Ian menyiratkan sedikit kengerian. Pikirnya mungkin saja pernah ada tragedi tak menyenangkan di balkon itu hingga menimbulkan korban jiwa. Hal tersebut berhasil membuat bulu kuduknya berdiri.

Grizella terkekeh. Pandangnya lalu menatap Ian lagi, membuat jantung pemuda itu seketika berdetak lebih cepat. “Bukan cerita serem, Kak,” ujar Grizella layaknya tahu apa yang Ian pikirkan, “waktu itu sih pas belom dikunci banyak banget yang ke sana, Kak. View-nya bagus, banyak yang foto-foto, akhirnya berisik kan malah ganggu orang-orang yang niatnya baca buku, jadinya dikunci deh sekarang,” jelasnya yang disahut Ian oleh anggukan pelan, pemuda itu sedikit merasa lega, setidaknya bukan hal menakutkan yang terjadi.

“Terus …,” ucapan Grizella menggantung, tatapan sendu itu kembali mampir di kedua maniknya.

“Terus kenapa?” Ian bertanya penuh kehati-hatian.

“Di balkon itu gue pertama kali ketemu sama Nathan, Kak.”

Ian terkesiap. Ia belum pernah mendengar cerita seperti itu sebelumnya. Yang Ian tahu, dan yang Nathan pernah cerita padanya, pertama kali Nathan melihat Grizella adalah di kampus, tepatnya di gedung fakultas mereka. Lalu yang Ian tahu juga Grizella adalah yang pertama kali mengajak Nathan berkenalan, itu pun posisinya juga di kampus keduanya. Tak ada pembahasan mengenai perpustakaan itu dalam setiap cerita Nathan. Namun, hari ini, Grizella menuturkan kisah baru.

Diamnya Ian membuat Grizella akhirnya kembali melanjutkan ceritanya. “Hampir dua tahun yang lalu berarti ya? Pokoknya waktu itu, gue lagi duduk di kursi yang lo dudukin sekarang, Kak. Gue lagi bengong ngeliatin laptop gue, mau ngerjain tugas juga bingung, jadinya gue malah ngeliatin balkon yang waktu itu cuma ada satu orang cowok yang lagi baca di sana.” Gadis itu menjeda kalimatnya untuk sejenak melirik kembali ke arah balkon yang sedang dibahasnya.

“Itu Nathan, yang waktu itu lagi baca buku sendirian, berdiri senderan ke pagar balkon. Pas itu gue belom sadar kalo dia temen angkatan gue, Kak. Yang gue pikir waktu itu cuma ‘itu cowok keren banget!’, gitu. Gue belom berani kenalan.” Ada senyum simpul tercetak di wajah mungil Grizella, perlahan menyayat hati Ian sebab Ian tahu Grizella amat sangat merindukan laki-lakinya yang pergi tanpa berpamitan.

“Gue sayang banget sama Nathan, Kak.” Tak mampu menahannya lagi, sekarang air mata Grizella sudah turun, suara isakannya perlahan terdengar sangat menyedihkan. “Gue kangen banget … Gue belom tahu banyak tentang dia tapi dia udah pergi duluan, Kak.”

Ian segera merogoh tasnya, mengeluarkan sebungkus tisu kecil yang masih tersegel rapat. “Maaf, Zel, gue nggak maksud bikin lo jadi sedih gara-gara inget Nathan lagi.” Tangannya lantas bergerak menghapus air mata gadis itu.

Grizella mengambil tisu dari tangan Ian. Ia menggeleng. “Nggak, Kak … nggak apa-apa. Gue nggak pernah sedih tiap inget Nathan, dan pembahasan apa pun tentang Nathan bakal selalu jadi favorit gue, jadi jangan ragu buat ajak gue inget lagi sama Nathan, ya?” Perempuan itu kembali tersenyum, meski air matanya masih terus mengalir.

Jika ditanya mengapa Ian tiba-tiba sering berdebar ketika berada di dekat Grizella, pun jika ditanya mengapa senyum Ian tak pernah luntur ketika ia saling mengirim pesan dengan Grizella sebelum tidur, maka jawabannya mungkin bukan dirinya jatuh cinta pada gadis itu. Tentu saja mana berani Ian jatuh cinta pada perempuan yang amat disayangi oleh sepupunya? Maka jawabannya mungkin hanya satu. Ian kagum. Ian kagum akan bagaimana Grizella menjalani hidupnya dengan tegar. Ian kagum bagaimana Grizella bisa tetap tersenyum di hari-hari buruknya. Ia kagum pada Grizella dan segala perilaku manisnya.

Maka jika boleh, Ian ingin tetap berada di sisinya. Maka jika boleh, Ian ingin menjadi pundak tempat Grizella istirahat. Maka jika boleh, Ian ingin menjadi alasan Grizella bisa tersenyum lagi. Tidak muluk, Ian tak berniat ingin menggantikan Nathan di hati gadis itu, sebab sepertinya mustahil. Grizella sudah amat menyayangi Nathan, dan Ian hanya ingin menjadi seseorang yang berdiri di samping Grizella, menggenggam tangannya, mengajaknya bertemu lagi dengan Nathan melalui serpihan kenangan. Ian janji akan ceritakan semua tentang Nathan pada gadis itu, Ian janji akan kenalkan Nathan lagi pada Grizella untuk yang kedua kalinya. Dan jika presensinya hanya sebatas itu, maka tak apa, itu sudah lebih dari cukup untuk Ian.

“Jangan nangis, Zella … gue bakal nemenin lo, gue janji bakal kenalin lo ke Nathan yang gue kenal, ke Nathan yang kita kenal.”

Iya, jangan menangis lagi, Grizella. Ingat kan kata Nathan semoga kamu temukan laki-laki yang lebih baik darinya.

Jika mungkin Ian tak sebaik Nathan, juga tak apa. Setidaknya itu Ian, Ian sepupu Nathan yang berharga. Karena bersama dengan Ian maka Grizella akan bisa mengenal Nathan sekali lagi untuk waktu yang teramat lama.

Sebab mengingat segalanya tentang Nathan akan menjadi hal yang paling disukai Grizella seumur hidupnya. Dan untuk saat ini, tentu dengan Ian sebagai penutur kisahnya.


Pukul sembilan malam. Juan tengah duduk di atas hamparan rerumputan, membiarkan semilir angin malam menerpa rambutnya. Di depannya kini terbentang danau luas yang airnya tenang, berharap isi kepala Juan bisa lebih baik dibuatnya. Sudah hampir tiga minggu Juan hanya menghabiskan waktunya bersama Grizella untuk mempersiapkan olimpiade yang akan mereka ikuti. Kepalanya sudah dibuat amat panas, setiap hari menatap jajaran angka di atas kertas.

Juan menghela napas. Menatap langit tanpa bintang yang menaunginya. Tangannya lalu bergerak memijat pelipisnya pelan sambil memejamkan mata. Tiba-tiba seorang gadis dengan balutan kaus putih bersih yang disandingkan dengan celana jins biru mendekatinya, ia menepuk pelan pundak Juan.

“Sendirian aja?” Perempuan itu mendudukkan diri di samping Juan, melempar senyum hangat.

Juan menoleh, sedikit terkejut dengan kehadiran seseorang yang tak pernah terlintas di benaknya malam itu. “Aura? Ngapain?” ujarnya melontarkan pertanyaan.

Aura terkekeh. “Gue? Ya nemenin lo, lah. Ngapain lagi emang keliatannya?”

Juan masih menatap lurus wanita di sampingnya. “Kok tahu gue di sini?”

Tangan Aura terangkat, menunjuk ke sebuah kafe yang terletak tak jauh dari danau tempat mereka duduk sekarang. “Di sana, temen gue ngadain ulang tahun,” katanya, meski sebenarnya jawaban perempuan itu tak bisa menjawab dengan betul pertanyaan dari Juan.

“Terus ngapain ke sini?” Juan menaikkan sebelah alis, masih tak paham.

“Lo udah makan?”

“Aura, jawab dulu pertanyaan gue…,”

Perempuan itu meremat ujung kausnya. Sebenarnya yang sudah ia katakan itu adalah fakta yang benar. Temannya tengah mengadakan acara ulang tahun itu benar. Namun, rasanya Aura tak sanggup menjelaskan pada Juan bahwa sebenarnya ia langsung ingin menghampiri laki-laki itu begitu melihat mobil Juan terparkir rapi tak jauh dari kafe tersebut berada.

“Eum … gue ngeliat mobil lo parkir, Ju. Terus gue ya ke sini aja akhirnya karena di dalem juga gue udah sumpek. Gue ganggu ya?” jawab Aura dengan suara yang amat pelan.

Juan yang tadinya masih menatap lurus ke arah Aura kini kembali memutar kepalanya ke depan, menatap air danau yang tenang. “Nggak, lo nggak ganggu.”

Senyum perempuan itu kembali cerah. “Capek ya belajar terus?” tanyanya sambil membuka bungkus sandwich yang tadi dibelinya. “Nih, Ju, lo pasti belom makan, ‘kan?”

Juan menoleh, tersenyum. “Thanks, iya gue belom makan.” Roti isi itu berpindah tangan.

Lantas setelahnya hening kembali menyapa. Aura mengikuti Juan, menatap lurus air danau yang tenang. Sambil perlahan memakan sandwich pemberian Aura, isi kepala Juan tak serta merta kosong. Di dalamnya ia masih sibuk memikirkan soal-soal olimpiadenya, memikirkan pertengkaran Hadyan-Rhayyan yang belum selesai, juga Juan rasa dirinya butuh istirahat sebab tubuh dan pikirannya sudah berada di ambang batas.

Lima belas menit. Roti isi di tangan Juan sudah tandas. Belum ada lagi percakapan yang menghiasi di tengah diamnya kedua remaja itu. Juan meraih botol air minum yang tadi dibawanya dan menenggaknya hingga tersisa seperempat.

“Berat ya, Ju?” Aura berujar pelan.

Juan mengangkat lagi pandangnya pada Aura. “Hm?”

“Hari-hari lo juga jadi semakin berat ya? Sejak Nathan pergi.”

Pemuda itu bungkam. Memikirkan bagaimana bisa Aura mengetahuinya bahwa beban yang berada di pundaknya tiba-tiba saja terasa semakin berat akhir-akhir ini. Sejak dulu Juan memang yang paling bertanggung jawab di antara mereka. Semua kesulitan pasti dengan segera menemukan solusinya jika Juan ikut berperan. Juan yang paling bisa dipercaya, Juan yang paling bisa diandalkan, begitu kata Nathan. Kendati demikian, Juan tak merasa dirinya bisa diandalkan. Alih-alih bisa dipercaya, Juan hanya merasa takut. Takut jika teman-temannya terluka, takut jika orang-orang terdekatnya kesulitan, takut jika dirinya tak bisa membantu banyak. Dia anak satu-satunya di keluarga. Juan juga ikut menopang segala ekspektasi ayahnya yang mungkin kelewat tinggi baginya.

Sejak dulu bebannya sudah banyak. Juan diduakan oleh perempuan yang dulu amat dicintainya, lalu direnggut kepercayaannya terhadap sebuah rasa yang dinamakan cinta, dibuat mati rasa. Lantas pulang juga keluarganya hanya menyambutnya ramah ketika dirinya membawa pulang medali emas. Juan bukan anak yang paling pintar di kelasnya sejak dulu, bukan juga juara kelas seperti Nathan. Ia hanya beruntung. Beruntung punya Nathan yang siap menopang segala susahnya ketika lagi-lagi yang ia peroleh tak sesuai ekspektasi ayahnya. Juan hanya ingin menjadi berguna, sebab menjadi manusia yang tak berguna hanya akan membuatnya merasa ragu akan hak hidupnya sendiri. Dan Nathan selalu hadir untuk memperbaiki pola pikirnya yang seringkali berantakan, memikirkan untuk apa ia hidup jika tak memberi manfaat.

Lalu Nathan yang ia harapkan bisa terus menjadi teman seperjalanannya ternyata pulang lebih dulu. Meninggalkannya di atas dunia yang dingin bersama ekspektasi ayahnya yang masih terus menghantuinya. Memintanya untuk duduk di singgasana paling tinggi di dunia akademis meski ia tak sanggup, Juan tak suka menjalani hidup yang dikekang seperti itu. Ingin melawan, namun siapa dirinya? Ia yakin pilihan orangtuanya masih yang terbaik dan yang paling baik untuk masa depannya kelak.

Kedua manik Juan mulai berlinangan air mata. Aura bisa melihatnya. “Iya, Ra, berat.” Untuk yang pertama kalinya seseorang selain Nathan mengetahui bahwa semua yang dijalaninya berat. “Gue mau mundur, mau nyerah.”

Aura belum paham seberat apa beban di pundak Juan. Aura belum tahu perihal tanggung jawab bagi Juan bukan hal yang main-main. Aura belum tahu semua ekspektasi ayah Juan sebesar apa pada anak tunggalnya. Aura belum tahu semuanya. Namun, yang bisa gadis itu yakini adalah sejak kepergian Nathan ia merasa Juan benar-benar sangat lelah, terkadang juga terlihat berbeda dari biasanya; mudah termenung, mudah bingung, lupa makan, tak ceria.

Aura meraih tangan Juan yang dingin sebab semakin malam mereka berada di sana maka angin akan semakin kencang berembus. “Ju … kalo lo ngerasa capek, bukan mundur solusinya. Tapi berhenti sejenak, duduk, jangan dilanjutin dulu jalannya.”

Ucapan Aura berhasil meloloskan air mata yang sejak tadi Juan tahan mati-matian. Sudah lama sekali rasanya sejak seseorang tak menasihatinya seperti ini. Lantas entah mungkin karena atmosfer di sekitar mereka berdua tampak nyaman, Juan menyerah, melepas lelahnya dengan menyandarkan kepalanya di pundak Aura. Sang pemilik bahu hanya mampu bergeming di tempatnya.

“Gue nggak tahu seberat apa beban lo, Ju … tapi gue mau lo inget kalo ini hidup lo, jadi harus ada lo di dalemnya. Jangan terus mikirin orang lain, Ju. Lo juga harus mikirin diri sendiri.” Aura berujar lagi dengan suara yang sedikit gemetar di ujung kalimat. Kini genggaman tangan Aura dibalas oleh Juan, semakin erat menautkan jemari. Rasanya sudah lama Juan tidak merasakan kehangatan seperti ini. Ia sedikit rindu.

“Ra…,” “Ya?” “Makasih banyak.”

Dua remaja dalam satu malam, menciptakan atmosfer hangat di samping danau yang tenang. Juan belum sembuh istirahatnya, tapi setidaknya Aura sudah menjadi tempat istirahat yang cukup nyaman untuknya malam ini. Melepas lelah, melepas kekhawatiran, dan meletakkan sejenak beban di pundaknya selama ini. Sedangkan Aura yang akhir-akhir ini mulai merasa cemburu pada Grizella sebab gadis itu terus menerus berada di dekat Juan akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Karena akhirnya Aura berani melangkahkan kakinya satu langkah ke depan untuk mendekati Juan.

“Cuma Nathan, Ra … cuma Nathan yang bisa nyatuin kita semua,” Juan tiba-tiba berujar lagi, ia menarik napas panjang, “Hadyan sama Rhayyan belum baikan, gue harus gimana?”

Mungkin Juan sudah terlalu bingung ingin cerita pada siapa, jadilah malam ini Aura bertugas untuk mendengarkan semuanya. Aura tak mengetahui alasan sebetulnya Hadyan dan Rhayyan bertengkar akhir-akhir ini, jangankan alasannya, mungkin fakta bahwa kedua pemuda itu sedang tak akur saja Aura baru mengetahuinya sekarang. Namun, wanita itu tetap diam, tak ingin banyak bertanya.

“Kalo cuma Nathan yang bisa bikin mereka akur lagi, kenapa nggak lo bawa ke Nathan aja?” Aura mengajukan pendapat.

Juan bergeming. Isi otaknya menyetujui pendapat Aura. Iya juga, pikirnya, kenapa tak ia bawa saja Hadyan dan Rhayyan menghadap Nathan? Mungkin Nathan akan membawa solusi dengan berbagai cara.

Lalu akhirnya, untuk yang pertama kali hari ini, senyum Juan bisa terlihat amat tulus. Seolah beban di pundaknya sudah terangkat separuh. Laki-laki itu mengangkat kepalanya yang sebelumnya bersandar di pundak Aura, menatap mata gadis itu lekat-lekat.

“Gue bakal bawa mereka ke Nathan, makasih banyak, Ra!”

Aura balas tersenyum, “Sama-sama.”

Untuk Juan, pemuda yang menaruh banyak beban di kedua pundaknya. Laki-laki yang tak pernah bermain dengan tanggung jawab dan kepercayaan yang telah diberikan padanya. Seseorang yang selalu menaruh kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya. Dan untuk Juan, baginya tak muluk mengharapkan seseorang yang selalu bisa menolongnya di hari-hari sulitnya. Namun, yang Juan butuhkan terkadang hanya seseorang yang bersedia menjadi pendengar terbaiknya. Seseorang yang bersedia meminjamkan pundaknya untuk sejenak Juan beristirahat. Dan malam ini yang ditemukannya adalah figur Aura yang memenuhi segala yang dibutuhkannya.

Dari orang yang tak disangka-sangka, terkadang kasih sayang itu datang tanpa diundang. Dan dari Aura, kehangatan itu Juan dapatkan.


Sesuai janjinya pada Grizella, siang ini tepat pukul satu, mobil Ian sudah berhenti tepat di depan sebuah bangunan berdinding kayu. Itu adalah sebuah rumah makan sederhana yang menjual berbagai menu masakan rumahan yang sering Ian kunjungi bersama Nathan. Halaman parkirnya cukup luas untuk dapat diisi belasan mobil dan sejumlah motor di sana sebab tempat tersebut tak pernah sepi pengunjung.

Grizella turun dari mobil. Ia terperangah. Ini adalah kali pertama dirinya makan di tempat tersebut, sehingga kedua manik gelapnya segera bergerak menyisir setiap sudut bangunan. Di sana tengah mengantre beberapa orang yang tak sabaran untuk makan.

“Yuk, masuk.” Ian memimpin langkah, sedangkan Grizella di belakangnya hanya mengekor.

Antrean yang cukup panjang tadinya membuat Grizella berpikir ia akan dapat mulai makan satu jam setelahnya, namun ternyata ia salah. Antrean yang panjang itu justru menjadi lengang dengan cepat. Dan setelah menunggu kurang lebih lima belas menit, Grizella dan Ian sudah duduk di kursi yang tak jauh dari pintu masuk. Di tangannya, Grizella sudah memegang menu, tetapi masih bingung ingin pesan apa.

“Zel, lo mau pesen apa?” Ian akhirnya bertanya.

Grizella mengedikkan bahu. “Gue bingung, ada rekomendasi?”

“Nasi goreng. Rekomendasi gue nasi goreng buat lo,” jawab pemuda itu percaya diri.

Zella mengangguk, netranya masih tetap melihat-lihat menu di tangannya. “Ya udah nasi goreng aja.”

Sambil menunggu makanan keduanya diantar, Grizella sibuk menatap lurus ke depan, tepatnya menatap Ian yang masih sibuk dengan ponselnya sendiri. Laki-laki yang duduk di depannya itu adalah orang baru baginya. Belum lama ia mengenal sosok Ian dan entah bagaimana saat ini dirinya justru berada di meja makan yang sama dengannya. Rasanya seperti saat dulu ia kenal dengan Nathan, semuanya tampak mengalir begitu saja. Namun, ia akui, Ian punya kepribadian yang baik, juga hati yang tulus.

“Kenapa liatin gue segitunya?” Ucapan Ian berhasil membuat Grizella membuang muka ke samping.

“Apaan sih ge-er.” Gadis itu membela diri.

Ian terkekeh, lantas meletakkan ponselnya di meja. “Zel, sini dengerin gue, gue mau cerita tentang Nathan.”

Perempuan itu kembali memutar kepalanya menghadap Ian. Cerita apa pun tentang Nathan selalu berhasil mengundang rasa penasarannya hadir.

“Dulu, tiap gue main game di rumah Nathan tuh sampe malem pasti. Nah itu seringnya kita sampe kelaperan, tapi nggak enak kalo berisik di dapur takut ganggu Tante Rumi tidur.” Lelaki itu menjeda kalimatnya, ia lalu menenggak air dari botol kemasan, “terus akhirnya kita jadi rutin makan di sini deh kalo laper malem-malem. Nathan kalo makan di sini tuh pesennya nasi goreng itu, Zel, makanya gue mau lo nyoba makanan kesukaan Nathan,” ungkapnya.

Grizella mengangguk, semakin tak sabar rasanya ingin mencicipi makanan kesukaan Nathan. Sekali lagi, segala hal tentang Nathan masih menjadi topik favoritnya. Lalu beberapa menit setelahnya seorang pelayan dengan nampan di tangannya datang menghampiri dan meletakkan dua piring nasi goreng beserta dua gelas teh lemon segar.

Garpu dan sendok kini sudah menghiasi tangan Ian, siap digunakan untuk makan. Namun keinginan untuk mulai menyantap nasi gorengnya ia urungkan sebab melihat Grizella yang sibuk menyingkirkan timun-timun kecil yang tersebar di atas nasi goreng miliknya.

“Lo nggak suka timun? Kenapa nggak bilang? Tadi kan bisa minta tanpa timun,” ujar Ian sambil masih menatap Grizella yang sibuk memindahkan timun itu ke pinggir piring nasi gorengnya.

“Gue kan nggak tahu bakal ada timunnya, Kak. Lagian gue bukannya nggak suka kok, cuma ini gue kalo lagi haid makan timun nanti perutnya nggak jelas gitu, sakit,” jelas Grizella.

Ian mengangguk, hari ini ia mengetahui fakta lain dari Grizella yang belum pernah Nathan ceritakan padanya. Diam-diam otaknya menyimpan informasi mengenai Grizella yang tidak bisa makan timun ketika sedang haid. Lantas tangan Ian maju, membantu Grizella menyingkirkan timun-timun itu dari piring untuk ia pindahkan ke piringnya sendiri.

“Eh nggak usah dibantuin, Kak. Kenapa juga malah lo pindahin ke piring lo itu apa nggak jorok?” Perempuan itu merasa tak enak hati.

“Nggak jorok, lah. Kan timunnya belom lo masukin mulut?” jawab Ian santai, tangannya masih bergerak memindahkan potongan timun. “Udah tuh, udah nggak ada timunnya.”

Mungkin Grizella baru saja mengenal Ian tak lama sebelum hari ini. Tapi rasanya benar-benar seperti saat ia ditemani oleh Nathan. Rasanya tak perlu khawatir dan selalu aman. Ian bisa memahami dirinya lebih cepat dan mampu merespons ucapan serta candaannya dengan tepat. Entahlah mungkin memang Ian punya cara komunikasi yang cerdas sehingga mampu membuat Grizella merasa seperti berkumpul dengan teman lama.

Acara makan siang mereka selesai setelah 45 menit. Kini mobil Ian kembali menyusuri jalan raya yang ramai kendaraan. Pergi menuju tempat istirahat Nathan. Langit mulai bergemuruh di atas sana, mungkin sebentar lagi hujan akan turun, untung saja Ian selalu sedia payung di mobilnya.

Berkendara selama beberapa menit, akhirnya kedua remaja itu kini tengah melangkahkan kaki mengikuti jalan setapak. Grizella berjalan lebih dulu di depan Ian dengan senandung kecil yang bisa terdengar dari bibir mungilnya. Ini adalah kali pertama Grizella mengunjungi lagi makam Nathan setelah hari itu ia mengantarkan kekasihnya pergi untuk selamanya.

Langkah Grizella berhenti di samping gundukan tanah dengan papan kayu bertuliskan Nathaniel Adikara. Lantas perempuan itu segera memasang pose jongkok. Tangannya ia gunakan untuk mengelus papan bertuliskan nama kekasihnya itu.

“Hai, Nath. Apa kabar? Aku kangen.” Tatapan sendu sudah tampak di wajah cantik gadis itu. Menyisakan Ian yang lagi-lagi hanya berperan sebagai penonton. Lagi pula tugas Ian memang seharusnya sampai situ saja; mengantar Grizella, menemaninya, menggantikan sementara rasa sepi gadis itu karena ditinggal pergi Nathan.

“Nath, tiap malem aku berdo’a buat kamu, do’a nya nyampe nggak, Nath?” Satu titik air mata sudah berhasil membasahi pipi. “Aku kangen dipeluk lagi sama kamu, kangen liat kamu senyum, kangen denger kamu manggil aku Ijel, kangen notif chat dari kamu, aku kangen semuanya, Nath.”

Semilir angin pergi melewati Grizella dan Ian. Mungkin benar, Nathan mendengarnya.

“Tapi makasih, Nath. Makasih udah nyiapin orang-orang baik yang siap nemenin aku pas kamu nggak ada. Sekarang aku punya temen baru, namanya Ian. Kamu pasti udah kenal sama orangnya, ‘kan?” Ucapan Grizella kali ini mampu membuat hati Ian menghangat, “dia aneh, Nath. Kalo kita lagi chat pasti dia selalu nyuruh aku tidur.” Grizella melirik tajam ke arah Ian yang hanya dibalas laki-laki itu oleh tawa kecil.

“Tapi dia baik, Nath. Dia baik walau nggak sebaik kamu, tapi dia baik. Aku seneng kenal sama Kak Ian, aku seneng kenal sama kamu. Nanti tolong balik lagi ya, Nath … balik jadi Nathan-nya Ijel satu kali lagi aja meski nggak harus di kehidupan yang ini. Semoga di kehidupan lain kamu panjang umur sehat selalu, terus aku juga panjang umur sehat selalu, dan kita bisa bareng-bareng terus buat lanjutin together list yang belom selesai. I miss you, Nathan, always.”

Kalimat penutup dari Grizella segera disambut oleh hujan yang tiba-tiba turun dengan deras. Ian dengan sigap langsung membukakan payung hitam itu untuk yang kedua kalinya; yang pertama adalah saat pemakaman sepupunya dan yang kedua adalah sekarang, ketika gadis itu selalu bilang merindukan Nathan lebih dari apa pun.

Grizella pulang dengan langkah berat kembali menuju mobil Ian. Air matanya belum selesai. Rasanya rindu itu tak akan pernah sembuh total sebelum ia benar-benar bertemu dengan Nathan. Setiap malam, di setiap tidurnya, maka Nathan yang akan selalu ia harap-harapkan kehadirannya.

Namun, hari ini, perjalanannya dengan Ian mengantarkan Grizella kembali mengingat Nathan dan sedikit mengobati rasa rindunya. Selama di perjalanan Ian akan menceritakan semua tentang Nathan. Masa kecil Nathan, makanan kesukaan Nathan, bagaimana Nathan saat merajuk pada ibunya, tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Nathan, dan bahkan hari ini laki-laki itu mengajak Grizella langsung mengunjungi kembali tempat peristirahatan terakhir Nathan.

Mungkin benar, Ian memang orang baik. Ian hadir di hidupnya seperti angin yang mengusir awan hitam kelabu di atas langit. Tak banyak berubah, awan kelabu itu masih di sana, namun setidaknya sinar matahari cerah dapat masuk menyinari hari-hari Grizella yang sedikit berat tanpa Nathan di sisinya. Lalu dengan adanya Ian di sana, setidaknya Grizella mampu menemukan kembali pundaknya untuk berkeluh kesah kala dunia tak lagi bersahabat.


Mengetahui kabar dari Hadyan mengenai kecelakaan itu, Keisha segera pergi menuju rumah sakit. Pukul sembilan malam. Gerimis sedang turun ketika Keisha usai memarkirkan mobilnya di halaman rumah sakit yang luas. Lantas dengan air mata yang masih mengalir di pipinya, gadis itu berlari memasuki bangunan bercat putih tersebut.

Derap langkah Keisha mengisi keheningan di koridor rumah sakit yang cukup lengang. Hanya ada beberapa perawat dan dokter yang berlalu-lalang, tampaknya tak banyak pasien di sana malam ini. Keisha masih kepalang panik, napasnya terengah-engah seperti sedang dikejar hantu. Lalu dengan sigap gadis itu berbelok di ujung lorong dan menghentikan langkahnya, sedangkan kedua matanya ia pasang menyisir tempat itu, mencari keberadaan laki-laki yang memang disayanginya.

Setelah hampir lima belas detik gadis itu mencari, ditemukanlah olehnya Hadyan yang terduduk di atas ranjang rumah sakit. Lelaki itu tampak sedang bicara dengan perawat yang masih sibuk membalut kakinya dengan perban. Sempat menunggu dalam diam sambil masih mengatur napasnya, Keisha berdiri tak jauh dari ruangan itu. Dua menit setelahnya sang perawat keluar dari ruangan, memberikan Keisha kesempatan bertemu Hadyan.

Langkah Keisha sedikit berat mendekat pada pintu kaca. Di sana Hadyan masih memandang kakinya yang dibalut perban dengan wajah tanpa rasa bersalah sudah membuat Keisha terbirit-birit dari rumahnya ke rumah sakit, mengebut seperti orang gila di jalanan yang cukup padat. Sedetik setelahnya Hadyan mendongak dan terkejut menemukan Keisha berdiri di pintu masuk dengan air mata berderai, membuatnya ingat akan kejadian di pameran seni tempo hari.

“Kei? Kok jadi lo yang dateng?” ujarnya tak percaya.

Setelahnya tanpa Hadyan sempat menyiapkan hatinya, tubuh Keisha sudah benar-benar jatuh ke dalam dekapannya. Perempuan itu merengkuh erat Hadyan seolah laki-laki itu akan hilang dari muka bumi jika dilepas. Keisha menyerah malam ini. Menyerah melawan isi hatinya sendiri dan membiarkan apa pun yang dibisikkan oleh hatinya mengontrol tingkah lakunya. Tangan Keisha masih melingkar sempurna pada tubuh Hadyan, mengabaikan laki-laki itu yang masih membelalak tak percaya. Jantung Hadyan berpacu cepat. Persis seperti milik Keisha.

Lantas pelukan itu dilepas oleh sang gadis. Kini Keisha mengalihkan atensinya pada seluruh tubuh Hadyan, memeriksa apa-apa saja yang terluka di sana.

“Lo nggak pa-pa? Mana yang sakit? Siapa yang nyerempet? Kok bisa sih? Lo kan jago naik motor masa keserempet sih, Yan? Lo mau ke mana emangnya nggak pelan-pelan? Itu kakinya aja yang luka? Tangannya gimana? Kepalanya nggak kena apa-apa, ‘kan?” Keisha menghujani Hadyan dengan pertanyaan yang tentu saja tak tahu harus dijawab dari mana lebih dulu. Air mata gadis itu masih turun, suaranya pun masih bergetar di ujung kalimat. Baru membayangkan akan kehilangan Hadyan saja tampaknya ia tak akan pernah sanggup.

Hadyan masih bergeming. Untuk yang pertama kalinya Keisha bicara sebanyak itu padanya. Untuk pertama kalinya gadis itu menjatuhkan banyak sekali pertanyaan padanya, terlebih arah pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan seluruh kekhawatirannya. Ia masih memandang Keisha tak percaya, apakah benar seorang Keisha Davira mengkhawatirkannya sekarang?

“Kei … gue nggak apa-apa. Kaki doang ini yang susah jalan dikit, yang lain nggak apa-apa.” Hadyan akhirnya menjelaskan kondisinya, sedangkan gadis di depannya masih terisak.

Keisha memundurkan satu langkahnya menjauhi Hadyan. Air matanya masih terus mengalir meski hatinya perlahan mulai menghangat sebab kondisi Hadyan tak separah yang dipikirkannya selama di perjalanan tadi.

“Gue khawatir banget, sialan! Hiks…” Biar saja jika nanti-nanti Hadyan mengejeknya cengeng atau apa pun. Ia tak sanggup lagi menahan air matanya malam ini. Biarkan ia menangis sejadi-jadinya dan untuk yang pertama kali tangisnya ia suarakan tepat di depan Hadyan dengan sejujur-jujurnya.

Gantian, kini Hadyan yang menatap Keisha khawatir. “Kei—”

“Lo bilang … lo bilang mau nunggu gue sampe gue jawab ‘Yes’? Lo bohong, Yan!” Keisha menukas cepat ucapan Hadyan sambil masih terisak, “tapi kenapa lo malah berhenti, Yan?”

Hadyan diam. Hanya mampu mendengarkan.

“Kenapa lo berhenti suka sama gue? Kenapa lo nyerah, Hadyan?” Perempuan itu menjeda ucapannya guna menarik napas sebab dadanya sudah sesak sekali rasanya, “Lo boleh suka hujan lagi, Yan. Lo boleh suka hujan lagi sebanyak yang lo mau dan kali ini gue nggak akan bairin lo kehujanan. Atau kalo mau kehujanan lo nggak akan kehujanan sendirian. Biar gue jadi payung lo kalo emang jatuh cinta lo ibaratkan seperti suka hujan. Gue bakal jadi payung lo.” Tangis Keisha semakin deras. Namun, seiring seluruh kalimat itu keluar dari bibirnya, hatinya terasa lebih ringan.

“Gue sayang sama lo, Hadyan … gue nyerah, gue suka sama lo. Tapi gue paham kalo emang lo udah telanjur nggak bisa jatuhin lagi cinta lo ke gue gapapa, gue bi—”

Pergelangan tangan Keisha sudah ditarik oleh lelaki di depannya bahkan sebelum ucapannya usai ia lontarkan. Kini tubuh gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukan yang dirindukannya sejak lama, membuat Keisha terdiam. Tangan besar milik Hadyan bergerak lembut di atas kepala Keisha, membelai rambut perempuan itu perlahan guna menyalurkan kasih sayang.

“Sama, Kei. Gue emang bilang mau berhenti suka sama lo tapi sebanyak apa pun gue nyoba nggak akan pernah berhasil.” Hadyan bertutur lembut tepat di samping telinga Keisha, membisikkan kalimat itu setenang mungkin sambil tangannya masih bergerak mengelus kepala gadisnya. “Gue masih suka sama lo, Kei. Dan akan selalu suka sama lo karena lagi-lagi perasaan gue selalu balik ke lo, Keisha. Gue sayang sama lo, nggak pernah berkurang sedikit pun.”

Lantas di detik berikutnya tangis Keisha kembali pecah untuk yang kesekian kalinya. Namun, untuk yang pertama kalinya tangisnya tak sendirian, kini ia bisa menangis di pundak laki-laki yang selalu ia harap-harapkan kehadirannya.

“Jadi … gue boleh jadi pacar lo, Kei?”

Anggukan kecil dari Keisha menjadi jawaban yang sangat cukup bagi Hadyan. Laki-laki itu lantas tersenyum, semakin mengeratkan pelukannya pada gadisnya.

“Makasih banyak, Keisha.” Sebuah kecupan lalu mendarat sempurna di kening perempuan itu.


Mengingat kaki Hadyan terluka dan bahkan untuk berjalan saja ia sedikit kesulitan, Keisha akhirnya bertugas mengantar laki-laki itu hingga di depan rumahnya. Pukul sepuluh lebih lima belas menit, mobil Keisha berhenti tepat di depan bangunan bertingkat dua yang merupakan kediaman Hadyan.

Perempuan itu menarik rem tangan dan menoleh ke sampingnya. “Udah sampe,” ujarnya pada laki-laki yang masih bergeming di kursi penumpang sambil menatap lurus ke arahnya.

“Kei,” panggil Hadyan disertai cengirannya. Hadyan-nya Keisha sudah kembali seperti dulu, selalu dengan cengiran menyebalkannya.

“Apa?” “Makasih ya, udah dateng jemput aku.”

Rona merah muda mulai terlihat di pipi Keisha. Sepertinya sebutan “Aku” masih belum terbiasa di telinganya. “Sama-sama.”

“Ya udah aku turun ya? Maaf kamu jadi pulang sendirian.”

“Apa sih santai aja orang cuma nyebrang tuh rumah gue.” Keisha mengalihkan pandangnya ke jendela.

Hadyan terkekeh pelan, ia tahu Keisha sedang gugup sekarang. “Beneran nih aku turun sekarang? Kamu nggak kangen? Mau peluk lagi nggak?” tanyanya setengah menggoda.

Keisha membelalak menatap Hadyan. “Geli banget sana turun!” balasnya yang disambut tawa oleh laki-laki itu.

Lalu Hadyan mengangguk dan membuka pintu mobil, hendak keluar. Namun, tiba-tiba saja tangannya ditahan oleh Keisha, sehingga kepalanya kembali tertoleh ke belakang.

“Kenapa?” Hadyan bertanya.

Keisha menunduk dan menggigit bibir bawahnya, sempat ragu. “Gue … nggak suka kalo lo deket sama Karin,” ungkapnya.

Hadyan sempat diam, lalu di detik selanjutnya ia tersenyum hangat. “Aku bakal selalu pilih kamu dari pada siapa pun. Makasih udah bilang kalo kamu nggak suka aku deket sama Karin, aku paham batasnya, nggak usah khawatir.” Tangan besarnya kembali ia daratkan di atas kepala sang gadis. “Aku turun ya? Nanti kamu pulang langsung istirahat aja. Good night, Keisha, and thank you.”

Seharusnya Keisha percaya saja ucapan Grizella dulu. Seharusnya ia biarkan saja hatinya menang di atas berisik suara di dalam kepala kecilnya. Sebab ketika ia pilih suara hatinya yang paling jujur untuk didengar, maka benang-benang masalah di dalam kepalanya juga ikut terurai satu per satu. Benar, hatinya selalu tahu ke mana akan pulang ke mana akan kembali. Dan kembalinya selalu pada Hadyan. Karena setiap matanya terpejam, hanya bayangan laki-laki itu yang tak pernah meninggalkannya.


Pukul enam lebih tiga puluh menit. Langit yang tadinya biru cerah kini sudah menggelap, digantikan oleh semburat ungu kemerahan di ujung langit sana. Awan berjalan beriringan mengikuti arah angin, menemani langkah Keisha menembus tengah kerumunan penonton yang riuh suaranya tidak habis-habis dari pagi tadi.

Pameran seni namanya, sebuah acara tahunan yang rutin diadakan oleh mahasiswa dengan tujuan mengasah kreativitas, sebagai hiburan, dan ajang kompetisi bagi setiap jurusan untuk mengeluarkan jagoan-jagoan mereka sebagai perwakilan di setiap lomba yang diselenggarakan.

Lalu acara itu juga yang membuat Keisha kini terjebak di antara para penonton yang antusiasmenya tidak berkurang sedikit pun. Tadi, tepatnya pukul lima sore, ia sudah memenuhi janjinya untuk menonton Aura yang memang mengikuti lomba tari modern. Namun, setelahnya ia langsung berkata pada Grizella bahwa dirinya akan langsung pulang yang mana hal itu sebenarnya hanya sebuah dusta yang dikarangnya. Nyatanya perempuan itu kini sedang berdiri di tengah kerumunan ribuan manusia dengan napas terengah-engah.

Jika ditanya mengapa ia ikhlas berdesak-desakan di sana sekarang, maka jawabannya sudah jelas. Hadyan. Ya, ia ingin menonton Hadyan tampil bernyanyi malam ini. Dan menghindari Grizella adalah bentuk kehati-hatiannya karena siapa yang tahu mungkin nanti ia akan menangis? Sebab baginya menangis adalah bentuk paling lemah dari emosi manusia, jadi ia tak ingin siapa pun mengenalnya saat ia sedang dalam titik terlemahnya.

Perempuan itu melirik lagi jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Sebentar lagi pukul tujuh dan sebentar lagi kompetisi solo performance akan segera dimulai. Keisha menatap lurus ke depan, ke panggung yang sedang dipersiapkan oleh panitia. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan memikirkan Hadyan akan menyanyi di sana malam ini. Sejujurnya juga ia takut, takut nanti ia malah dibuat semakin jatuh cinta di saat Hadyan-nya mungkin sudah melupakan perasaan cintanya untuk Keisha.

Dan panggung itu kini sudah disorot lampu dari atas, menampilkan sang pembawa acara yang wajahnya masih tampak segar walau sudah seharian berdiri di sana. Sorakan penonton menyusul setelahnya, membuat pengang telinga Keisha. Namun, ia yakin suara jantungnya sekarang jauh lebih berisik dibandingkan riuh suara di sekitarnya. Guna menyalurkan kegugupannya, Keisha meremat ujung tali tasnya.

“Selamat malam teman-teman semua, gimana nih masih semangat nggak yaa?” Suara sang pembawa acara terdengar lantang dan bersemangat. Lantas jawaban darinya dibalas oleh sorakan penonton yang semakin keras.

“Sip, masih pada semangat nih kayaknya. Ya udah tanpa berlama-lama lagi, mari kita mulai kompetisi selanjutnya yang juga akan menjadi kompetisi penutup kita pada hari ini, solo performance!” Riuh kembali terdengar, justru semakin heboh dan bersemangat, “penampilan pertama akan diberikan oleh Jurusan Biologi yang diwakilkan oleh Hadyan Reza! Hadyan ayo maju, Yan!”

Suara Keisha tertahan di tenggorokan, tak mampu ikut menyoraki Hadyan meski itu temannya sendiri. Laki-laki yang sudah ia patahkan hatinya berkali-kali itu kini sudah berjalan ke tengah panggung dengan sorotan lampu terang lalu berdiri di balik stand mic. Hadyan tampak lebih rapi malam ini, rambutnya jelas-jelas sudah ditata sedemikian rupa, lalu ia kenakan kaus hitam favoritnya dan celana jins yang tampak serasi. Jantung Keisha dibuat semakin tak keruan melihatnya, kenapa juga ia baru sadar Hadyan memang setampan itu?

“Mau nyanyi apaan nih, Yan?” Seorang pria yang memang ditugaskan menjadi pembawa acara itu kembali berujar ceria.

Hadyan terkekeh pelan, senyum manisnya bahkan membuat beberapa penonton wanita berteriak girang. “Gue mau nyanyi Those Eyes-nya New West,” jawabnya percaya diri, lalu sorakan langsung kembali heboh.

“Waduh, lagunya buat siapa nih, Yan?” Pertanyakan yang diajukan si pembawa acara berhasil membuat Keisha memasang telinganya lebar-lebar.

Hadyan tak langsung menjawab, laki-laki itu lebih dulu melihat ke arah kerumunan penonton, tampaknya mencari seseorang. “Lagunya buat… seseorang yang gue kangenin banget.”

Bolehkah Keisha merasa orang yang dimaksud Hadyan adalah dirinya? Bolehkah?

“Ada di sini nggak orangnya?” Tampaknya pembawa acara itu terlalu mengulur waktu atau memang mengobrol dengan Hadyan selalu memikat banyak pertanyaan lain yang hadir?

Hadyan mengedikkan bahu. “Gue nggak tahu, tapi semisal ada, gue harap dia dengerin lagunya bener-bener.”

Kalimat dari Hadyan tersebut lantas menjadi penutup akan obrolan singkat kedua pria di atas panggung. Setelahnya seorang panitia membawakan sebuah gitar dan kursi untuk Hadyan duduk yang langsung disusul sorakan para gadis. Keisha sempat mengerutkan kening, apakah Hadyan memang seterkenal itu atau dulu ia memang acuh untuk sekadar memperhatikan Hadyan?

“Gue mulai ya.” Riuh suara itu seiring waktu berkurang dan mulai menonjolkan alunan petikan gitar lembut yang dimainkan oleh Hadyan di atas panggung.

Keisha terkesima. Hadyan bernyanyi di depannya sekarang. Suara laki-laki itu berubah jadi sangat lembut saat bernyanyi, hampir serupa kala lelaki itu bicara padanya dulu. Dan mungkin suara itu akan langsung menempati tempat paling baik di dalam kepala Keisha, lalu suara itu juga yang akan terus menemaninya di setiap tidur malamnya, akan selalu di sana, di ingatannya.

‘Cause all of the small, things that you do Are what remind me why I fell for you And when we’re apart, and I’m missing you I close my eyes and all I see is you And the small things you do…

Tanpa sadar senyum Keisha mekar sempurna. Mulai hari ini lagu berjudul Those Eyes oleh New West akan menjadi lagu favoritnya dan akan ia pasang di radio mobilnya, juga akan ia putar di setiap malam sebelum tertidur.

Lantas sebuah lagu berdurasi hampir empat menit itu usai. Petikan gitar terakhir dari Hadyan langsung dihujani sorakan heboh penonton, bahkan beberapa dari mereka meminta satu lagu lagi, menjadikan Hadyan benar-benar seperti seorang idola.

Seharusnya ingatan itu menjadi ingatan baik di dalam kepala kecil Keisha. Namun, tidak ketika dirinya memutuskan langsung menyingkir dari kerumunan penonton dan berjalan melewati pagar backstage untuk kembali ke mobilnya. Sebab di sana Hadyan sedang bersama seorang perempuan berambut pendek yang hadirnya kerap membuat Keisha geram. Hadyan-nya kini tengah bersama seorang gadis yang disebut-sebut namanya adalah Karin.

Keisha mengutuk kakinya sendiri sebab mengapa juga ia malah berdiri mematung di sana dan terpaksa harus melihat pemandangan menyedihkan itu untuk durasi yang lebih lama. Tangan Keisha mengepal di samping tubuhnya, senyumnya pudar, pun sesuatu di matanya sudah membentuk genangan yang siap turun kapan saja.

Hadyan-nya sedang tersenyum pada perempuan lain.

Hadyan-nya sedang bertukar canda tawa dengan perempuan selain dirinya.

Lalu dengan mudahnya perempuan itu melingkarkan tangannya di lengan Hadyan, membuat setitik air mata Keisha akhirnya mau tidak mau turun juga. Seharusnya ia yang ada di sana seandainya ajakan Hadyan untuk menjadi pacarnya ia sanggupi tempo hari ketika mereka duduk di ayunan. Seharusnya ia yang ada di sana, membawakan Hadyan sebotol air minum, memuji penampilannya luar biasa indah, dan berfoto bersama menggunakan kamera polaroid alih-alih perempuan bernama Karin-lah yang melakukannya. Hati Keisha mungkin sudah habis sekarang sebab rasanya seperti dicabik-cabik.

Lantas ujung manik Hadyan akhirnya menangkap sosok yang sudah dirindukannya sejak berhari-hari lalu. Sosok yang menjadi alasan ia bernyanyi lagu itu di atas panggung. Sosok yang ia pikir bisa langsung hilang dari hatinya ketika ia coba ikhlaskan meski percuma, sebab jangankan hilang dari hatinya, hendak meninggalkan benaknya saja gadis itu tak mau. Keisha masih di sana, masih akan terus di hati Hadyan, menempati singgasana paling tinggi dan paling baik tempatnya.

Hadyan ikut mematung. Ingin menyapa namun rasanya sudah asing. Karin yang masih menggelayuti lengannya pun ia abaikan begitu saja sekarang. Ia tak paham kenapa Keisha-nya berdiri diam di sana, menatapnya tak berkedip namun juga tak menyapa. Apakah ia melihat objek lain selain dirinya? pikirnya. Mungkin jarak keduanya memang cukup jauh sekarang, namun Hadyan yakin cairan bening yang membasahi pipi gadis itu adalah air mata. Ia yakin seratus persen sebab perempuan itu tengah menghapusnya menggunakan lengan sweternya.

Kenapa Keisha menangis? Apakah karena dirinya? Tapi pun iya kenapa juga dirinya membuat Keisha menangis?

“Kei!” Akhirnya Hadyan memanggil juga nama perempuan itu sebab dirinya sudah dibuat kelewat khawatir. Namun, alih-alih Keisha membalas sapaan tersebut, ia justru mempercepat langkah untuk pergi meninggalkan area tersebut, buru-buru menuju mobilnya.

“Keisha! Hey!” Hadyan masih berteriak, ingin mengejar namun pintu keluar terlalu jauh, tak akan sempat.

Karin yang masih setia memeluk lengan laki-laki itu mulai rewel. “Lo manggilin siapa sih?”

Hadyan tak menjawab, matanya masih bergerak ke sana kemari mencari Keisha yang sudah hilang rupanya di balik kerumunan manusia.

“Yan? Yuk pulang anterin gue dong!” Karin berujar lagi walau sejak tadi tak digubris.

Karena wanita di sampingnya terus merengek, Hadyan kini menoleh. “Duh, Rin lo pulang sama Abas aja ya? Gue buru-buru, thanks udah nonton gue hari ini, bye!” pamit Hadyan kepalang khawatir pada Keisha dan pergi meninggalkan Karin yang berdecak sebal.


Keisha sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Air matanya masih menetes deras dan tak tahu kapan akan berhenti. Rasanya terlalu sakit melihat seorang gadis tampaknya sudah berhasil menggantikan posisinya di hati Hadyan. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya, membuatnya tiba-tiba teringat waktu itu ia juga pernah menangis seperti ini ketika Hadyan meminjamkannya payung lipat. Kenapa Hadyan selalu hadir dalam wujud bahagia sekaligus wujud paling menyedihkan untuknya?

Tangis Keisha masih deras, namun sebuah dering telepon menginterupsi sedihnya. Tadinya ingin diabaikan, tapi tampaknya itu adalah panggilan penting sebab sang penelepon sudah mencoba menghubunginya tiga kali. Lalu Keisha terpaksa menoleh ke arah jok di sampingnya, tempat ia meletakkan ponselnya. Dan langsung saja kedua bola matanya membulat melihat sebuah nama yang tertera di sana.

Hadyan-nya menelepon.

Berbagai pikiran kini berkecamuk di dalam kepala kecilnya, berlomba-lomba siapa paling kencang maka yang akan didengar, membuat Keisha merasa pusing dan pengang. Ingin ia angkat panggilan tersebut, namun untuk apa? Untuk bilang bahwa ia sakit hati? Namun, tak diangkat juga ia sudah sangat merindukan laki-laki itu.

“Dengerin apa kata hati lo, Kei.”

Ucapan Grizella yang entah kapan pernah dikatakan padanya tiba-tiba terlintas di benaknya.

Dengerin apa kata hati, batinnya mengulang pernyataan dari Grizella.

Lantas akhirnya ibu jari perempuan itu bergerak menekan tombol hijau di ponselnya. Jika memang ia harus mengikuti kata hatinya sekarang, maka ini yang akan dilakukannya. Bukannya adil? Sebab sejak dulu ia hanya mendengarkan apa yang kepala kecilnya ucapkan alih-alih mendengar apa kata hatinya.

“H-halo?” Suara Keisha yang sedikit serak berujar putus-putus.

“Astaga Keisha lama banget ngangkatnya, lo di mana?” tanya Hadyan dengan deru napas tak beraturan, tampaknya laki-laki itu sudah berlari sangat jauh.

Keisha menggeleng. Air matanya masih menetes, bahkan semakin deras sejak telinganya kembali menangkap suara yang dirindukan itu. “Emang kenapa?” Akhirnya justru pertanyaan yang keluar dari bibirnya.

“Lo di mana?” Hadyan mengulang pertanyaan.

“Lo nggak perlu ta—” Kalimat Keisha terpotong sebab dari dalam mobilnya ia sudah dapat melihat Hadyan yang baru saja berlari menembus kerumunan orang dan berdiri di tengah parkiran.

Keisha menelan ludah sebab laki-laki itu menoleh ke arah mobilnya dan berjalan mendekat. Telanjur dibuat panik, Keisha langsung mematikan panggilan dari Hadyan dan melajukan mobilnya secepat kilat meninggalkan parkiran.

“Maaf, gue belum bisa jadi Keisha yang pemberani hari ini, Yan. Maaf,” ujarnya pelan sambil melirik kaca spion mobilnya, di sana Hadyan sempat berlari mengejarnya meski tentu saja gagal.

Hari ini dua orang itu masih memilih untuk mempertahankan egonya. Masih enggan untuk saling bilang bahwa keduanya tengah rindu. Grizella benar, rasanya akan jadi sangat sakit ketika perasaannya jatuh di waktu yang sudah terlambat. Hadyan-nya bukan miliknya lagi.

Dan sekali lagi, jika jatuh cinta bisa jadi serumit itu, maka Keisha tidak ingin mengenal Hadyan sedalam itu. Ia ingin menjadi Hadyan dan Keisha yang dulu. Ia ingin menjadi Keisha yang bebas menjadi dirinya sendiri di depan Hadyan, ia ingin menjadi Keisha yang bisa bebas mencubit gemas lengan Hadyan kala laki-laki itu terlalu berisik. Ia ingin tertawa lagi bersama Hadyan alih-alih selalu menangis seperti ini.

Keisha ingin Hadyan-nya kembali, pun Hadyan ingin kembali menjadi Hadyan milik Keisha meski kedua harapan itu akan sama-sama mustahil jika keduanya masih enggan jujur bahwa masing-masing hati sudah menemukan rumahnya lebih cepat dari yang mereka perkirakan.