The Only Place I Wanna Be
“Kei!” Hadyan berseru senang tepat ketika kaki Keisha menapak pada lantai teras, tangannya dia rentangkan lebar-lebar, bersiap menyambut gadisnya dengan pelukan hangat.
“Ssssttt … jangan teriak-teriak udah malem,” tukas Keisha cepat sambil melepas alas kaki, tak memedulikan pelukan yang Hadyan tawarkan. Lantas gadis itu berdiri di hadapan kekasihnya, lengkap dengan balutan kardigan merah muda yang sedikit kebesaran di tubuhnya, tapi tetap tampak manis. Rambutnya dia kuncir asal-asalan malam ini, tak sempat menata sebab Hadyan sudah merengek kelaparan sejak tadi.
Hadyan masih bergeming pada posisinya, membiarkan Keisha mengerutkan kening kebingungan. “Yan? Jangan bengong, yuk masak, tadi katanya udah laper banget hampir pingsan?”
Seolah tak mendengar ucapan Keisha, sepasang manik gelap Hadyan belum lepas dari wanita itu. “Kei … super cantik,” katanya, sambil mengacungkan dua jempol ke depan. “Pacarku paling cantik!”
Keisha menatap malas, membuang muka. Hadyan tidak boleh melihat rona merah muda di pipinya yang semakin kentara. “Udah ayo buruan, minggir,” ucapnya sambil mendorong pelan tubuh Hadyan ke samping sebelum melangkah masuk ke dalam rumah laki-laki itu, diikuti Hadyan yang mengekor di belakang.
Tanpa berlama-lama gadis itu segera melangkahkan kaki ke dapur, disambut oleh pemandangan luar biasa yang tidak mengherankan.
Dapurnya sudah berubah jadi kapal pecah.
Panci kotor berserakan di wastafel, tumpahan minyak di lantai, nasi yang mengerak di penggorengan, wadah kosong bekas cup mi instan yang entah bagaimana bisa berakhir di atas kulkas, keset basah oleh tumpahan jus tomat, hingga sarung tangan oven yang ujungnya terbakar hangus.
Hadyan memasang wajah takut-takut di belakang kekasihnya. “I … I tried my best?” katanya dengan suara yang semakin samar di ujung kalimat.
Setelahnya terdengar helaan napas dari Keisha. “Sekarang aku paham kenapa Bunda ngomel terus tiap kamu ke dapur.”
Hadyan memasang cengiran terbaiknya.
“Kamu beresin dapurnya, aku masak. Di-be-re-sin, bukan makin diberantakin, oke?” ujar Keisha lagi dengan sedikit penekanan di kalimatnya.
“Iya siap kapten!” Laki-laki berkaus hitam itu, tanpa disuruh dua kali, sudah pontang-panting sendiri mencari lap basah, membersihkan meja bekas tumpahan kecap.
Tiga puluh menit, acara masak dan bersih-bersih dadakan itu akhirnya selesai. Hadyan sudah duduk di balik meja makan dengan raut wajah tak sabaran melihat Keisha memindahkan nasi goreng dari panci ke piring. Harumnya luar biasa lezat, hampir seperti aroma nasi goreng buatan Bunda. Lantas piring itu digeser oleh Keisha mendekat pada Hadyan sebelum dia mendudukkan diri di bangku untuk yang pertama kalinya setelah setengah jam lalu tiba di rumah laki-laki itu.
Hadyan menatap nasi di piringnya dengan senyum semringah, lantas tangannya bergerak cepat menyambar sepasang sendok dan garpu. “Selamat makan!” Sesuap nasi goreng berhasil masuk ke dalam mulutnya, matanya berbinar, ini lezat persis seperti dugaannya.
“Kei kamu buka restoran aja,” kata Hadyan lagi dengan mulut yang masih penuh.
Keisha terkekeh. “Enak?”
“Banget!” Hadyan mengangkat kepalanya, mengacungkan dua jempol. “Aku kasih lima jempol, satunya pinjem kamu dulu soalnya aku cuma punya empat,” ujarnya lagi yang langsung mengundang tawa Keisha keluar hingga matanya menyipit membentuk bulan setengah lingkar.
“Ya udah habisin, ya.” Gadis itu kembali berdiri dari bangkunya, hendak berjalan ke arah kompor.
“Kamu mau ngapain? Nggak makan juga?”
Tangan Keisha terulur, mengambil piring dari rak. “Ini mau makan,” katanya, lalu dia memindahkan nasi yang belum mengerak dari panci ke piring, mahakarya Hadyan tadi usai mengadakan sesi masak-memasak yang lebih seperti eksperimen percobaan.
“Kok makan yang itu, Kei?!” ujar Hadyan lantang, dia hendak berdiri dari duduknya sebelum akhirnya Keisha memberi isyarat untuk jangan bergerak.
“Udah kamu duduk aja, makan,” peritah Keisha. Lantas gadis itu duduk di hadapan Hadyan, mengambil alat makan, dan menyuapkan nasi goreng (setengah gosong) ke dalam mulutnya.
Hadyan meringis. Pasti rasanya luar biasa hancur, tidak bisa dikunyah, terlalu asin, pedas, asam, pahit…
“J-jangan dipaksa, Kei …” Hadyan segera meraih tisu, memberikannya pada Keisha. Namun, gadis itu masih memasang raut wajah datar seolah nasi goreng Hadyan (yang hampir disiram air karena katanya terlalu kering) adalah makanan sehari-harinya.
Di detik selanjutnya, dahi Keisha mengernyit, kunyahannya semakin pelan, dan dia berhenti menyendok.
“MUNTAHIN AJA!” Hadyan panik, sudah berdiri dari bangkunya, lantas berjalan cepat menghampiri Keisha. “Sumpah, muntahin aja ya sayang ya? Aku masih mau nikah sama kamu, jangan mati dulu….”
Mengabaikan kepanikan Hadyan, Keisha justru tersenyum. Kemudian senyum itu semakin mengembang membentuk tawa kecil hingga akhirnya dia tertawa lebar. “Astaga, Hadyan …”
Hadyan bingung, dia kembali menegakkan tubuh. “Kok malah ketawa? Bisa ditelen nggak?”
Keisha menyeka air di ujung matanya. “Baru kali ini aku ngerasain makanan yang rasanya … banyak.”
“Rasanya banyak?” Hadyan menarik bangku di samping kekasihnya, memutuskan untuk duduk di sana alih-alih kembali ke bangkunya.
Perempuan itu mengangguk setelah menenggak air dalam gelas. “Pertama aku makan rasanya biasa aja, tekstur nasinya normal, cuma sedikit kurang asin.”
“KURANG ASIN? Aku nambahin garem berapa sendok ya tadi, banyak … masih kurang asin?” Hadyan bingung, mencoba mengingat berapa sendok garam dia tambahkan ke dalam masakannya tadi.
Keisha menggeleng. “Dengerin dulu …,” Hadyan langsung memasang telinga, menatap Keisha lekat-lekat seolah gadis itu adalah objek yang amat dia kagumi, atau mungkin benar. “Di awal emang kurang asin, Yan. Tapi pas aku kunyah lagi, tiba-tiba asin banget, terus sedetik selanjutnya pedes. Itu baru satu suapan, lho? Rasanya udah beragam banget.” Keisha melanjutkan ucapannya sebelum senyum itu kembali mengembang.
Hadyan tidak terlalu mendengarkan ucapan kekasihnya. Dia sudah telanjur terbuai oleh cantiknya paras Keisha ketika senyum itu hadir di wajahnya. “Boleh nggak, senyum kayak gitu selamanya?” katanya tanpa sadar.
Tawa Keisha mereda, dia menoleh, balas menatap Hadyan. Kini jarak wajah mereka hanya sejengkal tangan, bayangkan jika ada Rhayyan di sana, boleh jadi salah satunya didorong dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Keisha sejenak menahan napas, mencoba meredam suara jantungnya sendiri meski usahanya percuma, organ kecil setelapak tangannya itu masih berdetak cepat.
Menyadari atmosfer di antara mereka yang semakin canggung, Hadyan memutuskan untuk mundur lebih dulu. “I-iya maksudku cantik, tadi, senyum kamu,” ujarnya, lantas dia menarik kembali piring nasi goreng buatan Keisha, menyuap lagi ke dalam mulutnya. “Kalo nasi goreng kamu ini rasanya enak banget! Mirip bikinan Bunda!” Lelaki itu mencoba mengganti topik, tak ingin membuat Keisha tidak nyaman berada di dekatnya.
Keisha masih bergeming. Dia baru menyadari satu hal, bahwa senyum yang tadi dia tunjukkan adalah senyum tulus yang hanya dapat terbit kalau Hadyan bersamanya. Otaknya lantas berputar, bertanya sudah berapa lama dia tidak tersenyum? Mungkin sebelum mengenal Hadyan. Sebab entah bagaimana laki-laki di sampingnya ini, yang tengah memakan dengan lahap masakannya, dengan mudah bisa membuatnya tersenyum bahkan hanya dengan mengingatnya sebelum tidur. Benar, Hadyan mungkin bisa jadi awan gelap di tengah hari cerahnya, dan terkadang bisa menjadi sinar mentari hangat di tengah gelap badai di dalam kepalanya.
“Yan, I wanna tell you something,” ujar Keisha setengah berbisik, suaranya sedikit serak akibat emosi yang dia tahan-tahan.
Hadyan menoleh, mendengarkan.
“Thank you for being there for me,” ucapannya tercekat sejenak, matanya sedikit berkaca-kaca entah Hadyan menyadarinya atau tidak. “I’m glad I met you.”
Hadyan bingung ingin membalas bagaimana. Dia membisu. Ini adalah kali pertama Keisha mengutarakan isi hatinya dengan cara seperti ini. Hadyan menatap lurus kedua manik gelap milik kekasihnya, lantas menemukan ketulusan di tengah genangan air mata yang mungkin Keisha sedang tahan-tahan agar tak turun. Hadyan paham bagaimana Keisha benci menangis di depan orang lain, lantas dia akan pura-pura tidak menyadarinya. Garpu dan sendok di tangannya lantas dilepas sebelum dia berujar, “Please don’t expect anything from me … aku nggak jago bikin kata-kata romantis,” sambil dia menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, “tapi kayak yang dibilang New West di lagunya … the only place I wanna be is next to you.”
Keisha masih diam mendengarkan hingga di detik kelima dia kembali terkekeh. “You like New West that much, huh?”
“Not as much as I like you,” ujar Hadyan setengah menggoda, dia mulai memasang wajah menyebalkan; menaikkan alis sambil tersenyum miring. Dan yang diperolehnya tak lain dan tak bukan adalah pukulan dari Keisha di lengan.
“Nyebelin mukanya!”
“Hahaha … tapi deg-degan, kan?”
“HADYAN!!” Kali ini bukan pukulan lagi yang diperolehnya, melainkan cubitan di punggung tangan.
“ADUH, IYA SIAP SALAH!”