itsdysa


Pukul sembilan malam. Malam ini kita diajak lagi oleh ketiga remaja itu menuju tempat yang sama. Sebuah kafe kecil dengan kerlap-kerlip lampu yang menyala lembut di tengah gelapnya malam. Kafe di ujung jalan yang akan semakin ramai kala jarum jam menuju tengah malam. Dan untuk yang pertama kalinya kunjungan mereka ke tempat itu tidak bersama dengan Nathan.

Seperti biasanya, Juan akan selalu jadi orang pertama yang tiba kecuali jika hal mendesak datang. Lalu Hadyan menjadi orang kedua, laki-laki itu tadi datang dengan balutan jaket yang Juan yakin sudah dua hari belum dicuci sebab lusuhnya sangat kentara, rambutnya berantakan, dan ia tampak tidak sehat. Sepuluh menit setelah Hadyan duduk di depan Juan, Rhayyan langsung muncul di tengah obrolan mereka yang sedang berlangsung, lalu memilih untuk duduk sendirian di kursi tepat di hadapan Juan dan Hadyan yang duduk berdampingan.

“Gimana kuliah lo? Nilai ujian aman?” Hadyan membuka percakapan lagi sambil mengetuk-ngetukkan rokoknya ke asbak kayu.

Juan, laki-laki yang ditanya lalu mengangkat kepalanya sejenak dan memasang senyum singkat. “Aman. Ya… nggak bagus-bagus banget sih tapi lumayan lah, setidaknya nggak ngulang,” jawabnya lalu mengikuti pergerakan Hadyan mengetuk-ngetukkan rokoknya ke asbak.

Mungkin yang sering dijumpai orang-orang adalah tidak ada satu pun di antara Nathan, Juan, Hadyan, dan Rhayyan yang akan menyalakan batang nikotin itu kala mereka sedang berkumpul bersama. Itu juga adalah kesepakatan antara Juan dan Hadyan bahwa mereka tidak akan merokok di depan Nathan khawatir isapan rokok oleh keduanya akan berakibat buruk bagi kesehatan temannya. Sedangkan Rhayyan, ia memilih untuk tidak menyentuh batang racun itu sama sekali.

Hadyan mengangguk-angguk. “Gue ngulang satu matkul, tapi bukan masalah, lah. Biasanya gue ngulang dua soalnya,” ujarnya enteng sambil memasang senyum miring. Setelahnya ia kembali membuka kotak rokoknya dan mengambil sebatang lagi dari sana.

Juan hanya diam memperhatikan. Sejak tadi ia sudah bisa menangkap sinyal bahwa Hadyan tidak baik-baik saja. Entah sudah rokok keberapa yang dinyalakan olehnya sekarang. Juan ingin bertanya rasanya, bertanya perihal apakah laki-laki itu baik-baik saja atau tidak. Namun, ia tak tahu caranya. Ia takut akan menjadikan suasana semakin runyam. Bukankah beban untuk mereka sudah cukup berat sejak kepergian Nathan yang tiba-tiba?

“Udah berapa batang anjir lu?” Akhirnya hanya itu kalimat yang bisa keluar dari bibir Juan.

Hadyan tak langsung menjawab, ia malah mengedikkan bahu. “Belom juga sebungkus, tenang-tenang,” ujarnya kemudian.

Juan hanya geleng-geleng kepala, mencoba tetap santai walau rasanya khawatir. Ia tak ingin siapa pun temannya jadi sakit lagi.

“Lo lagi ada masalah, kah?” Pertanyaan yang paling Juan takut untuk ajukan akhirnya justru diberikan oleh Rhayyan dengan santai. Laki-laki itu bertanya tanpa dosa bahkan sambil mengetik sesuatu di atas papan ketik laptopnya seolah pertanyaan itu bukan apa-apa.

Hadyan menggeleng. “Nggak ada,” dustanya.

“Pasti Keisha, ‘kan?”

Gerakan tangan Hadyan terhenti. Rokok yang dipegangnya lantas ia letakkan di atas asbak. Rahangnya mengeras. Seharusnya ia tak merasa kesal seperti itu hanya karena sebuah tebakan sederhana yang Rhayyan berikan. Namun, ia sudah menahan semuanya sejak tadi. Beberapa hari ini hidupnya sudah berat. Nilai-nilainya masih belum baik, ia kehilangan Keisha, ia juga kehilangan sahabatnya. Tapi apa yang dilakukan Hadyan? Ia memilih untuk tetap menjadi Hadyan yang periang seolah masalah yang dialaminya bukan apa-apa.

Namun, malam ini mungkin puncaknya. Kepala kecilnya sudah tak sanggup menahan bebannya sendirian. Perihal sejak siang tadi Rhayyan terus menerus mempertanyakan hubungannya dengan Keisha semakin mengusiknya, seolah memaksanya untuk berterus terang kepada teman-temannya jika ia memang benar punya masalah. Lantas ia menggebrak meja dan bangkit dari duduknya, membuat Juan tersentak kaget, pun Rhayyan langsung mendongak, mengangkat kepalanya dari layar laptopnya.

“Lo bisa nggak, berhenti ngomongin Keisha? Keisha Keisha Keisha mulu lo tiap ngomong sama gue. Capek anjing gue capek! Lo tau? Dalam seminggu gue udah kehilangan banyak hal!” Hadyan menjeda amarahnya, napasnya tersengal, matanya merah menahan tangis, bibirnya bergetar, pun urat di dahinya makin tampak. “Dalam seminggu gue kehilangan sahabat gue, nilai-nilai gue jelek, dan gue harus kehilangan Keisha! Lo tau tiap hari gue cuma bisa nangis sendiri? Nggak, ‘kan? Lo nggak tahu kan, Rhay? Capek gue.”

Hening.

Juan belum berani angkat suara, pun otaknya masih memproses semua ucapan Hadyan. Kehilangan Keisha maksudnya apa?

Rhayyan menutup laptopnya. “Gue cuma nanya bangsat! Nggak usah pake emosi.”

“Apa? Hidup lo udah enak, Rhay. Lo yang paling nggak peduli kan sama keadaan sekitar? Lo cuma peduli sama tugas lo, nilai lo, akademis lo. Tebakan gue bener, ‘kan? Lo cuma bisa belajar doang?” Ucapan Hadyan lantas memanggil amarah Rhayyan lebih dalam lagi.

Rhayyan ikut berdiri dan mencengkeram kaus yang Hadyan kenakan tak peduli kini mereka berdua sudah jadi pusat perhatian banyak orang. “Jaga omongan lo kalo lo nggak tahu apa-apa. Dan semua tebakan lo itu salah. Kalo gue adalah yang paling nggak peduli, buat apa gue malem-malem ke rumah lo cuma buat ngecek lo nggak kenapa-napa? Lo sadar nggak apa yang lo omongin? Bagus kalo lo anggep hidup gue adem ayem aja, bagus, berarti selama ini topeng gue udah cukup tebel buat nutupin semua susah gue. Lo tau kenapa gue sudi belajar pagi ke pagi tanpa istirahat? Biaya kuliah mahal, Yan! Biaya kuliah gue mungkin emang lebih murah dari punya lo, tapi itu tetep mahal buat gue, lo ngerti?”

Hadyan bungkam. Pun Juan. Tak ada satu pun di antara mereka berdua yang paham akan kalimat terakhir Rhayyan. Biaya kuliahnya apa seberat itu?

Rhayyan menarik napasnya. Lalu melepas cengkeraman tangannya dari kaus Hadyan dan mendorong temannya sedikit kasar. “Lo semua nggak ada yang tahu kan usaha ibu gue lagi susah?” Ada pantulan sinar sendu dari kedua maniknya. “Nggak, gue yakin lo berdua juga nggak tahu ibu gue punya usaha. Dan lo tau? Adek gue sakit. Adek perempuan gue udah sakit hampir dua tahun dan belom bisa dapet perawatan yang memadai karena gue miskin. Keluarga gue miskin. Dan kalo lo berdua mempertanyakan uang jajan gue dari mana, lo coba pergi ke restoran di sebelah percetakan, gue kerja di sana. Pulang lanjut belajar lagi karena gue nggak mau sia-sia. Nyiapin proposal buat diajuin ke dosen biar gue dapet duit, jadi aslab, kerja apa pun yang gue bisa asal dapet duit, lo pikir gue baik-baik aja? Lo pikir gue mau belajar terus kayak gitu? Engga! Kalo lo capek, gue juga capek, bangsat!”

Rhayyan kembali menatap Hadyan dengan air matanya yang sudah jatuh deras. “Lo bilang hidup gue enak? Iya? Gue yang paling nggak peduli sama keadaan sekitar? Padahal yang paling takut Nathan meninggal itu gue! Gue yang paling takut kehilangan Nathan karena adek gue sakit yang sama kayak Nathan! Lo tau kenapa kemaren gue nggak sanggup meluk Nathan? Lo tau? Gue takut, Yan! Gue takut!” Napas remaja itu tak beraturan, emosi sudah memenuhi dadanya, menghirup napas pun susah. Yakinlah bahwa Rhayyan mungkin bahkan tidak sadar kapan air matanya turun begitu deras sekarang. Semuanya ia tumpahkan.

Lantas Rhayyan langsung memasukkan kembali laptopnya ke dalam tas, meletakkan sejumlah uang untuk membayar minumannya sendiri, dan melesat meninggalkan Juan dan Hadyan yang masih mematung.

“Ju…,” Hadyan, dengan suara yang bergetar, kembali bicara. “Gue makin memperburuk suasana ya? Gue bahkan gagal jadi sahabat buat Rhayyan. Gue juga gagal jadi sahabat Nathan. Gagal juga pertahanin Keisha.” Laki-laki itu kembali terduduk lemas, bersandar pada sandaran bangku. “Hidup gue gagal.”

Juan masih diam, hanya mampu menatap Hadyan lekat-lekat. Ia sayang semua temannya tanpa terkecuali. “Nggak, Yan… lo nggak gagal. Nggak ada yang gagal. Semua emang lagi diajak berjuang di jalan masing-masing. Nggak ada yang gagal, lo cuma lagi nyembuhin luka aja, nggak ada yang gagal atau salah.” Tangan laki-laki itu bergerak menepuk pelan punggung temannya. Setidaknya hanya itu yang mampu dilakukannya sekarang.

Hadyan membuang napas berat. “Gue pulang duluan gapapa?” tanyanya pada Juan. Air mata laki-laki itu sudah keluar rupanya, membuat Juan mau tak mau mengangguk sebab ia paham harus memberi sedikit ruang untuk Hadyan juga.

“Hati-hati, Yan, nyetirnya.”

Lalu Juan ditinggal sendiri di sana. Hanya dengan dua cangkir minuman yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Laki-laki itu menunduk dalam. Ia tak tahu kalau masalah yang dialami teman-temannya ternyata seberat itu. Juan selalu sayang pada teman-temannya tanpa terkecuali. Namun, rasanya hari ini ia jadi satu-satunya yang tampak bodoh. Bodoh berusaha mempersatukan lagi mereka yang hatinya saja belum dibenahi sendiri-sendiri. Bodoh meminta semuanya untuk tenang dan berucap tak apa-apa semua akan baik-baik saja. Bodoh karena membohongi diri sendiri bahwa ia juga rapuh, ia butuh pelukan. Dan kalau Hadyan bilang Hadyan telah gagal menjadi seorang sahabat, maka sepertinya Juan-lah yang paling gagal dari semuanya. Ia gagal memahami situasi, ia gagal memahami teman-temannya, ia bahkan juga gagal memahami dirinya sendiri.

“Nath, tinggal kita berdua. Hadyan sama Rhayyan pulang duluan katanya.” Laki-laki itu bicara pada udara hampa. Setitik air mata lantas jatuh dari pelupuknya.

“Nath, lo salah. Lo salah, gue bukan seseorang yang bisa jagain mereka. Gue bukan Juan yang lo pikir bisa menguatkan mereka kalo gue sendiri aja selemah ini, Nath.” Juan terus meracau sendirian. Menghujani udara hampa yang ia anggap Nathan telah duduk di depannya, menonton semua kekonyolan ini. Menertawakan dirinya yang gagal.

“Nathan, gue minta maaf nggak bisa tepat janji buat jagain mereka. Temen-temen kita. Satu-satunya yang bisa mengeratkan cuma lo, Nath. Lo yang ajak kita buat bareng-bareng, lo yang mempersatukan, dan cuma lo yang bisa. Gue minta maaf, Nath. Gue gagal, bahkan ketika baru kemaren lo pergi tapi gue udah gagal hari ini.” Juan sudah tak peduli sebanyak apa pasang mata yang menatapnya heran sekarang. Seorang remaja pria menangis sendirian setelah teman-temannya ribut besar, bukankah menarik untuk dijadikan berita konyol?

Lalu lagi-lagi angin berembus melewatinya. Ke kanan dan ke kiri, membelai pelan rambut gelap Juan dan mengeringkan air matanya di pipi. Mungkin benar, Nathan akan selalu hadir sebagai angin yang bahkan mampu menghapus air mata teman-temannya meski wujud laki-laki itu sudah tak ada.

Juan terkekeh pelan, menyadari kehadiran Nathan bukan halusinasinya belaka. Ia yakin Nathan masih di sini, menemaninya. Meski sedikit banyak rasa bersalah hinggap di dadanya sebab Nathan pasti melihat semua kejadian itu.

“Makasih, Nath. Nanti gue coba kuatin mereka lagi, temen-temen kita.”

Juan masih menjadi Juan kepercayaan Nathan. Nathan tidak pernah salah. Juan akan selalu jadi seseorang yang mampu mengeratkan ketujuhnya bersama, menggantikannya. Juan masih dan akan selalu menyayangi teman-temannya tanpa terkecuali.

Dan ketujuh warna pelangi sudah kehilangan satu warnanya, juga dua lainnya mulai pudar.


Grizella, wanita yang bibirnya pucat itu seharusnya sudah duduk di sofa apartemennya dengan dandanan rapi menunggu Nathan membawakannya sebuket bunga alih-alih kini kakinya bergerak melewati koridor rumah sakit yang dingin. Pandangnya menunduk, hanya mampu mengikuti langkah cepat Ian di depannya.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Hari yang seharusnya ia sambut dengan bahagia. Hari yang seharusnya dunia sedang megah-megahnya memberikan dia banyak senyuman. Namun, hari ini justru hadiah yang diterimanya adalah hal yang sangat menyakitkan. Nathan, kekasihnya, orang yang paling ia sayang, bahunya, tempat dia bersandar, katanya sudah pergi meninggalkannya. Aneh, bukan? Seingatnya tadi malam ia masih bisa bertukar pesan dengan Nathan, lalu pagi harinya ia dikabarkan sebuah hal yang langsung ia tolak mentah-mentah di otaknya, tak terima.

Tadinya tidak ingin ia percaya sama sekali jika Nathan pergi meninggalkannya. Ia juga bingung kenapa sekarang ia menurut mengikuti Ian menuju ruangan tempat Nathan berada, padahal ia yakin Nathan baik-baik saja. Nathan pasti hanya ingin memberikannya kejutan, pikirnya.

Namun, ternyata semua dugaan di kepalanya adalah salah ketika Ian yang berjalan lebih dulu di depannya menghentikan langkah, membuat dirinya hampir saja menabrak punggung lebar itu. Grizella lalu mengangkat kepalanya, menatap Ian dengan tatapan sendu, juga penuh tanya.

“Bang Ian? Kok berhenti?” tanya Grizella polos, sedangkan laki-laki yang ditanya hanya menoleh ke kanan, menatap pintu kaca yang masih tertutup.

“Nathan… ada di sana, La.” Laki-laki itu menjawab dengan suara parau, matanya bengkak, wajahnya terlihat lelah, bibirnya pun tak kalah pucat dari milik Grizella. Lelaki itu pasti sudah lebih dulu melalui masa-masa sulit tadi malam. “Yuk, ketemu Nathan.” Lantas tangan kanannya meraih gagang pintu untuk dibuka.

Grizella menatap kosong ke dalam ruangan persegi itu. Di sana seseorang tengah berbaring. Ditutupi oleh sehelai kain putih yang membentang dari atas kepala hingga kaki. Tangan Grizella terkepal kuat di samping tubuhnya. Itu pasti bukan Nathan, pikirnya masih ingin menolak mentah-mentah kenyataan meski sudah ditunjukkan jelas di depan kedua bola matanya. Ingin ia melangkahkan kakinya maju, memeriksa apakah benar itu kekasihnya. Namun, nihil, kakinya tak bisa digerakkan, terasa sangat kaku seperti disihir.

“La? Kalo lo nggak kuat nggak apa-apa, kita duduk aja yuk?” Ian tahu ini tak mudah untuk Grizella. Ian tahu perempuan itu merasakan sakit yang luar biasa di dadanya.

Grizella menggeleng pelan. Lantas mulai melangkahkan kakinya patah-patah ke depan, menghampiri seseorang yang katanya adalah kesayangannya. Langkah beratnya lalu berhenti tepat di samping ranjang dan dengan sebuah tarikan napas tangannya ikut bergerak pelan menurunkan kain putih itu dari wajah orang yang tengah berbaring di depannya. Dan seketika napasnya tertahan, pun dadanya terasa seperti dihujam tombak panjang, sakit sekali.

Karena di sana, Nathannya sudah terpejam damai. Bibir laki-laki itu sangat pucat, tubuhnya dingin, dan tak ada lagi senyum hangat yang biasa menyapa Grizella kalau laki-laki itu tiba-tiba muncul di depan pintu apartemennya dengan sekotak martabak keju. Itu benar-benar Nathan. Nathannya kini tengah tertidur lelap sekali, bahkan baru kali ini Grizella melihat laki-laki itu tidur sebegitu nyenyaknya seolah tak ada lagi yang bisa mengganggunya.

Tangisnya sudah sejak tadi pagi ingin ia keluarkan. Namun, alih-alih air mata yang jatuh, sebuah senyum terukir manis di bibir Grizella. Tangan gadis itu lantas terangkat membelai pelan rambut Nathan, mengelusnya penuh kasih sayang.

“Nath…,” masih dengan senyumannya, perempuan itu memanggil lagi nama kekasihnya dengan suara serak. “Nathan, kamu masih bisa denger aku?”

Tak ada lagi Nathan yang akan menjawab pertanyaannya. Laki-laki di depannya hanya diam memejamkan mata.

“Nath? Udah nggak bisa ya? Nggak bisa denger aku?” Pertanyaan darinya masih dijawab hening. “Ya udah, nggak apa-apa… tidur ya, Nathan… tidur yang nyenyak, Ijel sayang Nathan.”

Ian yang ikut berdiri di samping gadis itu hanya mampu menatap langit-langit ruangan, sebisa mungkin menahan tangisnya meski percuma. Karena sekarang setitik air mata sudah jatuh membasahi pipinya. Ia tahu sebanyak apa Nathan menyayangi gadis itu. Ia yang paling tahu sebanyak apa Nathan menyebutkan nama perempuan itu dalam sehari. Hatinya ikut sakit melihat Grizella bahkan belum menangis sejak ia jemput tadi. Iya, perempuan itu belum menangis dan itu justru membuat Ian semakin merasa dadanya seolah ditimpa batu besar. Sesak.

Perempuan itu lantas bergerak mundur usai menutup lagi wajah kekasihnya dengan kain putih. Lalu kakinya melangkah berat keluar ruangan. Ia harus ikhlas. Ia harus mampu melepas Nathan hari ini meski tidak ingin. Ia sedih, namun ia juga senang Nathan-nya tidak sakit lagi.

“Gue ambilin minum ya, sebentar, tunggu di sini.” Ian berpesan pada Grizella yang kini sudah duduk di bangku tepat di depan pintu ruangan itu sebelum akhirnya berlari cepat meninggalkannya.

Grizella masih diam, menunduk. Rasanya baru kemarin ia mengenal Nathan. Rasanya baru kemarin ia berjabat tangan, berkenalan dengan laki-laki yang berhasil menarik perhatiannya di perpustakaan setahun lalu. Rasanya baru kemarin Nathan mengajaknya berkencan, mencium keningnya, memeluknya hangat. Sungguh ia ingin sekali menangis, tapi air matanya tak mau turun.

Di tengah pikirannya yang berkecamuk itu, derap langkah terdengar mendekat dari ujung lorong, membuat Grizella menoleh. Itu teman-temannya. Aura dan Keisha berlari lebih dulu di depan, sedangkan ketiga laki-laki lainnya mengikuti di belakang.

“Zella!” Suara nyaring Keisha terdengar di seluruh lorong yang kemudian hanya dibalas Grizella oleh seulas senyum.

“Lo nggak apa-apa? Udah sarapan? Udah di sini dari tadi?” Itu adalah Keisha lagi yang mengkhawatirkannya. Keisha menggenggam tangan Grizella yang kini sudah terasa dingin, lantas ikut mendudukkan diri di sisi kanan, diikuti Aura yang duduk tepat di sisi kiri Grizella, membuat gadis itu kini diapit dua sahabatnya.

“Gue nggak apa-apa… itu, kalau mau ketemu Nathan… masuk aja,” ujar Grizella pelan pada ketiga laki-laki yang masih mengatur napasnya. Juan menatap Grizella khawatir, tetapi akhirnya langsung mengikuti Hadyan masuk ke dalam ruangan.

Juan, Rhayyan, pun Hadyan kini hanya bisa diam membatu di samping tubuh Nathan. Tidak ada yang bersuara, tidak ada yang menangis, hanya diam berdiri seperti upacara.

“Nathan bakal ngetawain kita kalo diem aja.” Adalah Hadyan yang pertama kali membuka suara. “Nathan… minta dipeluk… sama kita, ‘kan?” Suara laki-laki itu terdengar serak di ujung kalimat. Lantas Hadyan adalah yang pertama bergerak maju, merengkuh erat Nathan karena besok-besok ia sudah tidak bisa lagi melakukannya.

Rhayyan tak sanggup, ia lalu memilih untuk melangkah keluar ruangan. Terlalu menyakitkan di dalam sana. Jangankan memeluk Nathan, melihat wajah temannya yang sudah pucat itu saja ia tak sanggup.

“Ju, sini… peluk Nathan juga…,” hanya Juan yang kini bersedia menemani Hadyan di dalam sana. Laki-laki itu masih diam menatap kosong ke arah Nathan sebelum akhirnya tangan kanannya meraih tangan dingin milik sahabatnya yang sudah tak bernyawa, berjabat tangan untuk yang terakhir kali.

“Nath… inget nggak waktu pertama kali kita ketemu kita salaman kayak gini, terus lo bilang, ‘Gue Nathan, kelas 10 IPA 4, nggak usah takut, matematika gampang kok!’” Juan lalu terkekeh pelan, matanya ikut menyipit seiring senyumnya merekah. “Gue seneng kenal sama lo, Nath. Gue nggak jago matematika tapi masuk jurusan matematika itu ide gila lo dan bodohnya gue ngikutin. Udah sana tidur, nggak usah mikirin kita, lo makan udang aja yang banyak di sana mumpung dibolehin,” ujar Juan lagi, lalu genggaman tangannya ia lepas. Rasanya baru kemarin dia mengenal seorang Nathan, baru kemarin juga Nathan meminta bantuannya. Waktu berlalu sangat cepat dan tanpa ia sadari bahkan rasa sayangnya terhadap Nathan sudah tumbuh sebesar ini.

Dan lagi, Juan harus ikhlas seperti Grizella. Hadyan pun harus ikhlas, mengantar Nathan pergi dengan baik-baik hari ini.

“Yan, udah yuk?” Juan menepuk pelan bahu temannya yang masih belum juga melepas pelukannya dari Nathan.

Hadyan menggeleng. “Nggak mau!” ia merajuk seperti anak kecil yang takut ditinggal orangtuanya pergi bekerja.

“Tuh susternya udah masuk, yuk ke depan, duduk bareng sama temen-temen yang lain.” Juan menarik lengan Hadyan pelan menjauhi Nathan.

“Nathan! Bangun woi udah siang!” Hadyan berseru dengan air mata yang terus bercucuran. “Nath, bangun! Kalo lo tidur sekarang lo nggak bisa liat gue manggung!” Tak peduli suster kini mencoba membungkam mulut Hadyan, laki-laki itu terus berteriak. Pikirnya, mungkin Nathan benar-benar akan bangun kalau diteriaki sekencang-kencangnya.

Lalu akhrinya Juan berhasil membawa Hadyan hendak keluar dari ruangan sebelum tiba-tiba bahu kiri Juan ditabrak oleh seseorang yang berlari kencang memasuki ruangan Nathan.

Itu Rhayyan.

Remaja laki-laki itu langsung memeluk Nathan erat, mengabaikan dua orang suster yang berdiri panik di sebelahnya. “Nath, lo keren! Lo keren! Tenang aja, kita bakal wisuda bareng terus fotonya gue print gue kasih ke lo. Gue janji bakal nyeret Hadyan biar tugas akhirnya kelar barengan sama gue. Gue janji bakal lulus bareng-bareng sama semuanya! Makasih, Nath… udah jadi sahabat gue….” Tangis laki-laki itu pecah. Tak ada yang siap kehilangan Nathan. Tak ada seorang pun yang tidak menyayangi Nathan. Karena Nathan adalah anak baik, anak yang paling baik.


Langit hari ini tidak cerah seperti biasanya. Awan gelap menggulung di atas, mulai menutupi sinar matahari, lantas disusul oleh suara gemuruh. Tanda mau hujan. Tampaknya langit ikut berduka, menemani orang-orang yang hatinya masih penuh luka.

Grizella berjongkok tepat di samping papan bertuliskan nama kekasihnya. Kedua matanya lalu beralih pada gundukan tanah yang sudah diselimuti taburan bunga segar di atasnya. Seharusnya bunga-bunga itu disusun mengisi buket cantik untuk Nathan berikan pada Grizella, bukannya justru ditabur di atas makamnya sendiri hari ini.

Para pelayat sudah pergi sejak lima menit yang lalu, kini hanya menyisakan enam orang remaja yang mungkin masih betah berada di sana, salah satunya adalah Grizella. Gadis dengan balutan pakaian serba hitam itu masih mengelus pelan makam kekasihnya.

“Udah mau hujan, balik yuk?” Suara Juan lebih dulu memecah keheningan. Namun, ajakannya tak disambut oleh teman-temannya.

Rhayyan membuang napas berat. “Iya, yuk pulang, udah gelap langitnya.”

Hadyan ikut mengangguk. “Kei? Aura? Zella? Yuk kita balik.”

Ajakan dari ketiga laki-laki itu kini berhasil membuat Aura melangkah menjauhi makam Nathan. Sedangkan Keisha yang masih berdiri di samping Grizella masih belum tega mengajak temannya itu untuk pergi. Grizella belum juga menangis dan itu membuat ia sedikit khawatir.

“Zel, udah yuk, besok lagi kita kesininya, lo butuh istirahat.” Kali ini Keisha yang bersuara. Tangan perempuan itu menepuk pelan bahu Grizella.

“Kei…,” alih-alih menjawab ajakan Keisha, Grizella justru memanggil nama temannya.

“Iya?”

“Kalo gue pergi… kalo kita pergi… nanti yang nemenin Nathan siapa? Pasti dingin, sendirian, gelap….”

Kelima remaja lainnya ikut mencelos mendengar kalimat Grizella. Luka gadis itu jelas adalah yang paling besar terbuka.

“Sebentar aja, sebentar lagi aja gue di sini, kalian duluan aja,” ujar Grizella sambil melemparkan senyum simpul pada kelima temannya yang hanya bisa berdiri mematung.

“Ya udah, lima menit ya? Kita tunggu di mobil.” Juan membalas sebelum akhirnya melangkah pergi, diikuti teman-temannya yang lain.

Sekarang sudah tidak ada yang mengganggu. Sudah tidak ada orang di sekitar makam Nathan. Hanya menyisakan gadis itu sendiri bersama kekasihnya yang sudah tiada. Tapi bukankah berdua bersama Nathan adalah hal yang paling Grizella sukai di dunia ini? Jadilah ia betah berada di sana. Tersenyum hangat sembari menyusun bunga-bunga di atas gundukan tanah.

“Nath…,” sebuah panggilan kembali keluar dari bibirnya. “Harus hari ini ya?”

Baru hari ini Nathan benar-benar mendiamkannya. Baru kali ini semua panggilan dan ucapan Grizella tak digubris oleh laki-laki itu. Mereka pernah bertengkar beberapa kali, namun baru kali ini gadis itu benar-benar didiamkan seperti bicara pada batu.

“Nath, satu kali lagi aja… aku mau peluk kamu satu kali lagi aja.” Menyusul ucapan Grizella, tiba-tiba saja angin berembus melewatinya, tak terasa dingin, melainkan sedikit hangat. Angin itu juga tak sendiri, kini ikut menghadirkan tetes demi tetes air dari langit. Mungkin Nathan diizinkan hadir lagi sebagai angin yang memeluknya, atau juga sebagai rintik hujan yang turun. Namun gadis itu yakin, Nathan sudah memeluknya detik itu juga.

Senyum Grizella kembali mengembang. “Makasih, Nath… pelukannya. Aku pulang ya? Kamu hati-hati di sana, kalau ada yang jahat bilang aja pacar kamu galak.” Grizella terkekeh pelan.

“Nathaniel Adikara, dua kata paling indah yang pernah aku kenal, makasih ya? Ijel sayang Nathan, aku pamit ya Nath? Tolong mampir ke mimpi aku malam ini ya, Nath? temenin aku tiup lilin di mimpi nanti, I love you Nathan, bubbbyyyee Nathan, jangan kangen ya… sampai ketemu lagi.”

Lalu dengan berat hati, gadis itu berdiri dari posisi jongkoknya. Hujan semakin deras mengguyur, tapi ia tak peduli sebanyak apa air yang akan membasahinya nanti. Hingga di suatu waktu tiba-tiba ia tidak merasakan lagi ada rintik hujan yang mengenai kepalanya. Gadis itu lantas mendongak dan mendapati sebuah payung hitam tengah melindunginya dari hujan. Setelahnya gadis itu menoleh cepat.

“Bang Ian?” Gadis itu sedikit terkejut dengan kehadiran tiba-tiba sepupu kekasihnya itu.

“Udah? Yuk gue anter balik.” Laki-laki itu tersenyum ramah, meski matanya tampak sayu menahan lelah.

Grizella tak punya tenaga lagi untuk menolak, jadilah ia kini mengikuti langkah Ian menuju mobilnya. Di bawah payung hitam, berdua dengan sepupu kekasihnya yang tampaknya adalah laki-laki baik hati. Padahal jauh di sana, Juan juga tengah memegang payung, niatnya ia akan menjemput Grizella untuk diajak pulang. Namun, sepertinya laki-laki itu terlambat. Kini ia hanya dapat memandang dari jauh Ian dan Grizella yang perlahan menjauh, memasuki mobil hitam yang terparkir di sana.

Tak apa, yang penting Grizella sudah aman di tangan orang yang tepat.


Mobil hitam berpenumpang dua orang remaja dengan busana serba hitam itu melaju di jalan raya yang cukup lengang. Ian mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang menerobos hujan yang semakin deras. Tak ada suara yang keluar dari bibir keduanya. Ian memutuskan untuk memfokuskan dirinya ke jalan raya, sedangkan Grizella memilih untuk diam menatap jendela.

Gadis itu lagi-lagi teringat oleh Nathan, laki-laki itu tidak pernah membiarkan Grizella terkena setitikpun air hujan. Nathan selalu menyayanginya sedemikian rupa, melindunginya, menjaganya. Maka kehilangan sosok Nathan berarti ia kehilangan segalanya, kehilangan teman ceritanya, sumber tawanya, kehilangan pelukan hangatnya. Tentu belum lama ia meninggalkan makam Nathan, namun rasanya sudah sangat rindu layaknya telah bertahun-tahun terpisah.

Lantas tanpa terasa mobil Ian sudah berbelok memasuki halaman parkir apartemen Grizella. Di sana, tak jauh dari lobi, Ian memarkirkan mobilnya. Padahal bisa saja Grizella ia turunkan di lobi tanpa harus parkir lebih dulu, namun ada sesuatu yang harus ia sampaikan sebelum gadis itu turun.

“Udah sampe, La.” Suara rendah milik Ian kembali menyapa gendang telinga Grizella. Namun, gadis itu tak juga merespons. “Grizella?” panggil Ian lagi, kali ini disertai oleh tepukan pelan di pundaknya.

Perempuan itu melonjak kaget. “Eh? Iya, kenapa?” Ekspresi wajahnya mengingatkan Ian saat pertama kali dirinya bertemu dengan Grizella. Hari itu ulang tahun Tante Rumi dan sosok Grizella yang tengah kebingungan sambil membawa kue langsung menarik perhatian Ian begitu saja.

Ian lalu terkekeh pelan. “Udah sampe, La.”

Grizella menghadap ke arah depan, mendongak. Benar saja, itu apartemennya. Sudah sampai rupanya.

“M-makasih, Bang Ian. Gue turun ya, permisi.” Tangan Grizella langsung bergerak hendak membuka pintu mobil, namun dengan cepat ditahan oleh lelaki di balik kemudi.

“Sebentar, gue mau nyampein sesuatu.” Laki-laki itu merogoh kantong kemejanya, mengeluarkan sebuah amplop berisi kertas yang dilipat dua. “Ini,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Grizella bingung. Ia tak langsung menerima pemberian amplop tersebut, namun kini justru menatap Ian penuh tanda tanya. “Buat gue?” tanyanya memastikan.

Ian mengangguk. “Dari Nathan.”

Mendengar lagi nama kekasihnya disebutkan, Grizella malah terdiam mematung. Sebagian hatinya ingin langsung menerima kertas tersebut, namun sebagian yang lain justru merasa takut. Segalanya tentang Nathan selalu disambut baik olehnya dan untuk yang pertama kali hari ini, nama kekasihnya justru menimbulkan ketakutan baru di dalam hatinya.

Melihat gadis itu tak juga bergerak, Ian meraih tangan Grizella lembut dan meletakkan kertas tersebut di telapak tangan yang tampak ringkih itu. “Nathan nulis itu tadi malem menjelang pagi, tepat sebelum dia mendadak pingsan. Dia bangun, nulis itu, cuma buat lo. Dibaca baik-baik. Oh iya, sama itu gue udah kirim e-mail ke lo, isinya link gdrive, nanti dibuka ya. Nathan juga udah siapin folder itu buat lo, kebetulan gue nemu di hapenya subuh tadi.”

Grizella tak membalas apa-apa ucapan Ian. Otaknya masih bekerja memproses seluruh informasi yang baru saja ia terima. Sempat bertanya-tanya juga dari mana laki-laki itu tahu emailnya? Tapi ia tak punya tenaga lagi untuk sekadar bertanya hanya karena penasaran. Ia lebih ingin merebahkan dirinya di kasur sekarang, lelah sekali rasanya.

“Hm… iya, makasih ya, Bang Ian. Gue permisi.” Lagi-lagi tangan gadis itu ditahan oleh Ian tepat sebelum pintu dibuka.

“Tunggu, ini, pake payungnya ke lobi.” Sebuah payung lipat diberikan dan langsung disambut uluran tangan oleh Grizella.

Perempuan itu tersenyum manis di balik matanya yang sayu. “Makasih banyak.” Sudah tiga kali kata terima kasih keluar dari bibirnya hari ini.

“Zella!” Panggilan kembali terdengar dari dalam mobil. Grizella yang sudah keluar itu lantas melongokkan kepalanya ke dalam.

Happy birthday.”

Grizella tersenyum lagi. “Terima kasih.” Adalah kata ‘terima kasih’ keempat yang diucapkannya untuk pria yang sama hari ini.


Pukul satu siang. Pintu apartemen itu dibuka oleh pemiliknya. Tubuh Grizella rasanya sudah sangat lelah. Seharian ini tenaga dan emosinya dikuras habis, padahal hari ini ulang tahunnya, seharusnya ia sudah memesan sebuah keik besar dengan krim kocok putih yang melapisinya dengan hiasan stroberi besar. Namun, yang dilakukan gadis itu sekarang adalah memerosotkan tubuhnya bersandar di balik pintu apartemennya. Ia terlalu lelah untuk sekadar melangkah masuk dan duduk di sofa.

Pandangan gadis itu lurus ke depan. Bibirnya pucat, tidak ada senyum di sana. Lalu kedua maniknya berpindah pada sofa apartemennya, di sana Nathan pernah duduk, di sana Nathan pernah memeluknya hangat sambil membawakan martabak kesukaannya. Kemudian seulas senyum berhasil hadir pada wajahnya. Mengingat apa pun tentang Nathan akan jadi kegiatan paling menyenangkan sekaligus menyakitkan baginya mulai hari ini.

Lantas tiba-tiba ia teringat sebuah surat yang Ian berikan padanya di mobil tadi. Sebuah amplop berisi kertas yang dilipat dua. Pesan terakhir dari Nathan. Ia sempat ragu untuk membukanya, keberaniannya baru terkumpul sebagian, namun kedua tangannya yang gemetar seolah tak paham, mereka terus saja bekerja mengambil kertas tersebut dari dalam tas dan membukanya.

Halo Grizella,

Adalah dua kata pertama yang berhasil membuat senyum Grizella mengembang kembali. Sapaan dari Nathan selalu jadi sapaan favoritnya.

aku cuma mau bilang makasih banyak udah jadi pacar Nathan yang selalu sabar, maaf aku belom bisa jadi pacar yang baik ya? semoga nanti kamu ketemu sama yang lebih baik ya, zel..

Grizella menggelengkan kepalanya. Baginya pernyataan itu salah. Nathan selalu bisa jadi pacar yang baik untuknya. Dan ia tak yakin bisa menemukan seseorang yang lebih baik dari laki-laki itu. Inginnya Nathan, hanya Nathan.

grizella, mungkin waktu surat ini sampe di tangan kamu, artinya aku udah ga bisa nemenin kamu ketawa bareng lagi, ga bisa bawain martabak waktu kamu nangis, dan ga bisa jadi pundak buat kamu bersandar lagi. Maaf suratnya aku bikin pagi ini banget, jadinya buru-buru hehe..

Kalimat selanjutnya yang Grizella baca kini berhasil membuat matanya memanas. Hatinya sakit sekali, ia sudah sangat rindu.

I love you zel, makasih buat semuanya ya, semoga kamu bisa ikhlas aku pergi.. maaf ya.. bukan mau aku juga buat ninggalin kamu kayak gini, tapi aku ga punya daya apa-apa buat lawan kuasa Tuhan, zel.. oh iya! happy birthday grizella pacar cantik Nathan yang paling baik hati, sehat selalu, semoga bahagia selalu dateng ke kamu ya, maaf aku ga bisa kasih kamu kado apa-apa.. happy birthday grizella, I will miss you -with love, Nathan

Setitik air mata jatuh tepat di atas kertas tersebut. Lalu disusul oleh butiran air mata lainnya. Pundak gadis itu bergerak naik turun, suara tangisnya mulai terdengar samar-samar. Untuk yang pertama kali hari ini, akhirnya ia bisa menangis. Akhirnya ia bisa mengeluarkan semua rasa sesak yang sudah menyumpal dadanya sejak pagi tadi. Lalu seolah itu tak cukup, kini Grizella membuka ponselnya, dan benar saja sebuah e-mail yang ia duga adalah dari Ian sudah menggantung di paling atas. Ibu jarinya lantas bergerak menekan e-mail tersebut dan masih dengan air mata yang terus berjatuhan dari matanya, ia membuka sebuah link yang ditautkan di sana.

Sebuah folder berjudul “Miss me?” langsung menyambutnya. Di dalamnya sudah terdapat beberapa file rekaman suara yang ia duga adalah rekaman suara Nathan. Di antara rekaman-rekaman yang ditawarkan padanya, ia lalu memilih salah satu dengan judul file “Dengerin ini” dan mulai membesarkan volume ponselnya.

“Halo…”

Sebuah suara yang sudah amat ia rindukan kembali masuk ke dalam telinganya. Semakin membuat air mata turun deras dari pelupuknya. Rekaman itu diawali oleh sebuah sapaan dan dilanjutkan oleh hening sekitar tiga detik sebelum akhirnya suara tawa ringan menyusul.

“Hehe... kenapa nangis, cantiknya Nathan?”

Alih-alih terhibur oleh rekaman itu, tangis Grizella justru lebih kencang.

“Jel, kenapa kamu dengerin rekaman ini? Aku pasti udah nggak bisa sama kamu ya waktu kamu dengerin ini? Karena aku emang bikin semua rekaman ini untuk suatu hari kalau aku nggak berkesempatan lagi buat peluk kamu. Grizella, aku nggak akan kemana-mana. Udah yuk nangisnya, aku lebih suka lihat kamu senyum. Nathannya ijel nggak akan kemana-mana, setiap malem aku janji bakal mampir ke mimpi kamu, nemenin kamu, ya? Yuk ambil tisu, hapus air matanya, terus senyum!”

Seolah tersihir oleh ucapan Nathan dari rekaman tersebut, Grizella mulai mengambil tisu dari dalam tasnya dan ia coba hapus air mata yang terus mengalir dari pipinya meski percuma saja, nyatanya justru air mata itu makin deras turun. Setelahnya sebisa mungkin ia coba untuk memberikan senyum terbaiknya yang selalu Nathan sukai sejak dulu.

“Nah, senyum begitu cantik, 'kan? Ya udah, aku izin matiin rekamannya ya? Nanti putar ulang aja kalau masih kangen, atau buka yang lainnya, ada rekaman aku nyanyi kalau kamu susah tidur nanti dengerin aja hehe... Aku pamit ya, Grizella... Bubbyeee Ijel, i love you always... I miss you.”

Rekaman itu hanya berdurasi 43 detik, namun berhasil membuat perasaan Grizella berkecamuk hebat. Tangisnya pecah. Butiran air mata yang semula turun satu per satu kini mulai berlomba-lomba membasahi pipinya. Isak tangisnya sudah tak terdengar lagi, ia menangis dalam diam, hanya mampu memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak.

“Nath…” suara itu amat serak, juga gemetar. “Harus hari ini ya?” Pertanyaan yang sama seperti yang ia ajukan di makam tadi kembali keluar.

Together list kita belum selesai, Nath… gimana caranya lengkapin semua kalo nggak ada kamunya?”

Hari itu ulang tahunnya. Hari yang seharusnya dunia sedang megah-megahnya memberikan senyuman terbaik. Hari ia bertambah usia. Dan hari di mana ia harus mengikhlaskan laki-laki yang amat dia sayangi.

Lalu gadis itu hanya mampu duduk memeluk lutut di atas lantai apartemennya yang dingin. Menangisi kekasihnya yang sudah pergi selamanya.


Nathan kembali mematikan handphone-nya usai memberi kabar seadanya pada Grizella dan teman-temannya. Ia sudah menduga Grizella akan sebegitu khawatir padanya. Namun, sejujurnya ia sedikit terkejut ketika teman-temannya juga ikut heboh mencarinya seharian ini. Ponsel Nathan seharian hanya dibanjiri oleh chat dari Juan, Grizella, Rhayyan, bahkan Hadyan ikut mengomelinya melalui pesan singkat di ruang chat pribadinya dengan gaya bahasa yang cukup aneh. Hadyan juga, ia tampaknya sedang tidak baik-baik saja.

Laki-laki yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit itu membuang napas gusar. Entah sejak jam berapa tangannya sudah ditanam jarum dan ditempeli oleh kain putih tipis. Nathan hanya memandang perban itu lekat-lekat, lalu beralih pada infus yang perlahan menetes dari atas, mulai mengaliri tubuhnya dengan cairan. Lelah sekali rasanya, padahal ia juga baru bangun satu jam yang lalu, tapi pegalnya seperti sudah dikeroyoki orang satu kampung.

“Udah main hapenya?” Suara yang sedikit berat itu berasal dari laki-laki bernama Ian, sepupu Nathan yang tak bosan-bosan menemani Nathan dalam kondisi apa pun.

Nathan lantas mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ian. Ia lalu kembali memberikan ponselnya pada laki-laki yang tengah duduk di kursi tepat di samping ranjangnya berada untuk kemudian diletakkan di atas meja kecil.

Jarak usia Nathan dan Ian hanya berkisar satu tahun, jadilah sejak kecil mereka sudah terbiasa bersama, bahkan mendaftar di SD yang sama. Dulu, rasanya sangat aneh kalau ada Nathan, namun tidak ada Ian atau sebaliknya. Mereka selalu berdua, saling mengenalkan teman-temannya hingga akrab.

“Lo dari jam berapa, Bang, di sini?” tanya Nathan penasaran, sebab tadi ketika ia membuka mata alih-alih ibunya yang ia lihat justru laki-laki berjaket biru gelap itu yang menyambutnya.

Ian tidak langsung menjawab. Kekhawatiran tercetak jelas di kedua mata sendunya. Baginya Nathan sudah seperti adik laki-laki yang mana ia harus ikut bertanggung jawab menjaganya.

Lalu laki-laki yang lebih tua menjawab, “Sejak lo pingsan di kamar mandi gue udah sama lo, Nath. Udah gue bilang kalo pusing nggak usah berdiri dulu, ini malah ke kamar mandi, cari mati ya lo?” omelnya yang sebenarnya adalah caranya menyampaikan bahwa ia khawatir.

Nathan terkekeh. Sudah biasa ia mendapati omelan seperti itu dari Ian. Dan ia tidak pernah keberatan untuk terus diomeli karena rasanya seperti ia punya orang yang benar-benar menyayanginya, bahkan rela untuk mengkhawatirkannya.

“Nggak usah ketawa. Gimana kepalanya? Masih pusing? Mual?” Ian memajukan duduknya pada Nathan, hendak memeriksa sepupunya yang tampaknya masih tak berdaya melawan rasa sakitnya.

“Udah mendingan kok, mual sedikit tapi nggak apa-apa. Thanks ya, kalo nggak ada Bang Ian mah gue udah dikerubungin kecoak di kamar mandi kali tadi,” gurau Nathan, ia lalu terkekeh lagi sebelum tiba-tiba terbatuk.

Ian menggelengkan kepalanya heran. Bisa-bisanya Nathan masih sempat bercanda ketika tadi dirinya sudah di ambang hidup dan mati? Asal tahu saja tadi betapa terkejutnya Ian ketika menemukan sepupunya tergeletak tak berdaya di lantai kamar mandi dengan bersimbah darah. Rasanya jantungnya seolah berhenti. Namun, yang dikhawatirkan justru bisa-bisanya tertawa seperti ini?

“Nggak sopan, lo nggak tau gue sekaget apa pas nemuin lo di kamar mandi.” Tangan Ian meraih segelas air di atas meja kecil untuk kemudian ia berikan pada Nathan yang masih terbatuk-batuk ringan. “Nih, minum.”

Nathan menegakkan duduknya, dibantu oleh Ian kini ia bisa menyandarkan punggungnya dengan nyaman di atas tumpukan bantal. Segelas air itu berpindah tangan, lalu diteguk isinya oleh Nathan hingga menyisakan setengah. “Tadi gue kira gue udah nggak bisa bangun.” Nathan berujar terus terang, lantas kembali mengoper gelas itu pada Ian.

“Bisa lah bangun. Lo kan ajaib, jatoh dari sepeda sampe masuk selokan aja lo masih bisa pulang dengan cengar-cengir padahal sepeda lo sampe rusak nggak berbentuk.” Ian mengingat lagi kejadian saat mereka masih kanak-kanak. “Tuh bekas jaitan di lutut lo saksinya betapa kuatnya seorang Nathan dengan lutut berdarah masih bisa lari pulang.” Seolah ucapan Ian adalah hal yang paling membahagiakan di dunia ini, Nathan menerimanya dengan senyuman. Namun, tatapannya tidak demikian. Ada sinar sendu dan kerinduan yang terpancar dari kedua manik gelap milik Nathan.

“Bang.” Sebuah panggilan kembali membuat Ian fokus menatap Nathan.

“Apa?”

“Gue tau lo udah bantu gue banyak banget dari dulu, tapi gue mau minta tolong lagi boleh?” Nathan mengajukan permintaan sambil menatap lurus pada Ian. Pikirnya sebelum bundanya kembali masuk ke dalam kamar inapnya, setidaknya ia harus meminta tolong satu hal ini pada sepupu laki-laki yang sudah sangat ia percayai.

“Minta tolong apa?”

“Tolong ambilin kertas sama pulpen.”

Ian mengernyit, bingung. Dalam kondisi seperti ini? Meminta kertas dan pulpen?

“Buat apa sih?” Ian tak langsung menyanggupi permintaan Nathan.

“Mau nulis surat….”

“Surat apaan lo nggak punya harta benda yang harus diwariskan ke anak dan cucu.” Laki-laki yang lebih tua itu menatap malas.

Nathan membuang napas gusar. “Bang, ayolah… surat buat Ijel… gue mau nulis surat buat Ijel,” pintanya sekali lagi, kali ini dengan tampang yang lebih memelas.

Menyerah, akhirnya Ian berdiri dari duduknya. Ia berjalan keluar dari ruangan dan kembali semenit setelahnya dengan sebuah pulpen hitam dan dua buah lembar kertas putih polos.

“Nih,” ujar Ian sambil menyerahkan benda yang diminta itu pada Nathan.

Wajah Nathan tampak lebih cerah meski bibirnya masih pucat. “Asik, thank you, Bang.”

Entah apa yang ditulis oleh Nathan di atas kertas itu, Ian tak ingin ikut campur. Namun, ia tahu sesuatu yang ditulis di atas sana adalah sesuatu yang tulus, sebab Nathan berkali-kali menarik napasnya, tampak ingin menahan tangisnya sendiri. Ian tak ingin mengganggu, lantas ia hanya mengalihkan fokusnya pada ponselnya.

Sekitar sepuluh menit setelahnya, Nathan kembali bersuara. “Bang, ini,” ujarnya sambil menyerahkan kertas yang sudah dilipatnya.

“Hah? Buat gue?”

“Ya bukan. Tadi kan gue bilang mau nulis buat Ijel, gimana sih?” Nathan memasang wajah sebal yang dibuat-buat.

Ian menatap Nathan dan kertas itu bergantian. “Terus kenapa dikasih ke gue?”

“Nitip tolong kasih Ijel.”

Lagi-lagi ia tak tega menolaknya, lantas Ian kembali memajukan dirinya mendekat pada Nathan dan menerima kertas itu. “Ngasihnya kapan?” tanyanya.

“Besok. Besok Grizella ulang tahun.”

“Ya kenapa nggak kasih sendiri?”

“Gue belom selesai ngomong, Bang. Itu, suratnya, tolong kasih Grizella besok seandainya gue nggak bisa ngasih. Just in case gue… kenapa-napa.”

Nathan bicara dengan nada datar seperti biasa, seolah yang diucapkannya itu adalah hal biasa. Namun, bagi Ian itu lebih tampak seperti sebuah… peringatan.

“Suratnya gue simpen sampe besok pagi lo bangun. Nanti kasih sendiri ke Grizella,” ujar Ian pelan sambil memasukkan kertas itu ke dalam saku jaketnya.

Nathan tersenyum ringan, tetapi tatapannya masih sendu. “Kalo besok pagi gue bisa ketemu Grizella ya gue ngomong langsung, Bang. Nggak pake surat itu...,” ia menjeda ucapannya, lalu menarik napas sebelum kembali bicara, “makasih banyak udah bantuin gue dalam segala hal, bahkan banyak belain gue pas dimarahin Bunda.”

Ian lalu sempat bungkam, hanya menatap Nathan penuh kasih sayang.

“Serah lo. Gue mau ke kamar mandi dulu, kalo ada apa-apa pencet aja tuh tombolnya.” Ian beranjak dari duduknya sambil menunjuk sebuah tombol yang menggantung di dekat Nathan, setelahnya ia berjalan ke arah pintu. “Oh iya, katanya Bunda lo—” Belum tuntas Ian bicara, namun ketika dirinya menoleh ke belakang, di sana Nathan sudah kembali tak sadarkan diri dengan hidung yang lagi-lagi mengeluarkan cairan merah.

“NATHAN!” Ian berlari kembali pada sepupunya. Diambil olehnya dua lembar tisu untuk ia seka darah yang belum juga ingin berhenti mengalir. Air mata sudah menggenang di pelupuk Ian, ia tidak ingin kehilangan sepupu tersayangnya sekaligus yang sudah ia anggap adik sendiri. Membayangkan malam-malam tanpa bergurau dengan Nathan di meja makan saja sudah sangat mengerikan baginya.

Lantas dengan tangan gemetar ia meraih tombol yang menggantung itu dan dipencet olehnya beberapa kali. Sedangkan tangan lainnya masih ia gunakan untuk menahan lembaran tisu yang terus basah.

“Nathan gue mohon… bangun, ayo bangun.” Ian masih terus membisikkan kalimat itu di telinga sepupunya, berharap anak laki-laki yang katanya kuat itu bisa segera bangun dan kembali menyapanya dengan senyuman.

Iya, Nathan juga inginnya bangun. Inginnya besok pagi sudah siap pakai baju rapi dan memberikan sebuket bunga untuk Grizella disertai kecupan di dahi, lalu disusul oleh ucapan ulang tahun yang keluar sendiri dari bibirnya. Inginnya begitu. Tapi sepertinya kesempatannya sudah habis. Tuhan juga tidak ingin melihat Nathan sakit lagi, Dia terlalu sayang pada laki-laki itu.

Lantas tanpa sempat berpamitan pada Grizella, wanita kedua yang paling ia sayang setelah bundanya, Nathan sudah diajak pergi. Dijemput dengan baik-baik. Dan tidak sakit lagi.


Manusia adalah makhluk paling sempurna, katanya. Pun manusia menjadi makhluk yang paling sering bimbang. Bukankah hidup sudah memberi kita banyak sekali pilihan? Mulai dari bangun tidur sudah dihadapkan pilihan lebih baik bangun atau lanjut tidur lagi, lalu turun dari kasur lagi-lagi diberi pilihan lebih baik mandi atau makan terlebih dahulu. Adakalanya pilihan-pilihan itu menjadi lebih sulit, memaksa manusia menerka-nerka apa yang sebaiknya mereka pilih, apa yang sebaiknya mereka lakukan. Melawan apa kata hatinya … atau lebih baik menerima apa adanya perasaan itu?

Keisha sudah memikirkannya selama beberapa hari ini.

Jawaban perihal bagaimana cara menerima apa adanya perasaan itu. Juga mengenai jawaban bagaimana caranya menyelesaikan ketakutannya akan masa lalu. Perihal Hadyan yang semakin memenuhi pikirannya akhir-akhir ini, perihal perasaannya yang semakin hari semakin ia bohongi sendiri.

Sesak rasanya. Maka Keisha malam ini memilih untuk pergi keluar dari rumahnya dan duduk di atas sebuah ayunan di taman kompleksnya. Perempuan dengan rambut yang ia kuncir asal-asalan itu mulai menghela napasnya berat. Kalau jatuh cinta ternyata jadi serumit ini maka kalau bisa ia tidak ingin. Kakinya yang menjejak di atas rumput itu didorong-dorong pelan, membuat ayunan yang dinaikinya bergerak perlahan. Meski tak membantu banyak setidaknya angin malam yang berembus melewatinya dapat sedikitnya mengurangi beban pikirannya.

Lalu, tiba-tiba pipi gadis itu merasakan sesuatu yang dingin ditempelkan pada permukaan kulitnya. Terkejut, ia pun menoleh cepat dan menemukan Hadyan sudah berdiri di sampingnya dengan cengirannya seperti biasa. Memegang sebuah es krim yang masih dibungkus di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menenteng plastik putih. Bukankah selalu begitu? Seperti yang sudah-sudah, lelaki itu selalu muncul entah Keisha sedang butuh atau tidak.

“Nih.” Hadyan mengulurkan tangan kanannya, memberikan es krim itu pada gadis yang masih menatapnya sendu. “Ini, buat lo, ambil,” ujarnya lagi kala uluran tangannya tak juga disambut.

Akhirnya Keisha menerima pemberian es krim itu tanpa bicara apa pun. Sedangkan Hadyan sudah ikut duduk di ayunan tepat di sampingnya. Keisha lalu mengikuti gerak-gerik Hadyan yang kini tengah membuka bungkus es krim miliknya sendiri dan mulai memakannya. Sunyi menghampiri mereka berdua. Keisha, pun Hadyan, keduanya hanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, mendongak menatap langit tanpa bintang yang menaungi.

Kehadiran seorang Hadyan bagi Keisha seperti sesuatu yang ajaib sekali. Terbukti entah bagaimana sekarang ia merasa jauh lebih nyaman dan merasa aman. Padahal lelaki itulah satu-satunya alasan ia tak dapat tidur di malam hari, membuat kepalanya pusing, dan tak jarang membuat matanya bengkak karena menangis. Keisha sudah memikirkannya beberapa hari terakhir, haruskah ia jujur pada Hadyan sekarang? Mengenai ketakutan-ketakutannya akan masa lalu, perihal perasaannya, kekhawatirannya, semuanya. Haruskah?

Lalu dengan segenap keberanian ia mulai membuka mulutnya, hendak bicara.

“Yan.” “Kei…”

Keduanya lantas menoleh bersamaan, saling bertatapan. Kenapa juga bisa-bisanya mereka kompak mulai berbicara.

Hadyan terkekeh, “Lo duluan, Kei. Kenapa?” Jika Hadyan yang orang-orang kenal adalah Hadyan yang cerewet, ceria, bicaranya kasar, maka Hadyan di hadapan Keisha adalah seseorang paling pengertian, suaranya lembut, juga tutur katanya mampu menenangkan.

Keisha lantas menggelengkan kepalanya. “Lo aja duluan.”

“Beneran?” Hadyan memastikan, lalu gadis di sampingnya membalas dengan anggukan. Setelahnya Hadyan tak langsung bicara, tanpa menatapnya pun Keisha tahu laki-laki itu sedang menarik napas panjang. Mungkin sesak yang lelaki itu rasakan hampir sama seperti yang dirasakan oleh Keisha.

“Gue boleh jadi pacar lo nggak, Kei? Gue sayang sama lo, sayang banget.” Hadyan berujar tulus, bahkan jika diperhatikan betul-betul matanya sudah mulai berair sekarang. Hadyan selalu setulus itu untuk Keisha, tak pernah berkurang sedikit pun.

Keisha yang mendengar ucapan Hadyan kini hanya dapat diam seribu bahasa. Entah sudah berapa kali laki-laki itu bilang ingin jadi pacarnya. Ia sungguh ingin berbicara sekarang, membalas ucapan Hadyan. Namun kata-katanya tercekat di tenggorokkan, tak mampu dikeluarkan. Ketakutan itu mulai hadir lagi, sejenak membuat jemarinya bergetar dan dingin. Lantas perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya sambil menatap lurus ke depan, mengalihkan kedua maniknya dari Hadyan.

Gelengan kepala dari Keisha sudah cukup menjadi jawaban bagi Hadyan. Laki-laki itu mengangguk paham dan memasang senyum simpul. “Belum bisa ya, Kei? Ya udah nggak apa-apa,” ujarnya pelan, tetapi Keisha masih dapat mendengarnya dengan jelas.

“Kei, dengerin gue deh bentar aja.” Hadyan bicara sambil menatap langit malam yang gelap. Sedangkan Keisha sudah menatapnya lekat, menunggu kalimat selanjutnya dari laki-laki itu. “Soal perasaan cinta, nggak melulu harus berakhir bahagia ternyata.”

Keisha masih terdiam. Mengunci mulutnya rapat. Mendengarkan Hadyan bicara begini membuat hatinya berkecamuk.

“Jatuh cinta menurut gue ibaratnya kayak gue suka hujan. Alias kalo gue suka hujan, harus mau dan siap buat kehujanan, ‘kan? Gue udah mutusin buat jatuhin cinta gue ke lo jadinya gue harus mau dan siap buat patah hati juga kalau belum berhasil.” Hadyan masih bertutur, sedang Keisha hanya mampu menatapnya sendu.

Laki-laki itu lalu menarik napas sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya. “Yang jadi masalah adalah gue udah sering banget kehujanan, Kei. Dan gue rasa ini saatnya gue berhenti buat suka hujan biar gue nggak sakit nantinya.” Keisha mencelos mendengarnya, tapi apa yang bisa diperbuat olehnya? Bukankah Keisha masih jadi gadis penakut? Hanya mampu diam tak menyuarakan isi hatinya.

Hadyan seolah tak memberinya jeda untuk sekadar menghirup oksigen lebih banyak. Laki-laki itu kini menatap lurus ke arah dua bola mata Keisha, menatapnya penuh ketulusan seperti yang sudah-sudah. Lalu ia kembali berujar, “Kei, gue … berhenti ya? Suka sama lo.” Dia, Hadyan, hari ini memutuskan untuk merelakan perasaannya. Ia akhirnya memutuskan untuk melepas perempuannya pergi, tak ingin lagi memaksakan.

Jangan. Jangan berhenti. Gue mohon. Tungguin gue sedikit lagi, sebentar lagi.

Sayang sekali. Semua itu hanya mampu Keisha ucapkan di dalam hatinya. Lalu seolah tak mengerti Keisha sedang menahan seluruh tangisnya, Hadyan kembali melanjutkan kalimatnya. “Gue tau nggak gampang, tapi mulai sekarang kayaknya gue harus mulai bisa lepas lo, Kei, gue nggak mau maksa lagi. Makasih ya? Udah pernah jadi alasan gue senyum di hari buruk gue dan udah jadi alasan gue sedih di hari baik gue … Gue berhenti ya, Kei?”

Tak mendapat respons apa pun dari gadis itu, Hadyan lantas berdiri dari duduknya. Ia tersenyum. “Ya udah, gue mau ngomong itu aja kok, lo tadi mau ngomong apa?”

Bukankah sudah terlambat? Untuk mengucapkan semuanya sekarang? Maka Keisha lagi-lagi memilih untuk menjadi anak penakut. Ia menggelengkan kepalanya sembari menunduk.

Hadyan mengangguk. “Oke, kalo nggak ada yang mau lo sampein, gue balik sekarang ya? Lo juga sana masuk rumah, anginnya makin kenceng, nanti malah sakit.” Ia lalu melangkahkan kakinya hendak pergi dari taman.

Entah apa yang membuat Keisha kini tiba-tiba bangkit dari duduknya. “Yan!”

Hadyan menghentikan langkahnya, lalu kembali menoleh ke belakang.

“Hadyan…” Jangan pergi.

“Gue…” Gue sayang sama lo!

“Minta maaf…” Maaf karena gue terlambat...

Mendengar sebuah permintaan maaf dari Keisha, Hadyan kini tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, nggak perlu minta maaf. Ini perasaan gue, urusan gue, lo nggak perlu bertanggung jawab. Lagian kita masih bisa temenan, ‘kan? Masih bisa ngobrol bareng temen-temen yang lain juga … Gue duluan ya.”

Lantas setelah perginya Hadyan dari taman, perempuan itu kembali terduduk lemas di atas ayunan. Es krim di tangannya, pemberian dari Hadyan, sudah lama cair. Lalu air mata yang sudah menggenang di pelupuknya mulai turun, diikuti gerakan pundaknya yang naik turun akibat isakannya tak kunjung reda.

Untuk yang kedua kalinya gadis itu kembali menyuarakan tangisnya seorang diri. Hanya ditemani oleh es krim pemberian laki-laki yang katanya sudah terlalu banyak kehujanan.


Nathan tidak berkedip. Laki-laki dengan balutan kemeja putih dan dasi berwarna merah gelap itu terduduk kaku di kursi kemudi mobilnya. Kepalanya ia tolehkan ke kiri, menatap lurus seorang perempuan yang sedikit berlari menghampiri mobilnya. Tak lama kemudian pintu mobil bagian depan tepat di sampingnya duduk itu dibuka. Menampilkan sosok gadis manis dengan gaun selutut berwarna senada dasi yang dikenakan Nathan. Seperti yang sudah ia duga, gaun itu terlihat sangat cantik melekat di tubuh ramping Grizella.

“Aduh maaf, Nath, lama ya nunggunya?” Napas gadis itu masih terengah-engah, tampaknya ia sudah berlari cukup jauh. “Nath?” Grizella kembali memanggil kekasihnya sebab tak juga mendapat balasan dari laki-laki itu, melainkan ia hanya ditatap sejak tadi.

Nathan lalu tersadar dari lamunannya. Rambut depannya ia sibak ke belakang sebelum ia usap wajahnya agak kasar. “Hai?” Senyum canggung itu dihadirkan, membuat Grizella langsung tertawa gemas.

“Kamu kenapa sih, Nath?”

Nathan menggeleng pelan. “Capek, ya? Kan tadi aku bilang nggak usah lari, Ijel … aku mau jemput ke atas juga kamu nggak bolehin, padahal aku bisa parkir kok itu masih banyak tempat kosong,” protes Nathan sebab ia tadi menawarkan diri untuk menjemput Grizella di depan pintu apartemennya, alih-alih hanya menunggu di depan lobby, di dalam mobilnya.

“Ih biar cepet, katanya mau ambil kue, ayo jalan,” ujar Grizella sambil dirinya merapikan bagian depan rambutnya yang sempat berantakan tertiup angin saat berlari tadi.

“Baik, nyonya, saya jalan sekarang,” gurau Nathan dan langsung melajukan mobilnya meninggalkan gedung apartemen Grizella.

Jalanan sore menjelang malam itu cukup ramai. Namun, ramainya tak sampai membuat macet kendaraan. Ramai lancar seperti biasanya. Pengeras suara di mobil Nathan sudah dinyalakan sejak lima menit yang lalu, kini mengalunkan lagu “Teman Hidup” oleh Tulus. Grizella yang sejak tadi hanya menatap ke kaca mobil di sisi kirinya akhirnya mulai memberanikan diri untuk menoleh ke arah sebaliknya. Didapati olehnya kekasihnya yang kini masih fokus menyetir. Lalu tiba-tiba saja senyum terukir di wajah gadis itu. Malam ini Nathan tampak lebih rapi dan lebih dewasa dari hari-hari lain. Grizella menebak boleh jadi itu karena kemeja putih dan dasi merah gelap yang dikenakannya ikut berkontribusi.

“Kenapa lihat-lihat?” Kaki Nathan menginjak rem sebab kendaraan di depannya berhenti, lantas ia menoleh pada Grizella yang masih menatapnya lekat-lekat.

Gadis itu juga sempat menyalahkan alunan lagu yang diputar di mobil tersebut sebab mungkin karenanya juga jantungnya kini berdebar dengan tempo yang lebih cepat. Atau karena tadi ia berlari dari kamar ke lobby? Padahal asal tahu saja, sepertinya Grizella perlu diberitahu kalau satu-satunya alasan jantungnya berdebar dan kerumunan kupu-kupu di perutnya mulai naik itu adalah karena Nathan tampak sangat tampan hari ini.

“Jel?” Nathan kembali memfokuskan dirinya ke depan, kembali menginjak pedal gas, melajukan mobilnya.

Grizella menggeleng pelan, lantas ikut menghadap depan. “Nath, aku cocok nggak pake gaun ini?”

Nathan sempat menoleh, menatap sekilas, lalu kembali menghadap ke depan. “Kenapa masih nanya? Jelas cantik, lah,” jawabnya tanpa ragu.

“Beneran nggak?”

“Bener, sayang.”

“Bener, ya?”

“Cantik, Ijel cantik.”

Sesuai niat awal Nathan, yaitu mengambil kue pesanan untuk acara ulang tahun ibunya, kini mobil Nathan sudah berbelok ke sebuah toko kue yang cukup besar. Diparkirkan olehnya mobil miliknya tak jauh dari pintu masuk toko tersebut. Lalu, Nathan turun lebih dulu, disusul oleh Grizella yang keluar dari pintu lainnya.

Bangunan di depan mereka adalah bangunan dua tingkat yang luas. Warna cat pada temboknya gelap serta ditambah sinar lampu berwarna oranye hangat berhasil membuatnya tampak elegan. Di sana juga dapat dilihat meja-meja dan kursi-kursi yang dibariskan rapi di luar ruangan serta beberapa kerumunan anak muda yang sepertinya juga tengah mengadakan acara ulang tahun.

“Wah, keren banget toko kuenya, pasti mahal, ya?” tebak Grizella sambil mengedarkan pandangnya, kini tangannya sudah lebih dulu digenggam oleh Nathan.

Nathan terkekeh pelan. “Nggak, Bunda pesen gratis di sini,” jawabnya.

Langkah kaki keduanya perlahan menaiki tangga kecil sebelum tangan Nathan yang tak digunakan untuk menggenggam tangan kekasihnya ia gunakan untuk membuka pintu kaca besar itu. “Hah? Gratis? Kok bisa?” Grizella takjub.

“Karena…,” belum selesai Nathan melanjutkan kalimatnya, seorang wanita paruh baya mendekatinya dengan seulas senyum. Berbeda dengan Tante Rumi yang sering memakai dress meski di rumahnya sendiri, wanita ini jelas berkebalikan. Rambutnya dicepol ke atas, tubuhnya ramping dengan balutan kaus putih yang serasi dipadukan dengan celana jeans biru gelap. Tampak santai, tetapi tetap rapi. Alis Grizella lalu terangkat sebelah, bingung. “Siapa wanita ini?” batinnya.

“Nah ini dia yang ditungguin dari sore. Apa kabar, Nak?” Wanita itu terdengar ramah. Disusul oleh Nathan yang langsung menyalami tangan wanita tersebut tanpa melepaskan tangan kirinya dari genggaman Grizella.

“Kabar Nathan baik, Tante. Tante apa kabar?” tanya laki-laki itu balik.

Wanita yang ditanya lantas menjawab, “Baik juga. Kalau yang di sebelah kamu ini siapa? Manis sekali … pacarnya ya?”

Nathan tersenyum malu-malu, begitupun Grizella yang ikut tersenyum kikuk. “Iya, Tante, ini pacar saya, Grizella. Ijel, kenalin ini Tante Irma, temennya Bunda sejak SMA.”

Setelah diberitahu, Grizella langsung membentuk mulutnya menyerupai huruf O, lalu menunduk sopan. “Saya Grizella,” ujarnya memperkenalkan diri.

“Waduh, cantik begini pacarnya, pantes kamu nggak mau saya jodohkan sama Kanna. Anak itu berkebalikan sekali dengan Grizella, tipe kamu yang begini ya, Nak?”

Nathan membalas dengan tawa renyah, sedangkan Grizella sudah memicingkan mata, bertanya-tanya perihal siapa itu Kanna. “Ya, gitu deh, Tan.” Laki-laki itu membalas sekenanya.

“Ya udah sini ambil kue buat mama kamu, maaf ya Tante nggak bisa datang, Tante titip salam aja buat Rumi,” tukas wanita bernama Irma itu sebelum ia memanggil karyawannya yang kini berjalan cepat menghampiri ketiganya dengan sekotak besar kue di tangannya. “Nah, ini, bawa hati-hati, ini saya buat sendiri spesial untuk ulang tahun mama kamu.” Kotak kue itu kini berpindah tangan ke Nathan.

“Terima kasih Tante Irma, nanti salamnya Nathan sampein ke Bunda,” balas Nathan sopan sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.


“Kanna siapa?”

Nathan yang masih fokus menyetir akhirnya menoleh singkat pada gadis di sampingnya. “Hm? Kenapa?”

“Kanna siapa?” ulangnya. Padahal saat berangkat tadi senyum Grizella tidak luntur. Namun, rasanya cepat sekali perubahan mood itu terjadi, terlebih informasi dari Irma perihal perempuan bernama Kanna yang katanya ingin dijodohkan dengan Nathan itu masuk ke gendang telinganya. Menciptakan berbagai macam jenis pertanyaan di dalam kepala kecilnya. Dahi Grizella berkerut, tampak kesal, tetapi entah mengapa di mata Nathan terlihat menggemaskan.

Nathan sempat terkekeh. Ia sudah tahu Grizella pasti akan menanyakan hal tersebut sejak nama Kanna keluar dari bibir Irma. “Kanna itu anaknya Tante Irma, Jel.” Nathan sudah menjawab pertanyaan Grizella dengan benar, tetapi bagi kekasihnya informasi itu jelas tidak cukup.

“Terus dijodohin maksudnya apa?” Grizella mulai menatap tajam ke arah Nathan yang masih terus memfokuskan dirinya ke jalanan di depan.

“Iya, waktu SMA apa ya … itu Tante Irma sama Bunda sempet mau jodohin aku sama Kanna. Tapi aku nggak mau, toh Kanna-nya juga udah punya pacar tau. Cemburu ya?” Masih sempat-sempatnya Nathan menggoda kekasihnya yang sudah merengut sebal.

“Kalo aku jawab iya, boleh?” Grizella masih memanyunkan bibirnya. “Boleh.” “Terus?” “Apa?”

Grizella berdeham sebelum lantas menjawab, “Kamu, suka? Eh, maksudnya … pernah suka? Sama Kanna?”

Nathan menggeleng pelan. “Pertanyaan kamu lucu, Jel. Engga, aku nggak pernah suka sama Kanna. Ketemu aja cuma sekali pas aku sama Bunda ke toko kue Tante Irma. Tapi Kanna juga langsung pergi katanya mau pacaran,” jawab Nathan jujur seperti tengah diinterogasi polisi. “Udah, nggak usah khawatir, Nathan cuma punya Ijel, nggak ada yang lain.” Tangan besar itu lalu didaratkan di atas kepala gadisnya.


Mobil Nathan kini berhenti tepat di depan rumahnya. Di sana sudah berjajar mobil-mobil yang terparkir rapi, sudah pasti para tamu undangan mamanya sudah tiba. Pun dari kejauhan Nathan dapat melihat mobil Juan dan Keisha terparkir di sana bersama mobil-mobil lainnya.

“Kamu turun duluan aja, Ijel, aku mau parkir. Sekalian aku nitip kuenya buat dikasih ke Bunda, ya,” pesan Nathan pada gadisnya.

“Oke, aku turun ya.” Grizella lantas membuka pintu mobil itu dan langsung turun dengan sekotak kue di tangan kanannya.

Sepeninggalan mobil Nathan untuk parkir, Grizella menarik napas dalam sambil menatap rumah kekasihnya. Ini bukan kali pertama gadis itu pergi ke sana, bukan juga kali kedua. Biasanya juga ia tidak pernah merasa segugup ini ketika pergi ke rumah Nathan. Namun, sepertinya malam ini berbeda. Apa mungkin karena di sana sedang banyak orang? Atau bisa jadi karena pakaiannya hari ini terasa lebih mencolok dari hari-hari biasanya. Setelah memantapkan hatinya, gadis itu lalu berjalan pelan menuju pintu depan rumah Nathan yang sudah dipenuhi banyak orang.

Ruang tengah rumah tersebut rupanya sudah diubah sedemikian rupa. Sudah disusun rapi di sana piring-piring dan makanan-makanan lezat. Ada lebih banyak orang seumuran ayah dan ibu Nathan dan tentu saja Grizella tidak mengenal mereka semua. Di tengah kesibukannya mengedarkan pandang mencari Tante Rumi, tiba-tiba saja pundak kanannya ditepuk pelan dan sontak membuat Grizella menoleh cepat. Di sampingnya kini sudah berdiri seorang remaja laki-laki yang tak dikenal.

“Grizella, ‘kan?” Laki-laki itu bertanya dengan wajah datarnya. Ia sepertinya lebih tinggi dari Nathan, suaranya juga lebih rendah dari Nathan, tampak baik, tetapi tampak tegas di saat bersamaan. “Halo? Kamu pacar Nathan, ‘kan?” Pertanyaan kembali keluar dari mulut pria itu sebab Grizella tak juga menjawab.

“Eh? Iya, saya Grizella, pacar Nathan. Kamu siapa, ya?” Grizella menjawab ragu-ragu, namun senyumnya tak pudar. Tepatnya ia mencoba untuk lebih ramah walau kebingungan.

“Gue Atharyan, panggil aja Bang Ian, sepupu Nathan. Salam kenal ya.” Kali ini laki-laki itu mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. Mungkin tampak samar, tapi Grizella berhasil menemukan seulas senyum di sana.

Menyambut uluran tangan Ian, Grizella juga membalas, “Salam kenal, Bang Ian.” disertai senyuman. Di dalam kepalanya, ia masih bertanya-tanya bagaimana laki-laki itu mengetahui namanya? Apa Nathan sering bercerita tentangnya pada orang ini?

“Itu kue Tante Rumi, ya? Sini gue bawa ke dapur deh, Nathan gimana sih pacarnya ditinggal sendiri.” Kotak kue itu kini sudah diambil alih, sedangkan Grizella hanya tertawa pelan. “Gue duluan, ya. Coba cari Juan tadi kayaknya di sana sama temen-temen yang lain,” tambahnya sambil menunjuk sofa yang tak jauh dari tempat keduanya berdiri sekarang. Dia juga kenal Juan rupanya.

“Iya, makasih banyak Bang Ian.” Grizella mengangguk sopan.

Ternyata benar saja, di sana teman-temannya tengah berkumpul. Juan, Rhayyan, Aura, dan Keisha kini duduk di sofa sambil berbincang satu sama lain, sedangkan Hadyan memilih untuk berdiri sebab tak ada lagi ruang untuknya duduk.

“Ijel! Itu Ijel!” Aura adalah yang pertama kali menyadari keberadaan Grizella. Setelahnya tatapan dari lima remaja lainnya ikut ditujukan untuk Grizella.

“Halo, kalian udah lama nyampenya?” Grizella kini berdiri tepat di samping Hadyan.

“Udah lumayan lama sih, sekitar setengah jam yang lalu?” Juan menjawab, lantas menenggak segelas sirup merah.

Aura memandang Grizella takjub dari atas sampai bawah. “Zella lo beli gaun di mana? Cantik banget!” pujinya dengan mata berkilauan.

Grizella belum sempat menjawab, tetapi tiba-tiba Nathan sudah berdiri di sampingnya dan berujar, “Gue yang beliin, cantik, ‘kan?” lantas memasang senyum bangga.

“Cantikan Kei.” Hadyan menyela dengan wajah datarnya.

“Cantik semua udahlah, yuk itu mak lo mau tiup lilin, Nath,” tukas Rhayyan sembari menunjuk ke depan, memperlihatkan Rumi yang sudah dikelilingi oleh cukup banyak orang. Di sana kuenya diletakkan di atas meja kecil dengan lilin-lilin tipis yang sudah dinyalakan, tampak indah. Setelahnya, lagu ulang tahun mulai ramai dinyanyikan, membuat ketujuh remaja itu langsung berjalan mendekat pada kerumunan.

Di sana ramai, mungkin juga tidak ada yang menyadari kalau Nathan tampaknya merasa sedikit pusing. Cukup banyak keringat mengalir di dahinya sekarang, kepalanya berdenyut nyeri, tetapi sebisa mungkin ia tahan. Grizella tidak boleh menyadarinya, pun ibunya. Ia tidak ingin merusak acara ini. Ia tak apa-apa, pikirnya. Mungkin hanya kelelahan sebab sejak pagi sudah membantu ini dan itu demi berlangsungnya acara ulang tahun bunda kesayangannya.


Begitu sepasang kaki milik Grizella berpijak pada lantai kantin, netranya langsung ia pasang mengitari seisi tempat tersebut guna mencari dimana kekasihnya, Nathan, dan teman-temannya itu tengah duduk. Baru sekitar satu menit dirinya fokus mencari hingga tiba-tiba saja pundak kanannya ditepuk pelan, sontak membuat dirinya menoleh cepat.

“Aura! Kaget gue, kapan nyampenya?” tanya Grizella sambil mengelus dadanya sendiri sebab jantungnya dipaksa berdetak lebih cepat sekarang.

Gadis yang diajak bicara itu lalu memasang cengirannya. “Hehe … Sorry, Zel, gue baru kok nyampenya.”

“Tadi sama Keisha? Udah pergi anaknya?”

Aura mengangguk ragu sambil menggaruk pelan pelipisnya. “Iya, tadi begitu nganter gue ke sini dia langsung pergi gitu aja, padahal udah gue coba ajak.”

Grizella menghela napas mendengar jawaban Aura. Ia sudah cukup lama mengenal Keisha, pun sudah tahu bagaimana sifat asli gadis itu. Ingatan Grizella sempat diputar ulang sejenak, diajak berkelana menghampiri waktu lampau, ketika dirinya dan Keisha masih duduk di bangku SMA. Anak itu, Keisha, ia adalah anak yang rajin, penuh senyum, ceria, cantik, dan cukup popular pada masanya. Bahkan jika dibandingkan dengan dirinya, Keisha-lah yang sebenarnya lebih banyak bicara, Keisha-lah yang lebih aktif mengajaknya ke sana kemari, Keisha-lah yang membawanya mengenal banyak teman baru. Semua mulai berubah sejak hari itu, ketika laki-laki yang dahulu Keisha sebut-sebut sebagai kesayangannya itu ternyata hanya menjadikannya bahan taruhan dan candaan teman-temannya. Sejak hari itu Keisha berubah jadi lebih pendiam, lebih tertutup akan perasaannya, bahkan lebih dingin pada laki-laki manapun. Mungkin memang benar ada satu alasan lain yang membuatnya semakin tak percaya cinta itu ada. Ayahnya. Ayahnya ikut mematahkan pengertian cinta di hidupnya. Dua laki-laki itulah yang akhirnya menjadikan Keisha mati rasa akan rasa cinta. Ia sudah tak menganggap rasa itu ada di dunia ini.

Grizella menggelengkan kepalanya cepat guna menghapus apa yang ia pikirkan sebelumnya. Semoga saja perkiraannya tidak benar. Sebab Keisha, untuk yang pertama kalinya, tempo hari bilang akan mulai membuka hatinya lagi untuk laki-laki bernama Hadyan. Semoga saja dugaan Grizella tidak benar bahwa mungkin saja jiwa kecil Keisha masih terluka jauh di dalam sana, memaksanya lagi, menariknya kembali kepada perasaan sakit itu. Hingga akhirnya tak berani lagi ia buka untuk orang lain.

“Zel? Lo nggak apa-apa?” Aura mulai khawatir kala mendapati Grizella tiba-tiba saja diam tidak berkutik.

“Eh? Iya, iya gue nggak apa-apa, udah yuk itu Nathan udah dadah-dadah ke kita.” Tangan Aura lantas digenggam oleh temannya dan diajak pergi menghampiri Nathan dan teman-temannya yang lain.

Seperti biasa, meja yang tak jauh dari Warung Oma Nena itu sudah diisi oleh empat remaja laki-laki yang suara tawanya sudah menggema mengisi sebagian ruang. Senyum dari Nathan adalah yang pertama kali menyambut Grizella di sana. Laki-laki yang duduk tepat di sebelah Hadyan itu lantas bergeser sedikit guna memberi tempat untuk kekasihnya.

“Sini, Jel, duduk,” tukas Nathan masih dengan senyum manis yang tidak pernah bosan menjadi kesukaan Grizella.

Tanpa berlama-lama lagi, gadis itu sudah mendudukkan dirinya di samping Nathan, sedangkan Aura memilih untuk duduk di hadapannya, tepat di samping Juan. Mungkin yang lain tidak menyadari, tetapi Hadyan kini sudah celingukan mencari pujaan hatinya yang katanya akan diajak juga.

“Keisha mana?” Pertanyaan utama akhirnya dilontarkan oleh Hadyan.

Grizella menoleh pada si pemberi pertanyaan, lantas menjawab dengan, “Dia katanya ada keperluan dulu jadi balik ke rumah, nanti jam 1 dia ke kampus lagi buat ujian,” yang sebenarnya adalah jawaban setengah bohong. Grizella tentu saja tidak ingin blak-blakan mengatakan bahwa Keisha mungkin saja sebenarnya sedang menghindari Hadyan, bukan?

Hadyan menganggukkan kepalanya. Siapapun juga dapat paham dari sinar sendu yang terpancar dari mata laki-laki itu bahwa Hadyan sudah pasti merasa sedikit kecewa. “Dia … makan siangnya gimana?” Bukannya mengkhawatirkan perasaannya sendiri, laki-laki itu justru bertanya bagaimana Keisha akan makan siang nantinya jika sendirian di rumahnya, sebab ia tahu orang tua Keisha tidak akan ada di rumah siang-siang seperti ini.

“Hm … gue nggak tahu dia gimana makannya, tapi Kei bilang dia bakal makan di rumahnya,” jawab Grizella sesuai dengan apa yang Keisha tuliskan di pesan singkat beberapa menit lalu.

Hadyan menganggukkan lagi kepalanya. Lalu, suasana sempat menjadi hening, padahal biasanya Hadyan-lah yang membuatnya lebih berwarna. Sedikit banyak Juan peka terhadap situasi itu, lantas ia berdiri dan berujar, “Mau makan apa? Gue pesenin. Pesenin ya, bukan bayarin.”

Setelahnya memang benar keenam remaja itu tertawa dan mulai melempar candaan akan ucapan Juan. Namun, di sana, Hadyan hanya memasang senyum simpulnya. Ia menunduk sambil menggulirkan layar ponselnya, mencari nomor telepon Keisha dan langsung mendekatkan benda persegi panjang itu ke telinga. Seperti yang sudah ia duga, panggilannya tidak dijawab oleh gadis itu. Sejujurnya sejak kepulangan mereka berlibur ke Ciater tempo hari, Keisha tampak seperti menghindarinya. Laki-laki itu sudah tak asing lagi dengan perlakuan dingin Keisha terhadapnya, laki-laki itu juga selalu menyiapkan dirinya ketika nanti justru pukulan yang hanya diperolehnya dari perempuan itu. Dan lagi, jika pun boleh memilih, ia akan lebih memilih dipukul dua ratus kali dalam sehari oleh gadis itu dibandingkan diacuhkan seperti ini. Pesan singkatnya tidak dibalas sejak kemarin, teleponnya tidak diangkat, bahkan kalau pergi ke rumahnya pun Keisha tak ingin menemuinya.

Ia salah apa? Pikirnya. Apa ada kata-kata darinya yang tidak berkenan di hati gadis itu? Seingatnya saat di taman hiburan pun Keisha tampak bersenang-senang. Tidak dapat menemukan jawaban akan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya, ia hanya bisa berdo’a bahwa semoga setidaknya Keisha tidak membencinya.


Pukul empat sore dan seluruh mahasiswa sudah berhamburan keluar dari Gedung Biologi. Hadyan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara guna meregangkan punggungnya yang kaku sebab dipaksa duduk dua jam lebih. Ujian hari pertama akhirnya selesai. Di sampingnya, Rhayyan berjalan sambil masih membolak-balikkan buku catatannya dengan serius, mungkin memeriksa jawabannya tadi kalau-kalau ia salah.

“Udah kali, Rhay. Udah selesai juga ujiannya,” ujar Hadyan sambil memiringkan kepala mendekat pada Rhayyan, ikut mengintip buku catatan milik laki-laki itu meski sebenarnya juga ia tak penasaran sama sekali.

“Yeh, penasaran gue. Udah lu duluan aja, Yan. Gue mau ketemu dosen bentar, dipanggil.”

Hadyan kembali menjauhkan wajahnya dari buku catatan Rhayyan, lantas mengambil sebotol air mineral dari tas punggungnya dan menenggaknya sedikit. “Terus lo pulangnya gimana?”

“Ya … gue bawa motor? Udah sana ah ngapain sih lu nanya-nanya, tumben amat.” Dengan alis yang masih menukik serius, Rhayyan memasukkan lagi buku catatannya ke dalam tas. “Udah ya, gue duluan, udah ditungguin Pak Abim,” pamit Rhayyan sebelum langkahnya ia lanjutkan meninggalkan Hadyan yang masih diam di tempat.

“Rhay!” Baru saja Rhayyan jalan tiga langkah menjauhi temannya, suara Hadyan kembali menghiasi gendang telinganya, jadilah ia menoleh dengan tampang malas.

“Apaan?”

“Besok ujian apa?”

“Mikro.”

Hadyan mengangguk. “Bagi catetan.” Lalu cengiran itu kembali ia hadirkan.

Rhayyan menghela napasnya. “Iya, nanti gue email.”

Thanks!” seru Hadyan setengah berteriak sebab Rhayyan sudah jalan lebih dulu meninggalkannya.

Di atas sana, langit sudah tidak berwarna biru seperti tadi siang. Gumpalan awan abu-abu kini menutupi disertai oleh suara gemuruh. Mungkin hujan akan datang sebentar lagi, pikir Hadyan sambil berjalan hendak menuju parkiran Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dan benar saja, tepat ketika kakinya sampai di gedung utama, tiba-tiba saja hujan mengguyur dengan derasnya. Aroma petrikor langsung saja memasuki indra penciumannya tanpa permisi. Namun, ia sempat mengucap syukur sebab aroma itu akhirnya mampu memberi ketenangan terhadap pikirannya yang sejak kemarin gelisah. Laki-laki itu lantas memejamkan matanya sambil menarik napas dalam.

Dan tepat ketika ia kembali membuka kelopak matanya, tak jauh darinya berdiri, berdirilah seorang perempuan yang namanya tak bosan-bosan hadir dalam harapnya. Keisha, remaja berambut panjang itu menengadah menatap langit yang semakin gelap. Hadyan sudah bisa menebak pasti gadis itu lupa membawa payungnya lagi. Mungkin sudah bosan juga semesta menyaksikan bagaimana senyum Hadyan dengan mudahnya kembali mekar meski sudah disakiti berkali-kali, meski sudah dijatuhkan harapannya berkali-kali. Senyumnya kembali hadir di sana. Padahal ia hanya melihat Keisha dari kejauhan, tapi rasanya bahagia sekali.

Mengabaikan rasa takutnya dan mengabaikan juga semua penolakan yang Keisha berikan untuknya sejak lama, laki-laki itu melangkahkan kaki dengan mantap ke arah perempuan yang mungkin masih belum menyadari keberadaan dirinya. Tak butuh waktu lama, kini Hadyan sudah berdiri tepat di samping Keisha tanpa menoleh pada perempuan itu, dirinya malah sengaja mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi apa pun yang ada di sana seolah dirinya sedang dibuat sibuk. Keisha lalu sadar dan menoleh ke sisi kirinya, menemukan pria yang lebih tinggi darinya itu berdiri di sampingnya.

“Hadyan?” Suara itu sudah sejak kemarin dirindukan oleh seorang Hadyan Reza. “Lo ngapain?” Keisha bertanya dengan air muka ragu-ragu.

Laki-laki itu lantas menoleh ke sisi kanannya. “Oh? Ada Keisha? Sorry gue nggak lihat. Gue ini mau pulang, ujiannya baru selesai, lo juga?” Benda elektronik persegi panjang itu kini sudah berakhir masuk ke dalam kantong celana Hadyan sebab tugasnya sebagai pengalih perhatian sudah selesai.

Keisha mengangguk pelan sebagai jawaban akan pertanyaan Hadyan. Wajahnya kembali ia hadapkan ke depan, menolak untuk menatap Hadyan lama-lama sebab mungkin saja hatinya kembali goyah. “Y-ya udah … gue duluan ya.” Kaki kanan perempuan itu melangkah maju, sepatu depannya bahkan sudah terkena tetesan air hujan. Namun, tentu saja Hadyan tak akan membiarkan kesayangannya itu basah kuyup, bukan?

Pergelangan tangan Keisha tiba-tiba saja sudah digenggam oleh Hadyan. “Pulang sama gue … yuk?” ajak laki-laki itu setengah ragu, sebab ia yakin dirinya sudah pasti akan ditolak, tapi semua usaha pantas diperjuangkan, jadilah ia lontarkan ajakannya.

Keisha menatap lurus kedua manik gelap milik Hadyan. Ikut tenggelam dalam obsidian hitam milik lelaki di hadapannya. Di situlah Hadyan sadar akan sesuatu. Ia menyadari sebuah kilat ketakutan pada kedua netra cantik itu. Mata Keisha mulai berkaca-kaca, sebisa mungkin perempuan itu tahan agar air matanya tak jatuh di depan Hadyan, laki-laki yang sialnya sudah berhasil membuatnya kembali merasakan seperti apa rasanya berdebar setelah sekian lama. Namun, mau bagaimana jika lagi-lagi ketakutannya untuk menerima rasa cinta itu kembali menyapanya. Mengingat sakit hati yang ia rasakan di masa lalu sudah mampu membuatnya ingin mundur sebelum ia menjatuhkan terlalu banyak perasaan pada Hadyan.

Tangan Keisha mengepal kuat, lantas ia tarik cepat tangan kirinya dari genggaman Hadyan dengan sedikit kasar. “Gue bisa pulang sendiri. Gue bawa mobil.” Berbeda dengan nada bicaranya yang ketus, suaranya justru gemetar di ujung kalimat. Mendengarnya, Hadyan semakin yakin ada yang tidak beres. Namun, tak bisa juga ia langsung bertanya ada apa, ‘kan?

“Kei …,” suara Hadyan lirih, memanggil nama itu lagi untuk yang kesekian kalinya hari ini. “Oke, gue nggak akan maksa lo buat pulang bareng gue, tapi coba lo liat langitnya, hujannya masih deres gitu,” ada jeda pada kalimat Hadyan, ia masih berusaha menerka-nerka reaksi perempuan di depannya. Keisha masih enggan untuk menatap wajah Hadyan, lantas hanya memunggungi laki-laki itu dan diam di tempat. Namun, jelas kedua tangannya masih mengepal kuat di sisi samping tubuhnya.

Hadyan sempat menghela napas pelan sebelum akhirnya kembali melanjutkan kalimatnya. “… gue nggak akan maksa kalo lo emang mau pulang sendiri, tapi izinin gue anter lo sampe mobil, ya? Gue bawa payung, tapi sayangnya cuma satu. Sepayung berdua nggak apa-apa?”

Demi apa pun jika boleh berteriak sekarang maka Keisha akan berteriak sekencang-kencangnya. Memberi tahu semua makhluk yang ada di Bumi bahwa sebenarnya ia tidak tega memperlakukan Hadyan seperti itu. Sakit sekali hatinya. Ia bersumpah mungkin ujung matanya sudah basah sekarang. Kenapa laki-laki itu tidak menyerah saja? Pikirnya semakin membuat dirinya semakin sulit jika Hadyan terus-terusan memperlakukannya dengan lembut seperti itu. Dan mungkin akan jauh lebih mudah baginya jika lelaki itu menjauh darinya.

“Nggak usah. Mobil gue deket kok parkirnya, payungnya lo pake aja, gue lari sedikit nggak akan sampe kuyup.” Keisha menelan ludahnya, napasnya sudah sangat sesak menahan air mata yang sudah tak sabaran ingin turun dari pelupuknya. “Udah ya, Yan. Gue duluan.”

Dan lagi. Seperti tidak ada kapoknya laki-laki bernama Hadyan Reza. Masa bodoh jika nanti tangannya ditepis kasar. Masa bodoh juga jika ia diteriaki oleh Keisha di sini sekarang. Tangannya kini sudah menggenggam lagi pergelangan tangan gadis itu, menahannya agar tak semakin jauh melangkah dan nanti justru kehujanan.

“Nih, payungnya. Kalo nggak mau gue yang anter lo ke mobil karena harus satu payung berdua, ini payungnya buat lo aja.” Kepalan tangan Keisha dibuka pelan oleh laki-laki itu dan diberikanlah padanya sebuah payung lipat berwarna biru gelap. “Gue parkirnya lebih deket dari mobil lo, mungkin kalo gue larinya sekenceng Naruto nggak akan kebasahan, jadi tenang aja. Kaki gue lebih panjang dari lo, jadi pasti nyampenya lebih cepet. Dipake ya, Kei, payungnya. Lain kali gue janji bawa dua payung biar satu-satu. Gue duluan.”

Lantas Hadyan pergi meninggalkan Keisha yang masih terpaku di tempatnya. Gadis itu lalu bergerak perlahan membuka payung lipat di tangannya dan berjalan di tengah butiran air yang turun dari langit. Dadanya sudah sesak sekali, tapi ia tidak paham kenapa air matanya belum juga mau turun. Tak butuh waktu lama, kini ia sudah berdiri tepat di samping mobilnya. Lalu ditekanlah kunci mobil itu. Lantas ia segera masuk dan duduk di balik kemudi.

Payung itu masih basah. Namun, sepertinya ia tidak peduli. Sebab masih saja ia letakkan benda yang berhasil menyelamatkannya dari hujan itu di pangkuannya. Ditataplah payung biru gelap itu lekat-lekat. Suara Hadyan menyusul setelahnya, kembali terngiang di dalam pikirannya. Kepalanya mulai bekerja menghitung sebanyak apa ia sudah menyakiti Hadyan. Sudah seberapa banyak penolakan yang ia berikan. Teruskan saja, Keisha. Teruskan saja semisal kamu ingin membohongi diri sendiri terlalu lama. Dada Keisha seolah ditekan batu besar, napasnya mulai tersengal. Ia terisak. Lalu isakannya berubah jadi tangis yang terdengar sangat memilukan bagi siapapun yang mendengarnya. Tangannya mengepal kuat di depan dada dan ia pukul-pukul perlahan dengan harapan hal itu mampu meredakan sesaknya. Namun, nihil. Rasanya justru semakin sakit, ditambah senyum Hadyan tiba-tiba terlintas di benaknya.

Lalu gadis itu hanya berakhir di sana. Duduk di jok mobilnya. Di balik kemudinya. Menangis tanpa suara sambil memegang sebuah payung berwarna biru gelap yang dipinjamkan oleh laki-laki yang ratusan kali disakiti olehnya.


Langit yang semula berwarna biru cerah kini mulai gelap. Di atas sana gumpalan awan serupa kapas mulai sulit terlihat, digantikan oleh taburan bintang cantik. Lampu-lampu sudah dinyalakan, menciptakan suasana hangat di taman hiburan itu sekarang. Grizella, perempuan yang masih setia memajang senyum di wajahnya itu terus melangkahkan kaki dengan kekasihnya di sampingnya, menyamakan langkah. Mungkin tanpa gadis itu sadari, di sana sudah ada sepasang mata yang memperhatikannya penuh kasih sayang. Siapa lagi jika bukan Nathan? Laki-laki dengan kamera yang menggantung di lehernya itu belum juga bosan menaruh perhatian pada gadisnya, perasaannya menghangat begitu melihat Grizella kesayangannya tampak senang hari ini. Ternyata benar saja, ide jalan-jalan dari Hadyan sudah menyelamatkan banyak jiwa yang lelah diterkam kewajiban tugas-tugas kuliah.

“Itu Aura!” Grizella berujar ceria, lantas mempercepat langkahnya menghampiri sahabat perempuannya yang entah sudah berapa lama berdiri di dekat wahana besar itu, di sampingnya juga sudah ada Juan dan Rhayyan yang tengah sibuk berbagi sekantong popcorn.

“Ijel!” sapa Aura dengan senyum lebarnya, tangannya ia lamabai-lambaikan ke atas, bermaksud agar Grizella dapat melihatnya dengan jelas.

“Hai! Keisha sama Hadyan belom ke sini?” tanya Grizella sebab kedua maniknya belum juga menangkap kehadiran kedua remaja itu. Lalu Aura hanya menjawab dengan gelengan kepala singkat.

“Bentar lagi mungkin.” Tanpa diminta, Rhayyan ikut menambahkan, masih dengan mulutnya yang dipenuhi oleh makanan. Namun, tak lama setelahnya, sosok laki-laki dan perempuan yang tengah dibahas itu muncul dari keramaian.

“Oy, sorry lama, tadi Keisha ngajak foto bareng.” Hadyan sudah memamerkan cengirannya begitu langkah terakhirnya tepat sampai di samping Nathan.

“Dih? Lo yang ngajak foto, jangan ngarang cerita sendiri.” Keisha tak terima, sebab faktanya dirinya lah yang diajak—tidak, lebih tepatnya dipaksa—untuk mengambil foto dengan Hadyan.

“Sama aja. Udah, yuk, naik itu terakhir baru abis itu kita pulang,” tukas Hadyan sembari menunjuk wahana besar di depannya, disusul acungan jempol dari Nathan dan yang lainnya mengekor langkah Hadyan untuk berbaris di antara orang-orang yang juga hendak menaiki wahana yang sama.

Itu adalah komidi putar. Permainan yang banyak disukai oleh anak-anak dengan tempat duduk yang didesain serupa kuda-kudaan, kereta kuda, dan bentuk menarik lainnya. Juga, siapa yang tidak akan tertarik mencobanya jika pada malam hari lampu oranye itu mulai menyala dan mengalunkan lagu-lagu ringan yang romantis? Benar-benar pilihan yang tepat untuk menikmati suasana menenangkan itu bersama orang-orang tersayang.

Grizella sedikit berkeliling, lalu memutuskan untuk duduk di salah satu kursi serupa kuda yang berpasangan. Nathan mengikuti, kini sudah duduk tepat di samping perempuannya. Entah duduk di mana teman-temannya yang lain sekarang sebab wahana itu terlalu luas dan rasanya lampu-lampu cantik itu sudah berhasil menghipnotis Grizella. Gadis itu bahkan tidak tampak peduli pada kehadiran kekasihnya di sampingnya, ia masih menengadah, masih sibuk menyisir setiap ukiran unik yang mengelilingi wahana itu hingga di menit setelahnya mesin permainan mulai dinyalakan, membuatnya berputar dengan kecepatan pelan.

“Seneng banget ya?” Nathan akhirnya membuka percakapan lebih dulu.

Perempuan yang diajak bicara lantas menoleh. “Eh? Iya hehe, maaf ya aku norak. Jujur belum pernah naik ini.”

Senyum Nathan sudah mekar sempurna, siapa pun juga dapat tahu laki-laki itu sangat menyayangi wanita di depannya lebih dari apapun sebab tatapan tulusnya tak bosan-bosan diberikan. “Aku juga baru pertama kali naik ini,” ujarnya.

“Hm? Bukannya waktu kecil kamu pernah naik ini sama Tante Rumi? Kamu pernah nunjukin fotonya ke aku lho, Nath.” Grizella dibuat bingung. Ia ingat, waktu itu Nathan pernah satu kali menunjukkan foto kecilnya yang tengah duduk di atas kuda buatan seperti ini.

“Aku belum selesai ngomong, Ijel. Maksud aku baru pertama kali naik ini sama kamu.” Rasanya bukan Nathan jika satu hari saja tidak membuat rona merah muda itu kembali hadir di wajah Grizella.

Gadis itu terkekeh pelan. “Kebiasaan.”

Hening kembali menyapa. Suara anak-anak yang juga ikut menikmati putaran wahana itu mulai mendominasi, disusul oleh alunan musik lembut yang menghiasi malam mereka. Senyum Grizella belum juga luntur, sesekali ia tertawa melihat kelakuan anak kecil di depannya yang berkali-kali mondar-mandir duduk di kuda mainan yang berbeda, membuat ayahnya tampak kewalahan. Nathan tak menanggapi, mungkin hanya ikut tersenyum untuk membalas gurauan Grizella. Iya, bibirnya memang tak mengeluarkan sepatah kata pun dari sana, tapi isi kepalanya cenderung banyak sekali. Perihal bagaimana ia bisa menghentikan waktu saat ini juga untuk mengabadikan momennya. Perihal apa tahun-tahun berikutnya ia masih bisa melihat Grizella-nya tersenyum cantik seperti hari ini? Pun perihal perasaannya yang sedikit merasa kasihan karena Grizella harus punya kekasih seperti dirinya yang tidak bisa memberi banyak. Tatapannya mulai sendu, tapi senyumnya belum pudar. Ia ingin selamanya seperti ini. Selamanya. Seumur hidupnya dengan Grizella di sampingnya, pun ia mau seumur hidup gadis itu bisa bersama dengannya pula. Selama yang ia bisa, selama yang semesta berikan padanya, selama waktunya belum habis, selama itu, sangat lama inginnya.

“Nath?” Grizella mulai khawatir sebab kekasihnya sejak tadi tak merespons apa-apa, hanya menatapnya lurus dengan tatapan kosong. “Nathan, kamu nggak apa-apa? Pusing?” Perempuan itu mulai mendekatkan dirinya pada kekasihnya.

“Jangan suka sama aku, Ijel….”

Grizella dengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh laki-lakinya, tapi mungkin ia salah dengar? Atau Nathan mungkin sedang tidak bicara padanya?

“Kamu bilang apa, Nath? Maaf aku nggak denger jelas.” Grizella berujar lembut sambil tersenyum.

“Jangan suka sama aku. Jangan terlalu banyak sukanya, ya? Jangan melebihi aku suka sama kamu. Sesekali coba buat berdiri tanpa aku,” ujar laki-laki itu kembali menjelaskan ucapan sebelumnya.

Mungkin Nathan tidak melihatnya, tetapi Grizella jelas tengah meremat pakaiannya sendiri. Memutuskan untuk tak ambil serius, wanita itu lantas terkekeh pelan. “Ngomong apa sih, Nath? Aku masih di sini lho, masih sama kamu. Kamu juga nih, masih sama aku, di depan aku, bisa aku sentuh, bisa aku peluk. Khawatir sama apa? Hasil check-up kamu kemaren juga bagus, ‘kan? Kamu udah janji sama aku, Nath buat nggak ninggalin aku ka—”

“Aku takut, Ijel.” Ucapan Grizella dipotong begitu saja oleh kekasihnya, membuat perempuan itu lantas bungkam.

“Aku takut… takut nggak bisa lepas kamu, takut terlalu bergantung sama kehadiran kamu, dan paling takut kalo justru kamu yang nggak baik-baik aja waktu nanti aku yang pergi. Aku takut, Ijel. Aku takut.” Entah sejak kapan air mata itu sudah menggenang di pelupuknya, jemarinya mungkin sudah dingin sekarang, sedikit gemetar.

Nathan selalu takut. Namun, bukan takut pada penyakitnya yang perlahan merenggut banyak bahagianya. Ia lebih takut dan mengkhawatirkan orang-orang yang ia tinggal nantinya. Orang-orang tersayangnya. Termasuk Grizella. Mungkin karena penyakitnya juga, akhir-akhir ini perasaannya sering dibuat bingung. Sedikit-sedikit merasa senang, sedikit-sedikit merasa khawatir, nanti tiba-tiba jadi sedih, lalu kembali tenang, tapi tak lama sebab langsung saja monster jahat di dalam kepalanya kembali menyergapnya.

“Nath, sini lihat aku.” Perlahan gadis itu meraih tangan kekasihnya, menyalurkan kehangatan.

Menuruti ucapan Grizella, Nathan lalu mengangkat kepalanya pelan dan menatap lurus kedua manik indah yang entah sudah sejak kapan menjadi kesukaannya.

“Udah berapa banyak, Nath?” Pertanyaan Grizella hanya dibalas raut bingung dari kekasihnya. “Udah berapa banyak bahagia kamu yang diambil? Dulu, Nathan itu laki-laki paling pemberani yang aku kenal, lho? Siapa ya yang waktu itu ngebelain Juan pas diperlakukan nggak adil sama dosen? Waktu itu juga siapa ya yang ikut ngejar maling di jalan? Kamu, Nath. Udah berapa banyak keberanian yang diambil dari kamu? Kenapa harus takut, Nathan … aku masih di sini, masih bisa pegang kamu, coba lihat tangan aku, nih aku elus-elus kamu, nyata lho, kita masih di sini … jangan takut apa pun, Nathan... ya?”

Ucapan Grizella berhasil meloloskan satu tetes air mata milik Nathan. Siapa yang bilang Nathan itu kuat? Siapa juga yang bilang dirinya berani? Sejujurnya ia selalu tampak lemah jika berhadapan dengan Grizella, bukan?

“Manusia itu, Nath… dipertemukan untuk sebuah alasan. Atau mungkin untuk banyak alasan? Dan buat aku, ketemu kamu adalah hadiah, Nath. Nggak usah banyak-banyak kamu kasih ke aku, aku udah merasa ketemu kamu aja itu hadiah, Nath. Juga, di setiap pertemuan selalu ada perpisahannya, ‘kan? Dan itu nggak memandang usia, nggak memandang siap atau engganya… dua-duanya, si kembar pertemuan dan perpisahan itu pasti datengnya tiba-tiba. Siapa yang tahu kalo kamu pergi duluan? Nggak ada, ‘kan? Aku nggak mau bilang ini, tapi siapa tahu aku duluan? Nggak ada yang tahu, jadi tolong … tolong jadi Nathannya Ijel sekali lagi aja, untuk waktu yang lamaaaa banget, ya?”

Nathan tak sanggup berkata apa-apa lagi, hanya saja hatinya merapal satu kalimat berkali-kali.

Tuhan, tolong izinin saya jadi Nathannya Ijel untuk waktu yang sangat lama. Dan di kehidupan lainnya, kehidupan saya yang ke sekian ratus kali pun, tolong jadikan saya Nathannya Ijel untuk waktu yang lama.


Ini merupakan kali pertama bagi ketujuhnya untuk pergi berlibur bersama. Suasana riang yang diciptakan sejak subuh tadi belum juga luntur, masih dengan semangat yang sama, masih dengan tawa yang kian menguar diterpa angin, masih dengan antusiasme yang sama seperti pertama kali mereka berangkat. Juan dan Hadyan sudah merencanakan semua ini, katanya sebagai hadiah untuk Nathan yang kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Sekarang sudah pukul enam sore hari, langit yang tadinya berwarna biru muda cerah kini mulai menggelap sebab sang surya sudah cukup lama menghilang dari pandangan, menyisakan semburat warna oranye hangat di ujung cakrawala. Kicauan burung mulai terdengar saling bersahutan, menemani ketujuh remaja yang kini tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing: Grizella dan Aura yang sibuk membawa bahan-bahan untuk kegiatan bakar-bakar mereka; Hadyan dan Rhayyan yang tengah ribut perkara api unggun tak kunjung mau menyala; Juan yang menata kursi-kursi di halaman belakang villa-nya; Nathan yang tengah meracik bumbu untuk daging panggang mereka; dan Keisha yang akhirnya ikut membantu Juan menata piring-piring di atas meja.

“Nggak gitu caranya Hadyann! Udah lu duduk aja dah sumpah!” Untuk yang kesekian kalinya Rhayyan kembali mengomel sebab Hadyan terus-terusan membuat api yang hampir menyala itu menjadi redup lagi.

“Lah bener tadi lu ngajarin gue begitu,” balas Hadyan mencoba mencari pembelaan terhadap dirinya.

Rhayyan memejamkan mata dan menghela napas panjang sekarang, mencoba menahan rasa kesalnya sebelum akhirnya menyerah, “KEISHA COWOK LU KANDANGIN DULU KEK TOLONGGG!!!” teriaknya.

Keisha, gadis yang dimaksud itu kini berjalan menghampiri Rhayyan yang sudah setengah frustrasi. Ia kemudian melirik sekilas ke arah Hadyan yang masih memasang cengirannya sebelum akhirnya menarik tangan laki-laki itu untuk menjauh dari Rhayyan, membuat Hadyan hanya diam mengikuti, namun telinganya sudah berubah warna menjadi merah muda. Keisha lalu menghentikan langkahnya untuk sekadar berteriak “BUKAN COWOK GUE BTW!” yang dibalas ledekan oleh teman-temannya.

Di samping kehebohan yang terjadi di sana, terdapat sepasang manusia lain yang dengan tenang memanggang daging-daging itu di atas bara api. Grizella yang mendapat tugas untuk mengipas kepulan asap itu hanya menatap lekat kekasihnya yang tengah fokus membalik daging-daging, membuat senyum Nathan tak bisa ia hilangkan begitu saja.

“Kenapa sih liat-liat?” tanya Nathan akhirnya guna memecah keheningan.

Alih-alih langsung menjawab, Grizella justru semakin menyipitkan matanya seiring senyumnya yang melebar itu, “Nggak apa-apa... cuma seneng aja,” jawabnya.

Nathan terkekeh pelan, “Udah nih dari pada ngeliatin aku mulu mendingan tolong pindahin daging-dagingnya ke piring terus bawa ke meja.”

Grizella menegakkan punggungnya dan meletakkan tangan kanannya di ujung alisnya membentuk gerakan hormat, “Siap kapten!”

Mengikuti perintah Nathan, kini Grizella berjalan membawa piring-piring berisi daging yang telah dimasak dengan baik itu mendekat pada teman-temannya yang tengah berkumpul di meja makan yang sengaja mereka letakkan di halaman. Gadis itu kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi tepat di samping Keisha. Tak lama setelahnya, Nathan sudah ikut bergabung bersama keenamnya untuk menikmati hidangan yang disajikan sambil mendengarkan teman-temannya yang sedang bercerita bermacam-macam hal, mulai dari Hadyan yang bercerita bahwa ia pernah melihat hantu di kampus, Juan yang kemarin bertemu lagi dengan mantannya, hingga Aura yang hampir diculik. Beragam kisah yang ditukarkan oleh ketujuhnya berhasil membawa suasana malam ini terasa lebih hangat, jauh lebih hangat dari api unggun yang berhasil Rhayyan nyalakan—seorang diri—hingga rasanya hembusan angin malam ini sudah tak terasa begitu dingin lagi.

“Yuk cepet habisin makannya, abis ini kita pindah ke api unggun!” Hadyan mulai membacakan kegiatan mereka selanjutnya.


Hadyan—remaja itu kini sudah duduk di rerumputan tanpa alas apa pun, menunggu teman-temannya ikut duduk melingkari api unggun. Jemari laki-laki itu sudah bergerak lincah memainkan senar-senar itu, menghasilkan alunan musik yang nyaman didengar oleh setiap pasang telinga.

“Oke, udah kumpul semua yaa... Aura udah dulu dong makannya,” ujar Hadyan ketika mendapati Aura masih sibuk mengunyah jagung bakarnya.

Gadis yang ditegur kemudian menoleh, “Ya udah sih lanjut aja, gue denger kok! Itu Zella juga masih makan kok cuma gue yang diomelin?” balasnya sambil masih mengunyah, membuat teman-teman yang melihatnya merasa gemas.

“Ya, kalo Grizella ga apa-apa.” Hadyan kembali bertutur.

Aura menaikkan sebelah alisnya, “Kok gitu?”

“Soalnya dia nggak jomblo.”

“KURANG AJAR KEI!” teriak Aura tak terima, gadis itu sudah bangkit dari duduknya sekarang, sedangkan Hadyan sudah tertawa puas.

“KOK GUE LAGI SIH?” Keisha ikut kesal karena sejak tadi dirinya selalu diseret-seret perkara tingkah Hadyan.

Grizella masih diam, hanya sesekali menimpali candaan teman-temannya dengan senyuman, pipinya masih penuh oleh makanan, lain dengan pikirannya yang penuh dengan Nathan, membuat maniknya tak juga bisa lepas dari kekasihnya. Laki-laki itu memang benar ada di sampingnya sekarang, tapi entah mengapa rasanya seperti ia kapan saja bisa menguap menghilang dari pandang gadis itu. Membayangkan jika Nathan tidak ada, membayangkan jika laki-laki itu sudah tak bisa bergabung bermain bersama mereka lagi seperti saat ini benar-benar membuat hati gadis itu berdenyut sesak tiba-tiba. Ia kesal. Ia tak suka jika pikirannya yang demikian harus selalu muncul saat ia bersama Nathan. Pikirannya selalu saja tak membiarkan gadis itu tenang menikmati waktunya dengan sang kekasih. Tanpa terasa, satu air mata mulai jatuh membasahi pipinya, rahangnya berhenti bergerak mengunyah, ia bungkam.

Hadyan yang pertama kali menyadari Grizella mulai menangis itu akhirnya melontarkan pertanyaan guna memastikan, “Lho? Zel? Lo nangis?” yang akhirnya membuat seluruh pasang mata sontak menatap Grizella.

Grizella lantas tersadar dari lamunannya, ia kemudian mengusap-usap wajahnya dengan tangan kirinya, hendak menghapus air matanya sebelum tiba-tiba saja tangan yang lebih besar itu menahan gerakannya. Nathan, laki-laki itu kini sudah menahan tangan kiri Grizella, menggenggam pergelangannya lembut, membuat gadis itu seketika menahan napas.

“Jangan digosok, Jel, tangan kamu ada saosnya, nanti panas,” ujar Nathan yang di detik setelahnya sudah mengambil beberapa lembar tisu yang sengaja ia bawa tadi untuk kemudian ia gunakan untuk membersihkan sisa air mata yang membasahi wajah gadisnya. “Kenapa nangis, hm?”

Pertanyaan dari Nathan justru berhasil membuat butir-butir air mata lainnya kembali turun dari maniknya, membuat laki-laki itu sedikit panik karena Grizella sudah menangis sejadi-jadinya sekarang. Lelaki itu lalu dengan cepat membawa gadisnya ke dalam pelukannya, merengkuhnya hangat dengan usapan pelan di punggungnya. “It’s okay i’m here, aku di sini, nggak ke mana-mana,” ujar Nathan seolah sudah tahu segala kekhawatiran yang Grizella pendam akhir-akhir ini.

Teman-temannya hanya diam memperhatikan, tidak ingin mengusik waktu yang dimiliki keduanya, setidaknya untuk saat ini. Bahkan Hadyan sudah menghentikan petikan gitarnya dan hanya menyisakan suara jangkrik yang entah dari mana datangnya.

“Ekhem,” deham Hadyan setelah hampir beberapa menit hening menyapa mereka. “Sorry, eh nggak apa maksudnya kalo lu berdua masih mau pelukan, cuma ini gue izin lanjut ke kegiatan selanjutnya ga pa-pa ya?” ujarnya lagi.

“Lanjut aja, Yan,” jawab Nathan.

“Oke... jadi gue udah nyiapin undian,” tukas Hadyan sambil mengeluarkan plastik berisi beberapa gulungan kertas di dalamnya.

Doorprize kulkas ya?” celetuk Aura.

Hadyan menatap datar, “Ya kalo hadiahnya begituan sih gue udah mendadak miskin.”

“Kan udah miskin, mau semiskin apa lagi?” Rhayyan ikut menimpali.

“Lu pada serius dulu napa anjir!” Hadyan mulai kehilangan kesabaran, sedangkan Juan yang duduk di sampingnya hanya tertawa sambil meraih gitar yang sedari tadi berada di pangkuan Hadyan.

“Permainan kali ini judulnya ‘Api Unggun Kejujuran’. Nah jadi satu orang ambil satu kertas acak, nanti kalian bikin pertanyaan apa aja terserah buat orang yang namanya tertulis di kertas kalian, oke?” lanjut Hadyan menjelaskan permainan yang dibuat sendiri olehnya, katanya demi mempererat persahabatan meski sebenarnya niat awal dia adalah jika beruntung maka ia akan menawari Keisha untuk jadi pacarnya saja. Semuanya kemudian mengangguk setuju, termasuk Grizella yang baru saja menyudahi tangisnya.

“Oke, ini gue ambil satu kertas terus oper-oper ya.” Mengikuti arahan Hadyan, kini semua orang mulai mengoper plastik berisi gulungan-gulungan kertas tersebut, mengambil satu, dan kembali mengoper.

“Sekarang, buka kertasnya! Terus mulai dari gue, satu-satu nanti kasih pertanyaan ya.” Ucapan Hadyan kembali dibalas anggukan oleh teman-temannya. Laki-laki itu lantas membuka gulungan kertas yang ada di tangannya, “gue...” senyum Hadyan sempat pudar beberapa detik sebelum akhirnya ia melanjutkan, “mau nanya ke Juan.”

Juan yang mengetahui sumber kekecewaan Hadyan adalah karena bukan nama Keisha yang tertulis di kertas laki-laki itu kini hanya melepas tawanya ke udara, “Mau tanya apaan?” ujarnya di sela tawa.

“Aduh gue nggak nyiapin pertanyaan buat lo... ini aja deh, lo masih sayang nggak sama mantan lo yang katanya selingkuh itu? Soalnya gue liat-liat lu nggak juga mau mulai pacaran lagi.” Pertanyaan pertama sudah berhasil Hadyan lontarkan, kini hanya disambut oleh bungkaman Juan, laki-laki yang ditanya itu justru menundukkan wajahnya, menyembunyikan senyum getirnya.

“Masih,” ujar Juan pelan sebagai jawaban, sedangkan teman-temannya sudah memasang telinga, siap mendengarkan lanjutan jawaban darinya.

“Iya, gue masih sayang, gue nggak bisa bohong. Tapi gue juga nggak mau balik lagi, udah telanjur kecewa, tapi belum bisa kalau tiba-tiba nggak sayang... gimana ya?” jelas Juan lagi.

“Udah mau dua tahun, Ju, namanya bukan tiba-tiba lagi, tapi emang lo nya yang nggak mau ikhlas,” timpal Rhayyan.

Juan tersenyum miring, hatinya membenarkan ucapan Rhayyan, tapi otaknya justru menyayangkan. Iya, kenapa ia tidak bisa ikhlas? Kenapa ia tidak bisa pindah hati? Padahal wanita yang ia selalu ucap namanya di setiap do’a itu sudah menyakitinya sebegitu dalamnya.

“Iya... do’ain biar gue bisa cepet ikhlas ya?” balas Juan.

“Semangat, Ju!” teriak Aura yang pertama kali mengangkat tangan kanannya mengepal di udara guna memberi dukungan untuk temannya itu dan diikuti oleh teman-temannya yang lain.

“Semangat Juan, lo berhak dapet yang lebih baik!” “Semangat Ju!” “Juan lo kerenn!” “Semangat bro.”

Senyum Juan kini sudah kembali terukir, “Thanks.”

“Oke, sekarang gantian Juan mau nanya ke siapa?” Hadyan kembali menjadi pembawa acara dadakan.

Juan melirik kertasnya, “Aura.”

Gadis yang namanya dipanggil itu sekarang sudah menegakkan duduknya, “Ya!” teriaknya bersemangat.

Juan terkekeh pelan sebelum melontarkan pertanyaannya, “Gue mau nanya, kenapa chat gue kemaren nggak dibales?” tanya Juan dan dihadiahi sorakan-sorakan oleh teman-temannya.

“Parahh Auraa.” “Kenapa tuh, Ra?” “Nge-chat apaan emang, Ra?”

Aura terlihat panik, tampak dari tatapannya yang sengaja ia alihkan dari manik Juan, pun kini ia mulai menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, “Itu... itu karena chat lo aneh!” jawabnya.

“Apaan? Nggak aneh kok?” “Aneh! Lu ngapain nanya gue suka nonton film apa, hah?” “Ya karena dari semua manusia aneh di sini tuh cuma lo yang hobinya nonton, jadi gue mau minta rekomendasi netflix,” jawab Juan santai.

Aura menunduk malu, “Gue kira lo mau ngajak nonton....”

Hening. Sepertinya semua tampak terkejut oleh jawaban Aura yang tak terduga, namun tiba-tiba Rhayyan bangkit dari duduknya dan meremas rambutnya sendiri, “Kenapa cuma gue yang nggak punya cewekk!!!! KENAPAAAAA?” teriaknya tak terima.

“Salah sendiri, Rhay. Makanya cewek yang di-chat jangan cuma ibu dosen aja, khawatir beneran jadian,” celetuk Hadyan yang langsung mendapat tatapan tajam dari Rhayyan.

“Ya udah nih pertanyaan gue udah dijawab, sekarang next ya, Aura mau nanya ke siapa?” tukas Juan.

“Gue mau nanya ke Rhayyan,” jawab Aura.

“Jangan yang aneh-aneh,” ujar Rhayyan.

Mata Aura kini berbinar, “Gue mau tips belajarnya dong!”

Rhayyan kini melotot, ia terkejut, juga bingung, “Ini lo nanya atau maksa?”

“Maksa!”

Rhayyan menghela napas, “Chat-an aja kita nanti, panjang caranya.”

“Oke.” Aura kini sudah tersenyum bangga seolah telah mendapat kekuatan baru.

“Oh gitu ya cara lo, Rhay? Langsung ngajak chat-an setelah dibilang room chat-nya berdebu.” ledek Hadyan.

“Udah lanjut Rhay biar cepett,” ujar Juan menyela sebelum pasangan serupa Tom & Jerry itu kembali bertengkar.

“Ya udah gue mau nanya ke Nathan. Nath, kenapa lu suka sama Zella? Udah itu aja, makasih.” Rhayyan kini kembali duduk santai, menunggu Nathan menjawab pertanyaan ‘seadanya’ itu.

Nathan tak langsung menjawab, melainkan menatap lebih dulu Grizella yang sekarang sudah menampilkan semburat merah muda di pipinya, “Alasan ya... gue suka Ijel karena... nggak tahu.” Jawaban Nathan membuat penonton tak puas.

“Jawab yang benerrr!” Hadyan memaksa.

Nathan menarik napas, kini menatap Grizella lebih lekat, “Gue nggak tahu alasannya, yang gue tahu adalah gue udah berakhir jatuh cinta nggak tahu sejak kapan. Gue nggak begitu peduli sama alasan awal gue suka sama Grizella, yang penting sekarang gue suka ya gue suka, nggak ada tapi-tapian.” jawab laki-laki itu tanpa mengalihkan pandang dari gadisnya. “gue suka sama Ijel dan semoga selalu Ijel.”

Grizella tersenyum, diam-diam ia merekam jelas kata demi kata yang Nathan ucapkan malam itu untuk suatu hari nanti bisa ia kenang kapan pun.

“Makasih Nathan jawaban Anda bagus sekali, sekarang gantian, lo mau nanya ke siapa Nath?” ujar Hadyan—sang pembawa acara.

“Gue mau nanya ke Ijel.”

Jantung Grizella belum sempat istirahat, namun pertanyaan Nathan akan segera diberikan padanya. Jemarinya mungkin sudah dingin sekarang sebab jantungnya terus berpacu cepat.

“Ijel mau kado apa untuk ulang tahun nanti?”

Grizella lantas menatap Nathan, pertanyaan kekasihnya sedikit di luar dugaannya. “Kado ya... aku mau bunga, boleh?” jawab gadis itu akhirnya.

“Boleh, nanti aku bawain ya?” balas Nathan lagi sambil tangannya mengelus pelan puncak kepala sang gadis, membuat Grizella hanya diam menganggukkan kepala.

“Lanjut ya, gue mau nanya ke Keisha!” Grizella tiba-tiba langsung kembali semangat, mungkin untuk menutupi malunya, “Kei, cukup jawab pake anggukan sama gelengan aja ya... buka hatinya udah berhasil?” lanjutnya.

Alih-alih segera menjawab, Keisha sempat melirik Hadyan ragu. Gadis itu kemudian menggeleng.

“Oke nggak apa, pelan-pelan ya, Kei.” balas Grizella lagi.

“Ih buka hati buat siapa oy?” Hadyan tak sanggup menahan rasa penasarannya.

“Bukan giliran lo, dilarang bertanya,” tukas Keisha. “sekarang giliran gue yang nanya. Buat Hadyan, pertanyaan terbuka. Jawab dengan jujur sejujur-jujurnya, lo beneran suka sama gue atau cuma main-main aja? Jawab tanpa disertai cengiran.” lanjut perempuan itu, sedangkan Hadyan langsung memasang wajah serius.

“Semua orang di sini ya jadi saksinya. Gebukin gue kalo gue nggak serius. Gue beneran suka sama Keisha, nggak main-main atau bohongan.” jawabnya.

“Oke, noted.” Keisha kembali duduk dengan tenang.

“Udah? Gitu doang? Nggak mau ngajak pacaran?” Hadyan rupanya tak puas.

“Itu nanti aja... semoga.”

“Oke gue bakal terus yakinin lo buat mau sama gue!”

“Apa nggak malu terang-terangan gitu?” celetuk Rhayyan yang sudah bergidik ngeri.

Rasanya ide Hadyan untuk mengajak mereka pergi berlibur bersama tak buruk juga. Dengan saling bercerita seperti ini, satu per satu jalinan benang yang tadinya kusut di antara mereka mulai melonggar dan tertata rapi. Setidaknya masing-masing mereka mulai saling memahami dan saling mendukung. Sebenarnya kita tidak harus punya banyak teman, ‘kan? Cukup bersama mereka yang selalu bersedia hadir di saat apa pun seharusnya sudah membuat kita merasa lebih dari cukup.

Ingatkah saat dulu, ketika kelas satu, kita tak kenal dan tak saling tahu, lanjut Yan!” tiba-tiba saja Aura mulai menyanyikan salah satu lagu HIVI! berjudul “Teman Sejati” yang langsung disusul oleh suara petikan gitar dari Juan.

Hadyan kini ikut bernyanyi, “Kita saling berkenalan, yang cantik juga tampan,” tunjuknya kepada Nathan dan Grizella, “muka teladan sampai muka preman.” dan berlanjut menunjuk bergantian Rhayyan dan dirinya sendiri. “lanjut Nath! Zel!”

Kadang saling canda tawa, kadang benci besok lupa.” Nathan dan Grizella bernyanyi dengan kompak. “Rhay lanjutt!” ujar Nathan lagi.

“Oh TIDAK indahnya masa kuliah!” teriak Rhayyan sengaja mengubah lirik lagu, sehingga lebih terdengar seperti keluh kesah dibandingkan nyanyian.

Meski tak ada yang abadi Tapi kamu ‘kan selalu di hati Kemana pun dua kaki ini melangkah nanti Ku ingin kau mengerti Bagiku kau teman sejati

Nyanyian ketujuh remaja itu menjadi penutup akan malam yang menyenangkan itu. Burung-burung yang bertengger di pohon kini hanya menatap iri ke arah ketujuhnya yang memancarkan sinar hangat bahagia. Malam ini, semoga bisa terekam dengan baik di memori masing-masing, semoga malam ini bisa terus menghiasi kenangan mereka untuk malam-malam lainnya yang mungkin akan terasa sepi. Di antara mereka ada yang hatinya sudah membuncah perasaan hangat, ada pula yang masih penuh tanda tanya keraguan, di sisi lain ada mereka yang masih takut kehilangan, dan mereka yang sudah diselimuti oleh rasa syukur. Tuhan kasih banyak untuk Nathan, sakit dan bahagia yang sama seimbangnya. Tuhan juga sudah berikan banyak untuk Grizella, seorang laki-laki yang dengan setulus hati mencintainya tanpa pamrih, namun siapa yang tahu jika waktu sudah tak lama lagi?


Hari sudah larut. Gelapnya langit malam bertabur bintang kini membungkus kota, menaungi setiap kehidupan sibuk anak manusia yang masih berkeliaran mencari kesenangan atau pun menemani mereka yang baru usai dari hari melelahkannya setelah bekerja seharian. Mobil hitam milik Nathan berbelok tepat ke sebuah tempat dengan kerlap-kerlip lampu oranye hangat yang mendominasi—adalah tempat yang dimaksud Hadyan melalui pesan singkat tadi. Laki-laki itu terus melajukan kendaraannya untuk mencari parkir kosong di sana. Di bawah pohon itu, sebuah lahan kosong menyambutnya, membuat dirinya langsung memutar stir ke kiri dan mengambil ancang-ancang untuk memarkirkan mobilnya di sana.

Begitu ia buka pintu mobilnya usai parkirnya mendarat dengan sempurna, telinga remaja itu langsung disambut oleh alunan musik dari dalam kafe tersebut, pun riuh tawa dan teriakan orang-orang yang tengah bercanda di dalam sana dapat terdengar jelas. Nathan langsung saja memencet tombol di kunci mobilnya untuk mengunci kendaraan itu dan melangkahkan kakinya mendekati kafe tersebut. Tempat itu tidak dilengkapi oleh pintu, melainkan hanya tiang-tiang kayu yang membatasi seperti pagar, menyisakan sedikit ruang untuk akses keluar-masuknya orang-orang. Oleh karena tempat tersebut terbuka dan tidak dibatasi oleh tembok yang menutupinya, angin dapat dengan leluasa melewatinya, menghadirkan hawa malam yang sejuk untuk ikut masuk.

Nathan terus melangkahkan kakinya ke dalam, sedang pandangnya menyapu setiap sudut tempat yang baru pertama kali ia kunjungi itu. Setiap meja sudah diisi oleh anak muda yang tengah berbagi cerita dan tertawa, serta ada juga mereka yang sepertinya tengah mencari udara segar di tengah kepenatan tugas yang dimilikinya. Pelayan wanita dan pria semuanya sibuk, membawa nampan kayu berisi banyak makanan dan minuman di atasnya sembari berlari ke sana kemari mengantarkan pesanan-pesanan yang sudah ditunggu oleh pelanggannya. Pria berbaju putih yang bekerja di dapur juga tak kalah sibuk, entah sudah berapa kali dirinya meneriaki berbagai nomor meja seharian ini dengan kepalanya yang ia longokkan melalui celah persegi panjang yang merupakan satu-satunya penghubung antara pelayan-pelayan yang membawa banyak kertas berisi pesanan untuk digantung di atasnya, membiarkan para koki itu untuk menyiapkan makanan dan minuman yang diminta.

“Nath!” suara Hadyan kini membuyarkan lamunan Nathan yang sebelumnya tengah terlena dengan kesibukan manusia-manusia di sekitarnya. Laki-laki itu lantas menoleh ke arah suara yang memanggilnya dan menemukan sahabatnya sedang melambaikan tangan ke arahnya membuat ia lantas melangkahkan kaki mendekat.

Sorry lama, tadi macet dikit, “ ujar Nathan yang kini sudah mendudukkan diri di samping Hadyan, sedangkan di hadapannya sudah ada Juan yang hanya diam mendengarkan sembari menenggak secangkir kopi susu yang ia pesan serta Rhayyan yang duduk di sisi kiri Juan kini tengah sibuk dengan laptopnya, mungkin sedang membaca powerpoint untuk kuis besok.

It’s okay, Juan juga baru nyampe kok, langsung pesen aja Nath,” balas Hadyan santai sambil tangannya kembali mengambil sepotong roti bakar isi cokelat keju.

Nathan merogoh saku celananya, mengambil dompetnya, dan meletakkannya di atas meja bersama dengan handphone-nya yang juga ia letakkan di sana. Netranya kemudian menyadari Rhayyan yang tidak biasanya keluar rumah hanya menggunakan kaos yang dilapisi jaket dan celana selutut. Perihal kaos dan jaketnya memang tak tampak begitu aneh, namun biasanya laki-laki itu akan menggunakan celana panjang yang sopan jika harus keluar rumah.

“Rhay tumben pake celana pendek,” ujar Nathan penasaran.

Rhayyan menoleh ke arah remaja yang bertanya, kemudian beralih menatap Hadyan, tampak kesal. “Gue diseret tuh manusia yang duduk di sebelah lo. Mana sempet gua ganti baju orang dia gedor-gedor pintu heboh terus ngoceh mulu nyuruh gue cepetan,” jawabnya akan pertanyaan Nathan, sedang yang bertanya hanya terkekeh, menampilkan senyum lebarnya yang tampak manis.

“Apaan sih kok nyalahin gue? Tadi gue udah bilang ya mau on the way rumah lo, bukannya siap-siap malah masih komat-kamit sendiri bacain isi PPT,” balas Hadyan tak mau kalah.

“Gue udah bilang nggak usah lo jemput nyet.”

“Ya kalo gue nggak jemput, lo nggak akan ikut!” nada bicara Hadyan meninggi, tapi tenang, bukan berarti ia marah, ia memang suka begitu jika bicara pada Rhayyan, bisa dibilang ia hanya marah bohong-bohongan agar keributan mereka bisa berjalan dengan lancar.

Lagi-lagi Rhayyan mengalah, “Serah lo.”

Meja tersebut kini sudah didominasi oleh suara tawa ketiga remaja lainnya. Selalu begitu, Hadyan yang memancing amarah Rhayyan, Juan yang hanya diam memperhatikan, dan Nathan yang berusaha melerai.

“Udah, udah, jangan dibiasain ribut gitu, nanti kalo gue nggak ada terus yang misahin kalian siapa?” ujar Nathan di sela tawanya tanpa menyadari teman-temannya kini sudah menatap Nathan lekat dengan tawa mereka yang semakin pudar.

“Kenapa?” Nathan yang menyadari atmosfer di sekitarnya tiba-tiba saja berubah itu kini bertanya.

“Jangan ngomong gitu, Nath,” Juan yang sedari tadi hanya diam sekarang mulai bersuara sambil meletakkan kembali cangkir kopinya di meja, diikuti Hadyan yang kini menghentikan acara memakan roti bakarnya, serta Rhayyan yang sekarang sudah menutup laptopnya, menghentikan sesi belajarnya.

“Jangan ngomong gitu. Nggak akan ada yang siap buat lo tinggalin dan lo nggak akan ninggalin siapa-siapa, setidaknya buat sekarang,” tutur Juan lagi, pandangnya lurus menatap Nathan lekat.

Hadyan kini ikut memutar tubuhnya menghadap Nathan, “Gue yakin lo bakal baik-baik aja,” ujarnya.

“Nath,” panggil Rhayyan pelan. “Gue bakal belajar mati-matian buat suatu saat bisa cari solusi biar lo bisa sembuh kalo emang teknologi biomedis sekarang belom mampu nyembuhin sahabat gue,” ujarnya tak mau kalah.

Nathan hanya diam menatap ketiga sahabatnya satu persatu. Matanya terasa panas sekarang, mulai mengumpulkan genangan air di sana, pun hatinya ikut menghangat sebab ucapan sahabat-sahabatnya mampu menguatkannya untuk bertahan. “Makasih udah mau jadi temen-temen terbaik gue,” ujarnya sambil menahan air mata itu agar tak terjatuh.

Hadyan tersenyum, ia lalu menyikut lengan Nathan pelan, “Kayak sama siapa aja dah lo, santai aja, nggak usah ikutan kaku kayak hidup Rhayyan.”

“Gue lagi anjingg yang kena,” tukas Rhayyan, kembali emosi.

Nathan tersenyum lagi dibuatnya, “Baru dibilangin jangan ribut,” ujarnya.

Hadyan kini menatap Nathan tulus, matanya berbinar penuh kesungguhan, “Nath,” panggilnya.

Nathan menoleh ke kanan, “Apa?”

“Gue bakal terus ngajak Rhayyan ribut, lo nggak usah khawatir,” ujar Hadyan penuh keseriusan, ditambah dengan tepukan pelan di punggung Nathan yang seolah semakin meyakinkan ucapannya.

Rhayyan tersenyum datar, sudah lelah tampaknya dengan kelakuan remaja di depannya itu. Salah apa gue bisa kenal sama makhluk abstrak kayak dia, batinnya.

“Makanya lo harus tetep di sini buat misahin ribut gua sama dia!” lanjut Hadyan, kali ini dibarengi dengan senyum lebarnya, diikuti Nathan yang juga membalas dengan cengirannya.

Nathan lalu mengangkat tangan kanannya, hendak memanggil pelayan, mengingat sejak tiba tadi bahkan ia belum menenggak sedikit pun air. Kala pelayan laki-laki itu menghampiri mejanya dan memberikan buku menu, Nathan langsung membaca sekilas beberapa menu yang ditulis di sana, kemudian memesan segelas susu cokelat hangat sambil mengulurkan tangan, hendak mengembalikan buku menu tersebut pada pelayan yang berdiri di sampingnya dengan buku catatan kecil di tangannya. Pelayan itu mengangguk, lalu melangkahkan kakinya pergi meninggalkan keempat remaja yang sudah sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Nathan kini sudah sibuk memberikan fokusnya pada band yang entah sudah menyanyikan lagu keberapa sejak ia sampai di sini. Telinga remaja laki-laki itu mendengarkan dengan baik lagu yang dinyanyikan oleh vokalis perempuan di panggung kecil itu, sedangkan jemarinya mengetuk-ngetuk pelan di meja, mengikuti irama musik yang mendominasi ruangan, namun berbeda dengan benaknya yang riuh oleh banyak pertanyaan perihal apakah ia benar-benar bisa sembuh? Apakah jika ia sembuh nanti ia bisa mengajak Grizella jalan-jalan keliling dunia berdua? Apa beberapa tahun ke depan ia bisa bekerja di kantor besar di tengah kota? Apakah nanti ia benar-benar bisa menikah, memiliki anak-anak baik, dan mendidik mereka sampai besar? Apakah teman-temannya akan tetap bersamanya hingga saat itu? Entahlah. Pertanyaannya hanya dapat ia jawab dengan ketidaktahuan yang akan semesta siapkan untuknya di depan sana. Entah apa ia akan mampu bertahan dan sembuh dari penyakitnya yang merenggut banyak kebahagiaannya, entah apakah nanti ia bisa terus menemani Grizella sampai akhir hayatnya, bahkan ia ragu ia akan bisa lulus dari kampusnya sebelum penyakitnya benar-benar menenggelamkannya dalam kegelapan. Entahlah. Ketidaktahuan itu terkadang menyergapnya di sela tidur malamnya yang tak pernah setenang hembusan angin kala senja. Keraguan itu masih berada di sana, masih terus menahan langkahnya untuk bergerak maju ke arah bahagia. Ia takut. Takut tidak sempat membahagiakan orang terkasihnya sebelum dirinya hilang ditelan bumi. Ia takut tidak sempat membanggakan kedua orang tuanya nanti. Ia takut, tapi ia tidak bisa sampaikan ketakutan itu pada siapa pun, lantas hanya ia simpan di dalam hati, tak jarang membuatnya semakin merasa sesak seolah ditekan peti besi.

Nathan lalu menghela napas panjang sambil menutup mata, ia lalu kembali menatap ketiga sahabatnya yang sedang sibuk berbincang-bincang.

“Gue kepikiran satu hal,” ujar Nathan tiba-tiba, membuat ketiganya langsung menoleh.

“Kepikiran apa?” tanya Juan.

Nathan menelan ludahnya sendiri, sempat ragu untuk melanjutkan tuturnya, ia lalu berdeham dan menegakkan duduknya sebelum benar-benar membuka suara. “Gue mau minta tolong.”

“Minta tolong apa? Apa pun gue bantu sini,” ujar Hadyan antusias.

“Nanti, tolong jagain Grizella ya. Setidaknya tolong temenin dia kalo dia lagi sedih. Tolong ada di samping dia kalo gue nggak berkesempatan untuk sembuh,” tukas Nathan.

Ketiganya tak langsung menjawab, entah masih mencerna perkataan Nathan atau memang tak tahu ingin menjawab dengan jawaban yang seperti apa.

Hadyan, seperti biasanya, ia memilih untuk tidak memberi respons serius demi agar terciptanya atmosfer baik di antara mereka, “Nggak usah tunggu nanti, Nath. Dari sekarang nitip Ijel juga nggak apa-apa, siniin nomernya,” tangan kanannya kini sudah menengadah seolah benar meminta. Ia lantas mendapat tendangan dari Rhayyan di bawah meja dan berakhir mengaduh kesakitan sebab tendangan remaja itu tepat mengenai tulang keringnya.

“Kata gue lo berobat aja anjir isi otak lu udah nggak beres,” ujar Rhayyan setelahnya.

Nathan kembali dibuat tertawa, “Serius dulu please,” ujarnya.

“Nggak ada titip-titip, jagain sendiri pacarnya, makanya ayo sembuh,” jawab Juan.

“Ya kan just in case....”

Rhayyan menghela napas, “Iya iya ditemenin elah, kan Zella juga temen kita, masa iya kita biarin dia nangis sendiri, nangis bareng-bareng lah.” jawaban Rhayyan kini berhasil membuat Nathan kembali tersenyum, “Thanks ya.”

Hadyan tiba-tiba bangkit dari duduknya, “Udah ah gua mau ngerokok dulu di depan,” ujarnya lalu menyambar bungkus rokoknya yang ia letakkan di atas meja.

“Ikut.” Juan lantas ikut berdiri mengekor Hadyan, menyisakan Rhayyan dan Nathan berdua di sana.

Nathan kembali bungkam, membiarkan Rhayyan melanjutkan kegiatan belajarnya dalam keadaan yang tenang. Netranya kembali ia fokuskan pada musik yang disuguhkan, sedangkan pikirannya kembali berkelana seperti sebelumnya. Katanya, dunia itu adil. Dia sempat ragu akan pernyataan itu, namun kali ini ia yakini memang benar adanya. Jerapah yang memiliki leher panjang membutuhkan usaha lebih banyak untuk memompa darahnya ke kepala, tapi di sisi lain Tuhan berikan ia kemampuan lebih berupa kekuatan jantung yang lebih besar. Pernahkah kalian berpikir jerapah dengan leher panjang merasa iri pada manusia yang lehernya jauh lebih pendek? Tidak. Bayangkan jika lehernya pendek seperti manusia maka tekanan jantung besar yang dimilikinya akan membunuhnya begitu saja. Sama dengan Nathan, semesta berikan ia sakit, namun semesta berikan orang-orang yang selalu mendukungnya di sela ketakutan yang menghantuinya. Ia yakin dunia itu adil, ia diberikan kesenangan di samping kesulitan yang ada. Teman-teman terbaiknya adalah salah satu hal yang ia syukuri dari banyak hal yang diberikan padanya.


Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun Grizella, gadis itu masih merebahkan dirinya di kasur dengan posisi menghadap langit-langit. Perempuan itu hanya diam, berbeda dengan pikirannya yang terlalu berisik hari ini. Otaknya terlalu sibuk memikirkan perihal kuliah, Nathan, kencan mereka, pun ditambah hari ini dia mendapat omelan dari dosen karena tugasnya yang tak dikerjakan dengan baik. Grizella lantas menarik napas panjang sembari memejamkan mata, memang benar hari itu dia tidak melakukan kegiatan apa-apa sejak siang tadi, tapi rasanya tetap saja melelahkan.

Di tengah riuh pikiran yang menarik fokusnya, tiba-tiba saja telinga Grizella mendengar sebuah suara bel apartemennya. Ia lalu dengan malas bangkit dari posisi tidurnya, hendak menghampiri siapa yang berani-beraninya mengganggu waktu istirahatnya itu.

“Aduh siapa sih malem-malem? Ga tau apa orang lagi kesel,” omelnya seraya melangkah cepat menuju pintu.

Kala kakinya tepat sampai di balik pintu, gadis itu kemudian mengintip dari lubang kecil pada pintu tersebut guna memastikan siapa yang berdiri di baliknya—khawatir jika orang jahat yang berada di sana. Matanya lalu membelalak ketika mendapati seseorang yang sangat ia kenal sedang berdiri dengan senyuman di balik pintu itu. Grizella dengan cepat menggerakkan gagang pintu itu ke bawah, hendak membukakannya untuk orang yang berdiri di baliknya.

“Nath? Kamu ngapain di sini?” ujar gadis itu begitu pintu apartemennya sudah ia buka, menunjukkan sosok kekasihnya yang sedang tersenyum dengan manisnya di sana.

“Hai Ijel, aku tau kamu kalo lagi sedih pasti nggak mau makan, jadi ini aku bawa martabak buat kamu, mau diterima nggak?” balas pria itu sambil memberikan kantong plastik berisi martabak yang sedari tadi berada di genggamannya itu.

Grizella lalu mengalihkan netranya dari Nathan ke arah kantong plastik yang disodorkan padanya, kini ikut membawa harum martabak yang manis dari sana, membuat perut gadis itu sontak berbunyi.

“Tuh, laper kan? Ambil, nih. Kalo kamu lagi mau sendirian nggak apa-apa, aku langsung pulang aja habis ngasih ini,” ujar Nathan lagi.

Gadis itu mengangguk, lantas mengambil kantong plastik tersebut dari tangan kekasihnya, “Makasih, Nath.”

Masih dengan senyum yang sama, Nathan kemudian menjatuhkan tangannya di atas kepala gadisnya untuk ia elus pelan, “Sama-sama. Dimakan ya, jangan skip makan lagi, aku pulang sekarang ya, Ijel,” ujarnya sebagai penutup sebelum ia benar-benar melangkahkan kakinya menjauhi Grizella yang masih berdiri mematung.

Baru sekitar tujuh langkah laki-laki itu menjauh, suara gadisnya tiba-tiba kembali terdengar, “Nath!” panggilnya.

Nathan, laki-laki yang dipanggil itu kini menghentikan langkahnya, ia lalu memutar tubuhnya kembali menghadap kekasihnya, “Kenapaa?” ujarnya sedikit berteriak.

Can you stay here? Please?


Nathan kini sudah mendudukkan dirinya dengan nyaman di atas sofa yang berada di ruang tamu, sedangkan gadisnya, Grizella, masih menyibukkan diri di dapur untuk memindahkan martabak yang Nathan bawa ke piring-piringnya. Setelah selesai dengan kegiatannya memindahkan makanan, gadis itu lalu membawa sepiring martabak keju serta dua buah piring kecil dengan garpu, meletakkannya di atas meja kecil di depan sofa, dan ikut mendudukkan diri di samping Nathan.

“Nih, kamu kalo mau ambil aja,” ujar Grizella sambil menggeser sedikit piring berisi martabak itu kepada Nathan.

“Kan emang aku yang beli, kok jadi kamu yang nawarin?” gurau Nathan.

Grizella lantas menoleh dengan ekspresi kesal, “Ya kan udah punya aku,” ujarnya.

Laki-laki itu terkekeh pelan, “Iya, iya, udah punya Ijel, ya udah dimakan sanaa.”

“Nanti aja, belom laper.”

“Bohong, tadi perutnya udah bunyi gitu.”

“IH ENGGA!”

Nathan kembali dibuat tertawa sebab wajah gadisnya terlihat sangat lucu saat marah, “Mau aku suapin?”

Grizella tak segera menjawab, ia kini hanya memalingkan wajahnya dari Nathan, “Nggak usah.”

“Oke aku suapin.”

“NAATTH!”

“Apaaa sayanggg?”

“Nggak tau ah, kesel.”

Niat Nathan yang semula hendak mengambil piring kecil di hadapannya kini ia urungkan, laki-laki itu lantas kembali memutar tubuhnya menghadap Grizella dan menatap gadis itu lekat. Grizella yang jelas-jelas sadar akan hal itu kini ikut menoleh menatap balik Nathan, “Kenapa?” tanya gadis itu singkat.

Need a hug?”

Alih-alih menjawab, Grizella hanya diam sembari menatap lurus pada Nathan, sedangkan laki-laki itu sudah merentangkan kedua tangannya sekarang, “Come here,” ujarnya lagi.

Dengan perasaan yang sedikit ragu, gadis itu lalu mendekat pada Nathan dan tubuhnya langsung disambut oleh rengkuhan hangat dari laki-laki itu. Grizella kini memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada dada bidang laki-laki itu, mencoba merasakan kehangatan yang Nathan berikan melalui usapan lembut di punggungnya. Seolah tersihir dengan seluruh kenyamanan yang hadir, Grizella kembali menitikkan air matanya, punggungnya mulai bergetar, tangis yang tadinya ia tahan-tahan akhirnya tumpah juga.

It’s okay, keluarin aja, Jel. Nangis aja nggak apa-apa,” ujar Nathan sembari tangannya belum berhenti memberikan usapan pada punggung gadis itu.

Dunia berputar, katanya. Di antara putaran-putaran yang dialaminya ikut mengantarkan kaki-kaki manusia yang hidup di dalamnya mau tidak mau terus melangkah, entah untuk mengejar impian-impiannya, atau sekadar untuk bertahan hidup. Dalam langkah-langkah yang tak pernah kita sadari itu, anak manusia saling menyapa, saling dipertemukan oleh takdir yang mungkin memang memiliki maksud tertentu. Tapi ketahuilah, dunia memang berputar, akan terus begitu, namun sesekali langkah kita boleh berhenti jika dirasa butuh istirahat.

Terkadang, di antara pertemuan-pertemuan anak manusia itu, ada yang hadirnya memberi makna, ada yang hadirnya memberi pelajaran, pun ada yang hadirnya memberi kenangan. Dan bagi gadis itu—gadis yang tengah menangis tersedu-sedu di dekapan kekasihnya—kehadiran seorang Nathan pada hidupnya adalah sebagai ruang istirahatnya ketika dunia sudah terlalu jauh menyakitinya. Grizella tidak ingin kehilangan rumah istirahatnya, dia butuh Nathan untuk bersandar kala penat, dia butuh Nathan untuk berbagi gembira kala senang, dia butuh Nathan untuk menemaninya menghadapi kenyataan dunia yang terlalu kejam, dia butuh Nathan untuk hidupnya, akan selalu begitu.

“N-nath....”

“Hm?”

“Boleh minta sesuatu?”

“Apa?”

“Selalu di sini ya? Selalu sama aku, jangan pergi, jangan tinggalin aku.”