Grizella, wanita yang bibirnya pucat itu seharusnya sudah duduk di sofa apartemennya dengan dandanan rapi menunggu Nathan membawakannya sebuket bunga alih-alih kini kakinya bergerak melewati koridor rumah sakit yang dingin. Pandangnya menunduk, hanya mampu mengikuti langkah cepat Ian di depannya.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Hari yang seharusnya ia sambut dengan bahagia. Hari yang seharusnya dunia sedang megah-megahnya memberikan dia banyak senyuman. Namun, hari ini justru hadiah yang diterimanya adalah hal yang sangat menyakitkan. Nathan, kekasihnya, orang yang paling ia sayang, bahunya, tempat dia bersandar, katanya sudah pergi meninggalkannya. Aneh, bukan? Seingatnya tadi malam ia masih bisa bertukar pesan dengan Nathan, lalu pagi harinya ia dikabarkan sebuah hal yang langsung ia tolak mentah-mentah di otaknya, tak terima.
Tadinya tidak ingin ia percaya sama sekali jika Nathan pergi meninggalkannya. Ia juga bingung kenapa sekarang ia menurut mengikuti Ian menuju ruangan tempat Nathan berada, padahal ia yakin Nathan baik-baik saja. Nathan pasti hanya ingin memberikannya kejutan, pikirnya.
Namun, ternyata semua dugaan di kepalanya adalah salah ketika Ian yang berjalan lebih dulu di depannya menghentikan langkah, membuat dirinya hampir saja menabrak punggung lebar itu. Grizella lalu mengangkat kepalanya, menatap Ian dengan tatapan sendu, juga penuh tanya.
“Bang Ian? Kok berhenti?” tanya Grizella polos, sedangkan laki-laki yang ditanya hanya menoleh ke kanan, menatap pintu kaca yang masih tertutup.
“Nathan… ada di sana, La.” Laki-laki itu menjawab dengan suara parau, matanya bengkak, wajahnya terlihat lelah, bibirnya pun tak kalah pucat dari milik Grizella. Lelaki itu pasti sudah lebih dulu melalui masa-masa sulit tadi malam. “Yuk, ketemu Nathan.” Lantas tangan kanannya meraih gagang pintu untuk dibuka.
Grizella menatap kosong ke dalam ruangan persegi itu. Di sana seseorang tengah berbaring. Ditutupi oleh sehelai kain putih yang membentang dari atas kepala hingga kaki. Tangan Grizella terkepal kuat di samping tubuhnya. Itu pasti bukan Nathan, pikirnya masih ingin menolak mentah-mentah kenyataan meski sudah ditunjukkan jelas di depan kedua bola matanya. Ingin ia melangkahkan kakinya maju, memeriksa apakah benar itu kekasihnya. Namun, nihil, kakinya tak bisa digerakkan, terasa sangat kaku seperti disihir.
“La? Kalo lo nggak kuat nggak apa-apa, kita duduk aja yuk?” Ian tahu ini tak mudah untuk Grizella. Ian tahu perempuan itu merasakan sakit yang luar biasa di dadanya.
Grizella menggeleng pelan. Lantas mulai melangkahkan kakinya patah-patah ke depan, menghampiri seseorang yang katanya adalah kesayangannya. Langkah beratnya lalu berhenti tepat di samping ranjang dan dengan sebuah tarikan napas tangannya ikut bergerak pelan menurunkan kain putih itu dari wajah orang yang tengah berbaring di depannya. Dan seketika napasnya tertahan, pun dadanya terasa seperti dihujam tombak panjang, sakit sekali.
Karena di sana, Nathannya sudah terpejam damai. Bibir laki-laki itu sangat pucat, tubuhnya dingin, dan tak ada lagi senyum hangat yang biasa menyapa Grizella kalau laki-laki itu tiba-tiba muncul di depan pintu apartemennya dengan sekotak martabak keju. Itu benar-benar Nathan. Nathannya kini tengah tertidur lelap sekali, bahkan baru kali ini Grizella melihat laki-laki itu tidur sebegitu nyenyaknya seolah tak ada lagi yang bisa mengganggunya.
Tangisnya sudah sejak tadi pagi ingin ia keluarkan. Namun, alih-alih air mata yang jatuh, sebuah senyum terukir manis di bibir Grizella. Tangan gadis itu lantas terangkat membelai pelan rambut Nathan, mengelusnya penuh kasih sayang.
“Nath…,” masih dengan senyumannya, perempuan itu memanggil lagi nama kekasihnya dengan suara serak. “Nathan, kamu masih bisa denger aku?”
Tak ada lagi Nathan yang akan menjawab pertanyaannya. Laki-laki di depannya hanya diam memejamkan mata.
“Nath? Udah nggak bisa ya? Nggak bisa denger aku?” Pertanyaan darinya masih dijawab hening. “Ya udah, nggak apa-apa… tidur ya, Nathan… tidur yang nyenyak, Ijel sayang Nathan.”
Ian yang ikut berdiri di samping gadis itu hanya mampu menatap langit-langit ruangan, sebisa mungkin menahan tangisnya meski percuma. Karena sekarang setitik air mata sudah jatuh membasahi pipinya. Ia tahu sebanyak apa Nathan menyayangi gadis itu. Ia yang paling tahu sebanyak apa Nathan menyebutkan nama perempuan itu dalam sehari. Hatinya ikut sakit melihat Grizella bahkan belum menangis sejak ia jemput tadi. Iya, perempuan itu belum menangis dan itu justru membuat Ian semakin merasa dadanya seolah ditimpa batu besar. Sesak.
Perempuan itu lantas bergerak mundur usai menutup lagi wajah kekasihnya dengan kain putih. Lalu kakinya melangkah berat keluar ruangan. Ia harus ikhlas. Ia harus mampu melepas Nathan hari ini meski tidak ingin. Ia sedih, namun ia juga senang Nathan-nya tidak sakit lagi.
“Gue ambilin minum ya, sebentar, tunggu di sini.” Ian berpesan pada Grizella yang kini sudah duduk di bangku tepat di depan pintu ruangan itu sebelum akhirnya berlari cepat meninggalkannya.
Grizella masih diam, menunduk. Rasanya baru kemarin ia mengenal Nathan. Rasanya baru kemarin ia berjabat tangan, berkenalan dengan laki-laki yang berhasil menarik perhatiannya di perpustakaan setahun lalu. Rasanya baru kemarin Nathan mengajaknya berkencan, mencium keningnya, memeluknya hangat. Sungguh ia ingin sekali menangis, tapi air matanya tak mau turun.
Di tengah pikirannya yang berkecamuk itu, derap langkah terdengar mendekat dari ujung lorong, membuat Grizella menoleh. Itu teman-temannya. Aura dan Keisha berlari lebih dulu di depan, sedangkan ketiga laki-laki lainnya mengikuti di belakang.
“Zella!” Suara nyaring Keisha terdengar di seluruh lorong yang kemudian hanya dibalas Grizella oleh seulas senyum.
“Lo nggak apa-apa? Udah sarapan? Udah di sini dari tadi?” Itu adalah Keisha lagi yang mengkhawatirkannya. Keisha menggenggam tangan Grizella yang kini sudah terasa dingin, lantas ikut mendudukkan diri di sisi kanan, diikuti Aura yang duduk tepat di sisi kiri Grizella, membuat gadis itu kini diapit dua sahabatnya.
“Gue nggak apa-apa… itu, kalau mau ketemu Nathan… masuk aja,” ujar Grizella pelan pada ketiga laki-laki yang masih mengatur napasnya. Juan menatap Grizella khawatir, tetapi akhirnya langsung mengikuti Hadyan masuk ke dalam ruangan.
Juan, Rhayyan, pun Hadyan kini hanya bisa diam membatu di samping tubuh Nathan. Tidak ada yang bersuara, tidak ada yang menangis, hanya diam berdiri seperti upacara.
“Nathan bakal ngetawain kita kalo diem aja.” Adalah Hadyan yang pertama kali membuka suara. “Nathan… minta dipeluk… sama kita, ‘kan?” Suara laki-laki itu terdengar serak di ujung kalimat. Lantas Hadyan adalah yang pertama bergerak maju, merengkuh erat Nathan karena besok-besok ia sudah tidak bisa lagi melakukannya.
Rhayyan tak sanggup, ia lalu memilih untuk melangkah keluar ruangan. Terlalu menyakitkan di dalam sana. Jangankan memeluk Nathan, melihat wajah temannya yang sudah pucat itu saja ia tak sanggup.
“Ju, sini… peluk Nathan juga…,” hanya Juan yang kini bersedia menemani Hadyan di dalam sana. Laki-laki itu masih diam menatap kosong ke arah Nathan sebelum akhirnya tangan kanannya meraih tangan dingin milik sahabatnya yang sudah tak bernyawa, berjabat tangan untuk yang terakhir kali.
“Nath… inget nggak waktu pertama kali kita ketemu kita salaman kayak gini, terus lo bilang, ‘Gue Nathan, kelas 10 IPA 4, nggak usah takut, matematika gampang kok!’” Juan lalu terkekeh pelan, matanya ikut menyipit seiring senyumnya merekah. “Gue seneng kenal sama lo, Nath. Gue nggak jago matematika tapi masuk jurusan matematika itu ide gila lo dan bodohnya gue ngikutin. Udah sana tidur, nggak usah mikirin kita, lo makan udang aja yang banyak di sana mumpung dibolehin,” ujar Juan lagi, lalu genggaman tangannya ia lepas. Rasanya baru kemarin dia mengenal seorang Nathan, baru kemarin juga Nathan meminta bantuannya. Waktu berlalu sangat cepat dan tanpa ia sadari bahkan rasa sayangnya terhadap Nathan sudah tumbuh sebesar ini.
Dan lagi, Juan harus ikhlas seperti Grizella. Hadyan pun harus ikhlas, mengantar Nathan pergi dengan baik-baik hari ini.
“Yan, udah yuk?” Juan menepuk pelan bahu temannya yang masih belum juga melepas pelukannya dari Nathan.
Hadyan menggeleng. “Nggak mau!” ia merajuk seperti anak kecil yang takut ditinggal orangtuanya pergi bekerja.
“Tuh susternya udah masuk, yuk ke depan, duduk bareng sama temen-temen yang lain.” Juan menarik lengan Hadyan pelan menjauhi Nathan.
“Nathan! Bangun woi udah siang!” Hadyan berseru dengan air mata yang terus bercucuran. “Nath, bangun! Kalo lo tidur sekarang lo nggak bisa liat gue manggung!” Tak peduli suster kini mencoba membungkam mulut Hadyan, laki-laki itu terus berteriak. Pikirnya, mungkin Nathan benar-benar akan bangun kalau diteriaki sekencang-kencangnya.
Lalu akhrinya Juan berhasil membawa Hadyan hendak keluar dari ruangan sebelum tiba-tiba bahu kiri Juan ditabrak oleh seseorang yang berlari kencang memasuki ruangan Nathan.
Itu Rhayyan.
Remaja laki-laki itu langsung memeluk Nathan erat, mengabaikan dua orang suster yang berdiri panik di sebelahnya. “Nath, lo keren! Lo keren! Tenang aja, kita bakal wisuda bareng terus fotonya gue print gue kasih ke lo. Gue janji bakal nyeret Hadyan biar tugas akhirnya kelar barengan sama gue. Gue janji bakal lulus bareng-bareng sama semuanya! Makasih, Nath… udah jadi sahabat gue….” Tangis laki-laki itu pecah. Tak ada yang siap kehilangan Nathan. Tak ada seorang pun yang tidak menyayangi Nathan. Karena Nathan adalah anak baik, anak yang paling baik.
Langit hari ini tidak cerah seperti biasanya. Awan gelap menggulung di atas, mulai menutupi sinar matahari, lantas disusul oleh suara gemuruh. Tanda mau hujan. Tampaknya langit ikut berduka, menemani orang-orang yang hatinya masih penuh luka.
Grizella berjongkok tepat di samping papan bertuliskan nama kekasihnya. Kedua matanya lalu beralih pada gundukan tanah yang sudah diselimuti taburan bunga segar di atasnya. Seharusnya bunga-bunga itu disusun mengisi buket cantik untuk Nathan berikan pada Grizella, bukannya justru ditabur di atas makamnya sendiri hari ini.
Para pelayat sudah pergi sejak lima menit yang lalu, kini hanya menyisakan enam orang remaja yang mungkin masih betah berada di sana, salah satunya adalah Grizella. Gadis dengan balutan pakaian serba hitam itu masih mengelus pelan makam kekasihnya.
“Udah mau hujan, balik yuk?” Suara Juan lebih dulu memecah keheningan. Namun, ajakannya tak disambut oleh teman-temannya.
Rhayyan membuang napas berat. “Iya, yuk pulang, udah gelap langitnya.”
Hadyan ikut mengangguk. “Kei? Aura? Zella? Yuk kita balik.”
Ajakan dari ketiga laki-laki itu kini berhasil membuat Aura melangkah menjauhi makam Nathan. Sedangkan Keisha yang masih berdiri di samping Grizella masih belum tega mengajak temannya itu untuk pergi. Grizella belum juga menangis dan itu membuat ia sedikit khawatir.
“Zel, udah yuk, besok lagi kita kesininya, lo butuh istirahat.” Kali ini Keisha yang bersuara. Tangan perempuan itu menepuk pelan bahu Grizella.
“Kei…,” alih-alih menjawab ajakan Keisha, Grizella justru memanggil nama temannya.
“Iya?”
“Kalo gue pergi… kalo kita pergi… nanti yang nemenin Nathan siapa? Pasti dingin, sendirian, gelap….”
Kelima remaja lainnya ikut mencelos mendengar kalimat Grizella. Luka gadis itu jelas adalah yang paling besar terbuka.
“Sebentar aja, sebentar lagi aja gue di sini, kalian duluan aja,” ujar Grizella sambil melemparkan senyum simpul pada kelima temannya yang hanya bisa berdiri mematung.
“Ya udah, lima menit ya? Kita tunggu di mobil.” Juan membalas sebelum akhirnya melangkah pergi, diikuti teman-temannya yang lain.
Sekarang sudah tidak ada yang mengganggu. Sudah tidak ada orang di sekitar makam Nathan. Hanya menyisakan gadis itu sendiri bersama kekasihnya yang sudah tiada. Tapi bukankah berdua bersama Nathan adalah hal yang paling Grizella sukai di dunia ini? Jadilah ia betah berada di sana. Tersenyum hangat sembari menyusun bunga-bunga di atas gundukan tanah.
“Nath…,” sebuah panggilan kembali keluar dari bibirnya. “Harus hari ini ya?”
Baru hari ini Nathan benar-benar mendiamkannya. Baru kali ini semua panggilan dan ucapan Grizella tak digubris oleh laki-laki itu. Mereka pernah bertengkar beberapa kali, namun baru kali ini gadis itu benar-benar didiamkan seperti bicara pada batu.
“Nath, satu kali lagi aja… aku mau peluk kamu satu kali lagi aja.” Menyusul ucapan Grizella, tiba-tiba saja angin berembus melewatinya, tak terasa dingin, melainkan sedikit hangat. Angin itu juga tak sendiri, kini ikut menghadirkan tetes demi tetes air dari langit. Mungkin Nathan diizinkan hadir lagi sebagai angin yang memeluknya, atau juga sebagai rintik hujan yang turun. Namun gadis itu yakin, Nathan sudah memeluknya detik itu juga.
Senyum Grizella kembali mengembang. “Makasih, Nath… pelukannya. Aku pulang ya? Kamu hati-hati di sana, kalau ada yang jahat bilang aja pacar kamu galak.” Grizella terkekeh pelan.
“Nathaniel Adikara, dua kata paling indah yang pernah aku kenal, makasih ya? Ijel sayang Nathan, aku pamit ya Nath? Tolong mampir ke mimpi aku malam ini ya, Nath? temenin aku tiup lilin di mimpi nanti, I love you Nathan, bubbbyyyee Nathan, jangan kangen ya… sampai ketemu lagi.”
Lalu dengan berat hati, gadis itu berdiri dari posisi jongkoknya. Hujan semakin deras mengguyur, tapi ia tak peduli sebanyak apa air yang akan membasahinya nanti. Hingga di suatu waktu tiba-tiba ia tidak merasakan lagi ada rintik hujan yang mengenai kepalanya. Gadis itu lantas mendongak dan mendapati sebuah payung hitam tengah melindunginya dari hujan. Setelahnya gadis itu menoleh cepat.
“Bang Ian?” Gadis itu sedikit terkejut dengan kehadiran tiba-tiba sepupu kekasihnya itu.
“Udah? Yuk gue anter balik.” Laki-laki itu tersenyum ramah, meski matanya tampak sayu menahan lelah.
Grizella tak punya tenaga lagi untuk menolak, jadilah ia kini mengikuti langkah Ian menuju mobilnya. Di bawah payung hitam, berdua dengan sepupu kekasihnya yang tampaknya adalah laki-laki baik hati. Padahal jauh di sana, Juan juga tengah memegang payung, niatnya ia akan menjemput Grizella untuk diajak pulang. Namun, sepertinya laki-laki itu terlambat. Kini ia hanya dapat memandang dari jauh Ian dan Grizella yang perlahan menjauh, memasuki mobil hitam yang terparkir di sana.
Tak apa, yang penting Grizella sudah aman di tangan orang yang tepat.
Mobil hitam berpenumpang dua orang remaja dengan busana serba hitam itu melaju di jalan raya yang cukup lengang. Ian mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang menerobos hujan yang semakin deras. Tak ada suara yang keluar dari bibir keduanya. Ian memutuskan untuk memfokuskan dirinya ke jalan raya, sedangkan Grizella memilih untuk diam menatap jendela.
Gadis itu lagi-lagi teringat oleh Nathan, laki-laki itu tidak pernah membiarkan Grizella terkena setitikpun air hujan. Nathan selalu menyayanginya sedemikian rupa, melindunginya, menjaganya. Maka kehilangan sosok Nathan berarti ia kehilangan segalanya, kehilangan teman ceritanya, sumber tawanya, kehilangan pelukan hangatnya. Tentu belum lama ia meninggalkan makam Nathan, namun rasanya sudah sangat rindu layaknya telah bertahun-tahun terpisah.
Lantas tanpa terasa mobil Ian sudah berbelok memasuki halaman parkir apartemen Grizella. Di sana, tak jauh dari lobi, Ian memarkirkan mobilnya. Padahal bisa saja Grizella ia turunkan di lobi tanpa harus parkir lebih dulu, namun ada sesuatu yang harus ia sampaikan sebelum gadis itu turun.
“Udah sampe, La.” Suara rendah milik Ian kembali menyapa gendang telinga Grizella. Namun, gadis itu tak juga merespons. “Grizella?” panggil Ian lagi, kali ini disertai oleh tepukan pelan di pundaknya.
Perempuan itu melonjak kaget. “Eh? Iya, kenapa?” Ekspresi wajahnya mengingatkan Ian saat pertama kali dirinya bertemu dengan Grizella. Hari itu ulang tahun Tante Rumi dan sosok Grizella yang tengah kebingungan sambil membawa kue langsung menarik perhatian Ian begitu saja.
Ian lalu terkekeh pelan. “Udah sampe, La.”
Grizella menghadap ke arah depan, mendongak. Benar saja, itu apartemennya. Sudah sampai rupanya.
“M-makasih, Bang Ian. Gue turun ya, permisi.” Tangan Grizella langsung bergerak hendak membuka pintu mobil, namun dengan cepat ditahan oleh lelaki di balik kemudi.
“Sebentar, gue mau nyampein sesuatu.” Laki-laki itu merogoh kantong kemejanya, mengeluarkan sebuah amplop berisi kertas yang dilipat dua. “Ini,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Grizella bingung. Ia tak langsung menerima pemberian amplop tersebut, namun kini justru menatap Ian penuh tanda tanya. “Buat gue?” tanyanya memastikan.
Ian mengangguk. “Dari Nathan.”
Mendengar lagi nama kekasihnya disebutkan, Grizella malah terdiam mematung. Sebagian hatinya ingin langsung menerima kertas tersebut, namun sebagian yang lain justru merasa takut. Segalanya tentang Nathan selalu disambut baik olehnya dan untuk yang pertama kali hari ini, nama kekasihnya justru menimbulkan ketakutan baru di dalam hatinya.
Melihat gadis itu tak juga bergerak, Ian meraih tangan Grizella lembut dan meletakkan kertas tersebut di telapak tangan yang tampak ringkih itu. “Nathan nulis itu tadi malem menjelang pagi, tepat sebelum dia mendadak pingsan. Dia bangun, nulis itu, cuma buat lo. Dibaca baik-baik. Oh iya, sama itu gue udah kirim e-mail ke lo, isinya link gdrive, nanti dibuka ya. Nathan juga udah siapin folder itu buat lo, kebetulan gue nemu di hapenya subuh tadi.”
Grizella tak membalas apa-apa ucapan Ian. Otaknya masih bekerja memproses seluruh informasi yang baru saja ia terima. Sempat bertanya-tanya juga dari mana laki-laki itu tahu emailnya? Tapi ia tak punya tenaga lagi untuk sekadar bertanya hanya karena penasaran. Ia lebih ingin merebahkan dirinya di kasur sekarang, lelah sekali rasanya.
“Hm… iya, makasih ya, Bang Ian. Gue permisi.” Lagi-lagi tangan gadis itu ditahan oleh Ian tepat sebelum pintu dibuka.
“Tunggu, ini, pake payungnya ke lobi.” Sebuah payung lipat diberikan dan langsung disambut uluran tangan oleh Grizella.
Perempuan itu tersenyum manis di balik matanya yang sayu. “Makasih banyak.” Sudah tiga kali kata terima kasih keluar dari bibirnya hari ini.
“Zella!” Panggilan kembali terdengar dari dalam mobil. Grizella yang sudah keluar itu lantas melongokkan kepalanya ke dalam.
“Happy birthday.”
Grizella tersenyum lagi. “Terima kasih.” Adalah kata ‘terima kasih’ keempat yang diucapkannya untuk pria yang sama hari ini.
Pukul satu siang. Pintu apartemen itu dibuka oleh pemiliknya. Tubuh Grizella rasanya sudah sangat lelah. Seharian ini tenaga dan emosinya dikuras habis, padahal hari ini ulang tahunnya, seharusnya ia sudah memesan sebuah keik besar dengan krim kocok putih yang melapisinya dengan hiasan stroberi besar. Namun, yang dilakukan gadis itu sekarang adalah memerosotkan tubuhnya bersandar di balik pintu apartemennya. Ia terlalu lelah untuk sekadar melangkah masuk dan duduk di sofa.
Pandangan gadis itu lurus ke depan. Bibirnya pucat, tidak ada senyum di sana. Lalu kedua maniknya berpindah pada sofa apartemennya, di sana Nathan pernah duduk, di sana Nathan pernah memeluknya hangat sambil membawakan martabak kesukaannya. Kemudian seulas senyum berhasil hadir pada wajahnya. Mengingat apa pun tentang Nathan akan jadi kegiatan paling menyenangkan sekaligus menyakitkan baginya mulai hari ini.
Lantas tiba-tiba ia teringat sebuah surat yang Ian berikan padanya di mobil tadi. Sebuah amplop berisi kertas yang dilipat dua. Pesan terakhir dari Nathan. Ia sempat ragu untuk membukanya, keberaniannya baru terkumpul sebagian, namun kedua tangannya yang gemetar seolah tak paham, mereka terus saja bekerja mengambil kertas tersebut dari dalam tas dan membukanya.
Halo Grizella,
Adalah dua kata pertama yang berhasil membuat senyum Grizella mengembang kembali. Sapaan dari Nathan selalu jadi sapaan favoritnya.
aku cuma mau bilang makasih banyak udah jadi pacar Nathan yang selalu sabar, maaf aku belom bisa jadi pacar yang baik ya? semoga nanti kamu ketemu sama yang lebih baik ya, zel..
Grizella menggelengkan kepalanya. Baginya pernyataan itu salah. Nathan selalu bisa jadi pacar yang baik untuknya. Dan ia tak yakin bisa menemukan seseorang yang lebih baik dari laki-laki itu. Inginnya Nathan, hanya Nathan.
grizella, mungkin waktu surat ini sampe di tangan kamu, artinya aku udah ga bisa nemenin kamu ketawa bareng lagi, ga bisa bawain martabak waktu kamu nangis, dan ga bisa jadi pundak buat kamu bersandar lagi. Maaf suratnya aku bikin pagi ini banget, jadinya buru-buru hehe..
Kalimat selanjutnya yang Grizella baca kini berhasil membuat matanya memanas. Hatinya sakit sekali, ia sudah sangat rindu.
I love you zel, makasih buat semuanya ya, semoga kamu bisa ikhlas aku pergi.. maaf ya.. bukan mau aku juga buat ninggalin kamu kayak gini, tapi aku ga punya daya apa-apa buat lawan kuasa Tuhan, zel..
oh iya! happy birthday grizella pacar cantik Nathan yang paling baik hati, sehat selalu, semoga bahagia selalu dateng ke kamu ya, maaf aku ga bisa kasih kamu kado apa-apa.. happy birthday grizella, I will miss you
-with love, Nathan
Setitik air mata jatuh tepat di atas kertas tersebut. Lalu disusul oleh butiran air mata lainnya. Pundak gadis itu bergerak naik turun, suara tangisnya mulai terdengar samar-samar. Untuk yang pertama kali hari ini, akhirnya ia bisa menangis. Akhirnya ia bisa mengeluarkan semua rasa sesak yang sudah menyumpal dadanya sejak pagi tadi. Lalu seolah itu tak cukup, kini Grizella membuka ponselnya, dan benar saja sebuah e-mail yang ia duga adalah dari Ian sudah menggantung di paling atas. Ibu jarinya lantas bergerak menekan e-mail tersebut dan masih dengan air mata yang terus berjatuhan dari matanya, ia membuka sebuah link yang ditautkan di sana.
Sebuah folder berjudul “Miss me?” langsung menyambutnya. Di dalamnya sudah terdapat beberapa file rekaman suara yang ia duga adalah rekaman suara Nathan. Di antara rekaman-rekaman yang ditawarkan padanya, ia lalu memilih salah satu dengan judul file “Dengerin ini” dan mulai membesarkan volume ponselnya.
“Halo…”
Sebuah suara yang sudah amat ia rindukan kembali masuk ke dalam telinganya. Semakin membuat air mata turun deras dari pelupuknya. Rekaman itu diawali oleh sebuah sapaan dan dilanjutkan oleh hening sekitar tiga detik sebelum akhirnya suara tawa ringan menyusul.
“Hehe... kenapa nangis, cantiknya Nathan?”
Alih-alih terhibur oleh rekaman itu, tangis Grizella justru lebih kencang.
“Jel, kenapa kamu dengerin rekaman ini? Aku pasti udah nggak bisa sama kamu ya waktu kamu dengerin ini? Karena aku emang bikin semua rekaman ini untuk suatu hari kalau aku nggak berkesempatan lagi buat peluk kamu. Grizella, aku nggak akan kemana-mana. Udah yuk nangisnya, aku lebih suka lihat kamu senyum. Nathannya ijel nggak akan kemana-mana, setiap malem aku janji bakal mampir ke mimpi kamu, nemenin kamu, ya? Yuk ambil tisu, hapus air matanya, terus senyum!”
Seolah tersihir oleh ucapan Nathan dari rekaman tersebut, Grizella mulai mengambil tisu dari dalam tasnya dan ia coba hapus air mata yang terus mengalir dari pipinya meski percuma saja, nyatanya justru air mata itu makin deras turun. Setelahnya sebisa mungkin ia coba untuk memberikan senyum terbaiknya yang selalu Nathan sukai sejak dulu.
“Nah, senyum begitu cantik, 'kan? Ya udah, aku izin matiin rekamannya ya? Nanti putar ulang aja kalau masih kangen, atau buka yang lainnya, ada rekaman aku nyanyi kalau kamu susah tidur nanti dengerin aja hehe... Aku pamit ya, Grizella... Bubbyeee Ijel, i love you always... I miss you.”
Rekaman itu hanya berdurasi 43 detik, namun berhasil membuat perasaan Grizella berkecamuk hebat. Tangisnya pecah. Butiran air mata yang semula turun satu per satu kini mulai berlomba-lomba membasahi pipinya. Isak tangisnya sudah tak terdengar lagi, ia menangis dalam diam, hanya mampu memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak.
“Nath…” suara itu amat serak, juga gemetar. “Harus hari ini ya?” Pertanyaan yang sama seperti yang ia ajukan di makam tadi kembali keluar.
“Together list kita belum selesai, Nath… gimana caranya lengkapin semua kalo nggak ada kamunya?”
Hari itu ulang tahunnya. Hari yang seharusnya dunia sedang megah-megahnya memberikan senyuman terbaik. Hari ia bertambah usia. Dan hari di mana ia harus mengikhlaskan laki-laki yang amat dia sayangi.
Lalu gadis itu hanya mampu duduk memeluk lutut di atas lantai apartemennya yang dingin. Menangisi kekasihnya yang sudah pergi selamanya.