itsdysa

tw//blood

Shanine langsung bangkit dari duduknya dan berjalan pelan keluar kelas untuk turun ke lapangan. Kelasnya berhasil masuk final, ia sudah berjanji pada Aksara akan menontonnya. Gadis itu berjalan dengan posisi setengah menunduk karena perutnya masih tidak nyaman. “Ayolah perut, gue mohon,” batinnya merutuki perutnya yang sudah merepotkan banyak pihak sejak pagi hari. Sekitar 5 menit kemudian gadis itu berhasil sampai di lapangan. Sesuai dugaan, lapangan sangat penuh dan ramai dengan suara riuh tepuk tangan para siswa. Shanine memutuskan untuk duduk bersama anak-anak sekelasnya. Mata gadis itu sibuk mencari sosok sahabatnya di tengah kerumunan banyak orang. “Oh itu dia anaknya,” batinnya setelah mendapati Aksa yang bajunya jelas sudah basah oleh keringat. Aksa tidak menyadari bahwa Shanine sudah disana menontonnya dan tampaknya anak laki-laki itu terlalu sibuk untuk mencari keberadaan sahabatnya sekarang.

Pertandingan futsal antar kelas 11 IPA 1 dan 12 IPA 2 kini semakin sengit. Skor yang dicetak masing-masing tim selalu saling menyusul. Riuh tepuk tangan dan teriakan para siswa tidak henti-hentinya disumbangkan. Shanine hanya duduk di pinggir lapangan, manik matanya tidak lepas dari sosok Aksara sembari masih memegangi perutnya. Ia sangat ingin memotret temannya itu, namun fokusnya terganggu oleh perutnya yang sedang tidak mendukung sekarang. Pertandingan sudah berlangsung selama beberapa menit, kini hanya tinggal menghitung sedikit lagi skor yang berhasil dicetak oleh salah satu tim untuk memutuskan siapa pemenangnya. Pertandingan yang semakin sengit mungkin membuat para pemain kini merasa sedikit tertekan, pergerakan mereka semakin cepat dan gesit. Aksara mendapat peran menggiring bola saat ini, ia dengan cekatan menghindari lawan, melindungi bola timnya hingga pada suatu waktu kaki salah seorang pemain yang berlari di dekatnya terjulur dan menyandung langkah Aksa, entah sengaja atau tidak. Teriakan para siswi mulai terdengar kala melihat Aksara jatuh dan kepalanya membentur pinggir lapangan dengan cukup keras.

“WOI AKSA BERDARAH!” teriak salah satu siswa yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Shanine terpaku di tempatnya, hatinya terasa sakit hingga mati rasa, gadis itu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Shanine masih terdiam hingga beberapa detik kemudian gadis itu berlari kencang ke arah para siswa yang sedang mengerumuni Aksa.

“Permisi, please, awas gue mau lewat, Juni gue, permisi, gue mohon,” Gadis itu tidak henti-hentinya memohon pada orang-orang yang menghalangi jalannya. Air matanya sudah keluar sekarang, pikirannya sudah jauh melayang membayangkan bagaimana kondisi Aksa saat ini. Gadis itu masih terus mencoba menerobos kerumunan dengan kaki yang sudah terasa lemas, mulai melupakan perutnya yang terkadang masih terasa perih. Shanine kemudian berhasil sampai untuk melihat keadaan temannya sekarang. Dilihatnya Aksara sedang memegangi pelipisnya sambil sesekali merintih kesakitan. Shanine yang melihat darah keluar dari kepala anak laki-laki itu akhirnya mengambil sapu tangan yang ia selalu simpan di saku roknya kemudian bersimpuh di samping Aksa.

“Jun, coba gue liat ya?” ujar Shanine mencoba untuk tenang meski ia tahu air matanya tidak bisa berhenti sejak tadi. Gadis itu menjulurkan tangannya, mencoba membersihkan darah pada dahi temannya. “Ssshh ga apa-apa Mbul ini cuma berdarah dikittt.” Aksara mencoba menenangkan sahabatnya yang terlihat kacau sekarang. “Ga apa-apa sini gue aja yang ngelap darahnya,” ujar pria itu sembari mencoba mengambil sapu tangan milik Shanine.

“JUN LO DIEM DULU GUE MOHON!” Shanine sedikit berteriak. Aksa yang mendengarnya memutuskan untuk diam dan membiarkan sahabatnya membersihkan sedikit demi sedikit darah yang mengotori dahinya. “Biar gue tahan ya biar darahnya ga keluar banyak,” lanjut gadis itu kemudian mencoba mencari sumber luka pada pelipis temannya dan menahannya pelan dengan sapu tangan. Direngkuhnya tubuh pria itu ke dalam dekapannya sambil sesekali gadis itu mengelus punggung sahabatnya, mencoba memberikan kehangatan pada Aksa. Aksa yang mulai merasakan kehangatan menjalar pada hatinya akhirnya merasa sedikit tenang. Jujur pria itu sejak tadi merasa takut dan bingung kala melihat darah menetes dari pelipisnya.

“Aksa ayo, abang bantu berdiri, kita ke rumah sakit,” ujar Sakha pada adiknya sembari membantunya berdiri. “Shanine kamu kalau mau ikut boleh,” lanjut Sakha yang tahu bahwa Shanine sangat khawatir saat ini. Ketiga remaja itu kemudian berjalan ke arah mobil sekolah yang sudah disiapkan dengan Sakha yang merangkul adiknya untuk membantunya berjalan dan Shanine yang masih menahan luka pada pelipis pria yang disayanginya itu. Mereka pergi ke rumah sakit didampingi oleh wali kelasnya yang saat ini sudah duduk di bangku sebelah supir sedang ketiga remaja itu duduk di bagian tengah dengan Aksa yang diapit oleh Sakha dan Shanine. Sakha mengetik pada ponselnya, mencoba mengabari kedua orang tuanya dengan kalimat setenang mungkin. Shanine yang pandangnya belum lepas dari Aksa hanya melihat sahabatnya yang kesakitan, sesekali menggenggam tangan pria itu dengan lembut. “Sakit ya Jun? Sebentar lagi sampai kok, tahan ya, lo kuat,” ujar Shanine yang dibalas anggukan oleh Aksa, pria itu mencoba tersenyum. “Maaf harus lo yang kayak gini Jun,” lanjut gadis itu, air matanya terlihat menggenang seolah kapan pun bisa jatuh jika sang pemilik mengizinkan. “Gue yang minta maaf itu sapu tangan lo jadi kotor,” balas Aksa kemudian tertawa kecil, mencoba menghibur temannya sedikit.

Sesampainya mereka di rumah sakit Aksa langsung diberikan penanganan oleh tim medis. Sakha, Shanine, dan wali kelasnya hanya menunggu di ruang tunggu. Saat ini Shanine dan Sakha terlihat sama kacaunya. Mereka berdua adalah salah satu yang paling menyayangi Aksa. “Sebentar ya, bapak mau angkat telepon, kalian tunggu disini,” ujar guru mereka.

“Aksa bakal baik-baik aja kan?” ucap Shanine pelan, sesekali isakannya terdengar. “Iya Aksa bakal baik-baik aja, tadi ga terlalu parah kok. Shanine tenang ya?” jawab Sakha, mencoba menenangkan gadis di sampingnya yang sejak tadi matanya belum kunjung kering. “Mau bang Sakha temenin ke kamar mandi untuk cuci tangan? Tangan kamu kotor Nin,” tawar Sakha. Shanine yang melihat tangan dan seragamnya penuh dengan darah sahabatnya kemudian kembali terisak, gadis itu mengangguk.

Suara riuh siswa-siswi menghiasi seluruh atmosfer sekolah hari ini. Semangat muda mereka yang seolah tak tertahankan ikut memeriahkan acara di sekolah mereka yang sedang berlangsung hari ini, classmeet. Aksara berjalan kembali ke kelasnya usai mengikuti kegiatan pertama acara tersebut, senam pagi. Aksa berjalan santai dengan sesekali menyapa teman-teman yang melewatinya sedang kedua tangannya sibuk memegang makanan ringan titipan Shanine. Begitu anak laki-laki itu sampai di kelasnya, didapatinya sahabatnya kini tengah berbaring di bangkunya sembari bersandar pada tembok. Aksa hanya menggelengkan kepalanya dan mendekati sahabatnya itu.

“Nin,” panggil Aksa. Gadis yang dipanggil kemudian hanya membuka matanya sebentar dan kembali terpejam, masih belum berniat menjawab.

“Nih titipan lo, mau gak?” ujar Aksa sembari menarik bangku untuk duduk di samping temannya.

“Mau.”

“Bangun.”

“Ga mau, perut gue sakit kalo duduk.”

“Mau gue ambilin minyak kayu putih ya di UKS?” tawar Aksa ramah.

“Boleh Sa kalo lo ga sibuk,” jawab Shanine. Gadis itu kini berusaha mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.

“Ya udah nanti kalo gue ke bawah gue ambilin.” “Thanks.” “Nin berarti lo ga nonton gue tanding dong?” “Yaa kalo perut gue udah mendingan ya gue nonton Jun.” “Kalo belom mendingan?” “Ya ga nonton di bawah, paling nonton IG live nya OSIS aja.” “Nonton aja dong,” paksa Aksa sembari memasang wajah memelas. “Beneran bayi ya lo?” ujar Shanine kemudian tertawa. “Ya udah paling engga lo nonton final ya.” “Ya semoga aja nyampe final HAHA.” “JAHAT!” “Iyaudah iya kabarin aja kalo masuk final nanti gue turun.” ujar Shanine sembari membuka kemasan pocky yang baru Aksa belikan. “Oke gue turun sekarang deh kalo gitu, bentar lagi tanding soalnya. Baik-baik ya Mbul,” kata Aksa kemudian mengusap pelan kepala sahabatnya dan meninggalkan kelas. Sedangkan gadis itu kini sudah tersipu.


Shanine sibuk memakan makanan ringan yang diberikan oleh Aksa sembari memainkan ponselnya. Perutnya masih terasa perih. Gadis itu hanya sendirian di dalam kelas sekarang, teman-teman sekelasnya sedang menonton pertandingan yang berlangsung di lapangan. Seorang siswa yang tidak ia kenal kemudian secara tiba-tiba masuk ke kelasnya dengan napas yang tidak beraturan, sepertinya ia berlari cukup jauh. Shanine menatapnya bingung.

“Lo Shanine kan?” tanya siswa itu sambil masih mencoba menghirup lebih banyak oksigen.

“I-iya, gue Shanine, kenapa ya?” tanya Shanine mulai cemas, sempat khawatir jika terjadi sesuatu pada sahabatnya.

“Engga, ini, siapa namanya, itu Aksara nitip ini katanya tolong kasih ke lo,” jawab siswa itu kemudian memberikan sebotol minyak kayu putih pada Shanine.

Gadis itu hanya tertawa kecil kemudian mengambil minyak kayu putih yang diberikan oleh siswa tersebut.

Thanks, lain kali santai aja ga usah lari-lari,” ucap Shanine.

“HAHA iya tadi Aksara nyuruh gue buru-buru katanya Shanine lagi darurat terus gue ga tau kenapa nurut,” jawabnya. Shanine hanya tertawa sebagai balasan lalu membiarkan siswa itu langsung pamit keluar kelas.


Shanine masih betah di kelasnya. Sejujurnya ia sangat ingin pergi ke lapangan sekarang, tapi benar-benar perutnya hari ini tidak bisa bekerja sama. Gadis itu masih dikelasnya hingga matahari berada tepat di atas kepala. Teman-temannya kini sudah banyak yang kembali ke kelas, Udah istirahat kah? pikirnya. Beberapa menit kemudian Aksa masuk ke kelas dan duduk di sebelah Shanine.

“Gimana? Final?” tanya Shanine penasaran.

“Istirahat dulu, abis ini baru penentuan final. Keren ga gue?” ujar Aksa, sedang Shanine hanya membalas dengan anggukan.

“Ya udah lo makan dulu deh.”

“Iya nih tadi gue udah beli nasi goreng di kantin tapi gue minta dibungkus.”

“Kenapa ga makan di sana aja sih?”

“Maunya makan sama lo emang kenapa sih?” jawab Aksa sembari membuka makanannya dan mulai menyantapnya sedangkan gadis yang diajak bicara hanya terpaku.

“Kadang lo suka bikin salah paham sih Sa.”

“Salah paham gimana?”

“Engga, ga jadi,” jawab Shanine sedikit panik.

Keduanya kini hanya menyantap makan siang masing-masing dalam diam, Shanine dengan bekal miliknya dan Aksa dengan nasi gorengnya. Hanya butuh sepuluh menit bagi Aksa untuk menghabiskan makanannya hingga jam menunjukkan pukul 12.15 Aksara kembali ke lapangan untuk tanding penentuan final. Shanine yang perutnya masih terasa ngilu dengan berat hati mengurungkan niatnya untuk turun sekarang, ia takut kalau-kalau pingsan di lapangan justru akan menimbulkan keributan. Ia memutuskan untuk menunggu kabar dari Aksara, jika kelasnya masuk final maka ia akan turun sesuai janjinya.

Hujan yang semula turun dengan deras kini sudah mulai reda. Shanine memutuskan untuk pergi menyusul sahabatnya yang sedang bermain di lapangan sekolah. Gadis itu turun dari lantai 2 tempat kelasnya berada dan berjalan santai menuju lapangan. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat Aksa yang tengah asyik bermain dengan teman-temannya meski lapangan masih basah. Dilihatnya juga Kayla tengah duduk di bangku taman tepat di samping lapangan sembari melihat ke arah mereka yang sedang bermain futsal. Shanine memutuskan untuk mampir ke kantin lebih dulu, membeli dua buah susu dan sebotol air mineral kemudian berjalan mendekati Kayla.

“Hey Kay, kok sendirian aja?” sapa Shanine sembari memberikan satu susu yang baru ia beli.

“Oh hai Shanine, thanks. Iya gue bosen di kelas jadinya ke lapangan, kebetulan udah reda jadi bisa duduk disini,” jawab Kayla.

Shanine kemudian duduk di samping Kayla, meminum susu sembari memperhatikan Aksa yang tengah asyik bermain.

“Kay lo beneran ga mau nerima Aksa?” tanya Shanine tiba-tiba, sedangkan yang ditanya hampir tersedak.

“Haha lo kenapa nanya kayak gitu Nin?”

Shanine hanya tersenyum namun jelas matanya tidak menunjukkan emosi bahagia, gadis itu menunduk.

“Engga Kay, ga apa-apa, gue cuma kasian sama Aksa. Kemaren, pas lo nolak dia, dia sakit Kay, demam,” ujar Shanine yang berhasil membuat Kayla terkejut, tidak menyangka perasaan Aksa sebegitu serius untuknya.

“Gue.. gue ga tau Nin harus gimana. Gue ga bisa juga maksain hati gue, gue egois ya Nin?” jawab Kayla, mata gadis itu mulai berair.

“Engga kok, lo ga egois Kay, cinta emang begitu kayaknya, hobi bikin onar di hati orang, ikutin aja alurnya kalo lo emang belom bisa nerima Aksa sekarang.”

“Lo sendiri gimana Nin?”

“Apanya?”

“Perasaan lo. Sakit ya?”

Shanine menatap lurus Kayla, terkejut dengan apa yang gadis itu katakan.

“HAHA maksud lo apaan Kay gue ga ngerti,” balas Shanine akhirnya.

“Lo suka kan sama Aksa?”

Shanine kembali terbungkam. Ia mulai bingung apakah memang perasaannya terlalu jelas atau orang-orang terlalu peka. Sempat khawatir boleh jadi Aksara mengetahui perasaannya.

“Haha gapapa Nin gue ga bakal kasih tau siapa-siapa juga, ga lo jawab juga ga apa-apa,” ujar Kayla setelah melihat raut wajah Shanine yang kurang nyaman.

“Hmmm, gue.... gue suka sama—”

“MBULLL! MINTA MINUM DONG!” teriak Aksa dari tengah lapangan sembari melambaikan tangan kepadanya.

Shanine menghela napas pelan, Hampir aja, batinnya.

“AMBIL SINI!” Shanine menjawab dengan sedikit berteriak. Aksara langsung berlari kecil menghampiri gadis itu.

“Eh ada Kayla, hai?” sapa Aksa kemudian menerima air mineral yang Shanine berikan. Ya, Shanine sengaja membeli minum itu untuk Aksa, ia tahu temannya akan butuh.

“Hai.” Kayla membalas sapaan Aksa sembari tersenyum.

“Kok airnya nggak dingin sih Mbul?” protes Aksa.

“Lo tuh ya, baru sembuh, kemaren jajan es krim, tadi keujanan, terus masa gue harus beliin lo minum dingin juga? bang Sakha tau lo pasti diomelin,” jawab Shanine. Aksa hanya memasang wajah menyebalkannya, wajah khasnya saat dimarahi.

“Parah lo Sa, Shanine khawatir itu,” ujar Kayla sembari tertawa.

“HAH engga woi engga, gue cuma, cuma.... AH GATAU, lo kalo sakit suka aneh soalnya,” jawab Shanine canggung.

“Ah masa?” goda Aksa, masih memasang wajah menyebalkannya.

“AKSA LO JANGAN BIKIN GUE KESEL YA?” ucap Shanine dengan nada sedikit tinggi. Sedangkan yang menggodanya sudah tertawa lepas.

Shanine langsung duduk dari posisi tidurnya begitu Aksa mengakhiri panggilan videonya. Shanine mengusap wajahnya, mencoba untuk sadar sepenuhnya. Ia langsung beranjak dari kasurnya, mengambil pakaian dan handuknya lalu bergegas ke kamar mandi. Di tempat lainnya, Aksa sudah menyelesaikan kegiatan mandinya, ia kemudian keluar dari kamarnya dan menuruni tangga menuju dapur, hendak mengambil air minum.

“Kamu mau kemana sih Sa?” tanya Sakha seraya mengunyah sepotong roti beroleskan mentega, kakaknya itu penasaran mengapa adiknya sudah rapi sepagi ini.

“Jogging,” jawab Aksa singkat setelah menenggak segelas air.

“Kamu habis sakit langsung jogging? Emang udah ga demam?”

“Udah sembuh kok tenang.”

“Oke kalo gitu, kamu sendiri?”

“Sama Shanine bang.”

“Oke, take care.” Aksa lalu hanya membalas dengan acungan jempol dan berjalan keluar rumah.


Shanine sudah siap dengan celana olahraga selututnya, kaos, serta jaket yang sudah ia kenakan sejak dua menit yang lalu. Ia lalu hanya meminum segelas susu dan kini sedang menunggu Aksa sembari memasang sepatunya di teras rumah. Belum lama gadis itu selesai mengikat tali sepatunya, motor Aksa sudah berdiri tepat di depan pagar rumah Shanine.

“MBULL BUKAIN DONGG NITIP MOTOR!” teriak Aksa.

“IH lu mah jangan teriak begitu kenapaa, gue ga budek ini nanti tetangga pada marah,” ujar Shanine sambil membuka pagar rumahnya, membiarkan Aksa memarkirkan motornya di halaman rumahnya.

“Udah beres, yuk cus langsung.” Aksa kemudian mengulurkan tangannya ke arah Shanine.

“Ini apa nih maksudnya?” tanya Shanine, menunjuk tangan Aksa yang dijulurkan padanya.

“Gandeng?”

“Buat apa anjir udahlah aneh semua ide lo. Udah sembuh belom sih?” balas Shanine kemudian menempelkan tangannya di dahi Aksa sedang pria pemilik dahi tersebut entah mengapa merasakan hangat dan berdebar di dadanya.

“Udah ga demam sih, tapi kayaknya lo belom waras gue liat-liat,” ujar Shanine lagi. Gadis itu kemudian berjalan lebih dulu, meninggalkan Aksara yang masih mematung.

“JUN AYOO!” Teriakan Shanine berhasil menyadarkan Aksa dari lamunannya. Adalah salah jika mengira Shanine tidak berdebar ketika menyentuh dahi pria yang ia sukai itu, namun gadis itu hanya tidak ingin terlihat demikian, mencoba menutupi semburat merah yang hadir pada kedua pipinya.


Dua remaja itu menikmati jogging pagi mereka sambil sesekali mengobrol dan bercanda hingga tak terasa mereka sudah menghabiskan 1 jam bersama. Merasa sudah cukup lelah, mereka lalu memutuskan duduk sejenak untuk minum dan istirahat. Shanine hanya mengedarkan pandang ke sekitar sembari mengulaskan senyum manisnya.

“Lo udah sarapan mbul?” tanya Aksa tiba-tiba setelah menenggak air minumnya hingga tersisa setengah botol. “Cuma minum susu sih.” “Beli makan mau ga?” “Terserah lo aja gue ngikut.” Aksa tidak langsung menjawab, tampak sedang berpikir, “Nanti dulu deh gue masih pengen duduk,” ujarnya kemudian. “Oke.”

Pagi yang sangat cerah bahkan awan pun tidak terlihat di langit sejauh mata memandang, langit biru sempurna. Kicauan burung menemani dua insan yang kini tengah larut dalam pikiran masing-masing, tidak saling mengetahui pun tidak saling penasaran akan apa yang dipikirkan sahabatnya hingga Aksa tiba-tiba menghela napas panjang dan menyadarkan Shanine dari lamunannya.

“Kenapa lo?” tanya Shanine.

“Ga, ga apa-apa. Nin, ke minimarket yuk,” ajak Aksa yang kemudian disusul anggukan oleh Shanine. Sepasang sahabat itu lalu berjalan ke minimarket yang tidak jauh dari tempat istirahat mereka dengan Shanine yang berjalan cepat menyusul sahabatnya yang sudah berjalan lebih dulu.

“Mau beli apa?” tanya Shanine usai mereka memasuki minimarket.

“Mau ngadem,” jawab Aksa dan dibalas tatapan malas dari sahabatnya.

“Mau roti?”

“Es krim aja Nin.”

“Mana ada, lo abis demam masa makan es krim?”

“Yaa, ga apa-apa.”

“Nggak, nggak boleh.”

“Lo kaya Sakha ah males,” ucap Aksa sambil membuang muka, merajuk.

“Dih ngambek, ya udah ayo beli es krim deh,” balas Shanine dengan nada pasrah, mungkin ia hanya akan membiarkan Aksa melakukan apa yang dia mau hari ini.

“Nanti dulu, ada syaratnya,” sambung Shanine cepat.

Aksa menoleh, “Apa?”

“Beli roti juga, karena lo pasti belum sarapan?” tebak gadis itu.

“Oke deal.”

Sambil memakan es krim masing-masing, mereka berjalan pulang ke rumah Shanine mengingat motor Aksa yang dititipkan di rumah gadis itu. Sesampainya di rumah Shanine, Aksa langsung pamit untuk pulang.

“Gue duluan ya Shanine, makasih udah nemenin jogging.”

“Jangan lupa sarapan ya, jangan makan es krimnya doang, oke?”

“Iya Mbullll,” jawabnya sembari memajukan bibirnya, meledek, kemudian melajukan motornya cepat sebelum pukulan gadis di hadapannya mendarat padanya.

Kedua sahabat itu berbincang cukup lama hingga Aksa tertidur. Beberapa menit setelahnya Sakha pulang, sudah menyelesaikan urusan belanjanya. Sakha kemudian membuka pelan pintu kamar adik laki-laki kesayangannya itu, berniat untuk memeriksa keadaan. Aksa sedang terlelap saat ini, sedang Shanine menemaninya di samping kasurnya, duduk, dan membaca sebuah buku.

“Shanine,” Sakha mencoba untuk memanggil sahabat adiknya itu.

“Oh iya Bang Sakha kenapa? Shanine nggak denger bang Sakha pulang.”

“Udah jam 7 malem, kamu ga pulang aja Nin?” tanya Sakha.

“Hm, iya pulang nanti habis Aksa makan malem deh,” jawab Shanine, sesekali melihat wajah damai sahabatnya yang terlelap.

“Oke, kalo gitu mau bantu bang Sakha nyiapin makan malem?”

“Oke, Shanine ke bawah.”

Sakha kemudian menutup kembali pintu kamar adiknya dan berjalan menuju dapur. Di belakangnya, Shanine hanya mengekor. Mereka pun menyiapkan beberapa menu makan malam. Shanine membuat sup makaroni sesuai dengan permintaan Aksa sebelum ia tidur. Sakha yang sebenarnya kurang pandai memasak hanya membantu Shanine dengan beberapa kebutuhan memasaknya.

“Shanine, bang Sakha boleh tanya?” ujar Sakha sembari membuka kemasan kecap.

“Bolehh,” jawab Shanine yang masih mengaduk-aduk sup makaroninya.

“Kamu, masih suka sama Aksa ya?”

Pertanyaan Sakha sontak membuat Shanine terkejut. Shanine sungguh tidak pernah memberitahukan perasaannya pada orang lain.

“Hm? Kenapa bang Sakha nyimpulin aku suka sama Aksa?” Shanine memutuskan untuk mencari jawaban aman.

“Hahaha, iya ketahuan Shanine. Kamu sudah suka Aksa sejak SMP kan? Mata kamu, tingkah kamu, semuanya nunjukin kalo kamu sayang banget sama adek abang,” jelas Sakha. Shanine menyerah. Ia menghela napas pelan.

“Hhh, iya kak iya gue suka sama adek lo kak, tapi apa daya kan dia sukanya sama Kayla,” ujar Shanine dengan wajah yang tiba-tiba terlihat sedih. Sakha hanya tersenyum mendengar jawaban sahabat adiknya ini.

“Ya, maaf Shanine, pasti sakit ya?” balas Sakha.

“Eh, engga kok engga bang, ga terlalu HAHAHA. Ada di samping dia, nemenin dia aja gue udah merasa cukup bang, ga apa-apa.”

“Kamu baik Shanine, bang Sakha mau minta tolong buat jagain Aksara ya? Dia mungkin emang jahil anaknya, dia ga peka, dan dengan perasaan kamu saat ini dia pasti jadi lebih sering nyakitin kamu kan Nin? Tapi bang Sakha harap kamu mau terus ada buat dia,” ucap Sakha dengan nada lembut dan tulus.

“Iya bang, Shanine usahain. Bang Sakha baik banget meski bukan kakak kandung Aksa. Aksa pasti seneng punya abang kayak bang Sakha,” Shanine menjawab dengan senyuman, sembari memindahkan sup makaroninya ke mangkuk.

“Bang Sakha rela kasih apa aja ke Aksara Nin, sebagai rasa terima kasih sudah diterima di keluarga ini. Apapun abang kasih. Apapun.”

Setelah semua makan malam sudah siap, Shanine pergi ke kamar Aksa, mencoba membangunkannya untuk makan. “Aksa—eh Juni maksudnya, Jun, makan yuk,” ajak Shanine lembut sambil menepuk pelan lengan sahabatnya. Aksa mulai merespon, ia kemudian duduk.

“Jam berapa Mbul sekarang?” tanya Aksa.

“Jam setengah 8, makanya ayo makan buru.”

“Kok lo belom pulang sih?”

“Iya gue pulang abis lo makan, gue juga laper soalnya. Udah ayo cepet berdiri.”

“Yaa.”

Ketiga remaja itu kini tengah berkumpul di meja makan, menikmati makan malam mereka. Aksa makan lebih banyak dari saat ia makan siang tadi, entah karena ada sup makaroni buatan Shanine atau karena moodnya sudah lebih baik kali ini. Mereka menyelesaikan seluruh kegiatan makan malam dan bebenah sekitar setengah jam. Kalau kalian penasaran mengapa orang tua Aksa dan Sakha ini tidak ada di rumah, ya, mereka sedang pergi ke luar kota bulan ini, mengunjungi keluarganya yang sedang sakit. Aksa dan Sakha tidak ikut pergi karena mereka harus tetap bersekolah. Usai membereskan dapur, Shanine bersiap pulang, ia mengambil beberapa barangnya yang ia letakkan di kamar Aksa tadi.

“Gue anter ya,” ujar Aksa sambil mencari jaket hitamnya.

“Eh ya engga usah lah gila lo baru turun demamnya, jangan keluar rumah dulu, gue naik ojol aja,” jawab Shanine.

“Ya udah dianter abang gue aja,” Aksa mencoba memberi pilihan lain.

“Ga usah, bang Sakha biar jagain lo aja, dahh Juni, cepet sembuh yaa, gue duluan,” balas Shanine sambil mengenakan jaketnya kemudian keluar dari kamar Aksa.

Sakha yang tadinya berniat untuk mengantar Shanine juga ditolak oleh gadis itu, “Jagain Aksa aja kak, gue bisa pulang sendiri kok, rumah gue ga begitu jauh,” jawab Shanine. Tidak lama setelahnya, ojol yang dipesan oleh gadis itu datang. Shanine pamit dan langsung pulang ke rumahnya.

Aksara menutup rapat tubuhnya dengan selimut. Seharian ini ia hanya di kamar, mungkin keluar hanya sekadar untuk makan dan ke toilet. Entah kenapa hari ini kepalanya terasa begitu berat. Ia sudah sering menyatakan perasaannya pada gadis yang selalu ia sukai—Kayla, pun ia sudah ditolak berkali-kali setiap ia menyatakan perasaan. Biasanya ia hanya akan bersedih setengah hari atau satu hari, namun kali ini ia merasa sangat kalut. Berkali-kali suara Kayla terdengar di kepalanya, mencoba terus memutar kembali memori. Ucapan Kayla kemarin benar-benar berdampak padanya tanpa ia sangka.

Maaf Aksara, lo cowok baik, gue tau. Tapi perasaan ga bisa dibohongin kan Sa? Selama ini gue cuma memandang satu orang yang sama, Arsakha. Gue tau Sa, perasaan gue juga ga berbalas, makanya gue paham perasaan lo sekarang, gue minta maaf Sa. Jujur, gue pernah coba buat lebih perhatian ke lo Sa, pernah gue coba buat pindah hati ke lo Sa, tapi lagi-lagi, ucapan atau perlakuan kecil dari Arsakha selalu bisa bikin gue kembali. Gue ga mau maksain diri dan malah nyakitin lo, gue minta maaf. Kali ini, gue bener-bener nolak lo, maaf.

Aksara paham, ia sangat paham dengan apa yang diucapkan Kayla kemarin sore. Ia mengerti perasaan memang tidak bisa dipaksakan begitu saja. Hanya saja ia belum dapat menerima kenyataan bahwa ia tidak ada sedikit pun di hati Kayla, ia tidak ada dalam setiap pandangnya, ia hanya teman yang Kayla tahu adalah adik dari pria yang disukainya, Arsakha. Ingatan itu membuat kepalanya lebih sakit hari ini. Bahkan Aksa hanya memakan sedikit makan siangnya, itu pun karena Arsakha memaksa.

Jam menunjukkan pukul 3 sore. Aksara masih larut dalam lamunannya hingga ia disadarkan oleh suara bel rumahnya, “Pasti Shanine,” pikirnya. Samar-samar ia dapat mendengar suara Shanine di luar sedang mengobrol dengan abangnya. Beberapa menit kemudian pintu kamar Aksara diketuk pelan. Sakha membuka sedikit pintu tersebut, mencoba mengintip ke dalam kamar adik laki-lakinya.

“Aksa, ini ada Shanine,” ucap Sakha.

“Iya,” balas Aksa singkat, masih dengan selimut yang menutupi tubuhnya.

“Bang Sakha mau keluar sebentar disuruh Ibu beli beberapa keperluan, Shanine temenin kamu di sini ya?”

“Iya, Shanine suruh masuk aja gapapa.”

“Oke, abang suruh Shanine masuk.”

Shanine masuk ke kamar Aksa setelah mendapat izin dari Sakha. Hati Shanine sakit setiap kali ia melihat Aksa seperti ini, tidak, sebenarnya Aksa jarang sakit, ia anak yang kuat, tapi Shanine tahu, ia sampai demam begini boleh jadi karena kejadian kemarin.

“Halo? Jun? Gue masuk ya?” Shanine mencoba membuka percakapan meski yang diajak bicara hanya diam, masih menyelimuti dirinya.

“Jun lo udah makan kan?” ucap Shanine lagi.

“Udah.”

“Oke.”

Keduanya kembali terdiam. Shanine memutuskan untuk membenahi kamar Aksa yang sedikit berantakan dengan buku-buku yang berserakan di lantai bercampur dengan remah-remah biskuit. Shanine menghentikan kegiatan menyapunya karena tiba-tiba Aksa memanggil.

“Shanine....”

“Ya Sa? Kenapa? Butuh apa?”

“Gue laper tapi males makan.”

“Hmm mau sup makaroni ya gue bikinin?”

“Ga mau.”

“Apa dong?”

“Energen aja. Tapi mix vanilla sama cokelat.”

“Hah? Dua gitu? Dua energen gua campur trus seduh bareng?”

“Ya.”

“Aneh tapi yaudah bentar gue ke dapur.”

Shanine keluar dari kamar Aksa dan menuju dapur rumahnya. Ia sudah hafal denah rumah sahabatnya ini karena memang sudah sangat sering bermain ke rumah Aksa sejak SMP. Shanine mengambil satu bungkus energen cokelat dan satu bungkus energen vanilla sesuai dengan yang diinginkan Aksa. Ia kemudian menyeduhnya bersamaan. Jujur, baru pertama kali Shanine membuat minuman itu dengan cara seperti ini. Setelah selesai menyeduhnya, ia kemudian membawa minuman itu ke kamar Aksa.

“Sa, nih udah jadi. Sumpah aneh ga sih rasanya?”

“Ga tau gue juga baru pertama kali minum begini,” balas Aksa kemudian mengaduk minumannya.

“DIH? gimana sih gue kira lo udah sering soalnya pede banget mintanya. Yaudah minum deh. Gue izin lanjutin beresin kamar lo,” ucap Shanine sebelum detik berikutnya ia kembali melanjutkan kegiatan menyapunya, sedang Aksa menikmati minumannnya sambil sesekali menatap sahabatnya.

“Sori ga jadi nonton.” Aksa mencoba membuka percakapan.

“Santai aja Sa, lagian nonton juga maunya lo kok kemaren, gue niat nemenin doang.”

“Juni.”

“Hah?”

“Panggil gue Juni. Dari tadi lo manggil gue Aksa aneh banget rasanya.”

“HAHAHA tapi nama lo kan emang Aksaaa?”

“Ya gapapa Juni aja.”

“Ya udah iya Juni.” Shanine mengalah.

Lo pikir gue ga deg-degan juga apa ya dipanggil Shanine mulu dua hari berturut-turut? batinnya.

“Shanine,” panggil Aksa lagi.

“Apaaa?”

“Kemaren gue ditolak Kayla.”

“Iya tau, lo udah cerita.”

“Beneran ditolak.”

“Iya..”

“Gue harus nyerah aja apa ya Nin?”

“Kata tweet lo kemaren ga mau nyerah?”

“Ga tau deh, Kayla bilang perasaan ga bisa dipaksa dan dia sukanya sama Bang Sakha.”

“Ya, perasaan lo juga ga bisa dipaksa berarti kan? Kalo lo masih suka sama Kayla terus mau bilang apa?” ujar Shanine seolah menampar dirinya sendiri dengan ucapannya. Aksa hanya diam, bingung ingin menjawab apa.

“Kalo menurut gue nih Sa—”

“Jun. Juni.”

“Iya maksud gue Juni, menurut gue nih Jun, terserah aja lo mau tetep suka Kayla apa engga. Tapi kalau Kayla beneran ga mau sama lo, hargai aja keputusannya. Tapi lo masih boleh suka sama dia kan,” lanjut gadis itu, masih dengan sapu yang setia menghiasi tangan kanannya.

“Iya..”

“Nah udah begitu aja dulu mikirnya, pelan-pelan, kalo emang jodoh pasti dipertemukan, udah tenang aja oke?”

“Iya, makasih Mbul.”

Shanine langsung meletakkan ponselnya di kasur setelah menyelesaikan percakapannya dengan Aksa tadi. Gadis itu kini sedang bersiap-siap pergi ke tempat makan favorit Aksa kala sedang sedih—warung bubur dekat sekolah mereka. Bersiap-siap ala Shanine kali ini bukan melakukan make up atau memilih pakaian paling cantik. Gadis itu hanya mempertimbangkan dinginnya angin malam sehingga ia memakai hoodie abu-abunya, celana panjang, memakai kaus kaki, dan sepatu kets kemudian memesan ojol. Selagi menunggu ojolnya datang, gadis itu membuat air madu hangat dan ditempatkannya di dalam termos kecil, ya, Aksara sangat suka meminum minuman itu kala sedih, itu bisa membuatnya lebih baik. Setelah semuanya siap, Shanine langsung pergi menyusul Aksa.

Gadis itu turun dari motor dan memberikan uang pada abang ojol yang baru saja mengantarnya. Shanine langsung berjalan memasuki warung bubur tersebut dan mencari pria bernama Aksa. Cukup lama gadis itu mencari, hingga dua menit setelahnya ia langsung menghampiri pria yang dimaksud.

“Oi,” sapa Shanine kemudian duduk di samping Aksa. Sedang yang disapa hanya menoleh kemudian kembali melamun.

“Lo udah pesen buburnya Jun? Kok ga ada tanda-tanda lo makan?” tanya Shanine lagi. Aksa hanya menggeleng.

“Air madu,” pinta Aksa pelan.

“Oh, iya iya nih gue bawain air madu, ckckck gue tau lu pasti butuh,” balas Shanine sembari menyodorkan termos kecil berisi air madu hangat kepada Aksa.

Thanks Mbul.”

“Jun, gue pesenin bubur ya? Lo belom makan kan?”

“Ya, ga pake kacang.”

“Iya tau.”

“Adukin juga buburnya.”

Shanine sedikit terkejut, “Ih tumben biasanya bukan tim aduk.”

“Ya.”

Gadis itu kini hanya menatap sahabatnya datar kemudian memesan dua porsi bubur. Kali ini patah hati Aksa sepertinya cukup parah, pikirnya. Sesuai perintah, Shanine langsung mengaduk bubur ayam milik Aksa setelah pesanannya datang kemudian memberikannya pada Aksa.

“Nih, makan,” ujarnya singkat.

Aksa yang raut wajahnya terlihat masih kusut hanya menatap bubur miliknya yang masih mengepulkan asap.

“Makan bang jangan bengong,” ucap Shanine lagi, mencoba menyadarkan temannya dari lamunan.

“Mbul.”

“Apa?”

“Sini gue adukin bubur lo..”

“DIH engga gamau gua bukan tim aduk.”

“Kali ini tim aduk aja.”

“Kenapa tadi lo ga aduk bubur lo sendiri aja sih elahh orang aneh.”

“Ya.”

Mendengar jawaban sahabatnya yang mulai tidak nyambung, Shanine menghela napas pelan, menyerah. Ia akan membiarkan saja temannya melakukan apapun yang temannya ini inginkan saat ini.

“Yaudah nih aduk dah aduk,” ucap Shanine sembari menyodorkan mangkuk bubur miliknya yang isinya masih tertata rapi. Aksa langsung menerima mangkuk tersebut dan mengaduknya rata seolah meluapkan semua kekesalannya pada bubur itu.

“Nih udah,” ujar laki-laki itu kemudian mengembalikan mangkuk bubur sahabatnya.

“Makasih?” balas Shanine sambil menatap buburnya yang kini sudah tidak berbentuk.

Sekitar dua puluh menit mereka habiskan dalam diam sembari memakan bubur ayam masing-masing. Shanine akui ternyata metode bubur aduk tidak begitu buruk. Kini mereka telah menyelesaikan acara makan-makan buburnya. Masih terlihat tidak ingin bicara, Shanine hanya membiarkan sahabatnya ini larut dalam lamunannya. Begitulah dua sahabat ini, mereka akan saling paham meski tidak berbicara sekalipun, mungkin sudah terbentuk ikatan batin antara keduanya karena sudah berteman sejak kurang lebih lima tahun.

“Mbul, jalan-jalan yuk.”

“Sekarang?”

“Ya.”

“Ga ah gila lo udah jam 10 malem lo mau kemanaaa Juniiii,” balas Shanine dan yang diajak bicara hanya menatap datar ke arah jam dinding.

“Nonton?”

“Besok aja gimana besok? Besok kan Sabtu nih kita ga sekolah, kita nonton dah sore mau gak?” tawar Shanine.

“Mau.”

“Oke, sekarang kita pulang.”

“Ya.”

Dua sahabat itu kini menuju parkiran. Aksa menyiapkan motornya, bersiap pulang.

“Naik,” ujar Aksa.

“Oh? lo mau anter gue? Gapapa?”

“Ya.”

“Beneran ya gue naik ya.”

“Ya.”

Aksa melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Semilir angin malam semoga dapat membantu menyejukkan pikiran mereka yang sedang tidak baik-baik saja hari ini. Harum parfum pada baju Aksa yang entah bagaimana masih tercium jelas meski sudah seharian ia gunakan membuat Shanine merasa nyaman. Tidak terasa sepuluh menit setelahnya motor Aksa sudah tiba tepat di depan gerbang rumah Shanine.

“Makasih Jun,” ucap Shanine sembari mengembalikan helm milik Aksa yang tadi ia gunakan.

“Iya, termos lo besok gue balikin ya.”

“Santai aja, balikin kapan aja terserah lo. Udah ya jangan bete lagi, gue yakin masih ada kesempatan buat lo kok Jun.”

“Iya makasih. Gue duluan ya Mbul, makasih udah bawain air madu dan mau susulin gue.”

“Iyeeee. Dah sana pulang, jangan ngebut.”

“Yaaa.”

Shanine langsung masuk ke dalam begitu motor Aksa sudah tidak terlihat dari kejauhan. Gadis itu masuk ke kamarnya, berganti baju, mencuci wajah, dan menyikat giginya, bersiap untuk tidur. Shanine berbaring di kasurnya dengan nyaman sambil memainkan ponselnya, membuka twitter dan instagramnya. Sedang asyik memainkan ponselnya, notifikasi dari Aksara membuatnya sedikit terkejut. Shanine langsung membuka notifikasi tersebut, menemani Aksa yang masih merasa sepi.

Shanine langsung mengangkat telepon begitu melihat notifikasi panggilan dari Aksa.

“Halo? Jun?” ucap Shanine, sedangkan yang di seberang telepon cukup lama terdiam. “Hm..” jawab Aksa akhirnya. “Lo ga pa-pa?” “Ya.. temenin gue aja bentar sampe tidur boleh?” “Hahaha kaya sama siapa aja lo, boleh lah gue udah biasa.” “Makasih.” “Iya.”

Kedua manusia itu kembali diam beberapa menit. Shanine akhirnya memutuskan untuk membaca buku sembari menemani Aksa sampai anak itu tertidur.

“Shanine..”

Gadis yang sedang asyik membaca bukunya itu tiba-tiba menghentikan kegiatannya. Mendengar namanya dipanggil oleh pria yang disukainya sejak lama membuat hatinya berdebar. Aksa biasa memanggilnya dengan “Mbul”, sehingga dipanggil dengan lengkap seperti ini membuatnya merasa sedikit canggung.

“Kenapa Aksara?” “Shanine, ceritain dongeng..” “Dongeng? putri salju?” “Gak mau, yang lain yang gaada jatuh cinta nya.”

Mendengar jawaban Aksa, Shanine tertawa pelan. “Lucu,” pikirnya.

“Apa dong? humm.. Bangau yang angkuh mau?” “Kaya gimana tuh?” “Jadi, ada seekor bangau, dia kelaparan nih ceritanya, nah akhirnya dia pergi ke pinggir sungai dan menemukan banyak ikan kecil.” “Hm trus?” “Tapi dia bilang, ‘gamau ah makan ikan kecil, maunya yang besar aja!’, gitu, terus akhirnya ada ikan yang lumayan gede nih lewat di depan dia, tapi si Bangau malah bilang lagi, ‘ih susah makan yang terlalu besar!’”

Tidak mendengar suara dari seberang telepon, Shanine memutuskan untuk diam sebentar.

“Aksa? udah tidur?” tanya Shanine akhirnya. “Belom, lanjut aja..” “Oke.. Karena si Bangau ga mau juga nih makan ikan besar, dia nunggu lagi. Tapi tiba-tiba semua ikan itu pergi ke tengah sungai, akhirnya si Bangau cuma makan siput kecil yang ada di pinggir sungai.” Shanine akhirnya selesai bercerita.

“Bangaunya ngeselin makanya jadi kecap..” jawab Aksa di seberang telepon. “HAHAHA ada ada aja lo.. Udah ngantuk belom?” “Belom, ceritain lagi yang lain,” pintanya. “Oke, ini ada cerita ‘Beruang dan Lebah’ judulnya. Pada suatu hari, hiduplah seekor beruang madu besar yang hidup di hutan. Siang itu si Beruang sangat lapar dan ingin mencari madu. Ditemukanlah oleh si Beruang sebuah sarang lebah yang besar di atas pohon. Si Beruang memutuskan untuk mengamati sekitar, melihat-lihat keadaan kalau-kalau ada lebah yang menyerang.”

Shanine kembali menjeda ceritanya, ingin memastikan apakah Aksa sudah tertidur atau belum.

“Sa? Udah bobo ya?”

Lama tidak ada jawaban di seberang, Shanine menyimpulkan bahwa laki-laki itu sudah tertidur.

“Selamat tidur Aksara, cepat sembuh,” ucapnya lalu menutup panggilan.

Hiruk-pikuk yang terjadi setiap jam istirahat di sekolah kini menemani langkah seorang gadis menuju lapangan. Shanine—gadis manis itu sedang mencari sosok pria yang merupakan teman dekatnya sejak SMP. Ia mencari temannya itu untuk memberikan benda yang baru saja dititipkan padanya melalui pesan singkat beberapa menit lalu. Begitu matanya menangkap sosok pria yang dimaksud, ia langsung berteriak, hendak memanggilnya.

“JUNN!! nih dompet looo!”

Aksara—pria yang dimaksud oleh Shanine kini menghentikan kegiatannya bermain bola basket dan menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Aksa berjalan ke pinggir lapangan, bermaksud untuk menghampiri sahabatnya, “Thanks Mbul, yuk ke kantin beli makan,” ajaknya.

Shanine hanya mengekor Aksa yang berjalan lebih dulu di depannya. Sebenarnya ia tidak terlalu lapar saat ini, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Aksara saja.

“Lo mau makan apa mbul?” Tanya Aksa sambil sesekali mengetik di ponselnya.

“Gue ga laper,” jawab Shanine singkat.

“Mie ayam bakso mau gak? temenin gue makan, kalo lu ga laper makannya berdua aja,” ujar Aksa santai sedangkan gadis yang diajak bicara kini hanya terpaku, sedikit terkejut dengan ucapan temannya.

“Hah? makan semangkok bedua gitu maksud lo?” Tanyanya memastikan. “Iye.” “Ga, lo makan aja sendiri.” “Dih malu ya lo sepiring berdua?” “ENGGA YA?? Cuma ga normal aja elah aneh ide lo. Lagian lo kan rakus, habis lah itu sendiri,” jawab Shanine kikuk sambil membuang wajahnya. “Dih, yauda gue pesenin bakso sama pangsit rebus kesukaan lo aja ya,” balas Aksa kemudian mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu. “IH Jun engga gua beli sendiri ajaa.” “Udeh diem.” “Cih yaudah makasih.”

Obrolan santai menemani dua sosok sahabat yang kini sedang menunggu makanan pesanannya siap, sesekali mereka bercanda dan tertawa. Keduanya kemudian langsung mengambil pesanan masing-masing begitu makanan mereka siap.

“Penuh Mbul mejanya, duduk di mana ya?” “Hmm lo ga ada kenal orang yang bisa bareng Jun?” “OH ada, itu, princess gue. Duduk bareng Kayla yuk, dia sendiri tuh.” “Ya, boleh,” jawab Shanine kemudian menghela napasnya pelan.

Aksa langsung berjalan cepat menghampiri meja yang dimaksud, “Halo Kay, gue sama Shanine boleh duduk di sini nggak? Mejanya penuh semua.”

“Oh halo Aksa, boleh kok,” jawab gadis bernama Kayla itu dengan ramah.

Aksa langsung memosisikan duduknya di hadapan gadis yang ia sukai itu sedangkan Shanine duduk di samping Kayla. Hubungan Shanine dan Kayla terbilang teman dekat. Mereka memang tidak pernah satu kelas sejak kelas 10, namun kelas mereka selalu bersebelahan sehingga mereka sering bertemu dan mengobrol. Kayla adalah sosok wanita yang cantik, ia orang yang lembut dan sabar, ia pintar dan merupakan juara kelas, tutur katanya baik, sikapnya selalu sopan, sehingga tidak sedikit pria ataupun wanita yang ingin akrab dengannya, termasuk Aksa, ia sudah menyukai gadis ini sejak awal kelas 10, “Ini cinta pandangan pertama namanya Mbul,” ucapnya hari itu sambil tidak henti-hentinya memandangi gadis bernama Kayla yang baru ia temui.

Ketiga remaja itu kini menghabiskan makanan mereka bersama sambil sesekali mengobrol tentang sekolah, hobi, dan hal lainnya. Aksa mendengarkan Kayla dan Shanine yang asyik mengobrol sambil sibuk mengetik di layar ponselnya. Shanine yang sedari tadi memperhatikan temannya yang sibuk dengan ponselnya itu akhirnya ikut penasaran.

“Jun lo ngapain sih sibuk amat?” Tanya Shanine yang disusul juga oleh tatapan penasaran Kayla.

“Oh engga ini Bang Sakha katanya mau ke sini tapi tiba-tiba ga jadi, aneh. Udah makan belum ya tuh orang,” jawab Aksa.

“Ga coba ditelepon aja orangnya?” Usul Shanine.

“Ga deh udah jawab di chat tadi katanya ada urusan di kelasnya,” balas Aksa yang disusul anggukan oleh sahabatnya. Kayla yang sebenarnya menyukai kakak dari Aksara itu hanya menunduk, sedikit kecewa, baru saja ia merasa senang Sakha akan ikut makan bersamanya.

Bukan tanpa alasan Sakha mengurungkan niatnya untuk ikut makan bersama adik lelaki kesayangannya dan teman-teman adiknya itu. Ia sebenarnya sudah sampai di kantin beberapa menit lalu sebelum ia mengabarkan pada Aksa bahwa ia punya urusan. Namun, melihat Kayla duduk di meja yang sama dengan adiknya membuat dadanya sedikit sesak, perasaan dilema bermunculan di hatinya. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan sang adik, namun di sisi lain ia juga sangat ingin mengobrol bersama gadis yang ia sukai, Kayla. Dengan berat hati akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kelasnya.


Sudah sekitar lima belas menit ketiga remaja itu menghabiskan waktu mereka di kantin hingga lima menit setelahnya bel masuk berbunyi membuat mereka cepat-cepat beranjak dan berjalan kembali ke kelas. Aksa dan Kayla masih sibuk mengobrol sepanjang jalan menuju kelas, sedang di belakangnya Shanine hanya sesekali menambahkan obrolan meski kini hatinya terasa sepi, menyadari perasaan Aksa bukan untuknya, melainkan perempuan lain yang ia rasa jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengannya.

Saat ini Shanine sudah duduk di bangkunya, asyik memainkan ponselnya hingga tak menyadari Aksa kini sudah duduk di hadapannya, menidurkan kepalanya di atas lengannya sendiri sambil menatap sahabatnya.

“Kenapa senyum-senyum sendiri dah,” ucap Aksa.

“KAGET! Jun sejak kapan lo duduk di situ?!”

“Baru aja,” jawab Aksa singkat kemudian mengeluarkan seluruh isi tempat pensil temannya yang sebelumnya terbuka. Shanine hanya membiarkan temannya itu melakukan apa yang ia mau seolah sudah terbiasa dengan keusilan seorang Aksara Juni.

“Mbul, Kayla cantik banget kan ya,” ujar Aksa yang kini sudah mencoret-coret buku tulis Shanine seolah itu miliknya. Mendengar ucapan tersebut, Shanine menghentikan gerakan jarinya pada ponselnya, merasa moodnya tidak lagi sebaik sebelumnya.

“Iya,” balas Shanine singkat dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.

“Gua bisa ga ya Mbul jadi pacar dia?”

“Nggak bisa,” jawab Shanine datar sedangkan yang diajak bicara sekarang sudah memasang wajah menyebalkan.

“Hih bisa lah Aksara kan tampan dan berani!” Balasnya dengan percaya diri.

“Iya iya gue mah bakal dukung lo aja selama itu bukan kegiatan yang buruk,” ucap Shanine santai meski ia tahu hatinya akan sangat sakit.

“Hehe lo emang temen terbaik gua dah emang paling top.”

“Yayayayaya.”

“Mbul.”

“Apaan lagiii!”

“Lo nggak suka sama siapa-siapa gitu Mbul? Sejak SMP gua nggak pernah tuh denger lo curhat tentang cowok atau deket sama cowok selain gua sama Bang Sakha?”

Shanine yang mendengar ucapan temannya ini hanya tersenyum miris. “Nggak ada. Nggak ada yang mau deketin gua soalnya takut sama lo,” jawab Shanine asal.

“HAHAHA ya udah gue cariin pacar mau nggak?” tanya Aksa.

“Engga.”

“Jangan-jangan lo nggak suka cowok ya?!”

“HEH enak aja!”

“Oh atau jangan-jangan lo suka sama guru matematika yang baru ya?”

“ENGGAK??” jawab Shanine, mulai kesal.

“HAHAHA OH gua tauu, jangan-jangan lo suka sama gua ya makanya lo nggak mau sama yang lain?” ucap Aksa sambil mengelap air matanya yang keluar karena terlalu banyak tertawa.

Shanine kini hanya terpaku, manik matanya menatap lurus pada Aksa yang masih asyik tertawa. Tidak berniat menjawab, ia hanya diam kemudian melanjutkan gambar 'jelek' Aksara pada buku tulisnya. Aksa yang menyadari temannya tidak menjawab pun akhirnya terdiam.

“Jadi bener? lo suka sama gue?”

Shanine hanya menatap temannya lagi dan kembali menggambar.

“Enggak lah gila lo. Udah kembung gue main sama lo, masa iya mesti pacaran juga,” jawab Shanine akhirnya.

Aksa hanya menaikkan sebelah alisnya kemudian mengangguk, ia lalu beranjak dari duduknya, hendak kembali ke bangku miliknya sendiri mengingat guru yang akan mengajar sudah tiba di kelas mereka, sedangkan Shanine masih dapat merasakan perih di hatinya.