itsdysa

Shanine—gadis bersurai panjang itu kini berjalan bolak-balik di teras rumahnya. Hujan sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu, namun tetap saja jalanan masih licin dan basah. Gadis itu khawatir sahabatnya akan menyetir motornya dengan kecepatan penuh ditambah ia tahu Aksa sedang tidak baik-baik saja sekarang. Beberapa menit kemudian suara motor Aksa terdengar, remaja itu muncul dan menghentikan motornya tepat di depan rumah sahabatnya. Shanine langsung berlari menghampiri pagar rumahnya, membukakan pagar tersebut, dan mempersilakan Aksa untuk masuk.


“Lo, duduk di sini dulu, sebentar gue bikinin minum,” ujar Shanine setelah memastikan Aksa duduk di sofa ruang tamunya. Pria itu masih diam menunduk.

Selang 3 menit, Shanine kembali dari dapurnya dengan membawa secangkir air madu hangat yang kemudian diberikan olehnya untuk sahabatnya. “Ini, minum dulu, ya?” Shanine mencoba menyodorkan cangkir tersebut pada Aksa. Remaja laki-laki itu menerimanya dan menuruti Shanine untuk meminumnya.

“Nah, sekarang boleh cerita, siapa yang jahat?” ujar Shanine lembut. “Gue.” Shanine diam, otaknya memproses informasi yang diberikan, “Maksudnya?” “Gue yang jahat. Gue jahat sama Bang Sakha,” jawab remaja laki-laki itu seraya meremas rambutnya, air matanya kembali turun.

Beberapa lama Shanine masih terdiam hingga detik berikutnya gadis itu sudah merengkuh Aksa dalam pelukannya, menepuk-nepuk pelan punggungnya, mengusapnya lembut. Tangis Aksa semakin menjadi dibuatnya, pria itu menenggelamkan wajahnya pada lengan kecil milik Shanine, membagi kesedihannya dengan gadis itu. Shanine masih tidak dapat menebak apa yang terjadi, namun ia juga tidak ingin memaksakan sahabatnya untuk bercerita, ia hanya akan berusaha memberikan kenyamanan sebanyak yang ia bisa.

Begitu Aksa sudah sedikit tenang, Shanine melepas pelukannya dan memberikan beberapa lembar tisu.

“Bang Sakha suka sama Kayla.” Ujar Aksa dengan suara paraunya.

Jujur, Shanine terkejut dengan informasi yang baru saja ia peroleh. Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh gadis itu jika Sakha sebenarnya menyukai seseorang, terlebih itu adalah orang yang sama dengan yang adiknya sukai.

“Kenapa gue baru nyadar ya Mbul? Gue selama ini selalu cerita ke Bang Sakha tentang Kayla, gue selalu cerita sebanyak apa gue suka sama dia. Pasti dia sakit hati banget kan iya kan?”

Shanine menggeleng, “Jun, menurut gue Bang Sakha ga bilang ke lo karna lo prioritas utamanya. Dia sayang sama lo Jun, bahkan rela nge-keep perasaannya sendiri kaya gitu. Dan gue yakin Jun, gue yakin Bang Sakha ga pernah mikir lo orang jahat, jadi udah ya? Mungkin nanti bisa diobrolin lagi sama Bang Sakha nya, ya?” ujar Shanine lembut, masih dengan tangannya yang tidak berhenti mengusap punggung Aksa.

“Sekarang udah yuk nangisnya, itu handphone lo dari tadi bunyi, coba dicek mungkin penting,” lanjut Shanine kala mendapati ponsel Aksa yang sedari tadi terus berdering. Remaja laki-laki itu kemudian menghapus air mata yang masih tersisa di kedua matanya dan meraih ponselnya.

“Siapa?” tanya Shanine penasaran. “Ibu.” Jawab Aksa singkat kemudian segera mengangkat panggilan tersebut.

Raut wajah Aksa yang sebelumnya sudah tampak lebih baik kini kembali pucat. Remaja itu bahkan tidak berkedip sedikit pun. Shanine dibuat bingung, gadis itu ikut berdiri dari duduknya kala melihat Aksa yang bangkit tiba-tiba.

“Jun? Kenapa?” Shanine bingung, “Bunda Nessa bilang apa? Jun?” Alih-alih menjawab pertanyaan gadis itu, Aksa justru mengambil jaketnya yang sebelumnya disampirkan di sofa dan segera melangkah keluar dari rumah sahabatnya. Shanine yang kini panik dan bingung kemudian berusaha mengejar remaja laki-laki itu.

“Jun! Lo kenapa sih? Hey!” gadis itu menahan lengan pria itu sekarang. Aksa menoleh, air mata yang sebelumnya sudah mengering kini kembali mengalir dari kedua manik indah milik remaja itu. Wajahnya pucat pasi. Aksa tampak lebih kacau dari ketika ia datang tadi.

“Tenang dulu ya? Kenapa? Ayo jelasin, gue mau bantu, kenapa?” Shanine berusaha setenang mungkin.

“B-bang Sakha....” jawab Aksa terbata-bata.

“Tarik napas. Tarik napas dulu ayo, pelan-pelan.”

Aksa menuruti saran sahabatnya, ia menghirup udara sebanyak yang ia bisa, masih dengan air mata yang lolos begitu saja dari pelupuknya, “Bang Sakha dibawa ke rumah sakit.... dan harus dioperasi,” lanjutnya.

Hati Shanine mencelos. Gadis itu tidak berkutik. Tangannya yang semula menahan lengan Aksa kini terjatuh lemas. Ia dapat merasakan genangan air mata mulai memenuhi kedua maniknya menjadikan pandangannya sedikit kabur. Jika ia pun dapat merasa seterkejut itu, bagaimana dengan Aksa yang merupakan adik dari anak baik bernama Sakha? Kedekatannya dengan Arsakha beberapa tahun terakhir pun sudah dapat membuat Shanine merasa sesayang itu pada Sakha, bagaimana Aksa yang sudah bersama sejak lahir?

“Ayo, kita ke rumah sakit, jangan naik motor, kita pesen go-car aja ya? Gue ga mau lo nyetir motor dengan keadaan begini, ya?” ujar Shanine setelah menghapus air matanya, gadis itu berusaha tenang meski kini ia juga sama gemetarnya dengan Aksa.

“N-naik motor aja.... Biar cepet,” jawab Aksa memaksa di sela isakannya.

Shanine menghela napas, “Gue mohon, nurut. Dengan buru-buru ke sana atau engga juga ga akan ngubah apa-apa Jun. Kalo lo naik motor terus kenapa-napa di jalan lo pikir orang-orang ga khawatir? Gue takut, gue ga mau kehilangan lo, jadi nurut, ya? Kita naik mobil, kita berdoa di jalan, ga pa-pa, Bang Sakha anak baik anak kuat, Tuhan bakal bantu, oke?”

Aksa sempat terdiam hingga detik berikutnya ia mengangguk.

“Oke sebentar, lo pesen mobilnya, gue ambil jaket,” ujar Shanine kemudian berlalu.


Kedua remaja itu kini sudah duduk berdampingan di dalam mobil, tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir keduanya. Baik gadis itu maupun remaja laki-laki di sampingnya, mereka hanya menunduk, berdoa dalam diam, mengharapkan keselamatan terbaik untuk Arsakha yang entah bagaimana bisa berakhir di rumah sakit. Shanine masih mendengar isakan dari samping kanannya yang tak lain dan tak bukan bersumber dari sahabatnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Aksa lembut, mengelusnya pelan, “Ga pa-pa.... Semua baik-baik aja, tenang,” ujarnya berusaha untuk memberi ketenangan sebaik yang ia bisa.

Aksa—pria itu kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak gadis di sampingnya. Rasanya hari ini adalah hari yang berat dan panjang, ia lelah. “Maaf gue senderan,” ujarnya sopan. Shanine tersenyum ringan, “It’s okay,” jawabnya seraya memberi belaian lembut pada rambut laki-laki itu.

Selang beberapa menit, mobil yang keduanya tumpangi kini sudah sampai di depan rumah sakit yang dimaksud. Aksa berjalan cepat diikuti Shanine yang mengikuti di belakang. Ketika manik keduanya menangkap Johan dan Hanessa yang sedang terduduk di salah satu kursi tunggu, dengan cepat mereka menghampiri.

“Ayah, Ibu,” panggil Aksa lirih.

Kedua orang tuanya kini menoleh, “Aksa....” balas Hanessa lembut kemudian menarik anaknya menuju pelukannya.

Shanine masih berdiri terdiam hingga detik selanjutnya ujung maniknya menangkap sosok Kayla yang duduk berseberangan dengan Johan dan Hanessa. Ia semakin terkejut kala mendapati noda darah pada pakaian yang Kayla kenakan. Shanine kemudian menghampiri, “Kay?” sapanya pelan.

Kayla mendongak, “S-Shanine.... Gue takut,” jawab gadis itu dengan suara bergetar.

Shanine memutuskan untuk duduk di samping Kayla, menemani gadis bersurai gelap itu masih menangis.

“Kay? Lo ga pa-pa?” Kayla menggeleng, “Sakha.... Gara-gara gue, Kak Sakha....” Shanine masih bingung, belum mendapat maksud dari tutur Kayla, “Maaf, maksudnya?” “Kak Sakha nyelametin gue dari—“ ucapan Kayla terputus kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Kelimanya kini berdiri, menatap lurus ke arah dokter tersebut.

“Maaf, boleh saya bicara dengan wali dari Sakha?” ujar pria yang masih menggunakan pakaian bedah itu. “Saya, saya ayahnya,” jawab Johan cepat. “Baik, silakan ikut saya.”

Suara derasnya hujan yang mengguyur kini mendominasi seisi ruangan. Aksa dan Sakha duduk berdampingan di ruang tamu, sedangkan Ayah dan Ibunya sedang pergi entah ke mana. Kedua kakak-beradik itu kini sibuk menyesap cokelat panas yang Sakha buatkan beberapa menit lalu dengan tenang. Aksa menoleh ke jendela, menatap hujan yang turun dengan dahsyatnya, sesekali petir menyambar dengan kencang, sedangkan kakaknya saat ini sedang menatap kosong ke arah cokelat panasnya yang masih mengeluarkan kepulan asap.

“Bang, Ayah sama Ibu ke mana sih?” ujar Aksa memecah keheningan. “Hm? Tadi seinget Abang mereka mau beli karpet,” jawab Sakha lembut. Aksa mengangguk, “Hujannya deres banget.” Sakha pun ikut menoleh ke arah jendela, menatap sendu hujan yang turun, entah mengapa hatinya terasa resah.

“Aksa, inget ga dulu waktu kamu kecil, setiap ada petir pasti kamu ngumpet di selimut Abang,” tutur Sakha kala memori masa kecilnya kembali terangkat secara tiba-tiba.

Aksa menatap Abangnya selama beberapa detik, remaja itu kemudian tertawa, “Iya iya bang gue inget, terus Abang selalu bilang ‘Aksa jangan takut, kalo ada petir gitu tuh artinya Tuhan lagi foto kita pake lampu kamera, jadi harusnya kita senyum sambil pose nih gini kayak gini’,” balas Aksa sembari menampilkan jajaran giginya dan membentuk jemarinya membuat pose peace.

Sakha kini tertawa dibuatnya, perasaan resahnya tiba-tiba saja menghilang, digantikan oleh perasaan hangat penuh kasih sayang dan rindu yang sudah tidak lagi bisa diobati karena kenangan tetaplah kenangan, tidak akan bisa terulang. Tidak ada satu hari pun bagi seorang Arsakha untuk tidak mengucap syukur pada Tuhan akan setiap kesempatannya untuk hidup di keluarga yang demikian baiknya. Aksa kemudian menatap lurus ke arah manik kakaknya yang tampak sendu, hatinya bergetar seolah dapat merasakan semua perasaan yang Sakha rasakan saat ini.

“Bang.”

Sakha menoleh, “Ya?”

“Abang tau kan kalo Abang tuh Abang terbaik yang pernah Aksa punya?”

Kakak laki-lakinya kemudian tertawa kecil, “Iya, Abang tahu, Abang juga seneng banget bisa jadi Abangnya Aksa,” jawabnya lembut.

“Abang kalo punya masalah pokoknya bagi-bagi aja ya bang ke gue, apa lagi kalo nanti Abang lagi suka sama orang Abang juga harus cerita, oke?”

Jantung Sakha terasa berhenti selama beberapa detik. Maniknya tidak berkedip. Mana mungkin bisa menceritakan wanita yang selalu ia kagumi pada adiknya yang juga menyukai wanita yang sama? pikirnya.

“Iya, nanti Abang cerita,” jawab Sakha akhirnya. Aksa mengangguk dan tiba-tiba bangkit dari duduknya, hendak melangkah pergi. “Eh Aksa mau ke mana?” tanya Sakha. “Toilettt.” “Oke.”

Ponsel Aksa terus bergetar sepeninggalan pemiliknya. Sakha yang mulai penasaran apa yang menyebabkan ponsel itu terus bergetar kemudian mengambilnya dan sontak terkejut kala melihat sebuah nama yang terpampang pada layar. Nama seorang gadis yang selalu ia sayangi sejak lama. Detik selanjutnya benak remaja laki-laki itu sudah melanglang jauh, membayangkan skenario-skenario bahaya yang mungkin saja gadisnya sedang hadapi saat ini. Dengan cepat dan tanpa berpikir panjang lagi, Sakha langsung mengangkat panggilan gadis itu.

“Halo? Kayla?” “Aksa.... Aksa maaf gue nelpon lo, tapi.... tapi—“ suara gadis itu terdengar seperti berbisik dan bergetar seolah sedang sangat ketakutan saat ini. “Kay?” “Aksa.... Aksa gue takut.... Ada orang ga gue kenal ada di depan pintu rumah gue, bajunya item-item pake topi. Tadinya dia sendiri, tapi terus ada dua temennya dateng. B-bawa pisau besar. Sa, gue sendirian di rumah,” tutur gadis itu.

Jantung Sakha terasa berhenti, tangannya kini mencengkeram kuat ponsel Aksa yang masih ia dekatkan pada telinga. Gadisnya sedang dalam bahaya. Di tengah derasnya hujan, benak Sakha membayangkan betapa ketakutannya wanita cantik itu sekarang. Gadis itu membutuhkannya. Gadis tercintanya membutuhkan bantuan dan hanya Sakha harapan satu-satunya.

“S-Sa, mereka masuk rumah....”

Sakha langsung bangkit dari duduknya, “Saya ke sana,” ujarnya kemudian berlari mengambil kunci motor.


tw // blood

Sakha melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Derasnya hujan dan petir yang menyambar ia abaikan. Mungkin orang-orang akan melihatnya heran, tapi benak Sakha hanya terpaku pada Kayla. Ia harus menolongnya. Remaja itu merasa sedikit bersyukur hujan turun saat ini, setidaknya itu bisa membantunya untuk menutupi air mata yang kini keluar dari kedua maniknya. Tangannya bergetar, mengabaikan rasa dingin yang tercipta dari kencangnya angin yang berhembus berlawanan arah dengannya.

Begitu sampai di rumah gadis kesayangannya, remaja itu langsung memarkirkan motornya asal, melepas helm, dan langsung berlari kencang ke arah pintu masuk yang kini sudah dalam keadaan sedikit terbuka. Sakha melongokkan kepalanya ke dalam, bermaksud mengintip lebih dulu. Jika boleh jujur, pria itu ketakutan sekarang, ditambah dengan pakaian dan rambutnya yang basah membuatnya sedikit kedinginan dan jemarinya sedikit pucat. Namun, pria itu langsung berlari masuk ke dalam rumah Kayla begitu mendengar suara pecahan kaca yang cukup keras, mengabaikan seluruh ketakutan dan kedinginan yang ia rasakan.

Kayla berjalan pelan keluar dari kamarnya, langkah kecilnya tidak bersuara, air mata terus mengalir dari kedua pelupuknya, pun pundak gadis itu gemetar hebat. Kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah, Ayahnya masih bekerja dan Ibunya sedang merawat neneknya yang sakit di rumah sakit dan baru kali pertama gadis itu menghadapi keadaan berbahaya seperti ini, sungguh ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain bersembunyi dan berusaha untuk keluar menyelamatkan diri. Ia sudah berhasil menelepon nomor darurat beberapa menit lalu untuk membantunya keluar dari bahaya, tapi tak kunjung ada tanda-tanda pertolongan dari mereka. Gadis itu kini bersembunyi di balik tembok dekat dapur, netranya tidak lepas dari pengawasan sekitarnya. Tiba-tiba mulut gadis itu dibungkam oleh tangan yang jauh lebih besar dari miliknya. Kayla dibuat terkejut dan jauh lebih terkejut lagi kala mendapati Arsakha adalah orang yang kini tengah membungkam mulutnya dengan lembut.

“K-Kak?” ujar gadis itu pelan. “Ssstt, saya lihat mereka tadi masih di atas.”

Kayla bingung. Jelas-jelas tadi jemarinya menekan nomor Aksa, tapi kenapa justru kakak laki-lakinya yang datang? Apa Aksa yang menyuruhnya? pikirnya.

“Kita keluar diem-diem lewat pintu belakang, kamu jalan duluan, saya di belakang,” ujar Sakha berbisik dan disahut anggukan oleh gadis di depannya.

Kedua remaja itu berjalan menuju pintu belakang sesuai dengan apa yang Sakha perintahkan. Namun, mereka tidak menyadari salah satu dari tiga penjahat itu kini berada tepat di belakang Sakha hingga Kayla menoleh dan sontak berteriak, “KAK, DI BELAKANG!”

Sakha langsung menoleh dengan cepat kala mendengar Kayla berteriak, namun pergerakannya tidak lebih cepat dari tangan pria berbaju serba hitam itu yang kini sudah menggoreskan pisaunya dengan cepat ke perut Sakha. Remaja laki-laki itu tidak berkutik, pun Kayla sudah menjerit histeris di belakangnya sembari menutup mulutnya rapat dengan kedua tangannya. Selang beberapa detik, mobil polisi terdengar dari kejauhan, dengan tampak terpaksa akhirnya ketiga orang asing itu dengan cepat lari ke luar rumah untuk mencari selamat, meninggalkan Sakha yang saat ini terduduk lemas bersimbah darah.

Kayla takut. Sangat takut. Bahkan untuk menarik napas saja rasanya ia tidak sanggup. Gadis itu berjalan pelan mendekat ke arah laki-laki yang ia sukai sejak lama. Tangannya bergetar kala jemarinya menyentuh pundak Sakha, air matanya mengalir deras. Sakha yang kini merintih menahan sakit hanya bisa memasang senyum simpul pada gadisnya yang tampak sangat ketakutan, “Sa-saya ga apa,” bisiknya. Kayla berlari mencari kain yang dapat digunakannya untuk setidaknya membantu menahan darah yang terus mengalir dari tubuh pria itu. Gadis itu kemudian bersimpuh di samping Sakha sembari jemarinya menempelkan kain tersebut pada perut pria di depannya. Air matanya tak kunjung berhenti, namun Sakha tahu gadis itu mencoba untuk berani.

“M-Maaf, kak.... Maafin Kayla....” ucap Kayla lirih, tangannya kini sudah merengkuh dengan lembut remaja laki-laki itu, pun jemarinya bergerak mengusap pelan rambut Sakha yang masih sedikit basah akibat hujan tadi.

Ingin hati Sakha menenangkan gadis itu, namun kini rasa sakit yang dirasakan olehnya jauh lebih kuat dari keinginan itu sendiri. Ia merasa sangat mual sekarang, kepalanya pusing, dan kelopak matanya terasa berat. Pria itu kemudian memejamkan matanya, menutupnya rapat kala tidak lagi sanggup menahan rasa sakit yang ada dan meninggalkan Kayla yang kini hanya menangis meminta bantuan, “Kak, jangan tidur dulu ya? Ayo bangun dulu. Kayla mohon.”

Pukul 12 siang, ujian hari pertama telah usai. Shanine kini sedang merapikan semua barang-barangnya, bersiap untuk pulang. Gadis itu masih fokus dengan kegiatannya hingga pundaknya ditepuk pelan oleh sahabatnya. “Ayo pulang,” ajak Aksa. Remaja laki-laki itu kemudian mendudukkan dirinya di kursi milik Shanine, mengingat gadis itu sejak tadi terus berdiri. Aksa memeluk tasnya dan menatap Shanine lekat dengan senyuman jahil khasnya. Shanine yang sejak tadi merasa ditatap kemudian menghentikan kegiatannya dan menoleh.

“Kenapa liatin gue begitu?” “Cantik.” Shanine diam, otaknya masih memproses ucapan temannya sekarang, “Emang,” ucapnya kemudian. “Ayo cepet beresin barangnya terus kita pulang.” “Ya lo minggir dulu Jun, itu liat tas gue lo dudukin,” ujar gadis itu sembari menunjuk tasnya yang berada tepat di belakang Aksa. Aksa menyingkir, pria itu berdiri dari duduknya, “Gue tunggu di depan kelas ya?” “Yaaa.”


Shanine melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Sepasang maniknya langsung mencari sosok Aksa yang beberapa menit lalu mengatakan akan menunggu di depan kelas. Gadis itu kemudian mendapati pria itu kini tengah mengobrol dengan Kayla, entah apa yang mereka bicarakan, namun keduanya tampak bersenang-senang. Merasa tidak ingin mengganggu, Shanine hanya diam menatap sahabatnya dari kejauhan. Selang beberapa menit, ujung mata Kayla menangkap sosok Shanine yang kini sedang menatap lurus ke arahnya dan Aksa, gadis itu kemudian melambaikan tangannya bermaksud menyapa. Shanine tersenyum dan berjalan mendekati keduanya.

“Hai Shanine! Gimana ujiannya?” sapa Kayla. “Hai Kay, ga tau gue banyak ngasal hehe.” “Sepanjang ujian dia cuma muter-muterin pensil, gambar-gambar di lembar soal, terus sibuk ngeliat keluar jendela ga tau ada apaan,” ucap Aksa yang akhirnya berhasil mendapatkan pukulan dari gadis itu. “Lo ga pulang Kay?” Shanine kembali bersuara. “Ya, ini mau pulang kok.” “Ya udah yuk bareng ke bawahnya,” ajak Shanine kemudian menarik tangan Kayla dan membawanya pergi, meninggalkan Aksa yang mengekor di belakang.


“Nih,” ujar Aksa sembari menyodorkan helm. Shanine menerima benda tersebut dan segera memakainya dalam diam. Gadis itu menatap sahabatnya yang masih sibuk menyiapkan motornya dengan tatapan kosong. “Naik,” Aksa kembali menyuarakan titahnya. Tidak ada pembicaraan antara keduanya sepanjang perjalanan mereka pulang. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tidak terasa motor Aksa sudah berhenti tepat di depan rumah gadis yang diboncengnya itu. Shanine langsung turun, melepas helm, dan memberikannya pada Aksa. “Makasih,” ucap gadis itu, entah mengapa masih enggan untuk bicara banyak. “Totalnya 15 ribu ya dek,” balas Aksa. Shanine tertawa kecil, “Sori-sori,” ujarnya kala paham dengan gurauan Aksa. “Lagian gue diperlakukan kayak ojol aja dah.” “Ya terus maunya gimana? Biasanya juga lo abis nganterin gue langsung balik.” Mendengar nada bicara Shanine yang tampaknya tidak biasa, Aksa terdiam sejenak, “Mau main di rumah lo boleh ga?” ujarnya. “Besok ujian, kenapa lo main....” “Ya udah ganti judul, kita belajar bareng aja ceritanya.” “Ya udah boleh,” jawab Shanine kemudian membuka pagar rumahnya dan membiarkan laki-laki itu memarkirkan motornya di halaman.


Kedua remaja itu kini masuk ke rumah Shanine. Sebuah rumah yang dapat dibilang megah, namun terasa sangat dingin dan sepi. Shanine hanya tinggal berdua dengan asisten rumah tangganya yang sudah bekerja dengan keluarganya sejak remaja itu masuk SMP, sedangkan Ayah dan Ibunya lebih sering pergi ke luar kota dengan alasan pekerjaan. Shanine terbiasa dengan keadaan rumahnya yang sepi ini, hanya ucapan “Sudah pulang, Non?” dari asisten rumah tangganya yang selalu menyambut telinganya setiap pulang ke rumah.

“Seperti biasa, anggep aja rumah sendiri, karena ya, ga ada peraturan apa-apa juga di sini,” ujar Shanine pada Aksa. “Gue mau ke kamar sebentar ya, ganti baju sama ambil buku,” lanjut gadis itu kemudian berlalu.

Aksa memutuskan untuk duduk di sofa ruang tamu. Kedua maniknya belum lepas dari seisi rumah sahabatnya yang sejak dulu belum berubah.

“Ini Den Aksa minumnya,” ujar wanita paruh baya itu sembari meletakkan segelas jus jeruk di meja tepat di depan Aksa. “Eh iya terima kasih Bi,” balas Aksa dengan senyumannya. “Den Aksa kok jarang main ke sini lagi? Sebenernya Bibi kasihan sama Non Shanine, kesepian meski di rumahnya sendiri,” ujar wanita itu lagi.

Aksa yang mendengar ucapan itu lagi-lagi merasa iba pada temannya, “Iya, nanti Aksa sering main deh Bi, makasih udah jagain Shanine,” jawabnya.

“Minggu kemarin Nyonya sama Tuan pulang, tapi langsung ribut Den, kayaknya itu pas Non Shanine pulang dari Jogja. Sampe besoknya juga Non Shanine ga berani buat sarapan bareng Nyonya sama Tuan. Saya sudah tawari bawa bekal tapi Non ga mau,” tutur wanita itu panjang lebar. Memang sudah menjadi kebiasaan di antara Aksa dan wanita paruh baya itu untuk saling bertukar cerita mengenai Shanine, itu karena permintaan Aksa beberapa tahun lalu yang menginginkan wanita yang kerap dipanggil ‘Bibi’ ini untuk menceritakan seluruh keadaan sahabatnya sebagai salah satu bentuk kepeduliannya. Aksa mengangguk mendengar cerita itu, ia semakin paham kenapa Shanine bisa pingsan tempo hari, ya, itu pasti karena gadis itu tidak makan pagi.

“Lain kali boleh telepon saya aja Bi kalau Shanine ada apa-apa, biar saya bawa dia kabur. Bibi masih simpan nomor telepon saya kan?” “Iya dong masih Bibi simpan.” “Oke, kalo ada apa-apa boleh tolong telepon Aksa aja ga apa.”


Aksa menatap sahabatnya yang sejak tadi masih fokus dengan bukunya, makan siang gadis itu belum juga disentuh. Aksa juga tahu bahwa Shanine pasti hanya menjadikan buku itu sebagai pelampiasan untuk menghindari kontak mata dengannya, entah karena apa.

“Nin, makan dulu baru belajar lagi, ini udah telat makan siangnya,” ujar Aksa kala melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah 2 siang. “Iya, nanti,” jawab gadis itu seadanya. “Gue suapin?” “Engga.” Aksa semakin bingung. Di sekolah tadi seingatnya Shanine masih baik-baik saja dan masih tersenyum, tapi kenapa sekarang gadis itu terlihat marah? “Gue ada salah kah?” “Engga.” “Gue pasti ada salah.” “Enggaaa.” “Iya iya Aksa minta maaf ya kalo tadi salah?” ujar remaja laki-laki itu mengalah. “Engga salaaahh,” jawab Shanine, gadis itu kemudian menutup buku pelajarannya dan menarik piring makannya mendekat. Masih tidak berniat untuk makan, gadis itu hanya mengaduk-aduk makanannya pelan.

Aksa menatap sahabatnya, “Ya udah, tapi kalo mau cerita gue bakal dengerin, oke?” Shanine mengangguk kemudian mulai memakan makanannya yang sudah sedikit dingin.

“Tapi,” ucap gadis itu tiba-tiba. Aksa menoleh, “Hm?” Shanine kembali meletakkan sendoknya kemudian menggeser duduknya lebih dekat pada Aksa. Netra keduanya bertemu, membuat Aksa merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Lo masih suka sama Kayla, Jun?” Aksa terdiam, mencoba memikirkan alasan mengapa sahabatnya tiba-tiba bertanya demikian. “Kenapa?” jawab pria itu sebagai jawaban. “Jawab aja.” “Jadi lo ngambek karena gue tadi ngobrol sama Kayla? Cemburu kah?” tebak Aksa sembari memasang wajah jahilnya. “IH ENGGA, udah jawab aja!” “Engga.” “Engga?” “Iya, gue udah ga suka sama Kayla.” “Kok bisa?” “Ya bisa aja. Kenapa emangnya?”

Shanine berdeham kemudian mengalihkan pandangnya dari Aksa. Ia merasa sedikit lega.

“Sejak kapan?” “Sejak.... Kapan ya, sejak dia nolak gue sebenernya gue udah mulai ragu sih Mbul. Kenapa sih tiba-tiba nanya gitu?” “Ga pa-pa.” Aksa belum juga melepas pandangnya dari wanita di hadapannya, “Sekarang gue sih suka sama orang lain,” balasnya. Shanine menoleh dengan cepat, “S-siapa? Cepet amat nemunya.” “Ya, cepet. Soalnya dia selalu ada buat gue sih, gue-nya aja yang bodoh baru nyadar.” “Siapa?” “Apa?” “Sekarang lo sukanya sama siapa?” Aksa diam sejenak. “Nanti aja pas kita ultah baru gue bilang,” jawabnya enteng kemudian menenggak jus miliknya. “Kelamaan, sekarang aja.” “Sabar dong? Kalo bilang sekarang takutnya lo kaget.” “Ga, ga kagettt, cepetann.” “Ga mau.” “Ya udah ga mau makan.” “Kok gitu? Ih gue tuh harus nyiapin blablabla nya dulu.” “Kok ribet banget? Ketimbang bilang doang.”

Ya, soalnya itu eluuu anjir, soalnya gue sukanya sama eluuu, batin Aksa.

“Ya, ribet.” “Cih ya udah. Eh tapi orangnya deket sama gue juga ga?” “Iya.” Shanine tampak berpikir, “Caca?” “Caca siapa?” “Caca kelas sebelah.” “Hah? Engga.” “Ya udahlah gue nyerah.” “Dibilang nanti aja, udah sekarang makan dulu.” “Inisial? Kasih gue huruf depan namanya,” Shanine belum juga menyerah. “Maksa banget sih?!” “Cepet, abis itu janji gue makan.” Aksa menghela napas pelan, “Inisialnya M,” jawabnya. “Ha? Ga tau ah ga kenal,” ujar gadis itu menyerah kemudian kembali dengan kegiatan makannya. Lagi-lagi ia tidak memiliki tempat di hati Aksa, pikirnya.

Aksa kembali meletakkan ponselnya di meja setelah memastikan Shanine baik-baik saja, namun maniknya belum lepas dari perempuan itu. 10 menit sudah berlalu dan Shanine belum kunjung menunjukkan tanda-tanda ingin bangun dari posisinya sekarang. Aksa dapat melihat salah satu tangan gadis itu sibuk memegang pelipisnya, sesekali ia memijatnya. Merasa tidak dapat membiarkan sahabat kesayangannya itu merasa sakit, Aksa bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah gadis itu. Perhatian seluruh manik mata seisi kelas kini diberikan kepada Aksa.

“Ayo, ke UKS,” ujar Aksa sembari memegang pergelangan tangan Shanine dengan lembut.

Shanine menoleh dan mendapati sahabatnya kini sudah berdiri tepat di sampingnya, “Kenapa lu berdiri di sini Jun?” balas Shanine dengan nada lemah.

“Ayo, lu bisa jalan ga? Kalo ga bisa, gue gendong,” Aksa kini menyamakan tingginya dengan Shanine, pandangnya menatap lurus ke arah netra sang gadis. Hatinya sakit kala melihat wajah sahabatnya ini terlihat sangat pucat pun ia tidak menemukan adanya pancaran sinar bahagia yang biasanya selalu bertengger pada kedua matanya. Tatapan gadis itu sendu.

Merasa belum mendapat jawaban, Aksa memutuskan untuk memberi aksi, “Gue gendong,” ucapnya kemudian menarik tangan gadis itu dengan lembut, namun tangan Aksa langsung ditepis pelan.

“Gue bisa jalan sendiri ga apa-apa,” Shanine kemudian berdiri, dengan Aksa yang masih setia menjaganya dari belakang.

Namun kemudian pandang gadis itu memburam, kepalanya merasa lebih sakit sekarang seolah ada sesuatu yang menekannya dengan keras. Langkah Shanine terhenti, remaja itu memegang kepalanya dengan kedua tangannya, kakinya pun terasa lemas. Gadis itu kemudian ambruk, namun sebelum ia jatuh Aksa sudah lebih dulu memegangnya. Laki-laki itu kemudian dengan sigap menggendong Shanine, mengangkat gadis itu mendekat pada dekapannya.

“Maaf Bu, saya izin bawa Shanine ke UKS,” ujar Aksa yang disahut dengan anggukan oleh gurunya. Keduanya kemudian berlalu.


Hening. Begitulah keadaan UKS saat ini. Hanya suara jarum jam yang setia menemani Aksa yang kini masih menatap khawatir ke arah Shanine. Sahabatnya ini masih memejamkan matanya sejak 15 menit yang lalu, wajahnya pucat, bibirnya tidak merah seperti biasa, alisnya pun berkerut seolah memberitahukan Aksa betapa sakitnya ia sekarang. Remaja laki-laki itu mengusap pelan kening sang gadis, menyingkirkan beberapa anak rambut yang menghalangi, dan menggenggam lembut tangannya, mencoba menyalurkan kehangatan seperti apa yang Shanine lakukan untuknya kala ia jatuh saat classmeet tempo hari. Aksa menatap sahabatnya sendu, “Ayo bangun,” bisiknya. Semesta seolah mendengar doa remaja itu, Shanine kini membuka pelan matanya dan menoleh ke sisi kanannya. Gadis itu mendapati Aksa yang sedang menunduk sembari masih setia menggenggam tangan kanan gadis itu.

“Jun....” panggil Shanine pelan, masih dengan nada lemah.

Aksa terkejut kala merasa namanya dipanggil, ia langsung mengangkat kepalanya dengan cepat dan mendapati Shanine yang kini tersenyum ke arahnya.

“Udah bangun? Gimana? Masih pusing? Iya? Mau gue beliin teh anget ya di kantin? Aduh dompet gue dimana, sebentar, kayaknya ketinggalan di kelas, Nin, sebentar ya gue ambil dulu,” ujar Aksa yang saat ini terlihat bingung dan panik, pria itu kemudian bangkit dari duduknya, namun tangannya dengan cepat ditahan oleh Shanine.

“Di sini aja dulu, gue ga pa-pa,” ujar Shanine lembut, berusaha memberi senyuman.

Aksa kembali ke posisi duduknya, sedangkan Shanine menatap kosong ke arah langit-langit. Aksa benar-benar merasa sesuatu terjadi pada sahabatnya, sahabatnya ini tidak baik-baik saja sekarang. Dengan ragu akhirnya Aksa membuka suara.

“Mau cerita?” ujar pria itu. Shanine menoleh, “Hm?” “Lu ada masalah kan? Kalo mau cerita, gue selalu siap dengerin.” Gadis itu terkekeh pelan, “Gue bener-bener ga bisa sembunyiin apa-apa dari lo ya Jun?” “Gue ga maksa kalo lu ga mau cerita, tapi gue bakal selalu ada di pihak lo Nin, apapun ceritanya.” Gadis itu kembali menarik napas panjang sembari memejamkan matanya, “Orang tua gue kemaren pulang dari kerjaannya di luar kota,” ujarnya mulai bercerita.

Aksa menatap Shanine tidak berkedip, menunggu lanjutan dari ceritanya.

“Mereka sampe di rumah tepat abis kita selesai chat-an tadi malem,” lanjut Shanine. “Terus?” “Terus mereka berantem.”

Aksa terdiam. Ia tahu betul orang tua sahabatnya ini hanya akan akur jika menyangkut pekerjaan saja, selebihnya mereka hanya akan meributkan banyak hal, tapi tentu saja yang jadi korban adalah anak perempuan mereka yang tidak tahu apa-apa.

Air mata Shanine jatuh. Gadis itu kembali melanjutkan ceritanya, “Mereka bilang–“ isak tangisnya semakin menjadi kala memorinya memutar ulang kejadian malam tadi, gadis itu kemudian menjeda ucapannya.

Aksa mengusap pelan punggung tangan sang gadis, “Ga pa-pa, pelan-pelan aja ceritanya,” ujarnya sembari membantu Shanine menghapus jejak air matanya. Bukan sekali dua kali pria itu mendengarkan Shanine bercerita seperti ini, namun tampaknya kejadian kali ini lebih serius dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya.

“Mereka bilang, harusnya mereka ga menikah, harusnya mereka ga ketemu. Dan harusnya mereka ga punya gue,” lanjut Shanine sembari memasang senyum yang terlihat sangat menyakitkan bagi Aksa.

Aksa kini hanya menunduk, menyembunyikan air matanya yang sudah menggenang. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa orang tua bicara begitu bahkan di depan anaknya sendiri. Seumur-umur ia bahkan belum pernah dibentak sedikit pun oleh kedua orang tuanya. Hatinya mengucap syukur memiliki orang tua dan kakak laki-laki yang baik, namun sekaligus ia merasa sangat iba pada temannya itu.

“Gue salah apa Jun? Dari kecil gue ga pernah minta apa-apa ke mereka. Gue cuma pernah minta satu hal ke mereka pas gue SD. Gue bilang gue mau liburan bareng mereka, udah, itu aja. Tapi mereka selalu sibuk, gue paham, jadi gue diem. Dari kecil gue cuma ditemenin sama Bibi asisten rumah gue, gue ga minta apa-apa lagi Jun, gue cuma mau mereka baik-baik kayak Bunda Nessa sama Om Johan,” lanjut Shanine bercerita. Air mata gadis itu masih setia menghiasi wajah cantiknya.

“Buat apa Jun, buat apa banyak uang, pekerjaan bagus, rumah besar, mobil banyak, kalo rumah itu, rumah gue, rasanya dingin. Ga ada ibu yang nyambut gue setiap pulang, ga ada ayah yang bawain makanan enak tiap pulang kerja. Kayaknya harapan gue yang kayak gitu terlalu tinggi ya Jun?”

Hati Aksa mencelos mendengar seluruh cerita Shanine. Gadis baik di hadapannya ini hanya menginginkan sebuah kehangatan dari keluarganya yang belum bisa ia sebut ‘rumah’. Aksa kini paham kenapa Shanine sangat menempel padanya sejak SMP, ia paham kenapa setiap ia pergi ke rumah gadis itu pasti tidak ada orang tuanya di sana, ia paham sebesar apa Shanine butuh teman untuk hidupnya. Dan saat ini hanya Aksa yang dapat memberikannya, setidaknya untuk sementara, karena ia berharap orang tua gadis itu segera sadar dan bisa memperbaiki kesalahan mereka.

“Lo ga salah apa-apa Nin. Gue minta maaf ga bisa berbuat apa-apa buat bantu lo, gue minta maaf gue cuma bisa nemenin dan dengerin lo kayak gini dari dulu. Gua cuma mau lo tau kalo lo itu lebih berharga dari yang mereka bilang,” ujar Aksa sembari mengelus pelan pundak gadis di hadapannya.

Shanine menghapus air mata terakhirnya, “Makasih Jun, setidaknya Tuhan masih baik udah izinin gue kenal sama lo,” ucap gadis itu sambil tersenyum lebar hingga matanya menyipit yang justru membuat hati Aksa seperti diiris-iris. Ucapan ibunya adalah benar, Shanine gadis baik.

May I?” ucap Aksa pelan. “Apa?” “Hug you?”

Sakha meletakkan kembali ponselnya usai bertukar pesan dengan keluarganya tadi. Remaja itu menatap kosong ke arah tugas-tugas sekolahnya yang tengah ia kerjakan sekarang. Benaknya tidak lepas dari gadis yang selalu ia sukai sejak tahun keduanya di SMA. Memorinya kembali mengangkat kenangan satu tahun lalu, ketika pria itu pertama kali bertemu dengan gadis baik hati bernama Kayla.


“Eh, maaf, kakak ga apa-apa?” ujar Kayla pada remaja laki-laki yang satu tahun lebih tua darinya itu. Gadis itu dengan hati-hati menyapa Sakha yang tampaknya tengah menangis entah karena apa.

Sakha menoleh, maniknya menangkap sosok wanita yang asing baginya. Laki-laki itu cukup lama memberikan atensinya pada gadis bersurai panjang kelam dengan pita merah muda kecil yang setia menghiasi rambutnya. Anak baru ya, batinnya.

Merasa diamnya Sakha belum menjadi jawaban akan pertanyaan Kayla, gadis itu kembali membuka suara, “Kakak ga apa-apa?” tanyanya sekali lagi.

Sakha menggeleng, “Ga apa-apa,” sembari kedua tangannya menghapus pelan air mata yang masih mencoba turun dari kedua matanya.

Alih-alih pergi meninggalkan Sakha, gadis itu mendudukkan dirinya di samping pria itu. Wajah tampak samping Kayla juga terlihat sangat cantik, pun tercium wangi bunga menyeruak darinya membuat Sakha yang perasaannya sedang kalut sore itu menjadi lebih tenang. Sakha menghela napas panjang. Tidak banyak siswa siswi yang mengetahui bahwa di belakang sekolah mereka terdapat taman kecil yang cukup indah. Taman yang tidak dirawat dengan baik namun menurut Sakha tempat itu sudah lebih dari cukup untuknya menenangkan pikiran kala sedang kalut seperti ini. Terkadang juga banyak burung yang datang ke tempat tersebut seolah menemani Sakha yang tengah menyendiri, remaja laki-laki itu pun tak jarang memberi mereka sedikit makanan.

Atensi gadis itu kembali pada sosok Sakha dengan surai hitamnya. Matanya bengkak dan merah, menandakan ia sudah sejak berjam-jam lalu menangis sendirian di sini. Merasa tidak tega untuk meninggalkan pria itu, Kayla memutuskan diam dan duduk, berniat untuk menemani.

“Mmmm, Kayla,” ucap gadis itu memecah keheningan di antara mereka. Sakha menoleh pelan, “Hm?” “Nama gue Kayla, nama kakak siapa?” bibir kecil Kayla kembali bergerak. “Saya Sakha, maaf kalau canggung, saya ga terbiasa pakai lo-gue,” jawaban Sakha membuat gadis di sampingnya merasa sedikit terhibur. Lucu, pikirnya.

“Iya ga apa-apa kak, kalo gitu aku ga pake lo-gue deh.” “Ya ga apa kalo kamu mau pake.” “Engga ah, bosen pake lo-gue terus,” balas gadis itu sebagai alasan. “Kenapa bisa ke sini?” tanya Sakha penasaran. “Mmm, gimana ya, awalnya aku cuma lagi jalan-jalan aja, penasaran sama isi sekolah, tapi terus ada jalan kecil yang nyambung dari gedung belakang ke sini, ya udah aku ikutin terus sampe di sini, kaget juga ada orang ternyata. Eh maaf kak aku malah ngomong panjang lebar,” gadis itu kini menutup rapat mulutnya dengan kedua tangannya.

Sakha tertawa kecil, “Ga kok ga apa, kan tadi saya yang tanya.” Gadis di sampingnya kini hanya tersenyum. Sebuah senyum yang sangat cantik bagi Sakha, senyum yang tulus dan ringan. “Ga takut ke sini sendiri? Kalau seandainya ga ada saya di sini gimana?” laki-laki itu kembali membuka suara.

“Mmm, ya kalo gitu aku balik lah ngapain ke sini. Tapi bukan karena takut jugaaa.” Sakha tersenyum, “Oke.” “Kakak kenapa nangis? Eh tapi kalo ga mau cerita ga apa-apa,” Kayla menggaruk pelan tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.

Sebenarnya baru pertama kali ada orang lain yang melihat sisi lemah dari seorang Arsakha, terlebih orang itu adalah orang yang baru saja ia temui untuk kali pertama. Sakha merasa sedikit malu membiarkan seorang gadis melihatnya menangis tadi. Tapi tak apa, manusia tetap manusia, tidak lepas dari kesedihan, pikirnya.

“Tadi, saya dapat nilai jelek waktu ulangan,” jawab Sakha akan pertanyaan wanita itu. Kayla menatap Sakha tanpa berkedip, “Itu aja kak alasannya?” Sakha mengangguk. “Bukannya itu biasa ya? Emang nilainya berapa?” “70.” Kayla heran, angka 70 masih termasuk bagus bagi gadis itu, “70 masih ga terlalu jelek kak.” “Tapi di bawah KKM.” “Tapi ga parah-parah banget.” “Tapi saya jadi ga bisa bawa pulang prestasi untuk ibu saya.”

Jawaban Sakha mencuri perhatian gadis itu. Sangat jarang Kayla menemukan seorang pria yang begitu lembut baik hati dan tutur katanya seperti ini.

“70 kan juga nilai kak. Dari pada sedih mikirin nilai segitu lebih baik bersyukur? Ga apa sekali-sekali remed kan? Kalau gagal dapat nilai 100, setidaknya bisa disyukuri masih mendapat di atas KKM, atau kalau ga memenuhi KKM setidaknya masih bisa bersyukur udah diberi kesempatan untuk berusaha, apalagi kalau ngerjainnya jujur, dibandingkan sama yang dapet nilai bagus tapi nyontek kan percuma aja kak,” gadis itu kembali menyuarakan pendapat panjangnya yang kini berhasil membuat Sakha terpana. “Aku yakin ibu kakak ga akan sebegitu kecewanya, toh anaknya ga mencuri jawaban orang lain?” lanjut Kayla.

“Iya, makasih ya?” Sakha kembali menampilkan senyum manisnya diiringi matanya yang kian mengecil kala pria itu tersenyum. Kayla tidak berkutik, seolah tersihir dengan paras indah pria di sampingnya. “Maaf bikin kamu jadi harus lihat sisi lemah saya,” lanjut Sakha. “Sisi lemah apa?” “Kamu lihat saya nangis tadi.” “Menurutku nangis bukan berarti lemah kok, kadang menangis bisa jadi tanda bahwa kita pernah jadi kuat. Kalau seandainya kesedihan juga ga ada di dunia, berarti kebahagiaan juga ga ada, manusia ga akan tahu apa itu bahagia sampai mereka tahu apa itu kesedihan kan?”

Ucapan Kayla lagi-lagi membuat Sakha kagum. Ia ingat dulu sekali ayahnya pernah berkata “Jagoan ga boleh nangis,” namun kali ini ia tahu ucapan ayahnya tidak mutlak. Jagoan terkadang boleh menangis.

“Jadi jagoan boleh nangis?” tanya Sakha tanpa sadar. Kayla menatap lurus kedua manik pria itu, “Jagoan? Iya jagoan manapun boleh nangis,” jawab gadis itu sambil tertawa kecil.

Senyumnya mampu menciptakan atmosfer baru bagi Sakha. Keduanya memutuskan untuk saling jatuh cinta sore itu. Ditemani kicauan burung yang samar-samar terdengar di telinga mereka. Netra keduanya tidak lepas satu sama lain, meninggalkan sedikit kehangatan di hati masing-masing pemiliknya. Keduanya memutuskan untuk saling mengagumi, kesan pertama yang mereka dapat satu sama lain berhasil mendobrak kembali hati yang semula tertutup rapat. Keduanya jatuh cinta.


Sakha mengusak kasar rambutnya. Kilas baliknya ia cukupkan sampai di sini. Merasa tidak lagi ingin melanjutkan tugas-tugasnya, pria itu membuka laci meja belajarnya dan mengambil sebuah buku. Buku yang sudah sejak setahun lalu menjadi satu-satunya saksi akan perasaan kagumnya pada Kayla. Buku yang sengaja ia siapkan untuk menumpahkan segala kekagumannya pada gadis itu, gadis yang belum direstui semesta untuk menjadi miliknya, gadis yang ia tahu dikagumi pula oleh adik kesayangannya.

Remaja itu membolak-balik buku bersampul cokelat yang ia sendiri beri nama ‘Ruang Sakha’ pada sampulnya. Di dalamnya hanya berisi tulisan-tulisan pendeknya yang selalu berhasil membuatnya kembali tersenyum kala mengingat seluruh momen yang ditulisnya di sana. Sedang asyik dengan kegiatannya, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk pelan. Pria itu bergegas memasukkan kembali buku tersebut di dalam laci meja belajarnya.

“Abang Sakha?” ujar seorang wanita yang kini tengah mengintip. “Iya ibu, ada apa?” “Masih belajar nak? Ibu boleh masuk?” “Boleh ibu.” Hanessa kemudian masuk ke dalam kamar putra pertamanya itu, meletakkan beberapa pakaian bersih milik Sakha di kasur, dan menghampiri anaknya.

“Jangan dipaksa, kalo capek istirahat aja bang,” Hanessa mengelus pelan kepala putranya, merengkuhnya dalam pelukan hangat yang selalu Sakha sukai sejak kecil. Sakha selalu bersyukur akan itu, sebelumnya tidak pernah terbesit di benaknya akan mendapat kesempatan kedua untuk memiliki keluarga. Keluarga yang jauh lebih layak. “Ibu,” panggil Sakha pelan. “Iya?” “Maaf kalau Sakha belum bisa kasih imbalan apa-apa untuk semua kebaikan yang ibu, ayah, dan Aksa kasih ke Sakha,” tutur remaja itu.

Hanessa terdiam sejenak, “Abang ngomong apa sih? Dengerin ibu ya nak, Ibu sama Ayah memutuskan untuk memilih Sakha karena ibu sama ayah sayang sama Sakha nak. Apapun ga akan jadi pembeda antara kamu dan Aksa. Kamu anak ibu, Aksa juga anak ibu, ibu sayang kalian berdua dengan porsi yang sama. Abang Sakha udah ngasih banyak kebaikan kok untuk ibu, dengan Abang Sakha hadir di hidup Ibu sama Ayah juga itu udah lebih dari cukup buat kami, oke? Sakha harus bahagia juga dong, jangan dipikirin hal-hal yang ga perlu. Bagi cerita abang sama ibu kalo abang ga bisa simpen sendiri,” ujar Hanessa yang jemarinya masih setia membelai pelan rambut putranya.

“Sakha anak ayah yang paling baik hati,” ujar seorang pria yang kini ikut masuk ke dalam kamar Sakha.

Hanessa dan Sakha sontak menoleh, mendapati Johan yang menatap mereka lekat. Pria paruh baya itu kemudian berjalan mendekat kepada keduanya dan ikut memberikan kehangatan pada putra pertamanya melalui jemarinya yang ikut membelai pelan rambut Sakha.

“Jangan pernah abang merasa sendiri ya nak, ada Ayah, ada Ibu, ada Aksa, kita keluarga, jadi jangan pernah merasa berbeda, ya? Kita udah sering bahas ini, tapi ayah ga akan pernah bosan untuk ingatkan abang kalau abang itu anak ayah. Abang kan sudah tau alasan ayah kasih abang nama Arsakha Putra Adhinatha? Ya karena Arsakha memang putra Adhinatha, ga ada bedanya sama Aksa,” ujar Johan lembut.

Sakha merasa hatinya jauh lebih hangat, ya, ucapan Ayah dan Ibunya adalah benar. Sekarang ia tidak sendiri, setidaknya tidak seperti saat ia berada di panti bertahun-tahun silam. Saat ini ia punya keluarga, keluarga yang ia janji akan lindungi sampai akhir hayatnya. Janji ia pada dirinya sendiri akan berikan apapun yang bisa ia berikan untuk kebahagiaan keluarganya, apapun itu, meski itu adalah kebahagiaan miliknya.

Shanine kini duduk di kursi kamar hotelnya yang sengaja ia hadapkan ke arah balkon. Pintu balkon kamarnya sengaja sedikit ia buka untuk membiarkan angin malam membelai pelan rambut panjangnya. Gadis itu duduk sembari menikmati teh hangat yang baru saja ia buat. Pandangnya lurus menatap lampu-lampu yang menghiasi gelapnya langit Yogyakarta malam ini, sedangkan benaknya masih terpaku pada kejadian beberapa jam lalu.

“Lu pernah kepikir ga Nin kalo hubungan kita lebih dari sahabat?” “Misalnya, pacaran?”

Ucapan Aksa tidak juga beranjak dari pikirannya. Gadis itu menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Tangannya masih setia menggenggam segelas teh hangat yang ia harapkan dapat membantu meredakan seluruh kekacauan dalam pikirannya saat ini. Remaja itu membuka mata kala mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Talitha baru saja selesai menyikat gigi dan mencuci muka. Shanine menoleh pada Talitha yang saat ini masih sibuk dengan baju-baju kotornya.

“Kak,” panggil Shanine.

Talitha menoleh, “Ya?”

“Tadi gimana? Seru sama Kak Dhidan?” tanya Shanine kemudian menyeruput tehnya yang sudah tidak begitu panas.

“Eum, ya, not bad.”

“Ayo kak cerita lebih banyak, aku tungguin. Oh iya itu udah aku bikinin teh juga buat Kak Titha.” ujar Shanine sembari menunjuk segelas teh hangat yang ia letakkan di atas meja beberapa menit lalu.

Talitha langsung bergegas membereskan seluruh barangnya, memasukkannya ke dalam koper, kemudian menutupnya rapat. Gadis itu selanjutnya mengambil teh miliknya dan duduk di atas ranjang, menatap lurus ke arah Shanine. “Tadi, ganteng banget sih. Oh iya thanks tehnya” jawab Talitha.

Shanine tertawa, “Kak, aku tuh minta ceritain yang banyak, tapi kayaknya yang kakak tangkep dari kejadian hari ini cuma gantengnya aja ya?”

Talitha menggigit bibir, berusaha mengingat apa saja yang ia lakukan dengan Dhidan beberapa jam lalu. “Ya, dia beliin gue wedang jahe, katanya biar ga masuk angin,” ujar Talitha yang berhasil membuat Shanine tertawa lagi.

“Terus? Enak ga?” “Eum, jujur gue belom pernah minum gituan sih Nin, jadi rasanya agak pedes di awal, tapi lama-lama manis, apa karena gue minumnya sambil liat dia ya?”

Shanine lagi-lagi tertawa. Teman sekamarnya ini ternyata cukup pandai melucu.

“Terus, gue tukeran instagram deh sama dia,” lanjut Talitha. “Wah iya? Gue aja belom pernah nanya kak,” Shanine menanggapi. “Iya gitu gue scroll isi instagramnya, beuhhh bukan main Nin, idaman.” “Kak please lo kayak bukan Kak Talitha yang gue kenal HAHAHA ga ada sungkan-sungkannya.” “Ah udah biarin gue nyablak aja nih sekarang ya gue suka deh beneran sama dia.” “Terus? Rencananya gimana?” “Ya.... ga gimana-gimana Nin, bisa deket ya syukur, engga juga ya ga apa-apa.” “Oke good luck kak.” “Lo gimana tadi sama Aksa?” “Eh? Ga gimana-gimana, kita makan roti bakar sama susu cokelat terus udah.” “Lu sahabat atau pacaran deh?” Shanine tersedak. “Sahabat kak, ya ampun gue keselek.” “Sori-sori, habisnya tadi gue liat lu berdua kayak lagi ngomong serius banget pas jalan.”

Memori beberapa jam lalu kembali menghantui Shanine, “Itu.... bukan apa-apa kak, cuma gue aja yang ge er.” “Kenapa tuhh?” “Gue kan suka ya kak sama Aksa—“ “Oke gue udah tau, terus?” sela Talitha. “Hah lo tau dari mana kak?” “Keliatan??”

Shanine menghela napas, masih heran mengapa orang-orang langsung bisa menebak kalau ia memang menyukai sahabatnya itu.

“Oke, dan tadi dia ngomong sesuatu yang bikin salah paham,” lanjut Shanine. “Apa?” “Dia bilang, gimana kalo gue sama dia lebih dari sahabat gitu kak.” “Wahhh, bagus dong? Terus lo bilang apa?” “Gue cuma diem kak, gue bingung, tapi abis itu dia bilang cuma becanda.” “Wah kacau si Aksa, itu sih mainin perasaan,” ujar Talitha sambil menggelengkan kepalanya.

Shanine tertawa, “Tapi menurut lo gimana kak tentang sahabat yang jadi pacar?”

“Hm? Bagi gue ada plus minusnya sih Nin, banyak yang harus dipertimbangkan ga sih? Kayak yang lo chat-an sama dia lucu-lucu gitu dan ga mikir kalo ngetik atau ngomong dan main nyablak aja tiba-tiba ada di situasi yang lebih serius, dimana becandaan lo bisa aja malah salah, ya ga sih? Jadi ga senyaman sebelumnya,” jelas Talitha panjang lebar. “Semoga lu ngerti maksud gue,” lanjutnya kemudian menyesap teh miliknya.

Shanine hanya mengangguk-angguk setuju. Memang benar, pikirnya. Bisa saja hubungan ia dan Aksa tidak akan senyaman ini lagi jika mereka melanjutkan ke tahap yang lebih serius. Selama ini mereka hanya belajar dan bermain bersama, benar-benar tidak terbayang oleh gadis itu bagaimana jadinya jika ia menjadi pacar seorang Aksara, apakah nantinya akan lebih rumit? pikirnya. Jemari gadis itu bergerak mengitari mulut gelas yang sedang ia pegang, pun pandangnya menatap ke dalam isi gelas tersebut.

“Tapi ya lo santai aja sih Nin, kalo jodoh juga ga akan ke mana-mana iya kan? Sekarang kata gue mah ya nikmatin aja, kalian masih SMA, masih banyak yang harus kalian lewati ke depannya kan?” lanjut Talitha kala melihat gadis di depannya menunjukkan raut wajah sedih.

Shanine mengangkat kepalanya, ia tersenyum, “Iya kak lo ada benernya, sekarang gue masih mau sahabatan aja sama Aksa, toh kita juga masih ga yakin sama perasaan masing-masing,” balas Shanine, ia kembali menyeruput tehnya. “Eh tapi kalimat gue tadi kepedean banget ya? Kan ga tahu Aksa suka sama gue apa engga,” ucap Shanine lagi setelah menyadari kalimatnya, gadis itu tertawa pelan.

“Udah cepet abisin tehnya deh terus kita tidur, capek bucin seharian ya gak?” Talitha kemudian beranjak dari kasur dan pergi ke kamar mandi untuk membilas gelasnya, meninggalkan Shanine yang masih meletakkan sedikit harap pada Aksa.

Dhidan langsung turun dari mobilnya usai memarkirkannya di dekat salah satu toko baju. Aksa pun melakukan hal yang sama, pria itu turun dari mobil, sepasang maniknya langsung sibuk mencari sosok gadis yang selalu ada di sampingnya sejak beberapa tahun silam.

“Bener kan di sini ya bang?” tanya Aksa pada Dhidan untuk memastikan. “Ya harusnya sih bener Sa, gue cuma ngikutin alamat yang dikasih Shanine itu tadi di handphone lo,” jawab Dhidan sembari berjalan. Aksa mengangguk dan berjalan mengekor pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.

Beberapa menit kemudian sorot mata Aksa menangkap sosok gadis yang ia cari sedari tadi, “Mbull!” teriaknya dari kejauhan. Gadis yang namanya dipanggil kini menoleh ke arah sumber suara dan melambaikan tangannya. Aksa langsung berlari ke arah Shanine, meninggalkan Dhidan yang berjalan santai di belakangnya.

“Kenapa lari sih?” ujar Shanine pada Aksa yang masih mengatur napasnya. “Biar cepet,” jawab Aksa. “Ya elah ini kan gue tungguin, ga ke mana-mana.” “Ga pa-pa, biar cepet.” “Ya udah, terserah lo deh. Halo kak!” sapa Shanine pada Dhidan yang baru saja berhasil menyusul Aksa. Dhidan tersenyum sebagai balasan dari sapaan gadis itu, “Wah udah ngapain aja nih kalian?” tanya pria itu kemudian. “Beli es krimm!” Shanine menjawab, sedangkan Talitha kini hanya bersembunyi di balik tubuh gadis itu. “Eh halo, eumm....” Dhidan mencoba mengingat nama gadis yang menjadi teman sekamar Shanine. Pagi tadi mereka sudah berkenalan dan samar-samar ia mengingat nama gadis berkulit putih tersebut. “Oh! Talitha! Hai Talitha! Gue ga salah kan ya nama lo Talitha kan?” tanya Dhidan memastikan, masih sambil memasang senyum termanisnya.

Talitha mengangguk, “I-iya g-gue Talitha,” jawabnya gugup. Aksa dan Shanine yang melihat reaksi Talitha kini saling tatap, berusaha berkomunikasi melalui mata. Situasi tiba-tiba saja hening. “Eh ayooo jalan!” ujar Shanine akhirnya, memecah keheningan di antara keempatnya.


Shanine berjalan tepat di samping Aksa, sedang di depannya Dhidan sibuk menceritakan banyak hal pada Talitha yang masih menatap pria itu dengan penuh kekaguman. Aksa mengalihkan pandangnya dari jalanan dan menatap sahabatnya yang kini sedang tersenyum menatap langit malam, entah apa yang menjadi perhatian gadis itu. Cantik, pikirnya. Dapat diketahui dari sorot mata pria itu, sebuah rasa yang tulus terpancar dari hatinya. Tidak bosan-bosan remaja itu menatap Shanine yang juga masih belum sadar bahwa ia diawasi sepasang mata sejak tadi. Senyum kini terukir di bibir Aksa, pun hatinya menghangat, ia merasa sangat senang. Kebisingan kota yang cukup ramai malam ini tidak berhasil menginterupsi pikirannya. Benaknya hanya terfokus pada wajah cantik sahabatnya. Laki-laki itu kemudian sadar hatinya sudah jatuh terlalu jauh pada perempuan di sampingnya tanpa ia sadari, hatinya kini sudah sepenuhnya dikuasai oleh seorang Shanine Rembulan. Ruang kosong pada hati pria itu yang sudah lama ia biarkan kini kembali terisi, jantungnya berdetak lebih cepat kala melihat Shanine tertawa dengan manisnya.

“Shanine,” panggil Aksa pelan. “Hm?” Shanine menoleh pada pria itu, masih dengan senyuman yang tidak bosan menghiasi wajah cantiknya. “Lu pernah kepikir ga Nin kalo hubungan kita lebih dari sahabat?”

Shanine dibuat terkejut oleh ucapan temannya, jantungnya terasa berhenti, senyuman di bibirnya mulai sirna, digantikan sorot mata yang menatap lurus pada manik sahabat kesayangannya.

“M-maksud lo gimana?” ujar Shanine terbata-bata sembari menyembunyikan semburat merah pada kedua pipinya. “Ya.... gitu, eum—“ ucapan Aksa terpotong, tiba-tiba ia merasa ragu, “Misalnya, pacaran?” lanjutnya.

Langkah Shanine berhenti. Jantungnya benar-benar terasa seperti jatuh tiba-tiba ke perut, pun kakinya terasa lemas. Gadis itu bisa merasakan sesak di dadanya yang tidak dapat ia artikan. Manik keduanya bertemu, menelisik hingga ke dalam seolah berusaha saling mencari jawaban akan perasaan masing-masing. Entah kenapa Aksa menahan napasnya, suara jantungnya sudah sangat berisik saat ini, khawatir kalau-kalau gadis di depannya mendengar. Shanine masih tidak tahu harus menjawab dengan jawaban yang seperti apa sekarang. Bibir gadis itu terkatup, pikirannya sibuk mencari jawaban, sedang lidahnya terasa kelu.

“Gue ga serius, cuma nanya ajaa, kan tadi gue bilang misalnyaaa,” Aksa memutuskan untuk mengganti suasana kala melihat raut serius dari wajah temannya. Pandangan pria itu kemudian dialihkan ke arah ramainya kota, meninggalkan Shanine yang masih memproses segalanya. “Yuk, jalan lagi,” ajak Aksa.

“Eh iya iya,” Shanine menjawab kaku, langkahnya kembali ia lanjutkan. Gadis itu menarik napas panjang, berusaha menjernihkan pikiran dan mengembalikan detak jantungnya seperti sedia kala. Bukan apa-apa Shanine, apa sih yang lo harapkan, batinnya.

Keheningan di antara keduanya kemudian dipecah oleh suara ponsel Shanine yang menandakan chat masuk. Gadis itu langsung membuka pesan tersebut dan membalasnya cepat. Aksa yang sebelumnya hanya memperhatikan Shanine kini ikut penasaran.

“Siapa?” tanya Aksa sembari mendekatkan wajahnya pada gadis di sampingnya, matanya mengarah ke layar ponsel milik Shanine. “I-itu, Kak Titha,” jawab Shanine singkat. “Kenapa nge-chat? kan lagi jalan bareng?”

Shanine tidak menjawab, ia kemudian berjalan lebih cepat untuk menyusul Dhidan dan Talitha yang sudah cukup jauh di depan sana. Aksa yang melihat sahabatnya sedikit berlari kini berusaha menyusulnya.

“Kak Dhidan!” panggil Shanine. Dhidan menoleh, “Kenapa?” “Gue mau jalan sama Aksa kak, eum, ke sana!” ucap Shanine sembari menunjuk asal sebuah kedai. “Oh, ya udah, ayo bareng-bareng aja,” balas Dhidan. “Eh engga-engga. Kak Dhidan sama Kak Titha ajaaa, aku mau berdua sama Aksa jalan-jalannya,” ujar Shanine sambil tersenyum. Aksa yang tidak mengerti situasi hanya memasang wajah bingung. Sedangkan Talitha menutup sebagian wajahnya dengan kedua tangannya, mencoba menyembunyikan pipinya yang ia yakini sudah berwarna merah muda sekarang.

“Eum, ya udah kalo gitu, nanti kabarin aja kalo udah selesai, kita ketemuan lagi,” jawab Dhidan akhirnya. “Oke kak!” jawab Shanine kemudian menarik pelan tangan Aksa, melangkah menjauhi Talitha dan Dhidan.

Shanine memutuskan untuk langsung keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ya, di rumahnya saat ini hanya tinggal gadis itu seorang diri. Ayah dan ibunya sedang pergi ke luar kota untuk urusan bisnis kata mereka, sedang asisten rumah tangganya sedang izin untuk pergi. Gadis itu kini duduk di salah satu kursi di teras rumahnya sambil sesekali bersenandung ceria, menunggu Aksa datang menjemputnya. Ia sudah bersiap diri dengan pakaian yang cantik dan dengan rambut serta make up yang telah ia tata dengan rapi sejak tadi pagi. Jam tangannya menunjukkan pukul 2 siang hari, matahari siang ini tidak begitu terik, sangat pas dengan kegiatan yang berlangsung di sekolah mereka hari ini. Neo Music Festival—acara tahunan yang selalu diselenggarakan oleh sekolah mereka ini sudah menjadi perhatian banyak pihak dari banyak sekolah. Tidak sedikit siswa-siswi dari sekolah lain ikut datang ke sekolah mereka untuk meramaikan acara tersebut, pun karena tiket masuknya juga tidak dipungut biaya sama sekali. Akan ada bintang tamu yang sudah disiapkan oleh panitia serta penampilan musik dari sekolah Neo itu sendiri.

Shanine masih sesekali becermin di jendela rumahnya, memastikan penampilannya sudah benar-benar rapi hingga suara mobil Aksa terdengar dan membuat gadis itu langsung menoleh dan berlari menghampiri mobil sahabatnya. Gadis itu langsung membuka pintu depan mobil, “Hai Aksa!” sapanya pada laki-laki yang kini duduk di bangku kemudi.

“Rapi amat,” balas Aksa singkat. “Iya dong harus cantik biar ga kalah,” ujar Shanine sembari masih mengatur duduknya. “Ga kalah dari?” “Dari Kayla.” “Kenapa ga mau kalah?” tanya Aksa bingung. Dahi pria itu sudah mengerut sekarang. “Eh ya ga apa-apa biar ga kebanting aja, siapa tau mau foto bareng kan nanti.” Jawab Shanine yang sebenarnya hanya alasan palsu karangannya. Gadis itu hanya ingin tampil cantik di depan Aksa saat ini, tapi terlalu malu untuk jujur. “Ya udah pake seatbelt-nya, gue mau jalan,” ujar Aksa yang disahut anggukan oleh Shanine. Gadis itu langsung memasang seatbelt-nya dengan benar, “Yuk!” ucapnya kemudian.


Hanya alunan lagu yang terdengar dari speaker mobil Aksa yang saat ini menemani kedua sahabat itu dalam perjalanannya menuju sekolah. Sesekali Aksa bersenandung mengikuti lagu yang terputar. Shanine hanya menatap sahabatnya dengan kekaguman. Ya, sebenarnya tidak ada satu hari pun gadis itu tidak mengagumi seorang Aksara Juni, namun hari ini Shanine benar-benar menyadari bahwa sahabatnya sudah bertumbuh dengan baik. Mengingat mereka sudah kenal jauh sebelum hari ini membuat Shanine tiba-tiba saja teringat memori kala mereka SMP dulu. Kini Aksa sudah jelas bertumbuh lebih dewasa, laki-laki itu juga sudah bisa menyetir mobil dengan baik sekarang. Shanine tersenyum, “Jun lo udah gede ya,” ucapnya. Aksa menoleh ke arah Shanine sebentar kemudian pandangnya kembali pada jalan raya di depannya yang cukup ramai.

“Kenapa?” tanya Aksa yang merasa ucapan Shanine cukup serius kali ini karena dapat dilihat olehnya mata gadis itu yang berbinar kala mengucap kalimat tersebut hingga bibirnya yang melengkung sempurna, menghadirkan senyuman.

“Engga, gue cuma sadar aja lo udah jauh lebih dewasa Jun, dulu lo kalo dilarang sama Bunda Nessa buat jangan naik motor ke sekolah aja lo langsung kabur dari rumah ga mau pulang terus main di rumah gue sampe tengah malem. Tapi sekarang lo udah bisa nyetir malah, udah bisa dipercaya,” ujar Shanine.

Ucapan Shanine membuat Aksa mengingat kejadian empat tahun silam, saat ia masih berumur sekitar tiga belas tahun. Hari itu ia ingin pergi ke sekolah dengan motor karena ia merasa iri pada Sakha yang diizinkan mengendarai motornya sendiri. Namun, Hanessa tidak mengizinkan putra keduanya ini ikut mengendarai motor, “Ikut abang Sakha aja ya, Nak?” ucap Hanessa hari itu. Aksa memang menurut, ia akhirnya berangkat bersama Sakha, namun ketika pulang sekolah, ia mengikuti Shanine ke rumahnya dan bermain seharian di sana, tidak ingin pulang. Hingga hari sudah larut, Johan dan Hanessa pun datang menjemput Aksa yang tengah terlelap.

“Hahaha lo masih inget aja Mbul,” ucap Aksa, gelak tawanya sudah terdengar sekarang.

“Tapi gue bersyukur Jun ketemu sama lo,” jawab Shanine. Gadis itu sedikit menunduk, tapi Aksa dapat melihat senyum masih terukir pada wajah cantiknya.

“Gue juga seneng ketemu sama lo Nin, lo banyak bantu gue, makasih,” ujar Aksa sembari ikut tersenyum.

“Haha iya lo emang ngerepotin sih, tapi gue sayangg!” Shanine menjawab, gadis itu tertawa tapi kemudian langsung terdiam beberapa detik setelah menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

“Apa? Ulang dong gue ga denger.” Pinta Aksa, menggoda sahabatnya.

“ENGGA.”

“Ulang dong Nin.”

“Ga mau! Udah lo nyetir aja ah sana,” ujar Shanine sembari memukul pelan laki-laki di sebelahnya.

“Awh sakit tau, aduh-aduh pala gue,” Aksa berpura-pura kesakitan sembari memegangi kepalanya yang masih diperban.

“EH sori-sori, Jun lo ga apa-apa? Maaf-maaf, coba sini gue liat,” ucap Shanine khawatir.

“Bohong deng.”

“LO MAH JANGAN SUKA KAYAK GITU!”


Sesampainya kedua sahabat itu di sekolah, Aksa langsung memarkirkan kendaraannya di parkiran sekolahnya yang cukup luas itu. Sudah banyak orang berkumpul, mengantri untuk masuk bergiliran karena harus dilakukan pengecekan barang terlebih dahulu. Kini Aksa berdiri tepat di belakang Shanine, membiarkan gadis itu berdiri di depannya. “Banyak juga ya yang dateng Jun,” ucap gadis itu sembari masih melihat-lihat sekelilingnya yang dipenuhi manusia. “Ya kalo sepi mah kuburan,” jawab Aksa singkat dan hanya dibalas tatapan datar dari sahabatnya.

Mereka kemudian memasuki area acara. Ada panggung besar yang didirikan di tengah lapangan sekolah mereka, seorang pria sedang bernyanyi di sana, mencoba memberi pertunjukan pembuka untuk para penonton.

“Mau nonton di lapangan Mbul?” tanya Aksa. “Engga ah, masih agak panas mataharinya, nanti aja sore an,” jawab Shanine kemudian berjalan mendahului sahabatnya. Gadis itu tampak senang. Ia berjalan cepat, antusias melihat banyak booth makanan dan minuman yang sengaja diundang oleh sekolah untuk ikut meramaikan acara. “Mbul pelan-pelan woi jalannya jangan lari!” Aksa mencoba mengingatkan, sedangkan gadis yang diajak bicara seolah tidak mendengarkan dan tetap berjalan lebih cepat mendahului sahabatnya. Aksa mencoba menyusulnya kemudian ditarik olehnya tangan gadis itu dan dibawa lebih dekat padanya kala melihat temannya itu hampir menabrak seseorang. Shanine terkejut. “Dibilang jangan lari! Lo hampir nabrak orang itu,” ucap Aksa yang hanya dibalas anggukan pelan oleh gadis itu.


Mereka menikmati acara hingga malam. Shanine sudah mencoba hampir semua makanan yang dihadirkan oleh sekolahnya itu, meninggalkan Aksa yang kekenyangan. Gadis itu sebelumnya sudah lebih dulu izin pada Hanessa setiap ingin membelikan Aksa makanan, ia akan bertanya apa Aksa boleh makan ini itu atau tidak, Hanessa hanya bisa mengiyakan, ikut merasa senang karena nada bicara Shanine di telepon tadi terlihat bahagia dan antusias. “Sa ayo yuk nonton di lapangan!” ajak Shanine kemudian menarik tangan Aksa. Aksa hanya pasrah, menurut.

Aksa membuka matanya, ia baru saja bangun dari tidur siangnya. Dilihatnya Shanine sudah berada tepat di samping ranjangnya. Gadis itu sedang menikmati makan siangnya sehingga tidak menyadari Aksa yang kini sudah menatapnya lekat. “Shanine,” panggil Aksa pelan. Shanine yang terkejut langsung menoleh dan menatap sahabatnya.

“Kaget! Oh udah bangun lo Jun?” ujar gadis itu kemudian meletakkan sendok yang dipegangnya dan mencoba duduk lebih dekat pada Aksa.

“Lo belom makan siang Mbul?” tanya Aksa.

“Belom.”

“Kok belom?”

“Ya lu tadi nyuruh gue cepetan kesini? Jadi ya udah gue pulang sekolah langsung kesini,” jawab Shanine.

“Ya ga apa-apa kali makan dulu di sekolah Nin,” ujar Aksa. Pria itu mencoba untuk mengubah posisi duduknya.

“Engga ah ntar lo bangun belom ada gue lo ngambek?” balas Shanine kemudian mencoba membantu Aksa memindahkan posisi duduknya, dipindahkannya beberapa bantal yang mengganggu kenyamanan temannya.

Thanks,” ujar Aksa pada Shanine yang telah membantunya.

“Itu apaan Mbul? Banyak banget bonekanya? Punya lo?” lanjut Aksa setelah melihat banyak sekali hadiah yang diletakkan di sofa kamar rawatnya. Cokelat, paper bag berisi banyak makanan, boneka beruang, boneka kelinci, selimut, dan beberapa surat.

“Punya lo. Dari itu, gdm,” jawab Shanine singkat, sedang pria yang diajak bicara hanya mengangguk. Mungkin saat teman-temannya menjenguk tadi ia masih tertidur.

“Ya udah lo lanjut makan aja. Makan yang banyak,” ujar Aksa.


Sekarang hanya ada Shanine yang menemani Aksa. Saat Aksa tertidur tadi, memang benar Hanessa ada di sana untuk menjaga anaknya, namun belum lama sejak kedatangan Shanine, Hanessa izin pulang lebih dulu karena ada beberapa urusan yang harus dilakukannya dan menitipkan putranya pada Shanine. Hanessa tahu gadis itu selalu dapat dipercaya. Luka di kepala Aksara tidak begitu parah. Menurut ucapan Hanessa, dokter bilang Aksa sudah bisa pulang besok pagi. Hal itu membuat Shanine sedikit merasa lega, meski Aksa sepertinya belum diizinkan untuk pergi ke sekolah satu atau dua hari ke depan. Jika gadis itu boleh jujur, sekolah tanpa Aksa sangat tidak menyenangkan. Selain karena Aksa adalah satu-satunya sahabatnya, Shanine sebenarnya juga sedikit sulit akrab dengan teman-teman di sekitarnya. Biasanya ia hanya akan menunggu seseorang mengajaknya bicara lebih dulu. Hanya Aksa yang selalu menghampiri mejanya kapan pun pria itu mendapat kesempatan untuk berjalan-jalan di dalam kelas. Shanine sangat bersyukur semesta mengizinkannya berada di sekolah dan kelas yang sama dengan Aksa selama lima tahun.

“Nin besok gue boleh pulang,” ucap Aksa.

Shanine yang masih membereskan tempat makannya hanya mengangguk pelan.

“Tapi gue belom boleh sekolah masa,” lanjut Aksa.

“Iya,” jawab Shanine singkat.

“Terus gimana?”

“Gimana apanya?”

“Ga bisa ketemu lo dong.”

Shanine yang terkejut dengan ucapan temannya kemudian menoleh. “Lo aneh Jun serius. Gue takut,” ucapnya.

Tawa Aksa kemudian terdengar, “HAHAHA emang biasanya gue gimana?”

“Ya, lo tuh nyebelin biasanya. Eh tapi sekarang masih sih,” jawab Shanine. Gadis itu kembali duduk di sebelah ranjang Aksa usai membereskan barang-barangnya. Kini mereka bertatapan. Tidak ada yang bicara, hanya mata mereka yang tampaknya saling mencari isi hati masing-masing lawan bicaranya.

Shanine yang mulai mengalihkan pandangnya pun akhirnya memutuskan untuk membuka pembicaraan, “Lo mau gue teleponin Kayla? Kangen kan lo pasti sama dia,” ucap gadis itu sembari mengutak-atik ponselnya.

Aksa yang mendengar ucapan sahabatnya pun reflek memegang tangan Shanine, mencoba menghentikan gadis itu dari kegiatannya, “Engga, jangan, gue ga kangen,” ucapnya.

Shanine hanya menatap Aksa heran, Aneh, pikirnya.

“Serius? Lo ga mau dijenguk Kayla lagi?” tanya Shanine memastikan.

Aksa menjawab dengan anggukan, “Ya, serius. Gue maunya ngobrol sama lo aja sekarang,” jawabnya.

Shanine yang masih bingung pun akhirnya menuruti permintaan pria itu, diletakkan ponselnya di dalam saku roknya. Mereka pun berbincang cukup lama, Shanine menceritakan seluruh kejadian yang terjadi di sekolah hari ini, mulai dari menu baru di kantin hingga teman-temannya yang masih meributkan kondisi Aksa. Tidak lupa gadis itu juga memberikan buku catatannya pada Aksa. Hari ini ia sudah mencatat pelajaran dengan sungguh-sungguh.


Hari sudah mulai malam, Sakha kemudian datang untuk menemani Aksa malam ini di rumah sakit. Shanine yang sudah sejak tiga jam lalu menemani Aksa akhirnya dipaksa pulang oleh Sakha, “Sudah malam, Shanine,” ujar Sakha. Sebenarnya Sakha menawarkan diri untuk mengantar Shanine pulang, namun sekali lagi, gadis itu mementingkan Aksa dibandingkan dengan dirinya, “Ga apa-apa bang Sakha temenin Aksa aja, Shanine bisa balik sendiri kok,” ucapnya kemudian meninggalkan kamar rawat Aksa.

Sudah terhitung satu jam sejak dokter menginformasikan kondisi Aksa. Sesuai ucapan dokter seharusnya Aksa sudah dapat dijenguk sekarang. Sakha dan Shanine yang sejak tadi menunggu di depan kamar Aksa hanya berkali-kali melihat ke arah jam. Tidak banyak orang yang berlalu-lalang di rumah sakit sore ini, “Udah satu jam, kata susternya juga udah boleh masuk, yuk?” ajak Sakha.

Kedua remaja itu akhirnya masuk ke dalam kamar rawat Aksa. Dilihatnya oleh gadis itu sahabatnya yang masih terlelap, belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Sakha kini berdiri tepat di samping ranjang adiknya diikuti oleh Shanine. Beberapa menit kemudian terlihat sedikit pergerakan dari tangan Aksa, pun matanya mencoba untuk dibuka, “S-Shanine....” panggilnya pelan.

Shanine yang merasa namanya dipanggil kemudian mendekat, “Ya kenapa Sa?” sahutnya.

Aksa, laki-laki itu kemudian memegang erat tangan Shanine, entah anak itu sedang bermimpi atau bagaimana. Shanine yang tangannya digenggam erat hanya terdiam, gadis itu lantas mengusap pelan tangan sahabatnya, mencoba memberi ketenangan. Tidak lama, Aksa kemudian membuka matanya dan mencoba melihat ke sekelilingnya. Didapati olehnya sahabat dan kakak laki-lakinya kini berdiri di samping ranjangnya membuatnya merasa jauh lebih baik.

“Aksa bisa denger abang?” ujar Sakha ingin memastikan adiknya benar-benar sadar saat ini. Anggukan pelan dari Aksa menjadi jawaban untuk pertanyaan abangnya.

“Pinter adek abang kuat, makasih Aksa udah berani. Shanine, sebentar ya, bang Sakha mau telepon ayah sama ibu, mau ngabarin Aksa udah sadar,” lanjut Sakha lalu keluar dari ruangan, meninggalkan Aksa dan Shanine.

Hening sempat menghampiri keduanya, pun Shanine mengarahkan kedua maniknya untuk menatap sahabatnya.

“Lo tau ga sih Sa sakit perut gue udah ga gue rasa, lo mah ya ada-ada aja,” omel Shanine, sedangkan Aksa hanya tertawa kecil mendengarnya.

“Seragam lo,” ucap Aksa, suaranya masih sedikit serak.

“Oh iya ini seragam gue belom gue ganti, masih kotor,” jawab gadis itu sembari melihat seragamnya yang masih banyak bekas darah.

“Makasih,” ucap Aksa lagi, manik matanya menatap lurus mata sahabatnya, membuat mereka kini saling tatap.

“Ah elah lo mah kayak sama siapa aja,” jawab Shanine canggung. Aksa tersenyum, entah mengapa ia merasa senang hari ini.

“Nin, elus kepala gue dong,”

“Ga mau???”

Please?

Shanine menyerah, Aksa selalu punya cara untuk membuatnya mengalah. Gadis itu mendekat, mengusap pelan pucuk kepala temannya. “You did well Sa,” ucapnya pelan.


Sekitar pukul tujuh malam orang tua Aksa dan Sakha pun datang. “Aksaraaa!” panggil ibunya ketika membuka pintu kamar rawat Aksa.

Pemilik nama yang semula masih mengobrol dengan Sakha dan Shanine pun menoleh, “Ibu?” ujarnya pelan. Wanita paruh baya itu langsung memeluk anak laki-lakinya dan sesekali mengelus lengannya.

“Aksa kamu ga apa-apa nak? Pusing? Masih sakit ya? Kenapa bisa begini nak?” ucap wanita bernama Hanessa itu, ia terus memberi pertanyaan pada putra keduanya.

“Aduh Ibu, Aksa jawab yang mana dulu?” jawab Aksa.

“Jawab ini aja, kamu gimana sekarang rasanya gimana nak?”

“Udah jauh lebih baik Ibu, ada bang Sakha sama Shanine juga yang dari tadi nemenin Aksa di sini.”

Sang Ibu pun menoleh pada Shanine. Didekatinya sahabat putranya itu dan dipeluknya. “Makasih Shanine, kamu selalu ada buat Aksa,” ujarnya.

“I-iya tante ga masalah,” jawab Shanine, membalas pelukan Ibu dari sahabatnya.

“Aduh, kok tante sih? Kamu lupa ya Shanine? Kamu boleh panggil saya Bunda Nessa,” ujar wanita itu lagi. Anak-anaknya biasa memanggil Hanessa dengan sebutan “Ibu” yang sebenarnya Hanessa ingin sekali dipanggil dengan sebutan “Bunda”, hal itulah yang memberikan Hanessa ide untuk meminta sahabat dari putranya ini memanggilnya bunda.

“Hehe iya Bunda Nessa,” Shanine menjawab sedikit canggung.

“Bunda Nessa sama Om Jo udah di sini, jadi ga apa-apa Shanine kalau mau pulang nak, sudah malam.”

“Engga apa-apa tante, Shanine belum mau pulang,” balas Shanine.

“Engga, kamu harus pulang, Sakha anterin ya? Ayo yuk Shanine siap-siap,” Hanessa kemudian membantu gadis itu merapikan barang-barangnya.

“Kamu sampai rumah, mandi, ganti baju, terus makan ya Shanine, kamu jangan ikut sakit juga,” lanjut wanita itu.

Shanine yang terpaksa menurut hanya mengangguk mengikuti perintah Hanessa.

“Abang Sakha tolong anterin Shanine ya bang,” ucap Om Johan, Ayah dari Aksa dan Sakha.

“Iya Ayah, yuk Shanine,” Ajak Sakha. Shanine kemudian pamit dan pergi, meninggalkan Aksa yang pandangnya masih belum lepas dari gadis yang seragamnya berhasil ia kotori tadi siang.