Cahaya Aksara Sempat Padam
Shanine—gadis bersurai panjang itu kini berjalan bolak-balik di teras rumahnya. Hujan sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu, namun tetap saja jalanan masih licin dan basah. Gadis itu khawatir sahabatnya akan menyetir motornya dengan kecepatan penuh ditambah ia tahu Aksa sedang tidak baik-baik saja sekarang. Beberapa menit kemudian suara motor Aksa terdengar, remaja itu muncul dan menghentikan motornya tepat di depan rumah sahabatnya. Shanine langsung berlari menghampiri pagar rumahnya, membukakan pagar tersebut, dan mempersilakan Aksa untuk masuk.
“Lo, duduk di sini dulu, sebentar gue bikinin minum,” ujar Shanine setelah memastikan Aksa duduk di sofa ruang tamunya. Pria itu masih diam menunduk.
Selang 3 menit, Shanine kembali dari dapurnya dengan membawa secangkir air madu hangat yang kemudian diberikan olehnya untuk sahabatnya. “Ini, minum dulu, ya?” Shanine mencoba menyodorkan cangkir tersebut pada Aksa. Remaja laki-laki itu menerimanya dan menuruti Shanine untuk meminumnya.
“Nah, sekarang boleh cerita, siapa yang jahat?” ujar Shanine lembut. “Gue.” Shanine diam, otaknya memproses informasi yang diberikan, “Maksudnya?” “Gue yang jahat. Gue jahat sama Bang Sakha,” jawab remaja laki-laki itu seraya meremas rambutnya, air matanya kembali turun.
Beberapa lama Shanine masih terdiam hingga detik berikutnya gadis itu sudah merengkuh Aksa dalam pelukannya, menepuk-nepuk pelan punggungnya, mengusapnya lembut. Tangis Aksa semakin menjadi dibuatnya, pria itu menenggelamkan wajahnya pada lengan kecil milik Shanine, membagi kesedihannya dengan gadis itu. Shanine masih tidak dapat menebak apa yang terjadi, namun ia juga tidak ingin memaksakan sahabatnya untuk bercerita, ia hanya akan berusaha memberikan kenyamanan sebanyak yang ia bisa.
Begitu Aksa sudah sedikit tenang, Shanine melepas pelukannya dan memberikan beberapa lembar tisu.
“Bang Sakha suka sama Kayla.” Ujar Aksa dengan suara paraunya.
Jujur, Shanine terkejut dengan informasi yang baru saja ia peroleh. Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh gadis itu jika Sakha sebenarnya menyukai seseorang, terlebih itu adalah orang yang sama dengan yang adiknya sukai.
“Kenapa gue baru nyadar ya Mbul? Gue selama ini selalu cerita ke Bang Sakha tentang Kayla, gue selalu cerita sebanyak apa gue suka sama dia. Pasti dia sakit hati banget kan iya kan?”
Shanine menggeleng, “Jun, menurut gue Bang Sakha ga bilang ke lo karna lo prioritas utamanya. Dia sayang sama lo Jun, bahkan rela nge-keep perasaannya sendiri kaya gitu. Dan gue yakin Jun, gue yakin Bang Sakha ga pernah mikir lo orang jahat, jadi udah ya? Mungkin nanti bisa diobrolin lagi sama Bang Sakha nya, ya?” ujar Shanine lembut, masih dengan tangannya yang tidak berhenti mengusap punggung Aksa.
“Sekarang udah yuk nangisnya, itu handphone lo dari tadi bunyi, coba dicek mungkin penting,” lanjut Shanine kala mendapati ponsel Aksa yang sedari tadi terus berdering. Remaja laki-laki itu kemudian menghapus air mata yang masih tersisa di kedua matanya dan meraih ponselnya.
“Siapa?” tanya Shanine penasaran. “Ibu.” Jawab Aksa singkat kemudian segera mengangkat panggilan tersebut.
Raut wajah Aksa yang sebelumnya sudah tampak lebih baik kini kembali pucat. Remaja itu bahkan tidak berkedip sedikit pun. Shanine dibuat bingung, gadis itu ikut berdiri dari duduknya kala melihat Aksa yang bangkit tiba-tiba.
“Jun? Kenapa?” Shanine bingung, “Bunda Nessa bilang apa? Jun?” Alih-alih menjawab pertanyaan gadis itu, Aksa justru mengambil jaketnya yang sebelumnya disampirkan di sofa dan segera melangkah keluar dari rumah sahabatnya. Shanine yang kini panik dan bingung kemudian berusaha mengejar remaja laki-laki itu.
“Jun! Lo kenapa sih? Hey!” gadis itu menahan lengan pria itu sekarang. Aksa menoleh, air mata yang sebelumnya sudah mengering kini kembali mengalir dari kedua manik indah milik remaja itu. Wajahnya pucat pasi. Aksa tampak lebih kacau dari ketika ia datang tadi.
“Tenang dulu ya? Kenapa? Ayo jelasin, gue mau bantu, kenapa?” Shanine berusaha setenang mungkin.
“B-bang Sakha....” jawab Aksa terbata-bata.
“Tarik napas. Tarik napas dulu ayo, pelan-pelan.”
Aksa menuruti saran sahabatnya, ia menghirup udara sebanyak yang ia bisa, masih dengan air mata yang lolos begitu saja dari pelupuknya, “Bang Sakha dibawa ke rumah sakit.... dan harus dioperasi,” lanjutnya.
Hati Shanine mencelos. Gadis itu tidak berkutik. Tangannya yang semula menahan lengan Aksa kini terjatuh lemas. Ia dapat merasakan genangan air mata mulai memenuhi kedua maniknya menjadikan pandangannya sedikit kabur. Jika ia pun dapat merasa seterkejut itu, bagaimana dengan Aksa yang merupakan adik dari anak baik bernama Sakha? Kedekatannya dengan Arsakha beberapa tahun terakhir pun sudah dapat membuat Shanine merasa sesayang itu pada Sakha, bagaimana Aksa yang sudah bersama sejak lahir?
“Ayo, kita ke rumah sakit, jangan naik motor, kita pesen go-car aja ya? Gue ga mau lo nyetir motor dengan keadaan begini, ya?” ujar Shanine setelah menghapus air matanya, gadis itu berusaha tenang meski kini ia juga sama gemetarnya dengan Aksa.
“N-naik motor aja.... Biar cepet,” jawab Aksa memaksa di sela isakannya.
Shanine menghela napas, “Gue mohon, nurut. Dengan buru-buru ke sana atau engga juga ga akan ngubah apa-apa Jun. Kalo lo naik motor terus kenapa-napa di jalan lo pikir orang-orang ga khawatir? Gue takut, gue ga mau kehilangan lo, jadi nurut, ya? Kita naik mobil, kita berdoa di jalan, ga pa-pa, Bang Sakha anak baik anak kuat, Tuhan bakal bantu, oke?”
Aksa sempat terdiam hingga detik berikutnya ia mengangguk.
“Oke sebentar, lo pesen mobilnya, gue ambil jaket,” ujar Shanine kemudian berlalu.
Kedua remaja itu kini sudah duduk berdampingan di dalam mobil, tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir keduanya. Baik gadis itu maupun remaja laki-laki di sampingnya, mereka hanya menunduk, berdoa dalam diam, mengharapkan keselamatan terbaik untuk Arsakha yang entah bagaimana bisa berakhir di rumah sakit. Shanine masih mendengar isakan dari samping kanannya yang tak lain dan tak bukan bersumber dari sahabatnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Aksa lembut, mengelusnya pelan, “Ga pa-pa.... Semua baik-baik aja, tenang,” ujarnya berusaha untuk memberi ketenangan sebaik yang ia bisa.
Aksa—pria itu kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak gadis di sampingnya. Rasanya hari ini adalah hari yang berat dan panjang, ia lelah. “Maaf gue senderan,” ujarnya sopan. Shanine tersenyum ringan, “It’s okay,” jawabnya seraya memberi belaian lembut pada rambut laki-laki itu.
Selang beberapa menit, mobil yang keduanya tumpangi kini sudah sampai di depan rumah sakit yang dimaksud. Aksa berjalan cepat diikuti Shanine yang mengikuti di belakang. Ketika manik keduanya menangkap Johan dan Hanessa yang sedang terduduk di salah satu kursi tunggu, dengan cepat mereka menghampiri.
“Ayah, Ibu,” panggil Aksa lirih.
Kedua orang tuanya kini menoleh, “Aksa....” balas Hanessa lembut kemudian menarik anaknya menuju pelukannya.
Shanine masih berdiri terdiam hingga detik selanjutnya ujung maniknya menangkap sosok Kayla yang duduk berseberangan dengan Johan dan Hanessa. Ia semakin terkejut kala mendapati noda darah pada pakaian yang Kayla kenakan. Shanine kemudian menghampiri, “Kay?” sapanya pelan.
Kayla mendongak, “S-Shanine.... Gue takut,” jawab gadis itu dengan suara bergetar.
Shanine memutuskan untuk duduk di samping Kayla, menemani gadis bersurai gelap itu masih menangis.
“Kay? Lo ga pa-pa?” Kayla menggeleng, “Sakha.... Gara-gara gue, Kak Sakha....” Shanine masih bingung, belum mendapat maksud dari tutur Kayla, “Maaf, maksudnya?” “Kak Sakha nyelametin gue dari—“ ucapan Kayla terputus kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Kelimanya kini berdiri, menatap lurus ke arah dokter tersebut.
“Maaf, boleh saya bicara dengan wali dari Sakha?” ujar pria yang masih menggunakan pakaian bedah itu. “Saya, saya ayahnya,” jawab Johan cepat. “Baik, silakan ikut saya.”